You are on page 1of 29

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Nyeri

1. Definisi

Menurut The International Association for The Study of Pain

(IASP) (1979), nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang

tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan baik aktual maupun

potensial atau yang digambarkan seperti itu. Dari definisi tersebut di atas,

didapat dua hal penting yang dapat disimak yaitu yang pertama adalah

adanya komponen inderawi yang melibatkan susunan sarat (fisik) dan

yang kedua adalah komponen emosional yang melibatkan kejiwaan

(psikologis). Hal ini sering dilupakan oleh dokter yang umumnya

menganggap nyeri hanya bersifat inderawi sehingga dengan memotong

alur perambatan nyeri maka selesailah persoalannya, padahal

kenyataannya tidak demikian (Tanra AH,2005).

Skala Analog Visual / Visual Analog Scale (VAS) adalah skala

untuk mengukur intensitas nyeri secara obyektif, diukur dengan nilai 0 –

10 dengan memberi katagori nilai sebagai berikut:

Tabel 2.1 Skala Analog Visual


Skala Interprestasi
0 Sama sekali tidak nyeri
1-3 Nyeri ringan
4–6 Nyeri sedang
7- 9 Nyeri berat
10 Nyeri tak tertahankan
Sumber: Morgan, 2006

5
perpustakaan.uns.ac.id 6
digilib.uns.ac.id

Berikut ini obat obat yang dapat digunakan untuk penanganan

nyeri pasca bedah :

a. Gabapentin

Gabapentin [1-(aminomethyl) cyclohexane acetic acid] adalah

analog struktural dari gamma-aminobutyric acid (GABA) yang

pertama kali diperkenalkan tahun 1994 sebagai obat antiepilepsi,

selanjutnya diketahui efektif untuk terapi nyeri kronik, penanganan

nyeri akut periode perioperatif, mencegahan nyeri kronik paska

operasi, ansiolisis, mencegah postoperative nausea and vomiting

(PONV). Hal tersebut menunjukkan pentingnya gabapentin dalam

penelitian dibidang anestesi dan menarik bahwa satu obat dapat

memiliki efek multimodal (Kong dan Irwin, 2007)

Gabapentin memiliki formula molekuler C6H17NO2 dengan

berat molekul 171.237 g/mol. Struktur gabapentin adalah sebagai

berikut:

CH2NH2

CH2CO2H

Gambar 2.1 Struktur gabapentin

Gabapentin adalah kristal solid putih dengan pKal: 3.7 dan

pKa2: 10.7. Gabapentin larut dalam air, larut dalam basa dan asam.

Koefisien partisi (n-octanol/0.05M phosphate buffer) pada pH 7.4

adalah -1.25 ( Kong dan Irwin, 2007).


perpustakaan.uns.ac.id 7
digilib.uns.ac.id

1) Mekanisme kerja

Gabapentin mempunyai struktur analog dari GABA dan

dapat menembus sawar darah otak ketika diberikan secara sistemik.

Gabapentin secara struktur berkaitan dengan neurotransmitter

gamma-aminobutyric acid (GABA) tetapi tidak memodifikasi

ikatan radioligand GABA A dan GABAB. Gabapentin tidak berubah

secara metabolisme menjadi GABA atau agonis GABA dan tidak

menghambat uptake atau degradasi GABA (Kong dan Irwin, 2007;

Usha et al, 2011).

Gabapentin mempunyai mekanisme kerja alternatif dalam

sistem saraf pusat dengan berikatan pada subunit 2 voltage

dependent calcium channels (VDCC), menghambat influk Ca2+

pada postsinaps atau menghambat influk Ca2+ presinaps, selanjutnya

menghambat pelepasan neurotransmiter eksitatori sehingga

menumpulkan transmisi sinaptik. Penurunan pelepasan

neurotransmiter eksitatori pada neuron yaitu neurotransmiter

glutamate dan neurotransmiter noradrenalin. Glutamate merupakan

neurotransmiter eksitatori paling penting dalam sistem saraf pusat.

Penurunan glutamat menyebabkan penurunan aktivasi reseptor

alpha-qmino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazole propionic acid

(AMPA) di otak. Noradrenlin merupakan neurotransmiter dalam

SSP dan sebagai hormon ketika dilepaskan dari glandula medula

adrenal. Noradrenergik pathways menghubungkan kortek serebal,


perpustakaan.uns.ac.id 8
digilib.uns.ac.id

sistem limbik dan batang otak. Noradrenalin berperan dalam

menentukan tingkat kewaspadaan dan mengatur sekresi glandula

pituitary. Penurunan noradrenalin diotak akan menurunkan tingkat

kewaspadaan dan berkurangnya kemampuan untuk bereaksi

terhadap stres (Martini, 2006b) Gabapentin menghambatan

pelepasan glutamate, aspartat, substansi P dan calcitonin gene -

related peptide dari medulla spinalis tikus (Kong dan Irwin, 2007).

2) Farmakokinetik

Absorpsi gabapentin bersifat dose-dependent dengan

mekanisme saturale L-amino acid transport dalam usus halus.

Setelah pemberian gabapentin dosis 300 mg dosis tunggal per oral

bioavaibilitasnya sekitar 60% dan dosis 600 mg bioavaibilitasnya

sekitar 40%. Gabapentin didistribusikan luas pada jaringan dan

cairan tubuh manusia, tidak terikat pada protein dan mempunyai

volume of distribution 0,6-0,8 liter/kg. Gabapentin terionisasi pada

pH fisiologi sehingga konsentrasi pada jaringan lemak rendah.

