You are on page 1of 10

Makalah

AMANAT GALUNGGUNG

Oleh :

RISA FARIHATUL ILMA

Program Pasca Sarjana Magister (S2)


Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdhatul Ulama ( STAINU )
Jakarta
2015
AMANAT GALUNGGUNG

Sejarah sastra Sunda umumnya ditelusuri sampai pada berdirinya Kerajaan Pajajaran
pada abad ke-14. Ia memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan budaya Sunda. Ia
dianggap sebagai leluhur orang Sunda dan budayanya. Pada masanya Hindu dan Buddha
memainkan peran dominan dalam membentuk sastra Sunda. Sejumlah naskah Sunda
ditemukan pada abad ke-16 seperti Sewaka Darma, Sanghyang Siksa Kandang Karesian dan
Amanat Galunggung. Ia berisi semacam ensiklopedi kehidupan dan budaya Sunda beserta
kepercayaannya.1

Amanat Galunggung atau Amanat Prabuguru Darmasiksa adalah nama yang


diberikan untuk sekumpulan naskah yang ditemukan di Kabuyutan Ciburuy, Kabupaten
Garut, salah satu naskah tertua di Nusantara. Naskah Ciburuy ini di tulis pada abad ke 15
pada daun lontar dan nipah sebanyak 6 lembar di mana terdiri atas 13 halaman. Naskah ini
menggunakan bahasa dan aksara Sunda kuno. Naskah ini berisi mengenai etika dan budi
pekerti Sunda, yang disampaikan Rakyan Darmasiksa, Raja Sunda ke 25 penguasa
Galunggung kepada puteranya Ragasuci ( Sang Lumahing Taman ).2

Dalam sebuah buku Dyah Pitaloka3, Prabu Darmasiksa adalah seorang raja di negeri
Sunda yang memiliki gelar Prabu Guru Darmasiksa Paramarta Sang Mahapurusa. Nama
lainnya adalah Prabu Sanghyang Wisnu. Ia mempunyai 3 orang istri. Salah satunya adalah
seorang putri dari negeri Swarnabhumi4, salah satu keturunan

1
Jajang A. Rohmana, “Sastra Islam Nusantara: Puisi Guguritan Sunda Dalam Tradisi Keilmuan Islam Di Jawa
Barat”, Seminar Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS), Manado, 2015.
2
Agus Setya Pernana, “Naskah Amanat Galunggung” diambil dari
http://catranagara.blogspot.co.id/2009/09/naskah-amanat-galunggung.html pada tanggal 27 Mei 2016
3
Hermawan Aksan, Dyah Pitaloka: Korban Ambisi Politik Gajah Mada (Bandung: Pusatka Bentang, 2007), hlm.
92-96.

4
Sebagian ahli di zaman modern menyamakan Chryse versi Pomponius Mela sebagai Swarnadwipa, dan Chryse
versi Ptolemaeus sebagai Swarnabhumi. Bukit Barisan yang membujur sepanjang Pulau Sumatra terkenal
banyak menyimpan kandungan emas. Namun, emas juga cukup banyak ditemukan di Semenanjung Malaka.
Sementara itu, cendekiawan India, R.C. Majumdar, pada 1937 menyebut bahwa Suvarnabhumi merupakan
istilah yang digunakan oleh penulis India zaman kuna untuk menyebut, “Suatu tujuan perdagangan yang
letaknya di sebelah timur Samudra Hindia.” Lihat Reynold Sumayku, ” Sriwijaya, Swarnadwipa, dan
Swarnabhumi” dalam website National Geographic Indonesia
http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/09/sriwijaya-swarnadwipa-dan-swarnabhumi diakses pada 12 Juli
2016.
Sanggramawijayattunggawarman. Namanya adalah Suprabha Waijayatunggadewi. Dari putri
Sriwijaya ini, Prabu Darmasiksa diberi dua putra, yaitu Rakryan Jayadarma dan Rakryan
Ragasuci. Rakryan Jayadarma menikah dengan Dewi Singhamurti yang bergelar Dyah
Lembu Tal, putri Mahisa Cempaka dari Singosari, kemudain ia diboyong ke Kota Pakuan
yang saat itu merupakan ibukota negeri Sunda. Dari pernikahan ini mereka dikaruniai
seorang putra yang diberi nama Sang Nararya Sanggramawijaya atau Rakryan Wijaya.
Sayangnya, Rakryan Jayadarma yang sebenarnya putra mahkota negeri Sunda meninggal di
usia muda. Karena sedih ditinggal oleh suaminya, Dyah lembu Tal memohon kepada
mertuanya untuk kembali ke Singosari, bergabung dengan orang tuanya.

