Professional Documents
Culture Documents
NEUROGENIC BLADDER
Disusun Oleh :
K1A1 14 033
Pembimbing
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2019
1
NEUROGENIC BLADDER
A. Definisi
Neurogenic bladder adalah suatu disfungsi kandung kemih akibat kerusakan sistem
saraf pusat atau saraf tepi yang terlibat dalam pengendalian berkemih. Keadaan ini bisa
berupa kandung kemih tidak mampu berkontraksi dengan baik untuk miksi (underactive
bladder) maupun kandung kemih terlalu aktif dan melakukan pengosongan kandung
kemih berdasar refleks yang tak terkendali (overactive bladder).1
Pada neurogenic bladder terdapat perubahan morfofungsional dari kompleks vesica
urinaria-sfingter disertai adanya lesi neurologis sentral atau perifer.Ganggan neurologis
ini dapat terjadi pada neuon motorik dan neuon sensorik; neuron motorik yang terkena
dapat terjadi di tingkat susunan saraf atas maupun bawah. Istilah neurogenic bladder
atau vesika urinaria neurogenik tidak mengacu pada suatu diagnosis spesifik ataupun
menunjukkanetiologinya, melainkan lebih menunjukkan suatu gangguan fungsi
urologiakibat kelainan neurologis.1
B. Epidemiologi
2
setelah operasi panggul, dan sindrom cauda equina yang dihasilkan dari adanya kelainan
patologis pada tulang belakang lumbal.2
Adapun klaim asuransi dan farrmasi mengatakan hampir 60.000 pasien dengan
vesika urinaria neurogenik selama 4 tahun dan ditemukan 29% sampai 36% dari infeksi
traktus urinarius bagian bawah, 9% sampai 14% dari retensi urin, dan 6% sampai 11%
dari obstruksi traktus urinaria. Infeksi traktus urinaria bagian atas yang tercatat dalam
1,4% sampai 2,2% dari kelompok vesika urinaria neurogenik, dan penyakit sistemik yang
serius juga didiagnosis dalam kelompok ini termasuk septikemia di 2,6% sampai 4,7%
dan gagal ginjal akut pada 0,8% sampai 2,2%.2
C. Etiologi
Banyak penyebab dapat mendasari timbulnya neurogenic bladder sehingga
mutlakdilakukan pemeriksaan yang teliti sebelum diagnosis ditegakkan.Setiap kondisi
yang menyebabkan kerusakan atau mengganggu saraf yang mengendalikan kandung
kemih atau saluran keluarnya bisa menyebabkan neurogenic bladder. Beberapa penyebab
dari neurogenic bladder ini antara lain penyakit infeksius yang akut seperti mielitis
transversal, kelainan serebral (stroke, tumor otak, penyakit Parkinson, multiple sklerosis,
demensia), alkoholisme kronis, penyakit kolagen seperti SLE, keracunan logam berat,
herpes zoster, gangguan metabolik, penyakit atau trauma pada medula spinalis dan
penyakit vaskuler.Penyebab tersering adalah gangguan medulla spinalis.3
1. Tipe sensorik (kerusakan pada serabut sensorik dari vesika urinaria ke medula
spinalis):
a. Diabetes melitus
b. Anemia pernisiosa
c. Sifilis
2. Tipe motorik (kerusakan serat motorik dari medula spinalis ke vesika urinaria):
a. Infeksi herpes zoster
b. Trauma pada pelvik
c. Pembedahan
3. Tipe otonom (kerusakan serat motorik dan spinal antara vesika rinaria dan medula
spinalis):
a. Trauma pada pelvik
b. Myelomeningocele
3
c. Pembedahan
4. Tipe unhibited (cedera yang menyebabkan refleks reglasi kortikal pada vesika
urinaria):
a. Stroke
b. Tumor otak
c. Trauma kortikal
5. Tipe refleks (kerusakan pada medla spinalis antara sakrum dan batang otak):
a. Cedera pada medula spinalis
b. Myelomeningocele
c. Myelitis transversal
Kelainan pada vesika urinarianeurogenik dapat merupakan bagian kelainan
kongenital ataupun didapat.Sebagian besar kandung kemih neurogenik pada anak
disebabkan kelainan kongenital sedangkan pada dewasa lebih sering karena kelainan
didapat. Spina bifida atau mielodisplasia merupakan penyebab kandung kemih
