You are on page 1of 4

Tinjauan Mengenai Kawasan TWAL.

Kepulauan Padamarang

a. TWAL. Kepulauan Padamarang seluas 36.000 ha. Termasuk 8 ( delapan ) Pulau kecil didalamnya
( P. Buaya 140 ha, P. Kukusan/ Masokoreng 110 ha, P. Lambasina Besar 280 ha, P. lambasina
Kecil 80 ha, P. Padamarang 3.300 ha, P. Lemo 30 ha, P. Ijo 5 ha, dan P. Sirenreng 7 ha. Pada
tahun 2007, P. Lemo telah di eksploitasi oleh perusahaan tambang PT. Cinta Jaya, namun
kegiatan tersebut dihentikan dan disidik oleh Pihak Pllres Kolaka dan Polda Sulawesi Tenggara ,
namun penyidikan terhenti karena adanya surat dari Dirjen PHKA Nomor S. 764/ IV-KK/2007
tanggal 23 Ahustus 2007 yang ditujukan kepada Buoati Kolaka dengan tembusan kepada
BKSDA Sultra menyatakan banhwa semua pulau dalam TWAL Kepulauan Padamarang kecuali
daratan P. lambasina Besar dan daratan P. Padamarang termasuk APL. Kami merasa ini satu
kekeliruan karena tidak mungkin SK menhut tentang Penunjukan kawasan konservasi
dibatalkan oleh surat Dirjen PHKA.
b. Usul perubahan P. Padamarang dan P. Lambasina Besar sebenarnya lebih mengarah karena
adanya deposit tambang di pulau tersebut. Apabila ditinjau secara teknis mengenai pulau –
pulau yang berada dalam kawasan TWAL. Kepulauan Padamarang maka dapat kami sampaikan :
- P. Padamarang dan P. Lambasina Besar dengan Topografi berbukit sampai bergunung
dengan kelerengan > 45° dan jenis tanah podzolik merah kuning dan alluvial mediteran
yang mudah gugur/ longsor dengan ketinggian 0 – 680 m dpl.
- Di P. Padamarang terdapat sumber air tawar yang biasa dimafaatkan masyarakat nelayan
ketika mereka mencari ikan. Sumber air tawar yang biasa dimnafaatkan masyarakat
nelayan ketika mereka mencari ikan. Sumber air tersebut mengalir membentuk air terjun
karena curamnya kawasan.
- P. pdamarang merupakan benteng perlindungan bagi kota Kolaka dari terpaan angin
badai dan ombak, terutama pada musim barat saat angin dan ombal kencang.
c. Jika Pulau – pulau tersebut dirubah fungsi dan peruntukkannya serta dieksploitasi, maka
dapat berdampak terjadinya sedimentasi terhadap biota laut akibat longsoran dan erosi,
rusaknya obyek wisata alam baik darata/ pulau maupun di perairan, keringnya sumber air
tawar yang menjadi kebtuhan masyarakat nelayan setempat serta abrassi pantai bagi kota
Kolaka.
Tinjauan Mengenai kawasan Taman Buru Mata Osu.

a. Taman Buru Mata Osu seluas 7.233,70 ha merupakan satu – satu taman buru di Sulawesi
Tenggara. Memiliki topografi datar sampai bergelombang dengan vegetasi khas savanna
berupa padang alang – lang yang luas untuk padang penggembalaan ( grazing area ), hutan
bamboo dan tanaman pinus hasil reboisasi tahun 1997 pada batas kawasan hutan kelompok
tumbuhan berkayu antara lain Biti ( Vitex celebicum ) beringin, kayu besi, kayu kuku, kayu
kolaka , kayu angin, dan lain – lain yang menyebar berkelompok sevcara sporadic pada
bagian yang lebih rendah atau lereng sebagai tempat perlindungan satwa dari panas
matahari.
b. Potensi satwa yang ada di Taman Buru Mata osu antara lain jenis endemic Sulawesi Anoa
dataran rendah ( Buballus deppresicornis ), monyet hitam Sulawesi ( Macaca ochreata), babi
hutan ( Sus celebensis ), Rusa ( Cervus timorensis) dan jenis – jenis burung.
c. Taman Buru Mata Osu denga tipe ekosistem savanna dan tipe ekosistem dataran rendah
merupakan satu rantai dengan kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai sehingga perlu
dijaga karakteristik kawasannya supaya tidak hilang.
d. Dibagian Desa Kastura ( Luas kawasan ), ada beberapa masyarakat desa yang pernah
melakukan perambahan di dalam kawasan, tim menemukan 5 (lima ) pondok wrga dalam
kawasan yang telah dikosongkan pemiliknya karena kasus perambahan tersebut telah
diproses hukum.
e. Usulan perubahan Taman Buru Mata Osu menjadi APL dengan alas an dapat dilepaskan
sebagai areal pemukiman , karena di daerah tersebut sudah banyak ditempati warga. Hasil
pengecekan dilapangan tidak terdapat pemukiman dalam kawasan, kecuali lokasi bekas
permabhan tersebut.
f. Usulan perubahan lainnya adalah di Taman Buru Mata Osu yang tidak cuckup besar, rencana
perubahan ini diperuntukkan untuk mengakomodasi kegiatan pertambangan.
Tinjauan Mengenai kawasan TWAL. Teluk Lasolo.