Dengan berat hati, Prabu Darmasiksa melepaskan kepergian Dyah Lembu Tal. Dalam
waktu yang berdekatan, Prabu Darmasiksa harus kehilangan anaknya yang menjadi putra
mahkota dan cucu kesayangannya. Rakryan Wijaya kemudian diasuh oleh Mahisa Cempaka
di lingkungan keraton Singasari. Rakryan Wijaya yang lebih kita kenal sebagai Raden Wijaya
adalah seorang pemuda yang tampan dan cerdas. Setelah dewasa ia diangkat menjadi
senopati di Singosari mendampingi pemerintahan Prabu Kertanegara. Raden Wijaya pernah
mengalahkan Prabu Jayakatwang sekaligus mengusir tentara Kubilai Khan yang datang untuk
menghancurkan Kartanegara. Karena jasanya itu, Raden Wijaya diberi hadiah sebidang tanah
di wilayah delta Sungai Brantas. Tanah hadiah itu kemudian diberi nama Wilwatikta. Berkat
kecerdasannya, ia berhasil mendirikan Kerajaan Majapahit.

Setelah dinobatkan menjadi raja pertama Majapahit dengan gelar Prabu Kertarajasa
Jayawardhana, ia berkunjung ke Pakuan di Kerajaan Sunda yang menjadi tanah kelahirannya,
sekaligus melepas kerinduan pada kakeknya, Prabu Darmasiksa. Prabu Darmasiksa sangat
terharu ketika tahu bahwa tamunya yang terhormat adalah Raja Majapahit yang tak lain
adalah cucunya sendiri. Meskipun tinggal beberapa hari, Raden Wijaya sangat merasakan
kasih sayang dari kakeknya dan ia juga diberi nasehat olehnya. Prabu darmasiksa memberi
nasihat kepada Raden Wijaya dan Rakryan Ragasuci. Nasihatnya adalah sebagai berikut:

“Jangan hendaknya cucunda mengganggu, menyerang, dan merebut negeri Sunda.


Sebab, aku sudah gariskan bila aku telah tiada kelak, negeri ini kuwariskan kepada
pamanmu, yaitu Rakryan Ragasuci. Meskipun Majapahit sudah menjelma menjadi
negeri yang jauh melebihi negeri Sunda, sudah selayaknyalah kedua negeri ini saling
membantu, bekerja sama dan saling mengasihi. Dengan demikian akan tercapai
keselamatan dan kebahagiaan di antara dua keluarga besar kita. Bila negeri Sunda
mengalami kesusahan, hendaknya Negeri Majapahit sungguh-sungguh memberikan
bantuan. Begitu pula sebaliknya.”5

Dengan demikian, jelas pula bahwa tanah Sunda dan Jawa telah bersaudara sejak lama.

Jika diurut bibit buit Rakyan Darmasiksa maka ditemukan muasal leluhurnya dari
Kendan. Jika kita menyoal masalah Kendan tentunya tidak dapat dilepaskan dari Galuh,
sehingga tak heran jika banyak masyarakat kita yang menafsirkan Amanat Galunggung ini
terkait erat dengan nilai-nilai yang berlaku umum di Galuh pada waktu itu. Sama halnya
dengan alur Carita Parahyangan yang mengisahkan Galuh, dibuat pada abad ke 16, satu abad
pasca Amanat Galunggung, naskah yang diberi nama Amanat Galunggung ini memulai
ceritanya dari alur Kerajaan Saunggalah I (Kuningan) yang diperkirakan telah ada pada awal
abad 8M. Masa tersebut tentunya terkait dengan kisah perebutan tahta Galuh oleh sesama
keturunan Wretikandayun, yakni antara anak-anak mandi minyak disatu pihak dan anak dari
Sempak Waja dan Jantaka. Sehingga secara politis, Sanggalah merupakan alternatif untuk
menyelesaikan pembagian kekuasaan diantara keturunan Wretikandayun, bahkan naskah ini
menjelaskan sisi dan perkembangan keturunan Wretikandayun diluar Galuh.

Seperti yang terinformasikan dalam naskah lama Pustaka Pararatwan I Bhumi


Jawadwipa dengan nama Saunggalah. Rajanya bernama Resiguru Demunawan kakak
kandung Purbasora (Raja di Galuh 716-732M). Ayahnyalah (Rahyang Sempakwaja yaitu
Penguasa Galunggung) yang mendudukkannya menjadi raja di Saunggalah I.