neurogenik yang sering ditemukan pada anak, dan 90% diantaranya berupa
mielomeningokel. Kelainan tersebut dikaitkan dengan defisiensi folat selama masa
prenatal, dan kejadian spina bifida mengalami penurunan sejak dikeluarkannya kebijakan
suplementasi asam folat selama masa kehamilan.Penyebab lain adalah komplikasi pasca
operasi daerah panggul seperti operasi ureter ektopik, penyakit Hirsprung, dan
pengangkatan teratoma di daerah koksigeus. Pada mielitis dan radikuloneuritis dapat
terjadi kandung kemih neurogenik yang bersifat sementara atau menetap. Gangguan pada
otak akibat anoksia saat proses persalinan, palsi serebral, dan meningitis juga dapat
menyebabkan gangguan mekanisme berkemih.3,4
Kandung kemih pada bayi berbeda dengan kandung kemih pada anak dalam hal
fungsi dan strukturnya. Semasa dalam kandungan, kandung kemih berukuran kecil
dengan elastisitas yang rendah. Kandung kemih kemudian semakin berkembang dan
mengalami perubahan dalam hal kapasitas dan elastisitas seiring dengan
bertambahnya usia. Fungsi koordinasi berkemih yang baik baru muncul setelah usia
beberapa bulan. Pada periode ini proses berkemih terjadi secara otonom dan mulai
terjadi koordinasi antara pengisian dan pengosongan kandung kemih. Proses berkemih
yang terarah atau terlatih baru dapat dilakukan pada usia 2–5 tahun tergantung
kematangan traktus spinalis dan stimulus yang diberikan.
Saluran kemih bawah mendapatkan persarafan somatik dan otonom (simpatis
dan parasimpatis). Persarafan simpatis berasal dari medula spinalis daerah torako-
lumbal yaitu Th-10 sampai dengan L-1 yang bersatu pada pleksus hipogastrik dan
diteruskan melalui serat saraf post-ganglionik untuk mempersarafi detrusor, leher
5
kandung kemih, dan uretra posterior. Sistem persarafan parasimpatis berasal dari
korda spinalis setinggi S-2, S-3 dan S-4 yang mempersarafi daerah fundus sedangkan
persarafan somatik setinggi korda spinalis yang sama melalui nervus pudendus
mempersarafi otot sfingter eksternal.
1) Struktur otot detrusor dan sfingter
Susunan sebagian besar otot polos bladder apabila berkontraksi akan
menyebabkan pengosongan pada bladder. Pengaturan serabut detrusor pada
daerah leher bladder berbeda antara pria dan wanita dimana pria mempunyai
distribusi yang sirkuler dan serabut-serabut tersebut membentuk suatu sfingter
leher bladder yang efektif untuk mencegah terjadinya ejakulasi retrograd sfingter
interna yang ekivalen. Sfingter uretra (rhabdosfingter) terdiri dari serabut otot
lurik berbentuk sirkuler. Pada pria, rhabdosfingter terletak tepat di distal dari
prostat sementara pada wanita mengelilingi hampir seluruh uretra. Rhabdosfingter
secara anatomis berbeda dari otot-otot yang membentuk dasar pelvis. Pada
pemeriksaan elektromiografi otot ini menunjukkan suatu discharge tonik konstan
yang akan menurun bila terjadi relaksasi sfingter pada awal proses miksi.1,2,3
a. Persyarafan dari vesica urinaria dan sfingter
1) Persyarafan parasimpatis (N.pelvikus)
Pengaturan fungsi motorik dari otot detrusor utama berasal dari serabut
preganglion parasimpatis dengan badan sel terletak pada kolumna
intermediolateral medula spinalis antara S2 dan S4. Serabut preganglioner
keluar dari medula spinalis bersama radiks spinal anterior dan mengirim
akson melalui N.pelvikus ke pleksus parasimpatis di pelvis. Serabut
postganglioner pendek berjalan dari pleksus untuk menginervasi organ-organ
pelvis. Tidak terdapat perbedaan khusus postjunctional antara serabut
postganglioner dan otot polos musculus detrusor. Sebaliknya, serabut
postganglioner mempunyai jaringan difus sepanjang serabutnya yang
mengandung vesikel dimana asetilkolin dilepaskan. Meskipun pada beberapa
