You are on page 1of 32

LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN HEWANI

Disusun Oleh:

Ariffa Fathonia H. H0916008

Dinda Anggie A. H0916027

Lailatul Nur K. H0916049

Muhammad Fadzil H0916057

Nanda Ayu H. H0916062

Nidia Lestari H0916063

Rizqia Ayu A. H0916073

Kelompok 10

ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2018
ACARA III
UJI MUTU AIR SUSU

A. Tujuan
Tujuan praktikum Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Acara III
“Uji Mutu Air Susu" adalah :
a. Mahasiswa dapat mengetahui total zat padat yang terdapat pada beberapa
jenis air susu.
b. Mahasiswa dapat mengetahui kualitas air susu melalui uji alkohol.
c. Mahasiswa dapat mengetahui kehigienisan air susu melalui uji reduktase.

B. Tinjauan Pustaka
Susu adalah cairan dari ambing sapi, kerbau, kuda, kambing, domba,
dan hewan ternak penghasil susu lainnya baik segar maupun yang dipanaskan
melalui proses pasteurisasi, Ultra High Temperature (UHT) atau sterilisasi.
Sedangkan susu segar adalah cairan dari ambing sapi, kerbau, kambing, domba
dan hewan ternak penghasil susu lainnya yang sehat yang diperoleh dengan cara
pemerahan yang benar dan bebas kolostrum, yang kandungan alaminya tidak
dikurangi atau ditambah sesuatu apapun, belum dapat perlakuan apapun kecuali
pendinginan (BPOM, 2006).
Menurut Maitimu dkk (2012), Susu merupakan bahan pangan yang
tersusun atas berbagai nilai gizi dengan proporsi seimbang. Tingginya
kandungan gizi pada susu justru merupakan media yang baik bagi pertumbuhan
mikrobia, sehingga susu merupakan salah satu bahan pangan yang mudah rusak
atau perishable. Faktor penyebab kerusakan susu dapat meliputi faktor kimia,
fisik, dan mikrobiologi. Namun, kerusakan susu akibat pengaruh faktor
mikrobiologi menjadi penyebab utama terjadinya kerusakan susu. Hal ini
diakibatkan karena susu sangat mudah tercemar oleh mikroba, baik pada waktu
proses pemerahan maupun pengolahan, sehingga menjadikan masa simpan susu
relatif singkat, yaitu hanya sekitar 5 (lima) jam apabila disimpan dalam suhu
ruang.
Terdapat banyak jenis susu, misalnya berdasarkan kandungan lemaknya
susu dibagi menjadi susu bubuk full cream, susu bubuk half cream, susu skim,
dan whey (Wardana, 2012). Menurut fortifikasinya, susu dapat digolongkan
menjadi susu dengan penambahan kalsium, susu bebas laktosa, susu dengan
penambahan DHA, omega-3, susu probiotik (Dairygoodness, 2014).
Susu yang baik menurut SNI dapat dilihat pada Tabel 3.1 yang
membahas syarat mutu susu segar.
Tabel 3.1 Syarat Mutu Susu Segar
Karakteristik Syarat
a. Berat Jenis (pada suhu 27,5°C minimum 1,0280
b. Kadar lemak minimum 3,0%
c. Kadar bahan kering tanpa lemak 8,0%
minimum
d. Kadar protein minimum 2,7%
e. Warna, bau, rasa dan kekentalan Tidak ada perubahan
f. Derajat asam 6-7°SH
g. Uji alkohol (70%) Negatif
h. Uji katalase maksimum 3 cc
i. Angka refraksi 36-38
j. Angka reduktase 2-5 jam
k. Cemaran mikroba maksimum
1. Total kuman 1.106 CFU/ml
2. Salmonella negatif
3. E. Coli (patogen) negatif
4. Coliform 20/ml
5. Streptococcus Group B Negatif
6. Staphylococus aureus 1.102/ml
l. Jumlah sel radang maksimum 4.105/ml
m. Cemaran logam berbahaya, maksimum:
1. Timbal (Pb) 0,3 ppm
2. Seng (Zn) 0,5 ppm
3. Merkuri (Hg) 0,5 ppm
4. Arsen (As) 0,5 ppm
n. Residu: Sesuai dengan peraturan
- Antibiotika Keputusan Bersama Menteri
- pestisida/ insektisida Kesehatan dan Menteri Pertanian
yang berlaku
o. Kotoran dan benda asing negatif
p. Uji pemalsuan negatif
q. Titik beku -0,520°C s/d -560°C
r. Uji peroxidase positif
Sumber: SNI 01-3141-1998

