Professional Documents
Culture Documents
AMBALAT
OLEH :
ANDJELI SAVITRI
DHELVIA JUSMI
GHOFIFAH UMI SASTRI
MUHAMMAD RIZANDI
NADYA TRISKADILA
PRASETYA JORGHI
SHEREN VIONA
Kronologi Sengketa
Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika
dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata
memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua
negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status quo akan
tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru
yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap
berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia
mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh
ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai. Sedangkan
Malaysia malah membangun resort di sana, di dua pulau kecil yang terletak di Laut Sulawesi
itu dibangun cottage. Di atas Sipadan, pulau yang luasnya hanya 4 km2 itu, kini, siap menanti
wisatawan. Pengusaha Malaysia telah menambah jumlah penginapan menjadi hampir 20
buah. Dari jumlahnya, fasilitas pariwisata itu memang belum bisa disebut memadai. Tapi
pemerintah Indonesia, yang juga merasa memiliki pulau-pulau itu, segera mengirim protes ke
Kuala Lumpur, minta agar pembangunan di sana diberhentikan terlebih dahulu. Alasannya,
Sipadan dan Ligitan itu masih dalam sengketa, belum diputus siapa pemiliknya.Pada tahun
1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta
nasionalnya
Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggaraatau TAC
(Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di
pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk
menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak
Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim
pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa kepulauan
Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan
Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara
Brimob) melakukan pengusiran semua warga negara Indonesia serta meminta pihak
Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau.
Setelah hampir 30 tahun, perundingan tiba pada jalan buntu, karena baik Indonesia
yang bertahan pada posisi dan argumentasi bahwa kedua pulau tersebut telah menjadi bagian
wilayahnya sejak masa penjajahan Belanda, maupun Malaysia yang juga meyakini
kedaulatannya atas pulau-pulau tersebut sejak masa colonial Inggris, tetap bertahan pada
posisi masing-masing. Pada 1997 kedua belah pihak sepakat menempuh jalan hukum yaitu
dengan menyerahkan sengketa tersebut kepada Mahkamah Internasional.
Sikap pihak Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi
ASEAN dan selalu menolak membawa masalah ini ke ICJ kemudian melunak. Dalam
kunjungannya ke Kuala Lumpur pada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto akhirnya
menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh
Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim, dibuatkan kesepakatan “Final and
Binding,” pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani persetujuan tersebut.
Indonesia meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun
1997 demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997.
Kronologi Kejadian
Tentara Nasional Indonesia bersiap mengeluarkan taring di Blok Ambalat menyusul
pelanggaran udara oleh Malaysia di wilayah itu hingga sembilan kali. Di zona itu, TNI
Angkatan Laut dan Angkatan Udara kini bergabung menggelar Operasi Sakti. Mereka
menurunkan tiga kapal perang, jet tempur Sukhoi Su-27, Su-30, dan F-16 Fighting Falcon.
Ambalat telah lama menjadi wilayah sengketa Indonesia dan Malaysia, dua negara
serumpun yang bertetangga. Blok laut seluas 15.235 kilometer persegi yang terletak di Selat
Makassar itu menyimpan potensi kekayaan laut yang luar biasa, terutama minyak.
Berdasarkan informasi yang dihimpun dari berbagai sumber, ada satu titik tambang di
Ambalat yang menyimpan cadangan potensial 764 juta barel minyak dan 1,4 triliun kaki
kubik gas. Itu baru sebagian kecil, sebab Ambalat memiliki titik tambang tak kurang dari
sembilan. Kandungan minyak dan gas di sana disebut dapat dimanfaatkan hingga 30 tahun –
suatu keuntungan besar bagi negara manapun yang menguasai Ambalat.
Sejak 1979 Malaysia sudah mengincar Ambalat, ketika negeri itu memasukkan Pulau
Sipadan dan Ligitan yang berada di perairan Ambalat sebagai titik pengukuran zona ekonomi
eksklusif mereka. Dalam peta itu, Ambalat pun diklaim milik Malaysia –memancing protes
dari Indonesia.
Indonesia tegas menyatakan Ambalat sebagai bagian dari wilayahnya sebab dari segi
historis, Ambalat merupakan wilayah Kesultanan Bulungan di Kalimantan Timur yang jelas
masuk Indonesia. Terlebih berdasarkan Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa
yang telah diratifikasi RI dan tercantum pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1984,
Ambalat diakui dunia sebagai milik Indonesia.