spesies transmitter nonkolinergik-nonadrenergik juga ditemukan, namun
keberadaannya pada manusia diragukan.1,2
2) Persyarafan simpatis (N.hipogastrik dan rantai simpatis sakral)
Bladder menerima inervasi simpatis dari rantai simpatis thorakolumbal
melalui n.hipogastrik. Leher bladder menerima persarafan yang banyak dari
sistem saraf simpatis dan pada kucing dapat dilihat pengaturan parasimpatis
6
oleh simpatis, sedangkan peran sistim simpatis pada proses miksi manusia
tidak jelas. Simpatektomi lumbal saja tidak berpengaruh pada miksi
meskipun pada umumnya akan menimbulkan ejakulasi retrograd. Leher
bladder pria banyak mengandung transmitter noradrenergik dan aktivitas
simpatis selama ejakulasi menyebabkan penutupan dari leher bladder untuk
mencegah ejakulasi retrograde.2,3
3) Persyarafan somantik (N.pudendus)
Otot lurik dari sfingter uretra merupakan satu-satunya bagian dari
traktus urinarius yang mendapat persarafan somatik. Onufrowicz
menggambarkan suatu nukleus pada kornu ventralis medula spinalis pada S2,
S3, dan S4. Nukleus ini yang umumnya dikenal sebagai nukleus Onuf,
mengandung badan sel dari motor neuron yang menginnervasi baik sfingter
anal dan uretra. Nukleus ini mempunyai diameter yang lebih kecil daripada
sel kornu anterior lain, tetapi suatu penelitian mengenai sinaps motor neuron
ini pada kucing menunjukkan bahwa lebih bersifat skeletomotor
dibandingkan persarafan perineal parasimpatis preganglionik. Serabut
motorik dari sel-sel ini berjalan dari radiks S2, S3 dan S4 ke dalam
n.pudendus dimana ketika melewati pelvis memberi percabangan ke sfingter
anal dan cabang perineal ke otot lurik sfingter uretra. Secara elektromiografi,
motor unit dari otot lurik sfingter sama dengan serabut lurik otot tapi
mempunyai amplitudo yang sedikit lebih rendah.1,2,3
4) Persyarafan sensorik traktus urinarius bagian bawah
Sebagian besar saraf aferen adalah tidak bermyelin dan berakhir pada
pleksus suburotelial dimana tidak terdapat ujung sensorik khusus. Karena
banyak dari serabut ini mengandung substansi P, ATP atau calcitonin gene-
related peptide dan pelepasannya dapat mengubah eksitabilitas otot, serabut
pleksus ini dapat digolongkan sebagai saraf sensorik motorik daripada
sensorik murni. Ketiga pasang saraf perifer (simpatis torakolumbal,
parasimpatis sacral dan pudendus) mengandung serabut saraf aferen. Serabut
aferen yang berjalan dalam n.pelvikus dan membawa sensasi dari distensi
bladder tampaknya merupakan hal yang terpenting pada fungsi bladder yang
normal. Akson aferen terdiri dari 2 tipe, serabut C yang tidak bermyelin dan
serabut Aδ bermyelin kecil. Peran aferen hipogastrik tidak jelas tetapi serabut
ini menyampaikan beberapa sensasi dari distensi bladder dan nyeri. Aferen
7
somatik pudendal menyalurkan sensasi dari aliran urine, nyeri dan suhu dari
uretra dan memproyeksikan ke daerah yang serupa dalam medula spinalis
sakral sebagai aferen bladder. Hal ini menggambarkan kemungkinan dari
daerah-daerah penting pada medulla spinalis sakral untuk intergrasi
viserosomatik. Nathan dan Smith (1951) pada penelitian pasien yang telah
mengalami kordotomi anterolateral, menyimpulkan bahwa jaras ascending
dari bladder dan uretra berjalan di dalam traktus sphinothalamikus. Serabut
spinobulber pada kolumna dorsalis juga berperan pada transmisi dari
informasi aferen. 1,2,3
8
2. Daerah kortikal yang mempengaruhi pusat miksi pons
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa lesi pada bagian anteromedial
dari lobus frontal dapat menimbulkan gangguan miksi berupa urgensi,
inkontinens, hilangnya sensibilitas bladder atau retensi urine.