Prinsip dasar pada uji alkohol merupakan kestabilan sifat koloidal


protein susu tergantung pada selubung atau mantel air yang menyelimuti
butir-butir protein terutama kasein. Apabila susu dicampur dengan alkohol
yang memiliki daya dehidratasi, maka protein akan berkoagulasi. Semakin
tinggi derajat keasaman susu, semakin berkurang jumlah alkohol dengan
kepekatan yang sama dibutuhkan untuk memecahkan susu yang sama
banyaknya (Dwitania dan Swacita, 2013).
Uji alkohol dapat digunakan untuk mendeteksi susu segar yang
kemungkinan akan memberikan kualitas yang tinggi dari jenis endapan yang
normal dan terdapat indikasi bahwa mungkin ada manfaatnya dalam
memperkirakan jenis yang abnormal. Operasi pengolahan mempengaruhi
keseimbangan asam basa dalam susu. Perlakuan UHT menghasilkan penurunan
pH, disebabkan oleh konversi laktosa menjadi asam organik yang berbeda
(Hassan et al, 2009). Tes alkohol sering digunakan sebagai uji kadar susu. Tes
ini biasanya dilakukan dengan menambahkan 2 cc. susu + 2 cc. alkohol dalam
tabung reaksi. Tabung reaksi kemudian ditutup dengan ibu jari, dikocok
beberapa kali dan diamati. Jika tidak ada endapan yang terbentuk, tes dikatakan
negatif, dan jika endapan terbentuk, tes dikatakan positif. Alkohol yang
digunakan biasanya 68 atau 70% (Sommer and Binney, 1922).
Uji daya reduksi digunakan untuk menghitung kualitas bakteriologis
dari susu berdasarkan kemampuan enzim seperti dehidrogenase yang
merupakan enzim sel bakteri yang utama, yang mentransfer hidrogen dari
substrat ke aseptor biologis. Methylene Blue digunakan sebagai aseptor
biologis. Selama reaksi ini berlangsung, warna yang merupakan substansi kimia
akan terduksi. Laju reduksi tergantung pada aktivitas enzim atau konsentrasi
enzim dan digunakan sebagai indikator jumlah kontaminasi bakteria
(Muliro, et al, 2013).
Uji reduktase memberikan gambaran mengenai mutu higienis air susu.
Untuk melihat banyak sedikitnya mikroba yang terkandung di dalam susu maka
dilakukan uji reduksi dengan p ereksi methylen blue. Pda uji reduktase
digunakan methylen blue yang menyebabkan air susu berubah warna menjadi
biru. Dengan inkubasi pada suhu 370C, berangsur-angsur warna biru akan
berubah menjadi putih. Menurut Veterinus (2013), menyampaikan bahwa
prinsip uji waktu reduktase adalah dalam susu terdapat enzim reduktase yang
dibentuk oleh kuman-kuman, maka enzim ini akan mereduksi zat biru metilen
menjadi larutan tidak berwarna. Semakin tinggi jumlah kuman di dalam susu,
semakin cepat terjadi perubahan warna (Saragih dkk., 2013). Uji reduktase
sederhana ini hanya melibatkan 9 ml susu dan 1 ml pereaksi pewarna yang
diinkibasi steril pada tabung reaksi yang ditutup pada suhu 37,50C dimana suhu
ini optimal untuk pertumbuhan bakteri mesofilik, diikuti pemeriksaan visual
pada tabung (Chapman and Hall, 1999).
Padatan terlarut adalah padatan-padatan yang mempunyai ukuran lebih
kecil daripada padatan tersuspensi. Padatan ini terdiri dari senyawa-senyawa
organik dan anorganik yang larut air, mineral, dan garam-garamnya (Fardiaz,
1992). Padatan total susu merupakan bahan bukan air dan terdiri dari lemak,
protein, laktosa dan abu serta komponen lain (Muchtadi, 2011). Total padatan
pada susu segar sebanyak 10,5-14,5% (Talib, 2007).
Total zat padat (Total Solid) adalah segala zat – zat yang tersisa sebagai
residu dalam suatu bejana jika sampel air dalam bejana tersebut dikeringkan
pada suhu tertentu. Zat padat total terdiri dari zat padat tersuspensi (Total
Suspended Solid) dan zat padat terlarut (Total Dissolved Solid) yang dapat
bersifat organik dan anorganik. Zat padat tersuspensi atau Total Suspended
Solid (TSS) berupa segala zat padat (pasir, lumpur, dan tanah liat) atau partikel-
partikel yang tersuspensi dalam air dan dapat berupa komponen hidup (biotik)
seperti fitoplankton, zooplankton, bakteri, fungi, ataupun komponen mati
(abiotik) seperti detritus dan partikel-partikel anorganik. Zat padat tersuspensi
merupakan tempat berlangsungnya reaksi-reaksi kimia yang heterogen. Fungsi
zat ini sebagai bahan pembentuk endapan yang paling awal dan dapat
menghalangi kemampuan produksi zat organik di suatu perairan
(Tarigan dan Edward, 2003). Analisis TSS dilakukan untuk mengetahui tingkat
pencemaran air oleh padatan tersuspensi. Padatan tersuspensi dalam jumlah
besar dalam air limbah menyebabkan warna air limbah tersebut keruh dan
apabila didiamkan dalam waktu lama akan mengalami pengendapan.
Sedangkan zat padat terlarut atau Total Dissolved Solid (TDS) atau padatan
terlarut total adalah bahan-bahan terlarut dan koloid yang berupa senyawa kimia
dan bahan-bahan lain,yang tidak tersaring pada kertas saring berdiameter 0,45
µm. Analisis kandungan TSS ini bertujuan untuk mengetahui jumlah zat padat
terlarut (TDS) di dalam sampel air limbah. Zat padat terlarut adalah zat padat
yang lolos filter pada analisis zat padat terlarut dapat merupakan kelanjutan
analisis zat padat tersuspensi (Widayanti dkk., 2012).
Gravimetri merupakan suatu metode yang prinsipnya menganalisis
kuantitatif berdasarkan pada stokiometri reaksi pengendapan. Terdapat tiga
metode pada gravimetri, yaitu metode penguapan, elektrolisis, dan
pengendapan. Gravimetri dengan metode penguapan prinsipnya adalah zat yang
mudah diadsorpsi dengan absorben yang sesuai, dimana sebelumnya bisa
ditambahkan pereaksi untuk membuat suatu zat menjadi lebih mudah menuap
atau sebalikya. Misalnya untuk menentukan kadar air (air kristal atau air yang
ada dalam suatu spesies). Gravimetri dengan metode elektrolisis prinsipnya
senyawa ion yang akan diendapkan dipisahkan secara elektrolisis pada
elektrode yang sesuai. Gravimetri metode pengendapan prinsipnya adalah
senyawa yang akan dianalisis diendapkan dengan menambahkan pereaksi yang
sesuai lalu dipisahkan endapannya (Day dan Underwood, 2001).
Langkah awal untuk analisis gravimetri adalah melakukan penimbangan
dan pelarutan pada susu sehingga partikel yang akan diendapkan berpisah
menjadi ion-ionnya. Lalu larutan tersebut ditambah pereaksi agar terjadi
endapan. Setelah itu, endapan disaring dengan tujuan pemisahan menggunakan
kertas saring yang sesuai. Kemudian, endapan dicuci menggunakan cairan
pencuci dan dikeringkan. Langkah akhir dari metode ini adalah penghitungan
hasil analisis berat endapan pada cawan porselin
(Smith dan Gnodi, 1959).
Widodo (2018) berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) (2011)
menyatakan bahwa mutu susu segar memiliki berat minimal 1,0270 g/ml pada
suhu 27,5 derajat celcius, tidak ada perubahan pada warna, bau, rasa, dan
kekentalan, dan uji alcohol negatif. Komposisi kimia susu terdiri dari air 87%;
padatan total 13%; padatan bukan lemak 9%; lemak 4%; laktosa 4,7%; protein
3,5%; dan mineral 0,8%. Oleh karena itu, dapat diketahui jumlah padatan dalam
susu adalah 13%. Semakin banyak jumlah padatan totalnya, terutama padatan
bukan lemak sampai jumlah tertentu, maka akan semakin meningkatkan
keasaman pada susu fermentasi. Secara umum orang mengatakan bahwa susu
apabila dilihat dari fisik adalah minuman, tetapi pada kenyataannya susu
mengandung total padatan hampir sekitar 13%. Oleh karena itu, susu lebih
cocok disebut sebagai makanan dari pada sebagai minuman
(Eckless dkk, 1951).
Protein susu memiliki nilai biologis yang tinggi sehingga menjadi
sumber asam amino yang baik dengan berbagai sifat fungsional dan menjadi
sumber protein yang cukup penting dalam diet. Kasein merupakan komponen
protein terbanyak dalam susu rumninansia dan terdiri dari empat molekul
penting. Fungsi biologis kasein adalah sebagai pembawa kalsium dan fosfat
sehingga efisien dalam proses digesti. Protein whey adalah protein globular
yang bersifat lebih mudah larut dalam air dibandingkan kasein. Whey
merupakan protein yang mudah dicerna dan memberikan konsentrasi asam
amino yang cukup tinggi dalam plasma. Selain kasein dan protein whey, susu
juga mengandung protein yang terdapat pada membran globula lemak
diantaranya glikoprotein dan beberapa enzim. Beberapa protein susu seperti
sekretori immunoglobulin A, 1-antitripsin, laktoferin, β-kasein, dan hasil
laktalbumin yang bersifat resisten terhadap enzim pencernaan sehingga protein
atau peptida yang berasal dari protein tersebut dapat memberikan efek
fungsional di dalam usus kecil walau belum seluruhnya dicerna
(Padaga dan Aulanni’am, 2017).
Denaturasi protein merupakan suatu keadaan dimana protein mengalami
perubahan atau perusakan struktur sekunder, tersier dan kuartenernya.
Sedangkan faktor yang dapat menyebabkan terjadinya denaturasi protein
diantaranya pemanasan, suasana asam atau basa yang ekstrim, kation logam