Setelah minum satu kapsul gabapentin 300mg, konsentrasi puncak

di plasma (C max) 2,7 ug/ml tercapai dalam 2-3 jam. Konsentrasi

pada cairan serebrospinal sekitar 5-35% dari plasma sedangkan

kosentrasi pada jaringan otak sekitar 80% dari plasma. Lama kerja

gabapentin sekitar 8 jam dan dosis 900 – 1800 mg per hari terbagi

dalam 3 dosis pemberian (Kong dan Irwin, 2007).


perpustakaan.uns.ac.id 9
digilib.uns.ac.id

Gabapentin tidak dimetabolisme, tidak menginduksi enzim

mikrosomal hepar, dieliminasi tanpa perubahan ke dalam urine dan

obat yang tidak diabsopsi dikeluarkan kedalam feses. Pada pasien

dengan fungsi renal normal, waktu paruh eliminasi gabapentin pada

pemberian monoterapi antara 4,8-8,7 jam (Kong dan Irwin, 2007).

3) Farmakodinamik

Pada sistem kardiovaskuer: hanya sedikit data yang ada pada

literature tentang pengaruh gabapentin pada sistem kardiovaskuler.

Pemberian gabapentin 1200 mg 1 jam sebelum operasi tidak

menunjukan efek TAR selama 0-24 jam. Pada sistem saraf pusat,

gabapentin menimbulkan efek analgesia, ansiolisis dan sedasi

(Kong dan Irwin, 2007).

4) Efek samping

Gabapentin umumnya ditoleransi baik. Evaluasi keamanan

dan toleransi gabapentin dievaluasi pada 2216 pasien yang

mendapat terapi kejang dilaporkan efek samping somnolen (15%),

dizziness (10,9%), asthenia (6%), nyeri kepala (4,8%), nausea

(3,2%), ataxia (2,6%), penambahan berat badan (2,6%) dan

amblyopia (2,1%). Efek samping yang sama juga terjadi pada pasien

nyeri kronis yang mendapat terapi gabapentin (Kong dan Irwin,

2007).
perpustakaan.uns.ac.id 10
digilib.uns.ac.id

5) Interaksi obat

Secara klinis tidak ada interaksi gabapentin dengan obat lain,

tidak dimetabolisme di hepar dan tidak menginduksi atau

menghambat aktivitas enzim hepar dan tidak berikatan dengan

protein. Interaksi obat dari gabapentin meliputi: alkohol,

hydrocodone, morphine dan naproxene dapat meningkatkan resiko

terjadinya efek samping seperti drowsiness atau dizziness

Cimetidine menurunkan kliren renal gabapentin sekitar 12%

bila diberikan bersama. Antasid mengurangi bioavaibilitas

gabapentin sekitar 10% (diberikan 2 jam sebelum gabapentin)

sampai 20% (diberikan bersama atau 2 jam setelah gabapentin pada

individu sehat (Kong dan Irwin, 2007).

b. Celecoxib

Celecoxib (kapsul Celebrex) adalah penghambat selektif COX-

2 dengan desain kimiawi 4-[5-(4-methylpheriyl)-3-(trifluoromethyl)-

lH-pyrazol-l-Yl] benzenesulfonamide dan struktur kimianya seperti

tampak pada gambar 2. Rumus kimia celecoxib adalah C17H14F2N3O2S

dan berat molekulnya 381.38 (Parsa AA.et al.2009).


perpustakaan.uns.ac.id 11
digilib.uns.ac.id

Gambar 2.2. Struktur kimia celecoxib.

1) Mekanisme kerja

Celecoxib merupakan OAINS yang menunjukkan aktivitas

anti inflamasi. analgesik. dan antipiretik pada model binatang.

Mekanisme kerja dari obat ini adalah melalui penghambatan

terhadap sintesis prostaglandin, utamanya melalui hambatan pada

COX-2. Pada kadar terapeutik tidak akan menghambat COX-1 .

2) Retensi cairan

Penghambatan terhadap sintesis PGE2 dapat menyebabkan

retensi natrium dan cairan melalui peningkatan reabsorbsi pada

medula ginjal dan segmen distal nefron. Di duktus koledukus.

PGE2 akan menghambat reabsorbsi dengan cara kerja berlawanan

aksi hormon anti diuretik .

3) Platelet

Celecoxib pada dosis tunggal sampai dengan 800 mg dan

dosis multipel 600 mg 2 kali perhari selama 7 hari (lebih tinggi dari

dosis terapi yang dianjurkan) tidak memiliki efek pada reduksi

agregasi platelet atau peningkatan pada waktu perdarahan. Karena


perpustakaan.uns.ac.id 12
digilib.uns.ac.id

lemahnya efek ini maka celecoxib tidak dapat digunakan

sebagai pengganti aspirin untuk pencegahan kardiovaskular .

4) Farmakokinetik

a) Absorbsi

Kadar puncak plasma (Cm) celecoxib ± 3 jam setelah

pemberian peroral. Kadar puncak ini akan memanjang 1-2 jam

ketika diberikan bersama dengan makanan tinggi lemak. dan

absorbsi totalnya akan meningkat 10-20%. Pemberian

bersama-sama dengan antasid yang mengandung alumunium

dan magnesium akan menyebabkan penurunan konsentrasi

plasma celecoxib sebanyak 37%. Konsumsi celecoxib sampai

dengan dosis 200 mg 2 kali perhari dapat diberikan tanpa

mempertimbangkan waktu makan. Pada dosis yang lebih

ringgi (400 mg 2 kali perhari) harus diberikan bersama makan

untuk meningkatkan absorbsi (Stoelting, 2006).

b) Distribusi

Pada subyek normal celecoxib berikatan sangat kuat

dengan protein (97%). Dalam penelitian in vitro berikatan

primer pada albumin, dan sangat sedikit dengan a 1-acid

glycoprotein. Celecoxib tidak berikatan dengan sel darah

merah (Stoelting, 2006).