Tokoh yang mempunyai gelar Resiguru dalam sejarah Sunda hanya dipunyai oleh tiga
tokoh, yaitu Resiguru Manikmaya (Raja di Kendan, 536-568M), Resiguru Demunawan (di
Saunggalah I/Kuningan, awal abad 8M) dan Resiguru Niskala Wastu Kancana (Raja di
Kawali, 1371-1475M). Resiguru adalah gelar yang sangat terhormat bagi seorang raja yang
telah membuat/menurunkan suatu “AJARAN” (visi hidup, teh way of live) bagi acuan hidup
keturunannya.

Bila demikian halnya, maka tidak ayal lagi Resiguru Demunawan, tokoh cikal bakal
Kerajaan Saunggalah I pun mempunyai atau membuat suatu “AJARAN”. Keyakinan ini
dibuktikan oleh seorang keturunannya yang juga menjadi Raja di Saunggalah I (Kuningan)
dan kemudian pindah menjadi raja di Saunggalah II (Mangunreja/Sukapura) yaitu
PRABUGURU DARMASIKSA (1175-1297 M) yang memerintah selama 122 tahun.

5
Hermawan Aksan, Dyah Pitaloka, hlm. 95.
Prabuguru Darmasiksa pertama kali memerintah di Saunggalah I (persisnya sekarang
di desa Ciherang, Kec. Kadugede, Kab. Kuningan selama beberapa tahun) yang selanjutnya
diserahkan kepada puteranya dari istrinya yang berasal dari Darma Agung, yang bernama
Prabu Purana.

Kemudian Prabuguru Darmasiksa pindah ke Saunggalah II (sekarang daerah


Mangunreja di kaki Gunung Galunggung, Kabupaten Tasikmalaya), yang nantinya kerajaan
diserahkan kepada putranya yang bernama Prabu Ragasuci. Adapun Prabuguru Darmasiksa
diangkat menjadi Raja di Karajaan Sunda (Pakuan) sampai akhir hayatnya.

Dalam naskah Amanat Dari Galunggung diharapkan kita akan dapat menyebutnya
sebagai “AMANAT PRABUGURU DARMASIKSA” yang hanya terdiri dari 6 lembar daun
nipah. Didalam amanat ini tersirat secara lengkap apa visi hidup yang harus dijadikan
pegangan masyarakat dan menjadi citra jatidiri kita (khususnya Sukapura/Tasikmalaya), lebih
makronya lagi bagi orang Sunda yang kemudian mungkin merupakan kontribusi bagi
kepentingan kehidupan berbangsa dan bernegara yang berwawasaan Nusantara.

Amanat Galunggung berisi ajaran moral. Dalam naskah ini antara lain disebutkan
bahwa kabuyutan harus dipertahankan. Raja yang tidak bisa mempertahankan kabuyutan di
wilayah kekuasaannya lebih hina ketimbang kulit musang yang tercampak di tempat
sampah.6 Ia berisi semacam ensiklopedi kehidupan dan budaya Sunda beserta
kepercayaannya. 7

Dengan demikian, dalam tata politik dahulu kala, pusat-pusat kegiatan intelektual dan
keagamaan rupanya memiliki kedudukan yang sangat penting. Kabuyutan tampaknya
merupakan salah satu pilar yang menopang integritas negara, sehingga tempat itu dilindungi
oleh raja, bahkan dianggap sakral.

Berikut adalah poin-poin pokok pada halaman pertama naskah tersebut8:

 harus dijaga kemungkinan orang asing dapat merebut tanah kabuyutan (tanah yang
disakralkan)

6
Atep Kurnia, “Sinurat Ring Merega: Tinjauan atas Kolofon Naskah Sunda Kuna”, Jumantara, Vol. 3, No. 1,
Jakarta, 2012.
7
Saleh Danasasmita dkk., Sewaka Darma, Sanghyang Siksa Kandang Karesian dan Amanat
Galunggung,(Bandung: Proyek Sundanologi, 1987).
8
Dana Sasmita dkk., Amanat dari Galunggung, dikutip dari bumisangkala.blogspot.com pada 27 Mei 2016
 barang siapa yang dapat mendudukan Galunggung sebagai tanah yang disakralkan
akan memperoleh kesaktian, unggul perang, berjaya dan dapat mewariskan kekayaan
sampai turun temurun
 lebih berharga kulit lasun (musang) yang berada di tempat sampah dari pada putra
raja yang tidak mampu mempertahankan tanah airnya
 jangan memarahi orang yang tidak bersalah
 jangan tidak berbakti kepada leluhur yang telah mampu memper-tahankan tanah air
pada jamannya.