berat dan penambahan garam jenuh (Novia dkk., 2011). Semakin tinggi suhu
pengovenan terjadi penurunan kadar protein. Hal ini disebabkan karena
pengaruh suhu yang apabila semakin tinggi suhu pengovenan, maka akan terjadi
denaturasi protein yang mengakibatkan perubahan struktur protein oleh suhu
oven yang berbeda. Pada proses pengasinan telur asin, semakin lama
pengasinan maka kadar protein pada putih telur asin mengalami penurunan
(Kaewmanee, 2011). Protein juga dapat rusak (terkoagulasi) karena alkohol
atau senyawa ionik (Man dkk., 1992). Kalsium merupakan salah satu senyawa
ionik yang mempunyai potensi merusak konformasi protein karena muatannya
yang divalen. Hal ini menarik untuk diteliti dalam proses pemecahan emulsi
minyak-air melalui perusakan agen penstabil emulsinya yaitu protein
(Yuliani, 2006).
Uji alkohol merupakan uji yang digunakan untuk memeriksa kesegaran
susu pada awal penerimaan susu, baik dilapangan, koperasi maupun di Industri.
Uji alkohol merupakan uji cepat dan sederhana yang merupakan dasar dalam
kestabilan protein ketika jumlah asam bertambah pada susu
(Sudarwanto dkk, 2005). Prinsip dari uji alcohol adalah menggumpalkan
protein susu karena Alkohol memiliki sifat menarik air sehingga apabila susu
dicampur dengan alkohol maka selubung air yang menyelimuti protein susu
tidak stabil. Tidak stabilnya sifat kolodial tersebut, mengakibatkan protein akan
membentuk gumpalan- gumpalan atau koagulasi, bila pada susu terjadi
koagulasi artinya susu tidak layak (Foster dan Nelson,1961).
Pengujian ini diawali dengan pengambilan sampel susu sebanyak 3 ml,
lalu ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan 3 ml alkohol 70%.
Tabung dikocok perlahan-lahan. Uji alkohol positif ditandai dengan adanya
butiran susu yang melekat pada dinding tabung reaksi, sedangkan tidak
terdapatnya butiran menandakan uji alkohol negatif
(Suardana dan Swacita,2009). Uji alkohol menjadi positif bila susu mulai asam
atau sudah asam, susu bercampur dengan kolostrum. Jika hasil keasaman susu
kurang dari 0,21% akan mengendap pada penambahan alkohol terutama kasein
dan kalium yang ditandai dengan adanya gumpalan pada permukaan tabung.
Bila keasaman susu lebih tinggi dari 0,21% atau bila kadar senyawa kalsium
dan magnesium lebih besar dari keadaan normal, maka pemberian alkohol 70%
dengan jumlah yang sama dengan susu segar akan dapat mengendapkan protein
yang terdapat dalam susu (Nababan dkk, 2015).
Protein susu merupakan kelompok molekul yang sangat heterogen,
terdiri dari lima kategori yaitu kasein, protein whey, protein globul lemak susu,
enzim dan protein minor lainnya (Ng-KwaiHang, 2003). Susu segar sangat
rentan sekali rusak, baik dalam fisiologi, kimiawi dan mikrobilogi. Faktor yang
dapat menyebabkan kerusakan pada protein susu salah satunya adalah
mikroorganisme . Mikroorganisme yang dapat mencemari susu terbagi menjadi
dua golongan, yaitu mikroorganisme patogen dan mikroorganisme pembusuk
pada dasarnya dapat terjadi melalui 3 (tiga) tahap. Diawali dengan reaksi
dekarboksilasi, deaminasi, Strickland (Nurwantoro, 1997). Faktor fisik yang
dapat menyebabkan kerusakan pada protein susu ialah suhu, karena sifat protein
mudah terdenaturasi oleh panas menyebabkan terjadinya Koagulasi kimiawi
pada susu segar. Koagulasi mikrobiolologi disebabkan karena didalam susu
segar terdapat bakteri patogen dan bakteri pembusuk yang merupakan sumber
makanan yang sangat kompleks bagi mikroorganisme, sehingga perlu adanya
teknologi pengolahan tepat guna agar susu segar menjadi tahan lama daya
simpannya dan tidak rusak (Winarno, 2002).
Mikroorganisme yang berkembang dalam susu selain menyebabkan
susu menjadi rusak juga dapat membahayakan kesehatan manusia sebagai
konsumen akhir. Penanganan susu yang tidak benar juga dapat menyebabkan
daya simpan susu menjadi singkat, harga jual murah yang pada akhirnya juga
akan menurunkan pendapatan peternak sebagai produsen susu. Jumlah bakteri
dalam susu dapat digunakan sebagai indikator pencemaran dan kualitas sanitasi.
Jenis bakteri seperti E. coli, Enterobacteriaceae dan Streptobacillus telah lama
dianggap sebagai mikroorganisme indikator mutu (Septiani dan Yatri, 2014).
Berikut mikroorganisme yang terdapat dalam susu yaitu:
a. Bakteri Pengasam, pengasaman asam laktat merupakan ciri khas dari
fermentasi susu. Pengasaman alami pada susu dapat terjadi secara spontan
pada susu setelah diperah. Ketika mencapai kadar tertentu asam pada
produk susu dapat menghambat dapat menghambat bakteri lain untuk
tumbuh. Senyawa metabolit sekunder hasil dari produksi bakteri pengasam
yang dikenal dapat menghambat dan mematikan bakteri lain, yakni lacticin,
acidophilin, dan nicin.
b. Bakteri penghasil gas, bakteri ini akan menghasilkan gas dari laktosa,
bakteri yang dimaksud yaitu koliform dan bakteri butirat yang
menyebabkan adanya penggelembungan, pengeluaran flavor, dan
perubahan tektur pada produk namun yang tidak dikenhendaki.
c. Bakteri proteolitik merupakan bakteri yang mendegradasi protein dan
menginduksikannya. Ketika perkembangannya tidak terkontrol dan bersifat
massif, maka akan menyebabkan bau dan rasa pahit.
d. Bakteri lipolitik, mengubah lemak susu secara langsung atau tidak
langsung serta menyebabkan rasa dan bau tengik yang tidak dikehendaki.
Bakteri ini berasal dari genus Pseudomonas.
e. Ragi dan Jamur, Pencemar ini merupakan pencemar yang umum terdapat
pada susu dan produk susu, namun karena sifatnya aerobik/ membutuhkan
udara maka pertumbuhannya hanya terbatas pada permukaan saja seperti
pada keju (Murti, 2014).
Mikroorganisme yang sering terdapat pada susu sapi adalah dari famili
Lactobacteriaceae (Streptococcus lactis), famili Enterobacteriaceae
(Escherichia coli) dan Staphylococcus. Standar Nasional Indonesia (SNI) tahun
2011 menetapkan cemaran mikroba pada susu segar mempunyai batas
maksimum cemaran Enterobacteriaceae 1x103 cfu/ml dan Staphylococcus
aureus 1x102 cfu/ml dengan total mikroorganisme (TPC) maksimal 1x106
cfu/ml. Berdasarkan uraian tersebut, perlu dilakukan penelitian untuk
mengetahui kualitas mikrobiologis (Total Plate Count, Enterobacteriaceae dan
Staphylococcus aureus) pada susu segar (Cahyono dkk, 2013). Uji bakteri
dilakukan dengan pengenceran 1 ml susu + 9 ml aquadest hingga pengenceran
ke empat (10-4). 1 ml susu yang telah diencerkan tersebut diteteskan di tengah
Petri Film 3MTM. Petri Film 3MTM kemudian inkubasikan selama 48 jam
dalam suhu 370C. Perhitungan total bakteri setelah masa inkubasi berakhir
dengan menghitung bintik warna merah pada Petri Film 3MTM
(Nilamsari dkk, 2015).
Uji reduktase merupakan uji yang digunakan untuk menentukan mutu
mikrobiologi air susu, yang ditentukan oleh jumlah dan jenis mikroorganisme
yang terkandung dalam susu. Methyleneblue menyebabkan warna susu menjadi
biru dan berangsur menjadi putih kembali. Prinsip dari pengujian ini yaitu
lamanya waktu perubahan warna dari biru menja di putih ini sebagai dasar
penentuan perkiraan jumlah bakteri. Adanya daya reduksi susu disebabkan oleh
aktivitas enzim-enzim tertentu dalam susu dan juga aktivitas bakteri
(Umar dkk, 2014).
Prosedur uji reduktase yaitu menurut Sari, Swacita dan Agustina (2013)
antara lain: pertama memasukkan Metylenblue 1,5 ml ke dalam tabung reaksi ,
selanjutnya tabung yang telah diisi metylenblue ditambahkan sampel susu 10
ml, kemudian tabung reaksi ditutup dengan kapas steril dan dikocok. Tabung
yang telah dikocok dipanaskan ke dalam waterbath pada suhu 37◦C 4.
Kemudian ditunggu dan diamati setiap 30 menit perubahan warna yang terjadi.
Dicatat waktu yang dibutuhkan untuk mereduksi warna biru menjadi warna
putih.
Hasil dari uji ini yaitu penentuan mutu susu yang masih sesuai standar,
susu yang baik akan mereduksi methylen blue menjadi warna putih lebih dari
5,5 jam, sedangkan air susu yang jelek bakteri dalam susu akan mereduksi
methylenblue pada waktu kurang dari 5 jam (Volk dan Wheeler, 1990). Mutu
susu dapat diterima apabila lama warna biru hilang lebih dari 2 jam dan kurang
dari 6 jam dan di perkirakan jumlah bakteri per ml adalah 4.000.000-20.000.000
(Umar dkk, 2014).
C. Metodologi
1. Alat
a. Cawan porselin
b. Desikator
c. Erlenmeyer
d. Hotplate
e. Inkubator
f. Oven
g. Penjepit cawan
h. Pipet volume
i. Pipet tetes
j. Propipet
k. Rak tabung reaksi
l. Tabung reaksi
m. Timbangan analitik
n. Timer
2. Bahan
a. Alkohol 70%
b. Methylene Blue
c. Susu Formula Bayi
d. Susu Full Cream
e. Susu segar baru
f. Susu segar suhu dingin 1 hari
g. Susu segar suhu ruang 1 hari
h. Susu Skim
i. Susu UHT baru
3. Cara Kerja
a. Analisis Total Zat Padat (Metode Gravimetri)
Pengeringan cawan kosong (T=1050C, t=30
menit)