Pemeriksaan urodinamis menunjukkan adanya bladder yang
hiperrefleksi. 1,2
E. Patofisiologi 4
Gangguan bladder dapat terjadi pada bagian tingkatan lesi. Tergantung jaras yang
terkena, secara garis besar terdapat tiga jenis utama gangguan :
1. Lesi supra pons
Pusat miksi pons merupakan pusat pengaturan refleks-refleks miksi dan
seluruh aktivitasnya diatur kebanyakan oleh input inhibisi dari lobus frontal bagian
medial, ganglia basalis dan tempat lain. Kerusakan pada umumnya akan berakibat
hilangnya inhibisi dan menimbulkan keadaan hiperrefleksi. Pada kerusakan lobus
depan, tumor, demyelinisasi periventrikuler, dilatasi kornu anterior ventrikel lateral
pada hidrosefalus atau kelainan ganglia basalis, dapat menimbulkan kontraksi
bladder yang hiperrefleksi. Retensi urine dapat ditemukan secara jarang yaitu bila
terdapat kegagalan dalam memulai proses miksi secara volunteer.
2. Lesi antara pusat miksi pons dan sakral medula spinalis
Lesi medula spinalis yang terletak antara pusat miksi pons dan bagian sacral
medula spinalis akan mengganggu jaras yang menginhibisi kontraksi detrusor dan
pengaturan fungsi sfingter detrusor. Beberapa keadaan yang mungkin terjadi antara
lain adalah:
a. Vesica urinaria yang hiperrefleksi
Seperti halnya lesi supra pons, hilangnya mekanisme inhibisi normal akan
menimbulkan suatu keadaan bladder yang hiperrefleksi yang akan
menyebabkan kenaikan tekanan pada penambahan yang kecil dari volume
bladder.
b. Disinergia detrusor-sfingter (DDS)
Pada keadaan normal, relaksasi sfingter akan mendahului kontraksi detrusor.
Pada keadaan DDS, terdapat kontraksi sfingter dan otot detrusor secara
bersamaan. Kegagalan sfingter untuk berelaksasi akan menghambat miksi
9
sehingga dapat terjadi tekanan intravesikal yang tinggi yang kadang-kadang
menyebabkan dilatasi saluran kencing bagian atas.Urine dapat keluar dari
bladder hanya bila kontraksi detrusor berlangsung lebih lama dari kontraksi
sfingter sehingga aliran urine terputus-putus.
c. Kontraksi detrusor yang lemah
Kontraksi hiperrefleksi yang timbul seringkali lemah sehingga pengosongan
bladder yang terjadi tidak sempurna. Keadaan ini bila dikombinasikan dengan
disinergia akan menimbulkan peningkatan volume residu pasca miksi.
d. Peningkatan volume residu paska miksi
Volume residu paska miksi yang banyak pada keadaan bladder yang
hiperrefleksi menyebabkan diperlukannya sedikit volume tambahan untuk
terjadinya kontraksi bladder. Penderita mengeluh mengenai seringnya miksi
dalam jumlah yang sedikit.
F. Diagnosis
Banyak penyebab yang mendasari timbulnya neurogenic bladder sehingga perlu
dilakukan pemeriksaan yang teliti sebelumdiagnosis ditegakkan.Neurogenik
bladdermelibatkansistem sarafdan kandung kemih sehingga untuk mendiagnosis adanya
neurogenic bladder yaitu dengan memeriksabaiksistem saraf(termasuk otak) dankandung
kemihitu sendiri.3,6Langkah awal yang harus dilakukan dalam menegakkan diagnosis
adalah dengan cara anamnesis dan pemeriksaan fisis yang cermat.
12
Pada anamnesis ditanyakan pola berkemih, mengompol, frekuensi,kekuatan pancaran,
jumlah urin, dan kebiasaan defekasi.Tujuannya yaitu untuk mengetahui bagaimana pola
buang air kecilnya atau ada tidakgangguan saat berkemih serta mengetahui adanya
faktor-faktor resiko.Kemudian dapat dilakukan pemeriksaan fisis dapat berupa
pemeriksaanrektal, genitalia, serta pemeriksaan dinding perut (abdominal)
untukmengecek ada tidaknya pembesaran pada vesika urinaria ataupun kelainanlainnya.