HALAMAN2
Pegangan Hidup:

 Perlu mempunyai kewaspadaan akan kemungkinan dapat direbutnya kemuliaan


(kewibawaan dan kekuasaan) serta kejayaan bangsa sendiri oleh orang asing.
 Perilaku Yang Negatif:
 Jangan merasa diri yang paling benar, paling jujur, paling lurus.
Jangan menikah dengan saudara.
Jangan membunuh yang tidak berdosa.
Jangan merampas hak orang lain.
Jangan menyakiti orang yang tidak bersalah.
Jangan saling mencurigai.
 Kandungan Nilai:
 Sebagai suatu bangsa harus tetap waspada, tidak boleh lengah jangan sampai ajaran
leluhur dihilangkani oleh ajaran asing.
Kebenaran bukan untuk diperdebatkan tapi untuk diaktualisasikan.
Pernikahan dengan saudara dekat tidak sehat.
Segala sesuatu harus mengandung nilai moral.

HALAMAN 3
Pegangan Hidup:
 Harus dijaga kemungkinan orang asing dapat merebut kabuyutan (tanah yang
disakralkan).
Siapa saja yang dapat menduduki tanah yang disakralkan (Galunggung), akan beroleh
kesaktian, unggul perang, berjaya, bisa mewariskan kekayaan sampai turun temurun.
Bila terjadi perang, pertahankanlah kabuyutan yang disucikan itu.
Cegahlah kabuyutan (tanah yang disucikan) jangan sampai dikuasai orang asing.
Lebih berharga kulit lasun (musang) yang berada di tempat sampah dari pada raja
putra yang tidak bisa mempertahankan kabuyutan/tanah airnya.
 Perilaku Yang Negatif:
 Jangan memarahi orang yang tidak bersalah.
Jangan tidak berbakti kepada leluhur yang telah mampu mempertahankan tanahnya
(kabuyutannya) pada jamannya.
 Kandungan Nilai:
 Tanah kabuyutan, tanah yang disakralkan, bisa dimaknai sebagai tanah air, tetapi yang
lebih esensi adalah ajaran di dalam dada.
Siapa yang bisa menjaga tanah airnya akan hidup bahagia.
Pertahankanlah eksistensi tanah air kita itu (ajaran). Jangan sampai dikuasai orang
asing.
Hidup harus memilikii etika.

HALAMAN 4
Pegangan Hidup:

 Hindarilah sikap tidak mengindahkan aturan, termasuk melanggar pantangan diri


sendiri.
Orang yang melanggar aturan, tidak tahu batas, tidak menyadari akan nasihat para
leluhurnya, sulit untuk diobati sebab diserang musuh yang “halus”.
Orang yang keras kepala, yaitu orang yang ingin menang sendiri, tidak mau
mendengar nasihat ayah (ILMU) dan ibu (TANAH AIR), tidak mengindahkan ajaran
moral (patikrama). Ibarat pucuk alang-alang yang memenuhi tegal.
 Kandungan Nilai:
 Hidup harus tunduk kepada aturan, termasuk mentaati “pantangan” diri sendiri. Ini
menyiratkan bahwa manusia harus sadar hukum, bermoral dan tahu batas serta dapat
mengendalikan dirinya sendiri.
Orang yang moralnya rusak sulit diperbaiki, sebab terserang penyakit batin
(kehawatiran & keinginan/ambisi), termasuk orang yang keras kepala (tidak berilmu).

HALAMAN 5
Pegangan Hidup:

 Orang yang mendengarkan nasihat leluhurnya akan tenteram hidupnya, berjaya.


Orang yang tetap hati seibarat telah sampai di puncak gunung.
Bila kita tidak saling bertengkar dan tidak merasa diri paling lurus dan paling benar,
maka manusia di seluruh dunia akan tenteram, ibarat gunung yang tegak abadi, seperti
telaga yang bening airnya; seperti kita kembali ke kampung halaman tempat berteduh.
Peliharalah kesempurnaan agama, pegangan hidup kita semua.
Jangan kosong (tidak mengetahui) dan jangan merasa bingung dengan ajaran
keutamaan dari leluhur.
Semua yang dinasihatkan bagi kita semua ini adalah amanat dari Rakeyan
Darmasiksa.
 Kandungan Nilai:
 Manusia harus rendah hati jangan angkuh.
Agama sebagai pegangan hidup harus ditegakkan.
Pengetahuan akan nilai-nilai peninggalan para leluhur harus didengar dan
dilaksanakan.