Pendinginan di dalam desikator (t=10 menit)

Penimbangan berat cawan (A gram)


5mL
sampel susu
(Susu segar,
Pemasukan dalam cawan
Susu full cream,
Susu skim, Susu
formula bayi)
Penimbangan berat cawan (B gram)

Penguapan pada hot plate hingga terlihat agak


gosong dan tidak berbuih

Pemasukan dalam oven (T=1050C, t=10 menit)

Pendinginan dalam desikator (t=10 menit)

Penimbangan cawan (g)

Perhitungan total zat padat


Gambar 3.1 Diagram Alir Analisis Total Zat Padat Susu
b. Analisis Kerusakan Protein (Uji Alkohol)
3 mL (Susu Segar, Susu 1 Hari Suhu Ruang, Susu 1
Hari Suhu Dingin)

Pemasukan ke dalam tabung reaksi

3 mL
Pengocokan
alkohol 70%

Pengamatan endapan dan gumpalan


Gambar 3.2 Diagram Alir Analisis Kerusakan Protein (Uji Alkohol)

c. Analisis Mikrobiologis (Uji Reduktase)

10 mL (Susu Segar, Susu 1 Hari Suhu Ruang, Susu


1 Hari Suhu Dingin)

Penambahan ke dalam erlenmeyer

3 tetes
Penghitungan waktu sampai terbentuk warna putih
Methylene Blue

Pengamatan menit ke-30, 90, dan 120


Gambar 3.3 Diagram Analisis Mutu Mikrobiologis (Uji Reduktase)
D. Hasil dan Pembahasan

Gravimetri adalah metode analisis kuantitatif unsur atau senyawa


berdasarkan bobotnya yang diawali dengan pengendapan, diikuti dengan
pemisahan dan pemanasan endapan, dan diakhiri dengan penimbangan. Untuk
memperoleh keberhasilan pada analisis secara gravimetrik, maka harus
memperhatikan tiga hal, yaitu : unsur atau senyawa yang ditentukan harus
terendapkan secara sempurna, bentuk endapan yang ditibang harus diketahui
dengan pasti rumus molekulnya, endapan yang diperoleh harus murni dan
mudah ditimbang. Prinsip kerja analisis gravimetri yaitu, unsur atau senyawa
yang dianalisis dipisahkan dari komponen lain dari bahan yang dianalisis
dengan cara mengubahnya menjadi senyawa lain yang murni dan stabil
sehingga dapat diketahui berat tetapnya atau berat konstannya
(Li, et al, 2009).
Tabel 3.2 Hasil Analisis Total Zat Padatan
Berat
Berat Kurs Berat Kurs
Setelah
Kelompok Sampel Kosong + Sampel % Padatan
Dioven
(gram) (gram)
(gram)
7 Susu Segar 17,741 22,803 18,588 16,7
9-10 Susu 17,553 22,600 18,026 9,4
Fullcream
8 Susu Skim 17,726 22,915 18,505 15
11-12 Susu 17,756 22,017 18,744 18,3
Formula
Sumber : Laporan Sementara

Berdasarkan Tabel 3.2 Hasil Analisis Total Zat Padatan, diperoleh


beberapa data. Pertama yaitu data kurs kosong, untuk kelompok 7 dengan
sampel susu segar mempunyai berat kurs kosong sebesar 17,741 gram.
Kelompok 9 dan 10 dengan sampel susu fullcream mempunyai berat kurs
kosong sebesar 17,553 gram. Kelompok 8 dengan sampel susu skim
mempunyai berat kurs kosong sebesar 17,726 gram. Dan pada kelompok 11 dan
12 dengan sampel susu formula mempunyai berat kurs kosong sebesar 17,756
gram. Data yang kedua yaitu data berat kurs ditambah dengan sampel. Untuk
kelompok 7 dengan sampel susu segar sebesar 22,803 gram, untuk kelompok 9
dan 10 dengan sampel susu fullcream sebesar 22,600 gram, untuk kelompok 8
dengan sampel susu skim sebesar 22,915 gram, dan untuk kelompok 11 dan 12
dengan sampel susu formula sebesar 23,017 gram. Data selanjutnya yaitu berat
setelah dioven. Untuk kelompok 7 dengan sampel susu segar mempunyai berat
setelah pengovenan sebesar 18,588 gram, untuk kelompok 9 dan 10 dengan
sampel susu fullcream mempunyai berat setelah pengovenan sebesar 18,026
gram, untuk kelompok 8 dengan sampel susu skim mempunyai berat setelah
pengovenan sebesar 18,505 gram, dan untuk kelompok 11 dan 12 dengan
sampel susu formula memiliki berat setelah pengovenan sebesar 18,744 gram.
Sehingga dapat dihitung jumlah total padatan yang terkandung dalam
masing-masing sampel. Untuk menghitungnya menggunakan rumus :
% 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑎𝑑𝑎𝑡𝑎𝑛
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑖𝑜𝑣𝑒𝑛 − 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑢𝑟𝑠 𝑘𝑜𝑠𝑜𝑛𝑔
= 𝑥 100%
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑢𝑟𝑠 𝑑𝑎𝑛 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 − 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑢𝑟𝑠 𝑘𝑜𝑠𝑜𝑛𝑔
Untuk kelompok 7 dengan sampel susu segar diperoleh jumlah total
padatan dalam sampelnya sebesar 16,70%. Hal ini sudah sesuai dengan teori,
karena menurut SNI 01-3141-1998 jumlah total padatan terlarut minimum
adalah 8%. Untuk kelompok 9 dan 10 dengan sampel susu fullcream
mempunyai jumlah total padatan dalam sampelnya sebesar 9,40%. Hal ini
menyimpang dari teori yang dikemukakan oleh Chairunnisa (2009), bahwa total
padatan terlarut untuk susu fullcream yaitu berkisar antara 17,8%. Untuk
kelompok 8 dengan sampel susu skim mempunyai jumlah total padatan dalam
sampelnya sebesar 15%. Hal ini meyimpang dengan teori yang ada yaitu total
padatan terlarut yang dimiliki susu skim seharusnya 18,80%
(Sintasari, dkk., 2014). Dan yang terakhir untuk kelompok 11 dan 12 dengan
sampel susu formula memiliki jumlah total padatan sebesar 18,3%. Hal ini udah
sesuai dengan teori yaitu susu segar yang ditambahkan formulasi khusus akan
mempunyai padatan terlarut sebesar 18,80% (Sintasari, dkk., 2014).
Penyimpangan yang terjadi saat praktikum ini dapat disebabkan karena kurang
presisinya hasil berat yang diperoleh dari proses penimbangan, mulai dari
penimbangan kurs kosong, kurs kosong + sampel sebelum pengovenan maupun
sesudah pengovenan.
Total padatan susu, dapat diketahui dipengaruhi oleh faktor-faktor.
Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah total padatan susu adalah jumlah
lemak, jumlah protein, jumlah vitamin dan mineral yang ada. Selain itu, tingkat
gravitas atau tingkat gravitas spesifik dapat menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi jumlah total padatan susu. Yang terakhir yaitu berat jenis. Berat
jenis juga dapat mempengaruhi jumlah total padatan susu
(Bayu, dkk., 2017).
Analisis protein dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu secara
kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif seperti tes ninhidrin, uji biuret, tes
xantoprotein, pengendapan garam logam, koagulasi, denaturasi, dan
pengendapan protein dengan alkohol. Sedangkan secara kuantitatif seperti pada
metode Lowry, metode spektrofotometri visible dan metode spektrofotometri
UV (Lehninger, 1990).
Uji alkohol adalah salah satu metode analisis protein secara kualitatif.
Uji alkohol dilakukan untuk mengetahui adanya susu yang rusak, apabila
terdapat butir–butir susu pada dinding tabung menunjukkan susu tersebut positif
telah rusak. Susu segar yang berkualitas baik tidak akan pecah atau
menggumpal bila dipanaskan atau dididihkan. Sebaliknya, susu yang bermutu
jelek akan mengalami penggumpalan bila dipanaskan. Hal itu terjadi karena
adanya asam yang dihasilkan oleh mikroba dari peruraian laktosa. Asam
tersebut mengakibatkan protein susu mudah mengalami denaturasi dan
penggumpalan bila dilakukan pemanasan. Jadi, susu yang telah banyak
ditumbuhi mikroba akan menjadi asam dan mudah pecah bila dipanaskan
(Soriah 2010).
Prinsip dasar pada uji alkohol merupakan kestabilan sifat koloidal
protein susu tergantung pada selubung atau mantel air yang menyelimuti butir-
butir protein terutama kasein. Masukkan susu segar sebanyak 3 ml ke dalam
tabung reaksi kemudian tambahkan 3 ml alkohol 70%, tabung dikocok
perlahan-lahan, sehingga perbandingannya 1:1, tabung dikocok perlahan-lahan
dan diamati apa yang terjadi lalu amati dengan memiringkan tabung reaksi dan
apakah terjadi penggumpalan pada susu. Uji alkohol positif ditandai dengan
adanya butiran susu yang melekat pada dinding tabung reaksi, sedangkan uji
alkohol negatif ditandai dengan tidak adanya butiran susu yang melekat pada
dinding tabung reaksi. Menurut Sudarwanto (2005) susu terlihat positif pada
penambahan 10 ml alkohol 70%, yang menandakan kemungkinan susu yang
positif pada uji alkohol dapat disebabkan oleh susu mulai masam, terdapat
kolustrum dan permulaan adanya mastitis.
Penentuan protein metode pengendapan alkohol adalah kompetisi
pembentukan antara protein-air dengan alkohol-air. Alkohol dapat
mengendapkan protein karena gugus fungsional dari alkohol lebih kuat
mengikat air sehingga kelarutan protein dalam air berkurang. Pada protein
ujung C asam amino yang terbuka dapat bereaksi dengan alkohol dalam suasana
asam membentuk senyawa protein ester. Pembentukan ester ini ditunjukkan
oleh adanya endapan yang terbentuk (Dwitania dan Ida, 2013).
Alkohol dapat mengendapkan protein karena gugus fungsional dari
alkohol lebih kuat mengikat air melalui pembentukan ikatan hidrogen
dibandingkan dengan molekul protein sehingga kelarutan protein dalam air
berkurang. Alkohol juga mampu merusak ikatan hidrogen di antara gugus
amida yang terdapat dalam struktur sekunder protein sehingga protein
kehilangan air (terhidratasi) dan akhirnya mengendap. Pada uji pengendapan
oleh alkohol, hanya tabung-tabung yang mengandung asam (ber-pH rendah)
yang menunjukkan pengendapan protein. Pada protein, ujung C asam amino
yang terbuka dapat bereaksi dengan alkohol dalam suasana asam membentuk
senyawa protein ester. Pembentukan ester ini ditunjukkan oleh adanya
endapanyang terbentuk. Protein akan terdenaturasi atau mengendap bila berada
pada titik isolistriknya, yaitu pH dimana jumlah muatan positif sama dengan
jumlah muatan negatifnya (Nababan dkk., 2014).
Pengendapan protein penting dalam rangka memisahkan protein dari
larutan. Penambahan asam atau basa mengakibatkan perubahan pH sehingga
ikatan-ikatan ionik menjadi terputus. Putusnya ikatan-ikatan ionik tersebut
menjadikan albumin kehilangan daya larutnya. Selain itu, putusnya ikatan ionik
juga mengakibatkan hilangnya daya ikat airatau (Water Holding Capacity)
protein, dari akibat-akibat tersebut maka protein akan terpisah dari pelarutnya
(mengendap). Protein juga ada yang bersifat amfoter, artinya protein tersebut
dapat bereaksi dalam asam maupun basa. Dalam asam akan bersifat basa dan
sebaliknya dalam basa akan bersifat asam (Abubakar, 2000).
Tabel 3.3 Hasil Analisis Kerusakan Protein Susu (Uji Alkohol)