a. TWAL. Teluk Lasolo seluas 81.800 ha, memiliki sumber daya alam hayati dan ekosistem berupa
habitat satwa dilindungi seperti penyu hijau ( Chelonia mydas ), penyu sisik ( Eretmochelys
imbriata ) dan kima sisik ( Tridacna sguamosa). Merupakan kawasan karts dengan topografi
tinggi dengan kelerengan curam.
b. Permasalahan sewaktu penunjukan kawasan adalah SK Menhut No. 451/Kpts-II/1999 tanggal
17 Juni 1999 tentang perubahan fungsi dan penunujukan kawasan hutan lindung dan
perairan Teluk Lasolo seluas ± 81.800 ha yang terletak di kabupaten Tingkat II Kendari
Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara dengan frungsi hutan sebagai Taman Wisata
Alam Teluk Lasolo. Dengan SK. Menhut 454/ Kpts-II/1999 tanggal 17 Juni 1999 tentang tentang
penunjukan kawasan hutan dan perairan provinsi Sulawesi Tenggara.
c. Perubahan hutan konservasi dengan fungsi sebagai kawasan wisata alam (TWA Laut Teluk
Lasolo) menurut SK Menteri Kehutanan nomor 451/Kpts-II/1999 tanggal 17 Juni 1999 (tentang
perubahan fungsi dan penunjukkan TWAL Teluk Lasolo) yang meliputi Pulau Bahulu (Bahubulu),
Pulau Labengke dan sekitarnya sementara menurut SK. Menteri Kehutanan nomor 454/Kpts-
II/1999 tanggal 17 Juni 1999 (tentang penunjukan kawasan hutan dan perairan provinsi Sulawesi
Tenggara) dimana pada Pulau Bahulu dan Pulau Labengke berstatus hutan lindung, sementara
TWAL Laut Lasolo hanya pada wilayah peraiarannya saja. Karena itu dalam rencana alih fungsi
hutan ini akan diusulkan perubahan fungsi pada P. Bahulu dan P. Labengke menjadi hutan
produksi terbatas (HPT).
d. Klarikasi mengenai permasalahan SK Menhut tersebut telah diklairifikasi oleh Kepala Balai KSDA
Sultra melalui surat belum terjawab sampai saat ini.
e. Usul revisi hanya menyangkut Pulau Bahubulu, namun berkembang menjadi seluruh kawasan
( daratan dan lauitan ) dengan alasan masyarakat tidak dapat memanfaatkan kawasan laut
f. Kondisi penutupan vegetasi relative baik meskipun didominasi pohon-pohon berdiameter
relative kecil di mana seluruh pulau tertutup vegetasi. Di beberapa tempat terjadi kelongsoran
maupun bukaan oleh masyarakat. Pada tempat-tempat tertentu khususnya di bagian timur arah
utara terdapat pemukiman masyarakat Bajo baik yang ada di darat maupun di laut.
g. Hutan mangrove tumbuh baik terutama di bagian barat,. Masyarakat setempat mempunyai
mata pencaharian sebagai nelayan, termasuk pembudidayaan rumput laut dan kerangf
mutiara sehingga bergantung dengan keberadaan kawasan TWAL. Teluk Lasolo. Selain itu
kawasan TWAL. Teluk Lasolo sebagai TWAL sama dengan TWAL lainnya dapat dimanfaatkan
selain untuk kepentingan pariwisata alam.
Tinjauan Mengenai kawasan Suaka Margasatwa Tanjung Peropa

a. SM Tanjung Peropa dengan luas penetapan 38.937 ha merupakan tipe hutan campuran non
Dipterocarpaceae dengan komposisi hutan belukar, hutan pantai dan hutan bakau dan
merupakan habitat satwa liar yang dilindungi undang-undang seperti Anoa (Anoa sp), Maleo
(Macrocephalon maleo), Rangkong (Buchros rhinoceros).
b. Disamping berfungsi sebagai kawasan suaka terhadap satwa-satwa yang terdapat di dalamnya
dengan kondisi topograpi pegunungan, SM.Tanjung Peropa merupakan kawasan penyangga dan
penyeimbang tata hidrologis terhadap kawasan pemukiman yang berada di sekeliling kawasan
SM.Tanjung Peropa.
c. Pada tahun 2006, terjadi penyerobotan kawasan SM.Tj.Peropa di Kecamatan Lapuko dan Laonti
yakni pembukaan jalan oleh Dinas PU dan Tata Ruang Kabupaten Konawe Selatan dengan alas
an untuk membuka keterisoliran Kecamatan Laonti dari daerah-daerah kecamatan lain di
Kabupaten Konawe Selatan. Jalan yang dibuat pada tahun 2006 hingga tahun 2007
menghubungkan Kecamatan Lapuko dan Kecamatan Laonti menyebabkan kerusakan hutan di
kawasan tersebut seluas ± 20 ha yakni kawasan hutan lindung dengan penebangan pohon-
pohon untuk pembuatan jalan sepanjang ± 5,39 km dan kawasan hutan SM.Tanjung Peropa
sepanjang ± 17, 35 km.
d. Kasus penyerobotan kawasan tersebut telah diproses hukum namun belum ada kejelasan
hukum hingga saat ini. Dari hasil survey yang dilakukan oleh Balai KSDA Sultra, kondisi jalan
yang dibuat secara teknis sangat tidak layak disebabkan pada lokasi jalan yang dibuat, topografi
bergunung dengan ketinggian rata-rata 300 – 600 m dari permukaan laut. BKSDA Sultra bersama
Tim WWF telah turut mencari solusi dengan menawarkan jalan alternative melipir kawasan
sehingga tidak membelah kawasan dengan kondisi topografi yang landai dan akses manfaat
yang lebih baik sebab jalan alternative yang diberikan melewati beberapa desa di Kecamatan
Laonti di pesisir pantai.
e. Selain menawarkan solusi jalan alternative, BKSDA Sultra melakukan sosialisasi dan kampanye
peranan dan manfaat SM Tanjung Peropa kepada masyarakat melalui media cetak, radio dan tv
lokal.

You might also like