perpustakaan.uns.ac.id 13
digilib.uns.ac.id

c) Metabolisme

Metabolisme celecoxib dimediasi melalui sitokrom P450

2C9. Ada 3 macam metabolit yang telah diketahui pada plasma

manusia yaitu alkohol, asam karboksilik, dan glukorinid. Ketiga

metabolit ini akan menjadi inaktif oleh penghambat COX-1 atau

COX-2 (Stoelting, 2006).

d) Ekskresi

Eliminasi utama celecoxib predominan oleh metabolisme

hepatik. Setelah pemberian oral, ± 57% dari dosisnya akan

diekskresi di feses dan 27% nya di urin. Metabolit utama yang

diekskresikan di feses dan urin adalah asam karboksilik (73%

dosis). Waktu paruh efektif celecoxib ± 11 jam (Stoelting,

2006).

5) Indikasi dan penggunaan

Mengingat keuntungan dan resikonya maka harus

dipertimbangkan secara hati-hati sebelum penggunaan celecoxib.

Gunakan dosis efektif terkecil dalam jangka pendek dengan tujuan

secara individu pada tiap pasien (Stoelting, 2006)

Celecoxib diindikasi untuk: 1) mengurangi tanda dan gejala

osteoarthritis dosis oral 200 mg/hari sebagai dosis tunggal atau

terbagi 100 mg/12 jam; 2) mengurangi tanda dan gejala arthritis

reumatoid pada dewasa dosis oral 100-200 mg/12 jam; 3)

mengurangi tanda dan gejala arthritis reumatoid juvenil pada


perpustakaan.uns.ac.id 14
digilib.uns.ac.id

pasien usia >2 tahun, dosis oral dengan berat badan >10 kg sampai

<25 kg adalah 50 mg. 12 jam. berat badan >25 kg adalah 100

mg/12 jam: 4) mengurangi tanda dan gejala spondilitis

ankilosing, dosis 200-400 mg/hari tunggal atau terbagi dan

diobservasi selama 6 minggu. jika tidak membaik gunakan pilihan

terapi lain; 5) manajemen nyeri akut pada dewasa, dosis initial 400

mg dapat diikuti 200 mg pada hari yang sama hari selanjutnya 200

mg/12 jam jika dibutuhkan; 6) mengobati dismenore primer, dosis

sama seperti pada nyeri akut; dan 7) mengurangi jumlah

adenomatous colorectal polyp pada familial adenomatous

polyposis, sebagai tambahan pada perawatan sebelumnya

(misalnya surveilan endoskopik, pembedahan), dosis oral 400 mg

12 jam diberikan bersama makanan (Stoelting, 2006).

c. Asetaminofen

Parasetamol banyak digunakan sebagai obat analgetik dan

antipiretik, dimana kombinasi parasetamol dengan opioid dapat

digunakan untuk penanganan nyeri berat paska pembedahan dan terapi

paliatif pada pasien-pasien penderita kanker. Onset analgesia dari

parasetamol 8 menit setelah pemberian intravena, efek puncak tercapai

dalam 30 – 45 menit dan durasi analgesia 4 – 6 jam serta waktu

pemberian intravena 2 – 15 menit. Parasetamol termasuk dalam

kelas “aniline analgesics” dan termasuk dalam golongan obat

antiinflamasi non steroid (masih ada perbedaan pendapat). Parasetamol


perpustakaan.uns.ac.id 15
digilib.uns.ac.id

memiliki efek anti inflamasi yang sedikit dibandingkan dengan obat

AINS lainnya. Akan tetapi parasetamol bekerja dengan mekanisme

yang sama dengan obat AINS lainnya (menghambat sintesa

prostaglandin). Parasetamol juga lebih baik ditoleransi dibandingkan

aspirin dan obat AINS lainnya pada pasien-pasien dengan sekresi asam

lambung yang berlebihan atau pasien dengan masa perdarahan yang

memanjang.

Gambar 2.3 Rumus Bangun Paracetamol

Dosis pada orang dewasa sebesar 500 – 1000 mg, dengan

dosis maksimum direkomendasi 4000 mg perhari. Pada dosis ini

parasetamol aman digunakan untuk anak-anak dan orang dewasa.

Mekanisme kerja utama dari parasetamol adalah menghambat

siklooksigenase (COX) dan selektif terhadap COX-2. Analgetik

dan antipiretik dari parasetamol sebanding dengan aspirin dan obat

AINS lainnya, akan tetapi aktifitas anti inflamasi perifernya

dibatasi oleh beberapa faktor, dimana diantaranya terdapat kadar

peroksida yang tinggi di lesi inflamasi. Oleh karena itu selektifitas

akan COX-2 tidak secara signifikan menghambat produksi pro-

clotting tromboxane. Parasetamol menurunkan bentuk oksidasi dari


perpustakaan.uns.ac.id 16
digilib.uns.ac.id

enzim COX, yang melindungi dari pembentukan kimiawi bentuk

pro-inflammatory. Ini juga akan di SSP, akibatnya menurunkan

batas menurunkan jumlah dari prostaglandin E2 ambang

hipotalamus di pusat termoregulasi (Goodman dan Gilman, 2007).

Parasetamol menghambat kerja COX dengan dua jalur,

yang pertama bekerja dengan cara menghambat COX-3 (variant

dari COX-1). Enzim COX-3 ini hampir sama dengan enzim COX

lainnya dengan menghasilkan kimiawi pro-inflammatory dan

penghambat selektif oleh parasetamol. Jalur kedua bekerja seperti

aspirin dengan memblok siklooksigenase, dimana didalam

lingkungan inflamasi dengan konsentrasi peroksida yang tinggi dan

melindungi aksi kerja parasetamol dalam keadaan oksidasi tinggi.