Kel. Sampel Penggumpalan Endapan


7-8 Susu segar + +
9-10 Susu segar suhu ruang 1
++ ++
hari
11-12 Susu segar suhu dingin 1
+ +
hari
Sumber: Laporan Sementara
Keterangan : Keterangan :
+ = kurang menggumpal + = kurang mengendap
++ = cukup menggumpal ++ = cukup mengendap
+++ = menggumpal +++ = mengendap
++++ = paling menggumpal ++++ = paling mengendap

Berdasarkan Tabel 3.3 hasil pengamatan uji mutu susu dengan uji
alkohol menunjukkan bahwa sampel susu segar (kelompok 7 dan 8), dan susu
segar suhu dingin 1 hari (kelompok 11-12) sudah mengalami sedikit kerusakan
yang ditandai dengan kurang mengalami penggumpalan dan kurang mengalami
pengendapan. Sampel susu yang tingkat kerusakannya lebih tinggi dari dua
sampel sebelumnya adalah sampel susu segar yang disimpan pada suhu ruang
(kelompok 10-11) ditandai dengan cukup menggumpal dan cukup mengendap.
Menurut Nababan (2014), uji alkohol pada susu segar pada penyimpanan
selama 4 jam hasil uji alkoholnya negatif, sedangkan pada penyimpanan lebih
dari 4 jam susu menunjukkan hasil uji alkohol yang positif. Hasil praktikum
sudah sesuai dengan teori Nababan (2014) dimana susu segar baru uji
alkoholnya bernilai negatif/kurang menggumpal kecuali sampel susu segar
kelompok 1 dimana susu mengalami gumpalan yang cukup. Sedangkan susu
segar yang sudah disimpan selama 1 hari hasil uji alkoholnya positif. Dengan
kata lain, kualitas susu segar yang telah disimpan selama satu hari pada suhu
ruang lebih buruk dibandingkan dengan susu segar, dan susu segar yang
disimpan selama satu hari dalam pendingin.
Uji alkohol bernilai negatif menandakan susu masih dalam kondisi yang
baik dikarenakan kemasan susu yang digunakan masih dalam keadaan rapat
sehingga mencegah kontaminasi kembali selama penyimpanan. Uji alkohol
adalah suatu uji untuk menentukan sifat-sifat pemecahan protein susu. Semakin
tinggi derajat keasaman susu, semakin berkurang jumlah alkohol dengan
kepekatan yang sama dibutuhkan untuk memecahkan susu yang sama
banyaknya. Sehingga semakin baik kualitas susu, jumlah alkohol yang
diperlukan untuk memecahkan protein susu. Hasil uji alkohol menjadi positif
bila susu mulai asam atau sudah asam, susu bercampur dengan kolostrum, pada
permulaan mastitis dan susu tidak stabil disebabkan oleh perubahan fisiologi.
Uji alkohol negatif ditandai dengan tidak adanya gumpalan susu tabung reaksi,
hal ini dikarenakan susu masih dalam keadaan homogen
(Dwitania dan Ida, 2013).
Faktor-Faktor yang mempengaruhi Kerusakan Protein adalah bila
susunan ruang atau rantai polipeptida suatu molekul protein berubah maka
dikatakan protein ini terdenaturasi, sebagaian besar protein globular mudah
mengalami denaturasi. Jika ikatan-ikatan yang membentuk konfigurasi molekul
tersebut rusak, molekul akan mengembang. Kadang-kadang perubahan ini
memang dikehendaki dalam pengolahan makanan, tetapi sering pula dianggap
merugikan sehingga perlu dicegah (Winano, 2002). Menurut Demodaran dan
Paraf (1997), faktor-faktor yang mempengaruhi kerusakan protein adalah:
1. Panas
Panas merupakan agen fisik umum yang dapat mendenaturasikan protein.
2. pH(derajat keasaman)
Dalam larutan encer, denaturasi yang dipengaruhi oleh pH dan suhu
sangat dekat hubungannya dengan proses denaturasi yang jarang halnya yang
dapat digunakan dengan panas saja.
3. Ion Logam
Kedua pH dan kekuatan ion suatu larutan menentukan beban
sepenuhnya molekul protein dan kerentana mereka terhadap denaturasi panas
4. Gula dan Polyols
Gula dan polyols dapat menunjukkan pengaruh stabilitas panas pada
protein makanan.
5. Sifat Protein
Penambahan bahan kimia seperti Urea, Guadinin, Klorida dan detergen tidak
bermuatan ion dapat mengubah struktur dan mempengaruhi jalannya panas.
Uji mikrobiologi merupakan salah satu uji yang penting, karena selain
dapat untuk memperkirakan daya simpan suatu makanan, juga dapat digunakan
sebagai indikator sanitasi makanan atau indikator keamanan makanan.
Pengujian mikrobiologi diantaranya meliputi uji kualitatif untuk menentukan
mutu dan daya tahan suatu makanan, uji kuantitatif bakteri patogen untuk
menentukan tingkat keamanannya, dan uji bakteri indikator untuk mengetahui
tingkat sanitasi makanan tersebut (Fardiaz 1993).
Metode reduksi methylene blue adalah metode yang dilakukan terhadap
bakteri-bakteri yang menghasilkan enzim dehidrogenase yang dapat melakukan
oksidasi dan menghasilkan hydrogen di dalam susu. Metode ini dapat
memberikan gambaran perkiraan jumlah bakteri patogen tiap satu ml susu
berdasarkan waktu reduksi, sehingga dapat ditentukan kualitas dari susu
tersebut (Huda dan Holidy, 2016). Waktu reduktase menunjukkan waktu dari
kinerja ensim reduktase terhadap keadaan air susu yang berguna untuk
menentukan adanya bakteri patogen pada air susu. Enzim reduktase di dalam
air susu dibentuk oleh bakteri patogen yang dapat mereduksi zat warna biru
metilen menjadi tidak berwarna, semakin cepat biru metilen hilang,
menunjukkan air susu tersebut semakin banyak mengandung bakteri patogen
(Sari dkk., 2013).
Dalam uji ini ditambahkan sejumlah zat warna methylene blue ke dalam
susu, kemudian diamati waktu yang dibutuhkan oleh bakteri untuk melakukan
aktivitas yang dapat menyebabkan perubahan warna methylene blue tersebut
(Huda dan Holidy, 2016). Prinsip dari uji reduktase adalah dalam susu terdapat
enzim reduktase yang dibentuk oleh bakteri patogen, maka enzim ini akan
mereduksi zat biru metilen menjadi larutan tidak berwarna (dekolorisasi).
Semakin tinggi jumlah bakteri patogen di dalam susu, semakin cepat terjadi
perubahan warna, maka dilakukannya uji reduksi biru metilen ini dapat
memberikan gambaran perkiraan jumlah bakteri patogen yang terdapat di dalam
susu, kemudian diamati waktu yang dibutuhkan oleh bakteri patogen untuk
melakukan aktifitas yang dapat menyebabkan perubahan warna dari zat warna
biru metilen. Alasan inilah yang menjelaskan pentingnya uji reduktase
methylene blue dalam mengetahui kualitas mikrobiologis pada air susu
(Saragih dkk., 2013).
Tabel 3.4 Hasil Analisis Uji Reduktase
Kelompok Sampel Waktu
30’ 60’ 90’ 120’ 150’
7-8 Susu segar +++++ +++++ +++++ +++++ +++++
9-10 Susu simpan 1 hari di +++++ +++++ +++++ ++++ ++++
suhu ruang
11-12 Susu simpan 1 hari di +++++ +++++ +++++ +++++ +++++
suhu dingin (kulkas)
Sumber : Laporan Sementara
Keterangan :
+ : Sama seperti susu segar/blanko
++ : Semburat biru
+++ : Kebiruan
++++ : Biru
+++++ : Biru tua