HALAMAN 6
Pegangan Hidup:

 Sang Raja Purana merasa bangga dengan ayahandanya (Rakeyan Darmasiksa), yang
telah membuat ajaran/pegangan hidup yang lengkap dan sempurna.
Bila ajaran Darmasiksa ini tetap dipelihara dan dilaksanakan maka akan terjadi:... See
More
- Raja pun akan tenteram dalam menjalankan tugasnya;
- Keluarga/tokoh masyarakat akan lancar mengumpulkan bahan makanan.
- Ahli strategi akan unggul perangnya.
- Pertanian akan subur.
- Panjang umur.
 SANG RAMA (tokoh masyarakat) bertanggung jawab atas kemakmuran hidup.
SANG RESI (cerdik pandai, berilmu), bertanggung jawab atas kesejahteraan.
SANG PRABU (birokrat) bertanggung jawab atas kelancaran pemerintahan.
 Perilaku Yang Negatif:
 Jangan berebut kedudukan.
Jangan berebut penghasilan.
Jangan berebut hadiah.
 Perilaku Yang Positif:
 Harus bersama- sama mengerjakan kemuliaan, melalui: perbuatan, ucapan dan itikad
yang bijaksana.
 Kandungan Nilai:
 Sebuah ajaran leluhur yang luhung harus menjadi kebanggaan bagi keturunannya.
Melaksanakan ajaran yang benar secara konsisten akan mewujudkan ketenteraman
dan keadil-makmuran.
Bila tokoh yang tiga (Rama, Resi dan Prabu), biasa disebut dengan Tri Tangtu di
Bumi (Tiga penentu di Dunia), berfungsi dengan baik, maka kehidupan pun akan
sejahtera.

HALAMAN 7
Pegangan Hidup:

 Kita akan menjadi orang terhormat dan merasa senang bila mampu menegakkan
agama/ajaran.
Kita akan menjadi orang terhormat/bangsawan bila dapat menghubungkan kasih
sayang/silaturahmi dengan sesama manusia.
Itulah manusia mulia karena menjadi paripurna.
Dalam ajaran patikrama (etika), yang disebut bertapa itu adalah beramal/bekerja, yaitu
apa yang kita kerjakan.
Buruk amalnya ya buruk pula tapanya, sedang amalnya ya sedang pula tapanya;
sempurna amalnya/kerjanya ya sempurna tapanya.
Kita menjadi kaya secara batin dan materi karena kita bekerja, berhasil tapanya.
 Perilaku Yang Positif:
 Tekad, ucapan dan tindakan haruslah bijaksana.
Harus bersifat hakiki/beresensi dalam keseharian, bersungguh-sungguh, memikat hati,
suka mengalah, murah senyum, berseri hati dan mantap bicara. Perilaku Yang
Negatif: Jangan berkata berteriak, berkata menyindir-nyindir.

Demikianlah Galunggung disebut sebagai kabuyutan, sebagai 'sanghyang tapak


Parahyangan' yang sangat dikeramatkan dan dijaga oleh para 'raja pandita' (Batara) yang
memiliki kekuasaan yang sangat tinggi di atas raja-raja biasa.

Kabuyutan-kabuyutan lain yang muncul terkemudian, yang merupakan 'turunan' dari


kabuyutan Galunggung banyak tersebar di wilayah Jawa Barat, diantaranya Denuh, Ciburuy,
Sumedang, Linggawangi, dan Panjalu. Seperti halnya di Galunggung, kabuyutan-kabuyutan
ini pun dipimpin oleh raja pandita bergelar Batara.

DAFTAR PUSTAKA

Danasasmita, Saleh. Sewaka Darma, Sanghyang Siksa Kandang Karesian dan Amanat
Galunggung. Bandung: Proyek Sundanologi, 1987)

Kurnia, Atep. “Sinurat Ring Merega: Tinjauan atas Kolofon Naskah Sunda Kuna”.
Jumantara. Vol. 3. No. 1. Jakarta. 2012

Rohmana, Jajang A. “SASTRA ISLAM NUSANTARA: PUISI GUGURITAN SUNDA


DALAM TRADISI KEILMUAN ISLAM DI JAWA BARAT”, Seminar Annual
International Conference on Islamic Studies (AICIS), Manado, 2015.

Aksan, Hermawan. Dyah Pitaloka: Korban Ambisi Politik Gajah Mada, Bandung: Pustaka
Bentang. 2007

You might also like