Ini berarti bahwa parasetamol tidak memiliki efek langsung pada

tempat inflamasi, akan tetapi bereaksi di SSP dimana keadaan

lingkungan tidak teroksidasi. Namun mekanisme kerja pasti dari

parasetamol di COX-3 masih diperdebatkan.

Bioavailibilitas dari parasetamol adalah 100%. Parasetamol

dimetabolisme di hati dengan tiga jalur metabolik, yakni

glucuronidation 40%, sulfation 20-40% dan N-hydroxylation serta

GSH konjugasi 15%, dengan obat dan metabolitnya diekskresikan

melalui ginjal.

Pada dosis yang direkomendasikan, parasetamol tidak

mengiritasi lambung, tidak mempengaruhi koagulasi darah atau


perpustakaan.uns.ac.id 17
digilib.uns.ac.id

fungsi ginjal. Parasetamol dipercaya aman digunakan pada wanita

hamil (tidak mempengaruhi penutupan ductus arteriosus), tidak

seperti efek yang ditimbulkan oleh penggunaan obat AINS. Tidak

seperti aspirin, parasetamol tidak berhubungan dengan resiko

penyebab sindroma Reye pada anak-anak dengan penyakit virus .

Satu-satunya efek samping dari penggunaan parasetamol adalah

resiko terjadi hepatotoksik dan gangguan gastrointestinal pada

penggunaan dosis tinggi, yaitu diatas 20.000 mg perhari (Goodman

dan Gilman, 2007).

B. Nyeri Pasca Bedah

Dari segi perjalanan waktu, nyeri terbagi atas nyeri akut dan nyeri

kronik, di mana nyeri pascabedah, termasuk dalam nyeri akut. Nyeri akut

selalu disebabkan oleh adanya kerusakan jaringan (nosiseptif), sedangkan

nyeri kronik tidak selalu disebabkan adanya nosiseptif ini. Nyeri akut yang

tidak diatasi secara baik bisa berkembang menjadi nyeri kronik. Oleh sebab

itu, ada yang membagi nyeri ini atas nyeri nosiseptif dan nyeri nonnosiseptif

(Dellemijn PLI., 2006).

Woolf membedakan nyeri atas nyeri fisiologik dan nyeri patologik.

Nyeri fisiologik dikategorikan sebagai suatu sensasi normal, yang terjadi

karena ada rangsang noksius misalnya karena kita meraba benda panas atau

dingin dan kalau ada cubitan. Sementara itu, nyeri patologik dikategorikan
perpustakaan.uns.ac.id 18
digilib.uns.ac.id

sebagai akibat dari suatu sensasi abnormal, yang terjadi karena ada kerusakan

jaringan (Tanra AH, 2005).

Merskey menggunakan istilah nyeri neuropatik yang dijelaskannya

sebagai nyeri yang disebabkan oleh lesi primer dan disfungsi pada sistem saraf

(Merskey H.1994).Oleh sebab itu, Vadivelu memberikan klasifikasi nyeri atas

nyeri fisiologis, nyert nosiseptif (nyeri inflamasi), dan nyeri neuropatik. Nyeri

nosiseptif adalah nyeri yang disebabkan oleh rangsang noksius akibat

kerusakan jaringan, misalnya sesudah pembedahan, trauma, atau perlukaan.

Nyeri nosiseptif disebut juga nyeri inflamasi karena penyebabnya juga karena

proses inflamasi dan mediator inflamasi yang memulai dan melanjutkan

proses inflamasi. Intensitas nyeri nosiseptif tergantung luasnya kerusakan

jaringan dan jumlah mediator inflamasi yang dihasilkan (Vadivelu N,Whitney

C,Sinatra R.,www.cambridge.org).

Nyeri neuropatik adalah suatu nyeri yang disebabkan oleh suatu lesi

patologik ataupun disfungsi pada saraf perifer dan atau saraf sentral. Nyeri

neuropatik dibagi lagi atas nyeri neuropatik perifer untuk nyeri yang lesi

primer dan disfungsinya terjadi pada susunan saraf perifer, dan nyeri

neuropatik sentral untuk nyeri yang lesi primer dan disfungsinya terjadi pada

susunan saraf sentral (Tanra AH, 2005).

Sebagaimana telah diutarakan di atas, nyeri karena pembedahan atau

nyeri pascabedah termasuk dalam nyeri nosiseptif karena kerusakan jaringan

dan karena adanya proses inflamasi. Nyeri pascabedah dimulai primer karena

adanya nosisepsi yang timbul akibat kerusakan jaringan atau perlukaan.


perpustakaan.uns.ac.id 19
digilib.uns.ac.id

Nosisepsi ini diterima oleh nosiseptor yang terdapat dan tersebar di seluruh

tubuh kita, misalnya kulit, subkutis, pembuluh darah, otot, fasia, periosteum,

visera, dan lain-lain. Nosiseptor ini adalah reseptor penerima nyeri, yang

bentuknya hanya merupakan simple nerve ending (Tanra AH, 2005).

Nosisepsi yang menyebabkan rangsangan nyeri pada nosiseptor ini

bisa disebabkan oleh rangsang mekanis dan rangsang termal, tetapi bisa juga

karena substansi algogenik, yaitu beberapa mediator yang diproduksi oleh

jaringan yang rusak dan yang mengalami inflamasi (Tanra AH, 2005)

Kerusakan jaringan tubuh karena pembedahan dan reaksi inflamasi

pada jaringan tersebut akan mengeluarkan beberapa mediator antara lain H+,

K+, ATP, asetilkolin, serotonin, histamin, bradikinin, dan prostaglandin.

