You are on page 1of 2

Ambonku, Ambon Kita

“ Kapata Manis e, Nyong Ambon Hitam Manis Anak Para Kapitan”


( Yan. Hatulely )

Nama saya Kapata Manis e. Saya seorang anak dari timur Indonesia. Tepatnya, Ambon
adalah tanah kelahiranku. Di pulau yang menurut cerita kakekku adalah negeri para kapitan,
begitu banyak nyiur melambai dan gelombang laut yang setiap kali menyentuh bibir pantai
membuat aku bangga dipanggil “Manise”. Tetapi, sering kali ketika bermain bersama teman-
temanku mereka sering memanggilku “Maniso” dan terkadang membuat saya naik darah namun
saya selalu teringat janji kakekku “nyong Ambon itu muka jahat, tetapi hati paling bae”1.
Seperti kebanyakan anak laki-laki seusiaku, saya suka sekali bertelanjangkan badanku.
Tidak tahu mengapa? Tetapi, itulah yang membuat kulit tubuhku hitam. Ayah saya seorang
nelayan dan petani yang selalu menghabiskan waktu di laut dan di kebun. Tak jarang juga saya
ikut mendayung sampan bersama Ayah, mencari ikan sebagai salah satu lauk pelengkap makan
kita sekeluarga. Saya, senang ketika diajak Ayah ke kebun. Setidaknya saya dapat bermain
walaupun itu bersama cacing tanah yang begitu ceria bermain bersama kotorannya untuk
memberikan kesuburan tanaman Ayahku.
Disaat banyak dari teman-temanku mengisi waktu bersama keluarga mereka di ACC dan
MCM. Saya sibuk mengurusi bekas gelas aqua dengan ibuku menyusuri setiap jalan dengan
karung yang selalu saya pikul dibahuku. Terkadang juga saya harus bangun pagi menemani ibu
menyapu jalan menyusuri jalan raya yang menjadi wilayah kerja ibuku setiap subuh. Tetapi, apa
yang saya dapati? Suatu saat, saya pernah bermimpi memiliki sebuah blackberry tetapi ketika
saya hendak ke sekolah dan menyapa seorang guruku tetapi karena asyik BBM, salamku pun tak
diresponi. Akhirnya, saya berpikir: “Ambon su seng manis lae mo skarang Ambon supaleng
maniso. Maniso iko rame for segala perkembangan padahal lupa diri bahwa katong ni manis
dalam ikatan janji para leluhur”.2
Tak dapat disangkal, sebenarnya hatiku sedih ketika ingin bertutur demikian. Apa yang
lebih dari ceritaku ini? Saya hanya anak para kapitan yang mengemis di tanah leluhurku sendiri,

1
Nyong Ambon itu muka jahat, tetapi hati paleng bae (logat ambon) yang berarti laki-laki ambon itu berwajah jahat
tetapi memiliki hati yang baik.
2
Ambon su seng manis lae mo skarang ambon su paleng maniso. Maniso iko rame for segala perkembangan
padahal lupa diri bahwa katong ni manis dalam ikatan janji para leluhur (logat ambon) yang berarti Ambon tidak
lagi Manis tetapi Ambon sudah lain dan berubah. Berubah dalam segala bentuk perkembangan tetapi lupa dirinya
sebagai anak negeri, para leluhur dalam memasuki sebuah perkembangan.
sedangkan mereka yang bukan anak para leluhurku sepertinya bergembira dalam kecacatan yang
membekas di tubuhku. Karena bingung dan mungkin juga masih anak-anak saya bertanya:
“Lantas apa yang harus saya perbuat?” Saya putuskan untuk hanya terdiam, tak bersuara karena
saya masih kecil. Petuah kakekku selalu kuat saya pegang, katanya: “Orang lain kadang
mengatakan bahwa pilihan itu bijak, tetapi lebih baik tetap pada pendirianmu! Sebab, engkau
adalah warisan leluhurmu, karena kalau bukan engkau siapa lagi?”.
Oleh alasan ini, saya mengambil keputusan membuat otobiografi. Saya sadar bahwa
otobiografi ini bakal dikesampingkan, karena saya Kapata Manis E, Nyong Ambon Hitam Manis
Anak Para Kapitan. Tetapi tidak soal. Saya yakin, akan tiba saatnya orang-orang yang
mendengarkan dan membaca otobiografi ini akan kembali merenungi sebuh slogan “Ale rasa
beta rasa”. Saya berharap, kita sebagai anak-anak jangan dikesampingkan untuk
perkembanganmu Ambonku yang manis e karena engkau adalah warisan leluhur untuk kami dan
mereka yang akan datang lagi.

You might also like