Selain itu, pemeriksaan neurologis juga dilakukan untukmenentukan kelainan neurologis
yang menjadi dasar terjadinya neurologicbladder, uji neurologis harus mencakup status
mental, refleks, kekuatanmotorik dan sensibilitas (termasuk dermatomal sakral). Pada
pemeriksaan fisis dicari defisit neurologis terutama di daerah panggul dan tungkai
bawah.Pemeriksaan refleks lumbo-sakral, refleks anokutan, dan bulbokavernosus
dilakukan untuk memperkirakan letak lesi dan gangguan berkemih yang mungkin
ditimbulkan.Selain itu perlu dilakukan pemeriksaan perkembangan psikomotor dan
pengamatan saat berkemih.4,5
Apabila terdapat kecurigaan kandung kemih neurogenik, langkah selanjutnya adalah
melakukan pemeriksaan laboratorium yang meliputi urinalisis, kultur urin, kimia darah,
dan uji fungsi ginjal. Pemeriksaan ultra-sonografi (USG) sebagai penyaring awal
dilakukan pra dan pasca miksi, untuk mendeteksi obstruksi sfingter kandung kemih
dengan menilai kecepatan aliran dan residu urin.Pemeriksaan pencitraan miksio-sisto-
uretrografi (MSU) dilakukan apabila (1) didapatkan hasil abnormal pada pemeriksaan
urogram ekskretori, (2) terdapat peningkatan tekanan kandung kemih akibat kerja otot
detrusor dan sfingter eksterna yang tidak sinergis, dan (3) terdapat infeksi saluran
kemih.Pemeriksaan MSU bertujuan untuk melihat refluks vesikoureter, struktur anatomis
dinding dan leher kandung kemih, serta keadaan leher kandung kemih dan uretra
posterior saat pengisian dan pengosongan kandung kemih.Pemeriksaan pencitraan seperti
CT-scan dan magnetic resonance imaging (MRI) dilakukan untuk mengetahui defek
pada kolumna vertebralis terutama pada kasus dengan spinal dysraphism.5
Penilaian fungsi kandung kemih dapat dilakukan pemeriksaan
urodinamik.Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara memasukkan kateter khusus tripel
lumen ke dalam kandung kemih untuk mengukur tekanan intra vesika, dan kateter lain
dimasukkan ke rektum untuk mengukur tekanan intra-abdomen dan beberapa elektroda
permukaan diletakkan di daerah perineum untuk mengukur kontraksi otot dasar
panggul.Sedikitnya ada empat pola urodinamik yang dapat ditemukan pada kandung
kemih neurogenik yaitu: hiperefleksia otot detrusor bersamaan dengan hiperefleksia
13
(spastisitas) sfingter, arefleksia otot detrusor bersamaan dengan arefleksia sfingter,
arefleksia otot detrusor bersamaan dengan hiperefleksia atau spastisitas sfingter, dan
hiperefleksia otot detrusor bersamaan dengan arefleksia sfingter. Pemeriksaan
urodinamik hanya diperlukan pada sekitar 20% kasus yang biasanya belum jelas
diagnosisnya dengan USG dan MSU.Pemeriksaan urodinamik hanya dilakukan pada
pasien dengan retensi urin, infeksi saluran kemih disertai demam, atau hidronefrosis.5
Adapun diagnosis diferensial pada kass neurogenic bladder, yait ganggan obstruksi
pada traktus urinaria, pembesaran prostat inak (benign prostatic hyperplasia) dan infeksi
traktus urinaria (UTI). 4,5,6
G. Tatalaksana
Dasar dari penatalaksanaan dari disfungsi bladder adalah untuk mempertahankan
fungsi ginjal dan mengurangi gejala. Manajemen kondisi kandung kemih neurogenik
membutuhkan pendidikan pasien dan mungkin termasuk intervensi seperti berkemih
waktunya , ekspresi manual, obat, intermiten kateterisasi, kateter urin berdiamnya, dan
kandung kemih dan/ atau uretra prosedur bedah.6
1. Terapi Non farmakolgis
Bladder Training7,8
Salah satu terapi non farmakologis yang efektif adalah bladder training. Bladder
training adalah latihan yang dilakukan untuk mengembalikan tonus otot kandung