Mediator ini akan menyebabkan sensitisasi sistem saraf sensorik (Tanra AH,

2005).

Di perifer terjadi penurunan nilai ambang reseptor nyeri (nosiseptor)

yang disebut sensitisasi perifer, sedangkan di sentral terjadi peningkatan

eksitabilitas neuron spinal yang disebut sensitisasi sentral. Dengan demikian,

nyeri di sini terjadi karena adanya sensitisasi perifer dan sentral. (Tanra

AH.2005).

Mekanisme Persepsi Nyeri

Rangsangan nyeri dari perifer yang mengakibatkan sensitisasi perifer

melalui proses elektrofisiologik akan menyebabkan sensitisasi sentral dan

akan menimbulkan persepsi nyeri di sentral melalui 4 proses, yaitu:


perpustakaan.uns.ac.id 20
digilib.uns.ac.id

1. Proses transduksi, di mana suatu rangsang nyeri (noksius) diubah menjadi

suatu aktivitas listrik yang akan diterima oleh ujung-ujung saraf (nerve

endings).

2. Proses transmisi, di mana rangsang merambat melalui saraf sensorik.

3. Proses modulasi, di mana terjadi interaksi antara rangsang nyeri yang tiba

pada kornu posterior dengan sistem analgetik endogen seperti endorfin.

4. Proses persepsi, merupakan hasil akhir dari interaksi tadi dengan

dihasilkannya suatu perasaan subjektif yang disebut nyeri.

Gambar 2.4 Pain Pathway

1. Proses transduksi

Proses transduksi dijelaskan sebagai reaksi dari nosiseptor perifer

terhadap rangsang trauma berupa mekanik, termal, atau kimiawi yang

berpotensi merusak. Rangsang noksius akan menyebabkan depolarisasi


perpustakaan.uns.ac.id 21
digilib.uns.ac.id

listrik pada ujung nosiseptor. Sebagai mediator noksius perifer di sini bisa

karena bahan yang dilepaskan dari sel-sel yang rusak selama perlukaan,

ataupun sebagai akibat reaksi humoral dan neural karena perlukaan (Tanra

AH, 2005).

Kerusakan selular pada kulit, fasia, otot, tulang, dan ligamentum

mengakibatkan dari intraselular dilepaskan ion hidrogen (H+) dan ion

kalium (K+) serta arachidonic acid (AA = asam arakidonat) sebagai

akibat lisis dari membran sel. Penumpukan asam arakidonat memicu

pengeluaran enzim cyclooxygenase-2 (COX-2), yang akan mengubah

asam arakidonat menjadi prostaglandin E2, prostaglandin G2, dan

prostaglandin H2. Prostaglandin E2 dan mediator yang lain ini akan

menyebabkan sensitisasi saraf perifer (Vadivelu N, Whitney C,Sinatra

R.www.cambridge.org).

Selain prostaglandin, dari jaringan yang mengalami kerusakan

juga dilepaskan leukotrien, 5-hydroxytryptamine (5-HT), bradikinin (BK),

dan histamin yang banyak berpengaruh pada terjadinya sensitisasi primer

dan sekunder (Pogatzki E, 2007).

Pada daerah lokal dengan dilepaskannya substansi tersebut di atas

akan terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah, mulai terjadi

edema neurogenik, iritabilitas nosiseptor meningkat, dan menyebabkan

aktivasi ujung nosiseptor yang berdekatan. Semua ini akan menghasilkan

suatu keadaan sensitisasi perifer yang disebut hiperalgesia primer. Hal ini

lebih ditingkatkan dengan mediator noksius humoral dan reaksi neural.


perpustakaan.uns.ac.id 22
digilib.uns.ac.id

Hiperalgesia adalah gejala di mana stimulus noksius yang dalam keadaan

normal menyebabkan nyeri, tetapi dalam keadaan ini stimulus tersebut

menyebabkan perasaan sangat nyeri. Akibat stimulus ini ada juga gejala

yang disebut alodinia. Alodinia adalah gejala di mana stimulus yang

dalam keadaan normal tidak menyebabkan nyeri, tetapi dalam keadaan ini

stimulus tersebut menyebabkan nyeri. Hiperalgesia diklasifikasikan atas:

a. Hiperalgesia primer, di mana terjadi sensitisasi pada nosiseptor

perifer.

b. Hiperalgesia sekunder, di mana terjadi sensitisasi di spinal cord dan

susunan saraf pusat dan menyebabkan gejala alodinia.

Bradikinin, 5-HT, dan mediator primer lainnya akan menstimulasi

sensitisasi ujung saraf dan menyebabkan pelepasan peptida dan

neurokinin seperti calcitonin gene related protein (CGRP), substance P

(sP), dan cholecystokinin (CCK) di tempat dan di sekitar perlukaan.

Substansi P, sebaliknya, akan meningkatkan sensitisasi perifer dengan

meningkatkan pelepasan bradikinin, histamin, dan 5-HT (Woolf CJ,1999)

Substansi P dan CGRP dihasilkan dari sel tubuh pada nosiseptor

primer yang berlokasi pada akar dari ganglion dorsal. Substansi ini

melalui transpor aksonal diteruskan ke ujung saraf perifer dan ujung saraf

sentral, dan akan memulai proses hiperalgesia (Woolf CJ, 1999).