Berdasarkan Tabel 3.4 pada uji reduktase ini menggunakan 3 sampel


susu yang berbeda kondisi penyimpanan yaitu susu segar, susu simpan 1 hari di
suhu ruang, dan susu simpan 1 hari di suhu dingin (kulkas). Pengujian dilakukan
dengan cara memipet 10 ml pada masing-masing sampel susu ke dalam gelas
beaker. Kemudian ditambahkan 1 ml larutan methylene blue. Lalu gelas beaker
dikocok agar methylene blue tersebar merata. Setelah itu ketiga sampel diamati
secara berkala setiap 30 menit selama 150 menit. Hasil yang didapatkan yaitu
pada sampel susu segar, tidak terjadi perubahan warna selama 150 menit yaitu
warna tetap biru tua. Pada sampel susu simpan 1 hari di suhu ruang, warna
sampel berwarna biru tua hingga waktu pengamatan 90 menit, namun
mengalami perubahan menjadi biru mulai penyimpanan 120 menit hingga 150
menit. Pada sampel susu simpan 1 hari di suhu dingin (kulkas), tidak terjadi
perubahan warna selama 150 menit yaitu warna tetap biru tua. Berdasarkan
hasil akhir pengamatan selama 150 menit, didapatkan hasil bahwa sampel susu
segar dan susu simpan 1 hari di suhu dingin (kulkas) dalam keadaan bagus dan
sampel susu simpan 1 hari di suhu ruang dalam keadaan sudah tercemar oleh
mikroorganisme.
Menurut Nandy dan Vanketesh (2010), waktu reduksi (jam) yang lama
menunjukkan jumlah bakteri (cfu/ml) yang sedikit, sedangkan waktu reduksi
(jam) yang cepat menunjukkan jumlah bakteri (cfu/ml) yang banyak. Semakin
cepat waktu (<2 jam) yang dibutuhkan untuk menetralkan warna biru, semakin
buruk kualitas mikrobiologis susu segar. Berdasarkan hasil praktikum yang
sudah dilakukan, pada sampel susu simpan 1 hari di suhu ruang mulai terbentuk
warna putih pada permukaan susu yang menunjukkan bahwa susu sudah
tercemar oleh mikroorganisme yang dapat mereduksi methylene blue pada
menit ke 120. Menurut Buckle dkk, (1985), pertumbuhan mikroba dipengaruhi
oleh berbagai faktor lingkungan, diantaranya adalah suhu, pH, aktivitas air,
adanya oksigen, dan tersedianya zat makanan. Penyimpanan makanan pada
suhu rendah dapat memperpanjang masa simpan makanan tersebut, karena
selama pendinginan pertumbuhan mikroba dapat diperlambat atau dicegah.
Prinsip dasar penyimpanan pada suhu rendah adalah menghambat pertumbuhan
mikroba dan menghambat reaksi-reaksi enzimatis, kimiawi dan biokimiawi.
Berdasarkan hasil praktikum yang sudah dilakukan, pada sampel susu simpan
1 hari di suhu ruang lebih cepat terkontaminasi oleh mikrobia jika dibandingkan
dengan susu simpan 1 hari di suhu dingin (kulkas) yang ditunjukkan dengan
mulai terbentuk warna putih pada permukaan susu pada sampel susu simpan 1
hari di suhu ruang sedangkan pada sampel susu simpan 1 hari di suhu dingin
(kulkas) tidak terbentuk warna putih hingga pengamatan 150 menit, sehingga
hasil yang didapatkan sudah sesuai dengan teori.
Sumber utama kontaminasi bakteri berasal dari udara, debu, peralatan
yang kotor, petugas, dll, dengan demikian prosedur pembersihan dan sanitasi
merupakan pengendali kualitas yang paling penting
(Djaafar dan Rahayu, 2007). Menurut Abid et al. (2009), susu segar yang
berasal dari para peternak menunjukkan jumlah bakteri yang sangat tinggi dan
mengindikasikan bahwa terdapat beberapa kesalahan dalam hygiene produksi,
sanitasi yang buruk dan suhu penyimpanan yang tidak cocok. Lingathurai and
Vellathurai (2010) menambahkan bahwa bakteri yang terdapat dalam susu segar
dapat berasal dari sapi yang menderita mastitis subklinis atau klinis, lingkungan
kandang terutama sumber air dan peralatan yang digunakan untuk menyimpan
susu serta selama pendistribusian. Resiko susu terkontaminasi oleh bakteri
patogenik akan lebih besar jika susu diproses oleh peternak sendiri. Penundaan
waktu proses pemerahan dan rendahnya kondisi hygiene menyebabkan
pertumbuhan mikroorganisme menjadi cepat. Kondisi tersebut juga
memudahkan bakteri patogenik untuk tumbuh baik dalam media pemerahan.
Cempirkova (2006) menyebutkan bahwa 64% mikroorganisme dalam susu
berasal dari hygiene yang buruk, 28% oleh temperatur yang rendah (bakteri
psikotrofik) dan penyimpanan yang tidak baik, serta 8% oleh mastitis. Menurut
Hempen et al. (2004), peralatan yang tidak dibersihkan dan disterilisasi dengan
baik setelah digunakan merupakan salah satu jalur masuknya bakteri patogenik.
Menurut Kelly et al. (2009), pertumbuhan bakteri dapat ditekan dengan
good hygiene dan manajemen peternakan yang baik. Lues et al. (2010) juga
melaporkan bahwa standar good hygiene harus dilakukan selama proses
pemerahan, baik dari kebersihan pakaian pemerah maupun ember susu lengkap
dengan tutupnya untuk mencegah masuknya debu, kotoran dan rambut di dekat
ambing. Proses pembersihan ambing dan puting sebelum dan setelah diperah
merupakan faktor yang sangat penting untuk menurunkan TPC dalam susu
segar hingga 70% dengan cara dicelupkan ke dalam larutan iodhophore atau
larutan antiseptik (Cempirkova, 2006). Hal ini diperkuat oleh pendapat
Gleeson et al. (2009), bahwa good hygiene sebelum dan selama proses
pemerahan dapat menurunkan kontaminasi bakteri di ambing dan di
lingkungan.