kemih agar fungsinya kembali normal. Bladder training adalah salah satu upaya untuk
mengembalikan fungsi kandung kemih yang mengalami gangguan ke keadaan normal
atau ke fungsi optimal neurogenik. Tujuan dari bladder training adalah untuk melatih
kandung kemih dan mengembalikan pola normal perkemihan dengan menghambat
atau menstimulasi pengeluaran air kemih.7
Terdapat tiga macam metode bladder training, yaitu kegel exercises (latihan
pengencangan atau penguatan otot-otot dasar panggul), delay urination (menunda
berkemih), dan scheduled bathroom trips (jadwal berkemih). Latihan kegel (kegel
execises) merupakan aktifitas fisik yang tersusun dalam suatu program yang
dilakukan secara berulang-ulang guna meningkatkan kebugaran tubuh. Latihan kegel
dapat meningkatkan mobilitas kandung kemih dan bermanfaat dalam menurunkan
gangguan pemenuhan kebutuhan eliminasi urin. Latihan otot dasar panggul dapat
membantu memperkuat otot dasar panggul untuk memperkuat penutupan uretra dan
secara refleks menghambat kontraksi kandung kemih.7
14
Bladder training dapat dilakukan dengan latihan menahan kencing (menunda
untuk berkemih). Pada pasien yang terpasang kateter, bladder training dapat dilakukan
dengan mengklem aliran urin ke urin bag. Bladder training dilakukan sebelum
kateterisasi diberhentikan. Tindakan ini dapat dilakukan dengan menjepit kateter urin
dengan klem kemudian jepitannya dilepas setiap beberapa jam sekali. Kateter di klem
selama 20 menit dan kemudian dilepas. Tindakan menjepit kateter ini memungkinkan
kandung kemih. Terapi ini bertujuan memperpanjang interval berkemih yang normal
dengan berbagai teknik distraksi atau teknik relaksasi sehingga frekuensi berkemih
dapat berkurang, hanya 6-7 kali per hari atau 3-4 jam sekali.
Langkah-langkah bladder training:
a. Klem selang kateter sesuai dengan program selama 1 jam yang memungkinkan
kandung kemih terisi urin dan otot destrusor berkontraksi, supaya meningkatkan
volume urin residual.
b. Anjurkan klien minum (200-250 cc).
c. Tanyakan pada klien apakah terasa ingin berkemih setelah 1 jam.
d. Buka klem dan biarkan urin mengalir keluar.
e. Lihat kemampuan berkemih klien.
2. Terapi farmakologis10
a. Anti kolinergik
Anti kolinergik efektif dalam mengobati inkontinensia karena menghambat
kontraksi kandung kemih involunter dan memperbaiki fungsi penampungan air
kemih oleh kandung kemih. Misalnya, Hiosiamin (Levbid) 0.125 mg,
Dicyclomine hydrochloride (Bentyl) 10-20 mg.
b. Anti spasmodik
Anti spasmodik melepaskan otot polos kandung kemih. Obat anti spasmodik telah
dilaporkan untuk meningkatkan kapasitas kandung kemih dan efektif mengurangi
atau menghilangkan inkontinensia. Misalnya Oksibutinin (ditropan XL) 5-15 mg,
Tolterodin (detrol) 2 mg.
c. Obat Betanekol klorida (urecholine)
Adalah suatu obat kolinergik yang bekerja langsung, bekerja pada reseptor
muskarinik (kolonergik) dan terutama di pakai untuk meningkatkan berkemih.
dan mengobat retensi urin. Merupaka agonis kolinergik yang digunakan untuk
meningkatkan kontraksi detrusor. Obat ini membantu menstimulasi kontraksi
15
vesika rinaria pada pasien yang menyimpan urin. Betanekol klorida 10-50 mg 3-4
kali dalam sehari.
3. Botulinum Toxian A (BTX-A) injection2,8,
Botulinum Toxin A in disuntikkan pada musculus detrussor yang berfungsi untuk
memblok pre0sinaptik melepaskan asetilkolin dari nervusparasimpatik sehingga akan
menyebabkan otot halus pada detrussormengalami paralisis sehingga tidak kontraksi.