Bila dilepas diujung saraf perifer CGRP akan meningkatkan

prostaglandin E dan histamin, yang menyebabkan terjadinya proses

inflamasi berupa vasodilatasi pembuluh darah, peningkatan permeabilitas


perpustakaan.uns.ac.id 23
digilib.uns.ac.id

kapiler, serta ekstravasasi protein plasma. Dia juga memperpanjang efek

dari substansi P dengan menghambat hancurnya metabolik perifer

(Cousins MJ.Cited at http://www.wfsa.ox.ac.uk)

Refleks eferen simpatis juga akan melakukan reaksi terhadap

sensitisasi nosiseptor dengan melepaskan norepinefrin yang menyebabkan

vasokonstriksi pembuluh darah pada tempat perlukaan. Norepinefrin ini

juga akan menstimulasi pelepasan bradikinin dan substansi P (Woolf

CJ,1999)

Perlukaan jaringan akut juga menyebabkan peningkatan sintesis

dan ekstravasasi sitokin proinflamasi dari humoral, seperti interleukin-16

(IL-1B), interleukin-6 (IL-6), tumor necrosis factor a (TNF-a tumor), dan

nerve growth factor (NGF). Sitokin ini juga berperan pada eksaserbasi

edema dan juga merupakan salah satu komponen iritatif dari nyeri

inflamasi. Dari penelitian didapatkan bahwa peningkatan kadar

interleukin-lB ditemukan pada keadaan alodinia, dan pemberian analgesia

pascabedah yang efektif ternyata menurunkan kadar sitokin proinflamasi.

Juga didapatkan bahwa polimorfisme genetik mempengaruhi produksi

sitokin proinflamasi, dan oleh karena itu, intensitas nyeri serta kebutuhan

analgetik pascabedah berbeda bagi setiap individu (Vadivelu N et

all.www.Cambridge.org).

Interleukin-lB ini juga akan menginduksi enzim COX-2.

Sementara itu, pembentukan prostaglandin dari asam arakidonat

memerlukan bantuan enzim COX-2 ini. Dengan demikian, interleukin-lB


perpustakaan.uns.ac.id 24
digilib.uns.ac.id

juga menyebabkan peningkatan pembentukan prostaglandin E2 (Lelo A,

Ichwan M.2004) .

Mediator inflamasi dan sitokin proinflamasi tersebut melakukan

aktivasi terhadap ion channel dari transient receptor potential (TRP). Ada

4 unit reseptor yang mengandung ion channel sentral dan memungkinkan

masuknya Ca2+dan\Na+. Masuknya Ca2+ melalui ion channel TRP

menimbulkan potensi elektrik, yang menyebabkan depolarisasi segmen

aksonal distal dan menghasilkan potensial aksi yang akan diteruskan ke

sentral. Dengan demikian, rangsang nyeri pada nosiseptor dihantar oleh

serabut perifer ke sistem saraf pusat (Woolf CJ, 1999).

Serabut saraf penghantar nyeri ini dibedakan atas serabut saraf

yang diameternya besar dan yang kecil, serta serabut saraf yang bermielin

dan yang tidak. Konduksi nyeri lebih cepat pada serabut saraf yang besar

dan bermielin, dan lebih lambat pada serabut saraf yang kecil dan tidak

bermielin. Aferen dari serabut saraf perifer dibagi atas 3 kelompok, yaitu

kelompok A, B, dan C. Kelompok A adalah serabut saraf yang bermielin

dan berdiameter lebih besar, kelompok B merupakan serabut saraf

bermielin dari preganglionik saraf otonom, sedangkan kelompok C

merupakan serabut saraf tak bermielin. Kelompok A ini sesuai besarnya

dibagi lagi atas 4 subkelompok, yaitu alfa, beta, gama dan delta. Dari

seluruh kelompok serabut saraf ini, hanya serabut saraf A delta dan C

yang membawa konduksi nyeri (Pogatzki E, 2007).


perpustakaan.uns.ac.id 25
digilib.uns.ac.id

Konduksi nyeri yang dihantar oleh serabut saraf A delta lebih

cepat dan terasa sebagai nyeri yang tajam, jitu, dan lokalisasinya jelas,

serta tidak berlangsung lama, disebut sebagai fast conduction, sedangkan

nyeri yang dihantar oleh serabut saraf C lebih lambat dan terasa sebagai

nyeri yang tumpul dan lokalisasinya samar-samar, serta berlangsung lebih

lama, disebut sebagai slow conduction (Pogatzki E, 2007)

Aferen dari kedua saraf ini menuju sentral dan melakukan sinaps

dengan sel second order pada kornu dorsalis medula spinalis. Dari kornu

dorsalis impuls ini melalui aferen ascending menuju thalamus (Vadivelu

N,www.cambridge.org).

2. Proses transmisi

Pada proses transmisi impuls noksius dari nosiseptor primer

diteruskan ke sel di dalam kornu dorsalis medula spinalis. Serabut saraf A

delta dan serabut saraf C memiliki proyeksi di distal yang dikenal sebagai

ujung nosiseptif, sedangkan ujung proksimalnya akan masuk ke dalam

kornu dorsalis medula spinalis dan bersinaps dengan second-order neuron

yang berlokasi dominan dalam lamina II (substantia gelatinosa) dan

dalam lamina V (nucleus proprius). Neuron kornu dorsalis terdiri dari

first-order neuron yang merupakan akhir dari serabut aferen pertama

(presinaptik), dan second-order 1 neuron yang menerima rangsang dari

neuron pertama (pascasinaptik). Proses modulasi nyeri diperankan oleh

second-order neuron ini, yang memfasilitasi atau menghambat masuknya

suatu rangsang noksius (Turan A, 2004).


perpustakaan.uns.ac.id 26
digilib.uns.ac.id

Second-order neuron juga terdiri atas 2 jenis, yaitu:

a. Nociceptive-specific neuron (NS) yang berlokasi dalam lamina I dan

bereaksi terhadap rangsang dari I serabut saraf A delta dan serabut

saraf C.

b. Wide-dynamic range neuron (WDR) yang berlokasi dalam lamina V

dan bereaksi terhadap rangsang noksius ataupun rangsang nonnoksius,

dan yang menyebabkan menurunnya respond threshold serta

meningkatnya receptive field, sehingga terjadi peningkatan sinyal

transmisi ke otak dan terjadi persepsi nyeri. Perubahan ini terjadi

karena perubahan pada kornu dorsalis sebagai akibat kerusakan

jaringan serta proses inflamasi, dan disebut sensitisasi sentral.