E. Kesimpulan
Berdasarkan praktikum Acara I “Uji Mutu Air Susu" dapat diambil
kesimpulan bahwa :
a. Jumlah total padatan sampel susu segar sebesar 16,70%; susu fullcream
sebesar 9,40%; susu skim sebesar 15%; dan susu formula sebesar 18,3%.
b. Pengamatan dengan uji alkohol menunjukkan bahwa sampel susu segar dan
susu segar suhu dingin 1 hari telah mengalami penggumpalan dan kurang
mengalami pengendapan, sedangkan sampel susu segar yang disimpan pada
suhu ruang mengalami penggumpalan dan cukup mengendap.
c. Pengamatan dengan uji reduktase menunjukkan pada sampel susu segar dan
susu suhu dingin 1 hari tidak mengalami perubahan warna selama 150
menit yaitu warna tetap biru tua, sedangkan sampel susu simpan 1 hari di
suhu ruang mengalami perubahan warna biru pada menit ke- 120 hingga ke-
150.
DAFTAR PUSTAKA

Abid, H., Ali, J., Waqas, M., Anwar, Y., and Ullah, J. (2009) Microbial quality
assessment study of branded and unbranded milk sold in Peshawar City,
Pakistan. Pakis. J. Nutrit., 8: 704-709.
Abubakar, Triyantini, R. Sunarlim, H. Setyanto, dan Nurjanah. 2000. Pengaruh
Suhu dan Waktu Pasteurisasi terhadap Mutu Susu Selama Penyimpanan.
Balai Penelitian Ternak. Bogor.
Ace, I. S., Wahyuningsih. 2010. Hubungan variasi pakan terhadap mutu susu segar
di desa pasirbuncir kecamatan caringin kabupaten bogor. Jurnal. Jurnal
Penyuluhan Pertanian volume 5 nomor 1 halaman 67-77.
Bayu, Mohammad Kresna., Heni Rizqiati., dan Nurwantoro. 2017. Analisis Total
Padatan Terlarut, Keasaman, Kadar Lemak, dan Tingkat Viskositas pada
Kefir Optima dengan Lama Fermentasi yang Berbeda. Jurnal Teknologi
Pangan Vol. 1 No. 2 Hal 33-38.
BPOM. 2006. Kategori Pangan. Surat Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat
dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.00.05.52.4040.
Buckle, K.A., Edwards, G.H. Fleet, dan H. Wooton. (1985). Ilmu Pangan.
Universitas Indonesia. : Jakarta
Cempirkova, R. (2006) Factors Negatively influencing microbial contamination of
milk. J. Agric. Trop. Et Subtrop. 39: 220-221.
Chairunnisa, Hartati. 2009. Penambahan Susu Bubuk Full Cream pada Pembuatan
Produk Minuman Fermentasi dari Bahan Baku Esktrak Jagung Manis.
Jurnal Teknologi dan Industri Pangan Vol. XX No. 2.
Chapman and Hall. 1999. Milk Quality. Ashen Publishers, Inc, Maryland ISBN 0-
8342-1345-1.
Dairygoodness. 2014. Other Types of Milk. www.dairygoodness.ca
Damodaran, S. and Paraf, A. 1997. Food Proteins and Their Applications. Marcel
Dekker Inc. New York .
Day dan Underwood. 2001. Analisis Kimia Kuantitatif Edisi Keenam. Jakarta:
Erlangga.
Djaafar, T.F., dan Rahayu, S. 2006. Cemaran Mikroba Pada Produk Pertanian,
Penyakit yang Ditimbulkan dan Pencegahannya. Jurnal Litbang Pertanian,
26(2):67-75.
Dwi Cahyono, Masdiana Ch. Padaga dan Manik Eirry Sawitri.2013. Kajian
Kualitas Mikrobiologis (Total Plate Count (TPC), Enterobacteriaceae Dan
Staphylococcus Aureus) Susu Sapi Segar Di Kecamatan Krucil Kabupaten
Probolinggo .Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak. Vol. 8(1):1-5.
Dwitania, D. C., Swacita, I. B. 2013. Uji Didih, Alkohol dan Derajat Asam Susu
Sapi Kemasan yang Dijual di Pasar Tradisional Kota Denpasar. Indonesia
Medicus Veterinus 2013 2(4) : 437 – 444 ISSN : 2301-7848
Dwitania, Deski C., dan Ida Bagus Ngurah Swacita. 2013. Uji Didih, Alkohol dan
Derajat Asam Susu Sapi kemasan yang Dijual di Pasar Tradisional Kota
Denpasar. Jurnal Indonesia Meicus Veterinus. Vol. 2. No. 4. Hal. 437-444.
Eckless, G. H., W. B. Combs, dan H. Macy. 1951. Milk and Milk Products. New
York: McGraw Hill Book C. O.
Fardiaz S. 1993. Mikrobiologi Pangan 1. Institut Pertanian Bogor : Bogor.
Foster EM and Nelson Fe, Speck ML,Doesch RN, and Olson JC.1961. Dairy
Microbiology.Prentice-Hall, Inc. New Jersey.
Gleeson, D., O'Brien, B., Flynn, J., O'Callaghan, E., and Galli, F. (2009) Effect of
pre-milking teat preparation procedures on the microbial count on teats prior
to cluster application, J. Vet. Irish 62: 461- 467.
Hadiwiyoto, S. 1983. Hasil-Hasil Olahan Susu, Ikan, Daging Dan Telur.
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Hassan, Amjad and Mahmood. 2009. Microbiological and Physicochemical
Analysis of Different UHT Milks Available in Market. African Journal of
Food Science Vol. 3(4).
Hempen, M., Unger, F., Munstermann, S., Seck, M.T. and Niamy, V. (2004) The
hygienic status of raw and sour milk from smallholder dairy farms and local
markets and potential risk for public health in the Gambia, Senegal and
Guinea, Animal Health Res.3: 4-54.
Huda, Misbahul., Holidy Ilyas. 2016. Pengaruh Waktu Dan Suhu Penyimpanan Air
Susu Ibu Terhadap Kualitas Bakterioogis. Jurnal Keperawatan. Vol 7 (1) :
97-105.
Kaewmanee, T., S. Benjakul, W., dan Visessanguan. 2011. Effect Of Salting
Processes And Time On The Chemical Composition Textural Properties,
And Microstructure Of Cooked Duck Egg. Journal Of Food Science 76 (2):
S139- S147.
Kelly, P.T., O'Sullivan, K., Berry, D.p., More, S.J., Meaney, W.J., O'Callaghan,
E.J. and O'Brien, B. (2009) Farm management factors associated with bulk
tank total bacterial count in Irish dairy herds during 2006/07. J. Vet. Irish
62 : 36-42.
Lingathurai, S. and Vellathurai, P. (2010) Bacteriological quality and safety of raw
cow milk in Madurai, South India. Web. Med. Central. Microb.1: 2-4.
Lues, J.F.R., De Beer, H., Jacoby, A., Jansen, K.E. and Shale, K. (2010) Microbial
quality of milk, produced by small scale farmers in a Peri-urban area in
South Africa. Afric. J. Microb. Res. 4: 1823-1830.
Maitimu, Centhya Victorin., Anang M. Legowo., dan Ahmad N. Al-­‐Baarri. 2012.
Parameter Keasaman Susu Pasteurisasi Dengan Penambahan Ekstrak
Daun Aileru (Wrightia Caligria). Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan Vol. 1
No. 1.
Man, Y. C., Suhardiyono, dan Ali A. Azudin MN.1992. Acetic Acid Treatment Of
Coconut Cream In Coconut Oil Extraxtion. ASEAN Food Journal 7(1): 38-
42.
Muchtadi, Tien, dkk. 2011. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Penerbit Alfabeta.
Bandung.
Muliro, Patrick S, Peter L. Shalo, dan Philip M. Kutima. 2013. Quality Assessment