Toksin ini bersifatlong actingtetapi denervasi kimianya bersifat reversibel.
4. Terapi operatif2,6,8,9
Pembedahan bisa dilakukan pada kasus tertentu yang jarang. Pembedahan dilakukan
untuk membuat jalan lain untuk mengeluarkanurin, memasang alat untuk
menstimulasi otot kandung kemih. Tindakanpembedahan yang biasa dilakukan :
a. Augmentation Enterocystoplasty
Tindakan ini bertujuan untuk menghasilkan reservoir dengan kapasitas besar dan
good compliance dengan cara melakukan sigmoidocolocystoplasty yang
terkadang dikombinasi dengan tindakan uretral re-implantation.
b. Tissue-Engineering Bladder Augmentation
Tindakan ini menggunakan small intestine submucosa (SIS), dan terbukti
meningkatkan fungsional vesika urinaria.
c. Artificial Urinary Sphincter (AUS)
Pasien dengan neurogenic bladder mempunyai resitensi vesika urinaria yg
rendah, dan tindakan AUS memungkinkan terjadinya spontaneus voiding.
H. Komplikasi
Pada pasien dengan neurogenic bladder juga memungkinkan untuk meningkatkan
resiko terkena infeksi saluran kemih (ISK) dangangguan saluran keluar kandung kemih
(bladder outlet obstruction).Pada pasien dengan neurogenic bladder, jika mereka tidak
diobati secaraoptimal maka juga bisa menyebabkan sepsis dan gagal ginjal.11
Parameter urodinamis yang abnormal pada pasien neurogenic bladder dapat
berhubungan dengan meningkatnya risiko infeksi saluran kemih (ISK).Mekanisme
meningkatnya ISK pada neurogenic bladder belum jelas diketahui, namun terdapat
beberapa teori terkait hal tersebut.Fakta-fakta yang ada menunjukkan bahwa peningkatan
tekanan intravesika menyebabkan iskemia kandung kemih mengakibatkan tertunda atau
berkurangnya respon imun terhadap patogen.Tatalaksana yang tidak tepat pada
16
neurogenic bladder dan pielonefritis dapat menyebabkan kerusakan pada ginjal atau
bahkan menyebabkan gagal ginjal.11
I. Prognosis
17
Daftar pustaka
1. Lao, L. 2015. Evaluation and Management of Neurogenic Bladder: What Is New in
China?. International journal of molecular Sciences 2015(16): 18580-18600.
2. Ginsberg, David. 2013. The Epidemiology and Pathophysiology of Neurogenic
Bladder. The American Journal of Managed Care 19(10): 191-195.
3. Powell, C.R. 2016. Not all neurogenic bladders are the same: a proposal for a new
neurogenic bladder classification system. Translational Andrology and Urology and
Urology 2016(1): 12-21
4. Febriyanto R., Nadeak B., Pardede S.O. 2012. Kandung Kemih Neurogenik pada
Anak: Etiologi, Diagnosis danTatalaksana. Majalah Kedokteran FK UKI 28(4):172-
181.
5. Dorsher, PT dan McIntosh PM. 2012. Neurogenic Bladder. Hindawi publishing
corporation Advance in urology (2012): 1-16.
6. Amarenco, G., dkk. 2017. diagnosis and clinical evaluation of neurogenic bladder.
European Journal of physical and rehabilitation Medicine 53(6):975-80
7. Welk, B. dkk. 2018. Bladder management experiences among people living with
neurologic disease: A systematic review and meta-synthesis of qualitative research.
Neurology and Urodynamic (2018):1-8
8. Jagy, A., dan Fatoye F. 2017 Real world treatment patterns in the neurogenic bladder
population: a systematic literature review. Translational Andrology and Urology and
Urology 6(6): 1175-1183
9. Przydacz, M., dkk. 2018. Recommendations for urological follow-up of patients
with neurogenic bladder secondary to spinal cord injury. International Urology and
nephrology.
10. Cameron, AP. 2016. Medical management of neurogenic bladder with oral therapy.
Translational Andrology and Urology and Urology 2016(1): 51-62
11. Mckibben, M., dkk. 2015. Urinary Tract Infection and Neurogenic Bladder.Elsavier
2015.
18