Sensitisasi sentral ini akan menyebabkan neuron- neuron menjadi

lebih sensitif terhadap rangsang lain dan menimbulkan gejala-gejala

hiperalgesia dan alodinia (Turan A, 2004).

Hal ini menunjukkan bahwa susunan saraf pusat tidak bersifat

kaku, tetapi bersifat seperti plastik (plastisitas) yang dapat berubah

sifatnya karena ada kerusakan jaringan atau inflamasi (Woolf CJ, 1999)

Stimulus dengan frekuensi rendah menghasilkan reaksi dari neuron WDR

berupa transmisi sensoris tidak nyeri, tetapi stimulus dengan frekuensi

yang lebih tinggi akan menghasilkan transmisi sensoris nyeri. Neuron

WDR ini dihambat oleh sel inhibisi lokal di substansia gelatinosa dan dari

sinaptik desendens. Impuls noksius dari nosiseptor perifer akan diteruskan

sampai ke neuron presinaptik. Di neuron presinaptik impuls ini akan


perpustakaan.uns.ac.id 27
digilib.uns.ac.id

mengakibatkan Ca2+ akan masuk ke dalam sel melalui Ca2+ channel.

Masuknya Ca2+ ke dalam sel ini menyebabkan dari ujung neuron

presinaptik dilepaskan beberapa neurotransmiter seperti glutamat dan

substansi-P (neurokinin). Dari ujung presinaptik serabut saraf A delta

dilepaskan neurotransmiter golongan asam amino seperti glutamat dan

aspartat, sedangkan dari ujung presinaptik serabut saraf C dilepaskan

selain neurotransmiter golongan asam amino, juga neurotransmiter

golongan peptida seperti substansi-P (neurokinin), calcitonin gene related

protein (CGRP), dan cholecystokinin (CCK). Selama pembedahan

stimulus noksius dihantar melalui kedua serabut saraf tersebut, sedangkan

pada periode pascabedah dan pada proses inflamasi stimulus noksius

didominasi penghantarannya melalui serabut saraf C (Woolf CJ,1999)

Neurotransmiter seperti glutamat dan substansi-P yang dilepaskan

di presinaptik ini akan berperan pada transmisi sinaptik. Asam amino

yang menyebabkan eksitasi dan berperan pada transmisi sinaptik dan

depolarisasi neuronal yang cepat, seperti glutamat dan aspartat akan

melakukan aktivasi terhadap reseptor amino-3-hydroxyl-5-methyl-4-

proprionic acid (AMPA) dan reseptor kainite (KAR). Reseptor AMPA

terdiri dari 4 subunit dengan lokasi pengikatan glutamat yang

mengelilingi cation channel di sentral (Woolf CJ,1999).

Pengikatan glutamat ini akan menyebabkan aktivasi reseptor,

membuka channel, dan memungkinkan berpindahnya ion Na+ ke dalam

sel. Meningkatnya perpindahan ion Na+ akan menyebabkan depolarisasi


perpustakaan.uns.ac.id 28
digilib.uns.ac.id

neuron second-order dan memungkinkan sinyal noksius berpindah secara

cepat ke lokasi supraspinal dari persepsi. Reseptor KAR juga ikut dalam

eksitasi pascasinaptik, tetapi dibandingkan dengan AMPA sedikit

peranannya dalam sinyal sinaptik sesudah stimulus noksius. Dalam

keadaan stimulasi noksius frekuensi tinggi yang terus-menerus aktivasi

reseptor AMPA dan KAR akan merangsang reseptor N-methyl-D-aspartic

acid (NMDA) (Woolf CJ, 1999).

Bila reseptor non-NMDA memegang peranan pada informasi

sensoris yang fisiologis, reseptor NMDA memegang peranan pada

perubahan patofisiologis seperti pada mekanisme yang disebut wind-up,

yaitu ia melakukan fasilitasi sehingga terjadi sensitisasi sentral. Oleh

karena itu, obat-obat seperti ketamin dan dekstrometorfan yang

mempunyai efek menghambat reseptor NMDA bila diberikan pada

penderita yang mengalami pembedahan dapat membantu mengurangi

pemakaian obat analgetik pascabedah (Woolf CJ,1999).

Reseptor NMDA terdiri dari 4 subunit, yaitu 2 subunit NR1, 1

subunit NR2A, dan 1 subunit NR2B yang mengatur masuknya Na+ dan

Ca2+ ke dalam sel dan keluarnya K+ melalui suatu ion channel. Bagian

ekstraselular subunit NR2 mempunyai tempat pengikatan glutamat

sedangkan glycine mengikat pada subunit NR1 (Woolf CJ, 1999).

Aktivasi reseptor NMDA memerlukan induksi depolarisasi membran

dari reseptor AMPAdan pengikatan glutamat atau aspartat pada reseptor.

Aktivasi reseptor AMPA akan memulai suatu excitatory postsynaptic


perpustakaan.uns.ac.id 29
digilib.uns.ac.id

potentials (EPSPs) dan menghasilkan suatu depolarisasi yang cukup dan

mampu untuk mengeluarkan sumbatan ion magnesium yang dalam keadaan

normal menutup ion channel NMDA. (Woolf CJ,1999).