of Raw Camel Milk Using Dye Reduction Tests. African Journal of
Microbiology Research, Vol. 04, No. 05.
Murti, Tridjoko Wisnu.2014. Pangan, Gizi, dan Teknologi susu. Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press.
Nababan, Lely A., I Ketut Suada, dan Ida Bagus Ngurah Swacita. 2014. Ketahanan
Susu Segar pada Penyimpanan Suhu Ruang Ditinjau dari Uji Tingkat
Keasaman, Didih, dan Waktu Reduktase. Jurnal Indonesia Medicus
Veterinus. Vol. 3. No. 4. Hal. 274-282.
Nababan, Maulina, I Ketut Suada, Ida Bagus Ngurah Swacita.2015.Kualitas Susu
Segar pada Penyimpanan Suhu Ruang Ditinjau dari Uji Alkohol, Derajat
Keasaman dan Angka Katalase.Jurnal Indonesia Medicus Veterinius. Vol
4(4) : 374-38.
Nandy, Subir Kumar., K.V. Venkatesh. 2010. Application Of Methylene Blue Dye
Reduction Test (Mbrt) To Determine Growth And Death Rates Of
Microorganisms. African Journal of Microbiology Research Vol. 4 (1) :
061-070.
Ng-Kwai-Hang KF. 2003. Milk proteins-heterogeneity, fractionation and isolation.
In: Roginski H, Fuquay JW, Fox PF, editors, Encyclopedia of Dairy
Sciences. London: Academic Press. pp. 18811894
Nilamsari, G.A., S.M Sayuthi dan Sudjatmogo Tampilan Total Bakteri Dan Ph Pada
Susu Sapi Friesien Holstein (Fh) Akibat Perbedaan Konsentrasi Iodosfor.
Total Animal Agriculture Journal.Vol.4(1): 177-181.
Novia, D., S. Melia, dan N. Z. Ayuza. 2011. Kajian Suhu Pengovenan Terhadap
Kadar Protein Dan Nilai Organoleptik Telur Asin. Jurnal Peternakan 8 (2):
70 – 76.
Nurwantoro. 1997. Mikrobiologi Pangan Hewani-Nabati. Kanisius, Yogyakarta.
Padaga, Masdiana C., Dan Aulanni’am. 2017. Susu Sebagai Nutrasetika Untuk
Penyakit Gangguan Metabolik. Malang: UB Press.
Saragih, C.I., Suada, I.K., dan Sampurna, I.P. (2013). Ketahanan Susu Kuda
Sumbawa Ditinjau dari Waktu reduktase, Angka Katalase, Berat Jenis, dan
Uji Kekentalan. Indonesia Medicus Veterinus,2 (5), 553-561.
Sari, M., I.B.N. Swacita dan K.K. Agustina. 2013. Kualitas Susu Kambing
Peranakan Etawah Post-Thawing Ditinjau dari Waktu Reduktase dan Angka
Katalase. Jurnal Indonesia Medicus Veterinus. 2 (2): 202 – 207.
Septiani,Monica, Yatri Drastini.2014. Jumlah Total Bakteri Susu dari Koperasi
Susu di Yogyakarta dan Jawa Timur.Jurnal Sain Veteriner.Vol 32 (1): 68-
74.
Sintasari, Rinelda Ayu., Joni Kusnadi., dan Dian Widya Ningtyas. 2014. Pengaruh
Penambahan Konsentrasi Susu Skim dan Sukrosa terhadap Karakteristik
Minuman Probiotik Sari Beras Merah. Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol.
2 No. 3 Hal 65-75.
Smith, C. S., dan Gnodi M. T. 1959. Analytical Chemistry 2.0. Cambridge: MIT
Press.
SNI 01-3141-1998 Tentang Susu Segar. Badan Statistik Nasional. Indonesia
Sommer and Binney. 1922. A Study of The Factors That Influence the Coagulation
of Milk in the Alcohol Test. Department of Dairy Husbandry, College of
Agriculture, University of Wisconsin Madison, Wisconsin.
Standar Nasional Indonesia. 01-3141-1998. Susu Segar.
Standar Nasional Indonesia. 1998. 01-3141-1998 : Susu Segar. Badan Standardisasi
Indonesia
Suardana IW dan Swacita IBN. 2009. Higiene Makanan Kajian Teori Dan Prinsip
Dasar. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Udayana. Denpasar.
Sudarwanto M. 2005. Bahan Kuliah Hygine Makanan Bagian Penyakit Hewan dan
Kesehatan Masyarakat. Veteriner FKH IPB.Bogor.
Sunarlim, Roswita. 2009. Potensi Lactobacillus, sp. Asal dari Dadih Sebagai Starter
pada Pembuatan Susu Fermentasi Khas Indonesia. Buletin Teknologi
Pascapanen Pertanian Vol. 5.
Talib, Muhammad Fachrial. 2007. Aplikasi Statistical Process Control (SPC)
dalam Pengendalian Bobot Bersih Susu UHT Real Good Sereal Strawberry
di PT. Greenfields Indonesia, Kabupaten Malang. Skripsi Ilmu dan
Teknologi Pangan IPB Bogor.
Tarigan, M. S., dan Edward. 2003. Kandungan Total Zat Padat Tersuspensi (Total
Suspended Solid) Di Perairan Raha, Sulawesi Tenggara. Makara Sains 7
(3).
Umar, Razali, dan Andi Novita.2014.Derajat Keasaman Dan Angka Reduktase
Susu Sapi Pasteurisasi Dengan Lama Penyimpanan Yang Berbeda. Jurnal
Medika Veterinaria. Vol. 8(1):43-46.
Volk, W.A. dan M.F. Wheeler. 1990. Mikrobiologi Dasar. Edisi ke-5. Erlangga.
Jakarta.
Wardana, Agung Setya. 2012. Teknologi Pengolahan Susu. Fakultas Teknologi
Pertanian Universitas Slamet Riyadi Surakarta
Widayanti, Galih., Didik Setiyo Widodo, Dan Abdul Haris. 2012.
Elektrodekolorisasi Perairan Tercemar Limbah Cair Industri Batik Dan
Tekstil Di Daerah Batang Dan Pekalongan. Jurnal Kimia Sains Dan
Aplikasi 15 (2): 62 – 69.
Widodo. 2018. Bakteri Asam Laktat Strain Lokal. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Winarno, F. G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Umum.
Yogyakarta.
Yuliani. 2006. Kandungan Mineral Protein Krim Kelapa (Blondo) Yang Diperoleh
Dari Pengendapan Menggunakan Kalsium Sulfat. Jurnal Teknologi
Pertanian 2(1): 7-12.
LAMPIRAN DOKUMENTASI

Gambar 3.4 Pemasukkan ke Gambar 3.5 Penyetelan suhu


dalam oven oven

Gambar 3.6 Pemasukkan ke Gambar 3.7 Uji Alkohol


dalam desikator
LAMPIRAN PERHITUNGAN

Rumus Perhitngan %Total Padatan :


𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑖𝑜𝑣𝑒𝑛−𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑢𝑟𝑠 𝑘𝑜𝑠𝑜𝑛𝑔
%𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑎𝑑𝑎𝑡𝑎𝑛 = 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑢𝑟𝑠+𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙−𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑢𝑟𝑠 𝑘𝑜𝑠𝑜𝑛𝑔

18,588−17,741
A. %𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑎𝑑𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑠𝑢𝑠𝑢 𝑠𝑒𝑔𝑎𝑟 = 𝑋 100%
22,803−17,741

= 16,7%

18,505−17,726
B. %𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑎𝑑𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑠𝑢𝑠𝑢 𝑠𝑘𝑖𝑚 = 𝑋 100%
22,915−17,726
= 15%

18,020−17,553
C. %𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑎𝑑𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑠𝑢𝑠𝑢 𝑓𝑢𝑙𝑙 𝑐𝑟𝑒𝑎𝑚 = 22,600−17,553 𝑋 100%
= 9,4%

18,744−17,756
D. %𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑎𝑑𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑠𝑢𝑠𝑢 𝑓𝑜𝑟𝑚𝑢𝑙𝑎 = 𝑋 100%
23,017−17,756
= 18,8%

You might also like