Meski demikian, kapal perang dan pesawat tempur Malaysia tetap sering wara-wiri di
Ambalat. Pada 2005 bahkan sempat terjadi ketegangan serius di Ambalat. Saat itu Angkatan
Laut RI dan Malaysia sama-sama dalam kondisi siap tempur.
Kronologi Ketegangan
Pada 21 Februari 2005, 17 warga Indonesia ditangkap kapal perang Malaysia, KD Sri
Malaka, di Karang Unarang yang dianggap masih bagian dari Ambalat. Angkatan Laut
Malaysia kemudian mengejar nelayan Indonesia hingga keluar Ambalat.
Selanjutnya pada 8 April 2005, kapal perang RI, KRI Tedong Naga, menyerempet
Kapal Diraja Rencong milik Malaysia sampai tiga kali, namun tak sampai terjadi hantam
meriam antarkedua kapal. Untuk mencegah pecahnya peperangan antara armada tempur dua
negara di perairan sekitar Ambalat, Panglima TNI pada 21 April menerbitkan Surat
Keputusan yang menyatakan TNI AL hanya boleh melepaskan tembakan jika Malaysia lebih
dulu menembak mereka.
Di masa tegang kala itu, Indonesia mengklaim telah terjadi 35 kali pelanggaran
perbatasan oleh Malaysia. Tahun berganti, ketegangan tak jua surut. Pada 24 Februari 2007,
kapal perang KD Budiman milik Malaysia memasuki perairan Indonesia hingga satu mil laut
sekitar pukul 10.00 WITA. Sore harinya, kapal perang Malaysia yang lain, KD Sri Perlis,
bahkan ikut memasuki wilayah RI hingga dua mil laut.
Kedua kapal perang Malaysia itu kemudian diusir keluar dari perairan Indonesia oleh
kapal perang RI, KRI Welang. Namun Malaysia tak berhenti begitu saja. Keesokannya, 25
Februari 2007, KD Sri Perlis kembali memasuki perairan Indonesia sejauh 3 ribu yard sekitar
pukul 09.00 WITA. Kapal itu segera diusir keluar wilayah RI oleh KRI Untung Suropati.
Meski demikian, ketegangan berlanjut dua jam kemudian. Jelang tengah hari sekitar
pukul 11.00 WITA, pesawat patroli Malaysia melintas di wilayah udara RI sejauh 3 ribu
yard. ‘Kebandelan’ Malaysia ini membuat Indonesia menyiagakan empat kapal perangnya
sekaligus, yakni KRI Untung Suropati, KRI Ki Hadjar Dewantara, KRI Welang, dan KRI
Keris.
Dua tahun kemudian, 2009, Indonesia kembali mengingatkan Malaysia untuk tak
melakukan provokasi militer di Ambalat. Indonesia pun terus memperketat penjagaannya di
Ambalat dengan mengerahkan 130 pasukan marinir ke wilayah itu. Kapal perang pun
disiagakan di Ambalat.
Tedjo Edhy Purdijatno yang saat itu masih menjabat Kepala Staf Angkatan Laut
mengatakan TNI akan terus menambah kekuatan pasukan marinir di sekitar Ambalat.
Penjagaan keamanan di Ambalat menjadi prioritas, sebab sejak Januari hingga Juni 2009,
sudah 13 kali kapal dan pesawat tempur Malaysia memasuki Ambalat.
Pada 1 Juni 2009, Hatta Rajasa yang saat itu menjabat Menteri Sekretaris Negara
menyatakan Indonesia tak bakal melepaskan Ambalat sejengkal pun. Ucapan Hatta itu imbas
insiden beberapa hari sebelumnya, 25 Mei 2009, saat kapal perang Tentara Diraja Laut
Malaysia masuk Ambalat hingga diusir KRI Untung Suropati.
Malaysia, di tiap perundingan dengan Indonesia, kerap menyebut dan meyakini
Ambalat sebagai bagian dari teritorial mereka. Malaysia bahkan memprotes kehadiran TNI di
Blok Ambalat.
Hingga kini, 2015, Ambalat belum bertemu damai. TNI meminta pemerintah RI untuk
kembali melayangkan protes diplomatik ke Malaysia karena sembilan kali pelanggaran
sepanjang tahun ini yang dilakukan militer Malaysia di Ambalat.