Pemindahan ion Mg2+ akan menyebabkan masuknya ion Ca2+ ke

dalam sel. Aktivasi reseptor NMDA lebih lanjut karena sensitisasi oleh

pengikatan glutamat pada tempat pengikatannya. Akumuiasi penumpukan

Ca2+ intraselular akan mempengaruhi perubahan neurochemical dan

neurofisiologi yang akan mempengaruhi proses nyeri akut. Neuron spinal

second-order akan menjadi sangat sensitif dan cepat terangsang oleh

rangsang sensoris selanjutnya, dan proses ini disebut wind-up. Aktivasi

NMDA, wind-up, dan sensitisasi sentral menjadi penyebab dari

hiperalgesia sekunder (Dahl JB,2004).

Neurotransmiter golongan peptida seperti substansi-P berperan

pada lama dan panjangnya waktu depolarisasi dari neuron second-order

komu dorsalis. Substansi-P terikat pada reseptor metabotropik neurokinin-

1 (NK-1) dan sinergis melakukan aktivasi neuron NMDA serta diperlukan

untuk terjadinya potensi yang lebih lama (Dahl JB,2004).

Masuknya ion Ca2+ ke dalam intraselular juga menyebabkan

aktivasi enzim seperti nitric oxide synthese (NOS) dan COX-2. Ca2+

intraselular akan berikatan dengan kalmodulin menjadi Ca-kalmodulin.

Ca-kalmodulin akan mengaktivasi enzim NOS yang berperan dalam

merubah arginin menjadi sitrulin dan nitric oxyde (NO). Dalam keadaan

normal NO dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi sel yang normal,


perpustakaan.uns.ac.id 30
digilib.uns.ac.id

tetapi dalam keadaan yang berlebihan NO dapat bersifat neurotoksik yang

akan merusaksel saraf itu (Dahl JB, 2004).

Sintesis protein pada fase akut bersama dengan meningkatnya

prostaglandin-E dan NO intra- dan ekstraselular berperan pada sensitisasi

sentral dan plastisitas neural serta melakukan fasilitasi transmisi nyeri

(Dahl JB, 2004).

3. Proses modulasi

Proses modulasi dinyatakan sebagai mekanisme hambatan

(inhibisi) terhadap nyeri di dalam kornu dorsalis medula spinalis dan di

tingkat lebih tinggi di brain stem dan mid brain. Di dalam medula spinalis

mekanisme inhibisi terhadap transmisi nyeri terjadi pada sinaps pertama

antara aferen noksius primer dan sel -sel WDR dan NS dari second-order,

dengan demikian mengurangi penghantaran spinotalamus dari impuls

noksius. Modulasi spinal dimediasi oleh kerja inhibisi dari senyawa

endogen yang mempunyai efek analgetik, yang dilepaskan dari

interneuron spinal dan dari ujung terminal akson yang mempunyai sifat

inhibisi yang turun (desendens) dari central gray locus ceruleus dan dari

supraspinal yang lain. Analgesik endogen itu adalah enkephalin (ENK),

norepinephrine (NE), dan gamma aminobutyric acid (GABA). Analgesik

endogen ini akan mengaktifkan reseptor opioid, alpha adrenergic, dan

reseptor yang lain, yang bekerja melakukan inhibisi pelepasan glutamat

dari aferen nosiseptif primer atau mengurangi reaksi post sinaptik dari

neuron second-order NS atau WDR. Proses modulasi adalah proses


perpustakaan.uns.ac.id 31
digilib.uns.ac.id

interaksi antara mediator yang menyebabkan eksitasi dan efek inhibisi dari

analgesik endogen (Turan A, 2004).

Opioid endogen seperti enkephalin dan endorphin akan melakukan

modulasi transmisi nyeri. Selain itu, sebagian sitokin seperti interleukin-lB

yang terbentuk di perifer, bersama aliran darah akan sampai ke sistem

saraf pusat, dan dia juga akan menginduksi COX-2 di dalam neuron otak

sehingga terbentuk juga prostaglandin E-2 yang juga mengakibatkan

perasaan nyeri (Turan A, 2004).

Namun, di dalam sistem saraf pusat sitokin interleukin-lB

memberikan efek yang berbeda,tergantung besamya jumlah sitokin

tersebut. Sitokin dalam jumlah yang sedikit justru akan merangsang efek

hiperalgesia, tetapi dalam jumlah yang banyak/besar akan memberikan

efek analgesia. Selain itu, sitokin dalam jumlah yang besar akan

berpotensiasi dengan pengeluaran endorfin dalam darah, yang akan

memberikan efek analgesia (Lelo A,2004).

4. Proses Persepsi

Proses persepsi noksius adalah hasil dari proses-proses

sebelumnya, yaitu yang dimulai dari perifer dan meluas ke atas ke

neuraksis dan berakhir di regio supraspinalis untuk dilakukan interpretasi.


perpustakaan.uns.ac.id 32
digilib.uns.ac.id

C. Kerangka Berpikir

Nyeri Pasca Bedah


Ortopedi Anggota Gerak
Bawah

Gabapentin Asetaminofen
Celecoxib
Sistem Saraf
Sentral
Sistem Saraf
Perifer

Menghambat Simpatolitik Relaksasi Menghambat Menghambat


pelepasan sentral pelepasan sintesis
glutamat substansi P, prostaglandin
calcitonin
gene-related
peptide

Nilai Ambang
Nyeri

Nyeri ( - )

Gambar 2.5. Kerangka Berpikir


perpustakaan.uns.ac.id 33
digilib.uns.ac.id

D. Hipotesis

Ada perbedaan efektivitas pada kombinasi gabapentin dan celecoxib

dengan kombinasi gabapentin dan asetaminofen untuk nyeri pasca bedah

ortopedi anggota gerak bawah.

You might also like