You are on page 1of 11

TUGAS PPKN TENTANG

AMBALAT

OLEH :
 ANDJELI SAVITRI
 DHELVIA JUSMI
 GHOFIFAH UMI SASTRI
 MUHAMMAD RIZANDI
 NADYA TRISKADILA
 PRASETYA JORGHI
 SHEREN VIONA

SMA NEGERI 1 TOBOALI


TAHUN PELAJARAN 2018/2019
Ambalat
Ambalat (Ambang Batas Laut)
merupakan perairan nusantara yang luasnya
mencakup 15.235 km2 yang terletak Ambalat
terletak di Laut Sulawesi atau Selat Makassar,
pada posisi 40 mil dari pulau Sebatik
Indonesia atau 30 mil dari Pulau Bunyu, 12
mil dari Karang Unarang dan 12 mil selatan
dari Pulau Sipadan – Ligitan Malaysia
(Asnawi, 2005).dan berada di dekat
perpanjangan perbatasan darat antara Sabah,
Malaysia, dan Kalimantan Timur, Indonesia. Nama Ambalat aslinya merupakan nama sebuah
Desa yang terletak sekitar 49,6 km di sebelah barat Tarakan, Kalimantan Timur. Kemudian
oleh Indonesia nama ini dipakai untuk menandai nama suatu blok konsesi eksplorasi migas
lepas pantai. Posisi geogrsfis kawasan Ambalat dan Ambalat Timur adalah 2° 45’ LU - 3° 52’
LU dan 118° 17’ BT - 119° 05’ BT. Di Ambalat terdapat kekayaan laut dan bawah laut yang
melimpah. Selain itu, ditemukan adanya kandungan minyak yang dapat dieksplorasi hingga
jangka waktu 30 tahun. Penamaan blok laut ini didasarkan atas kepentingan eksplorasi
kekayaan laut dan bawah laut, khususnya dalam bidang pertambangan minyak. Blok laut ini
tidak semuanya kaya akan minyak mentah.
Adapun faktor-faktor penyebab timbulnya persengketaan blok perairan ambalat antara
Indonesia dengan Malaysia yaitu:
1. Masing-masing negara baik Indonesia maupun Malaysia mengklaim bahwa blok perairan
ambalat adalah wilayah teritorial kedaulatan negaranya. Malaysia dengan Peta Pentas
Malaysia 1979 memasukkan Blok Ambalat secara sepihak sebagai wilayahnya dengan
koordinat ND 6 dan ND 7. Sedangkan menurut Indonesia, Ambalat masuk wilayah
Indonesia berdasarkan batasan yang diberikan dalam Bab 4 Konvensi Hukum Laut 1982
mengenai negara kepulauan, yang mengakui Indonesia sebagai negara kepulauan yang
berhak menarik garis 200 mil dari pantai terluar.
2. Tidak adanya batas negara yang jelas dikawasan perairan ambalat. Indonesia telah
berunding dengan Malaysia sebanyak 28 kali selama 2005 – 2015 untuk membahas
penetapan batas maritim kedua negara di semua segmen, yaitu Selat Malaka, Selat
Singapura, Laut China Selatan, dan Laut Sulawesi. Selama 10 tahun perundingan masih
terdapat perbedaan mendasar mengenai metode serta prinsip – prinsip hukum penarikan
garis batas maksimum.
3. Tidak adanya kesepakatana antar kedua negara atas batas Negara.
4. Adanya sumber daya alam yang melimpah ruah yang terkandung dalam perut bumi di
kawasan perairan amabalat yaitu minyak dan gas bumi.

Kronologi Sengketa
Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika
dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata
memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua
negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status quo akan
tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru
yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap
berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia
mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh
ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai. Sedangkan
Malaysia malah membangun resort di sana, di dua pulau kecil yang terletak di Laut Sulawesi
itu dibangun cottage. Di atas Sipadan, pulau yang luasnya hanya 4 km2 itu, kini, siap menanti
wisatawan. Pengusaha Malaysia telah menambah jumlah penginapan menjadi hampir 20
buah. Dari jumlahnya, fasilitas pariwisata itu memang belum bisa disebut memadai. Tapi
pemerintah Indonesia, yang juga merasa memiliki pulau-pulau itu, segera mengirim protes ke
Kuala Lumpur, minta agar pembangunan di sana diberhentikan terlebih dahulu. Alasannya,
Sipadan dan Ligitan itu masih dalam sengketa, belum diputus siapa pemiliknya.Pada tahun
1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta
nasionalnya

Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggaraatau TAC
(Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di
pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk
menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak
Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim
pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa kepulauan
Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan
Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara
Brimob) melakukan pengusiran semua warga negara Indonesia serta meminta pihak
Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau.
Setelah hampir 30 tahun, perundingan tiba pada jalan buntu, karena baik Indonesia
yang bertahan pada posisi dan argumentasi bahwa kedua pulau tersebut telah menjadi bagian
wilayahnya sejak masa penjajahan Belanda, maupun Malaysia yang juga meyakini
kedaulatannya atas pulau-pulau tersebut sejak masa colonial Inggris, tetap bertahan pada
posisi masing-masing. Pada 1997 kedua belah pihak sepakat menempuh jalan hukum yaitu
dengan menyerahkan sengketa tersebut kepada Mahkamah Internasional.
Sikap pihak Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi
ASEAN dan selalu menolak membawa masalah ini ke ICJ kemudian melunak. Dalam
kunjungannya ke Kuala Lumpur pada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto akhirnya
menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh
Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim, dibuatkan kesepakatan “Final and
Binding,” pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani persetujuan tersebut.
Indonesia meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun
1997 demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997.

Keputusan Mahkamah Internasional


Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ, kemudian
pada hadi Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa
kedaulatan Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting
di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang
berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara
satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan
Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada
pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris
(penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan
ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu
sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata
yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of
title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di
perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.
Kekalahan Indonesia di Sipadan dan Ligitan (sebelah utara Ambalat) adalah karena
Indonesia tidak bisa menunjukkan bukti bahwa Belanda (penjajah Indonesia) telah memiliki
kedua pulau itu; sementara Malaysia bisa menunjukkan bukti bahwa Inggris (penjajah
Malaysia) memiliki dan mengelola kedua pulau itu. Dalam Hukum Internasional dikenal
istilah “Uti Possidetis Juris” yang artinya negara baru akan memiliki wilayah atau batas
wilayah yang sama dengan bekas penjajahnya. Dalam sengketa Sipadan-Ligitan, Indonesia
dan Malaysia bersepakat istilah “warisan penjajah” itu berlaku untuk wilayah-wilayah yang
dikuasai sebelum tahun 1969. Jadi Mahkamah Internasional memenangkan Malaysia saat itu
bukan karena Malaysia pada tahun 1990-an telah membangun resort di kedua pulau itu; tetapi
karena Inggris sebelum tahun 1969 telah menununjukkan penguasaan yang efektif atas kedua
pulau itu berupa pungutan pajak atas pemungutan telur penyu, operasi mercu suar, dan aturan
perlindngan satwa.
Sebenarnya pemerintah Indonesia dengan para diplomatnya telah berusaha untuk
mendapatkan hak atas kedua pulau itu. Dengan segala cara mereka kerahkan,mulai dari
Diplomasi dan perundingan setiap tahun-nya,tetapi Indonesia dan Malaysia juga tidak dapat
mencari titik temu dan kesepakatan dalam Sipadan dan Ligitan. Sesuai dengan Piagam
ASEAN,di mana negara-negara anggota ASEAN dalam menyelesaikan suatu permasalahan
harus di tempuh nya itikad baik dan damai (Perjanjian ASEAN 24 februari 1976 di BALI).
Apabila tidak menemukan kesepakatan, setiap anggota ASEAN wajib membawa kasus
mereka ke PBB dan putusan Mahkamah Internasional adalah final dan tidak dapat di ganggu
gugat.

Awal Persengketaan Kasus AMBALAT


Persoalan klaim diketahui setelah pada tahun 1967 dilakukan pertemuan teknis pertama
kali mengenai hukum laut antara Indonesia dan Malaysia. Kedua belah pihak bersepakat
(kecuali Sipadan dan Ligitan diberlakukan sebagai keadaan status quo). Pada tanggal 27
Oktober 1969 dilakukan penandatanganan perjanjian antara Indonesia dan Malaysia, yang
disebut sebagai Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia - Malaysia, kedua negara
masing-masing melakukan ratifikasi pada 7 November 1969, tak lama berselang masih pada
tahun 1969 Malaysia membuat peta baru yang memasukan pulau Sipadan, Ligitan dan Batu
Puteh (Pedra blanca) tentunya hal ini membingungkan Indonesia dan Singapura dan pada
akhirnya Indonesia maupun Singapura tidak mengakui peta baru Malaysia tersebut.
Kemudian pada tanggal 17 Maret 1970 kembali ditanda tangani Persetujuan Tapal batas Laut
Indonesia dan Malaysia. Akan tetapi pada tahun 1979 pihak Malaysia membuat peta baru
mengenai tapal batas kontinental dan maritim dengan yang secara sepihak membuat
perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukan blok maritim Ambalat ke dalam
wilayahnya yaitu dengan memajukan koordinat 4° 10' arah utara melewati Pulau Sebatik.
Indonesia memprotes dan menyatakan tidak mengakui klaim itu, merujuk pada Perjanjian
Tapal Batas Kontinental Indonesia - Malaysia tahun 1969 dan Persetujuan Tapal batas Laut
Indonesia dan Malaysia tahun 1970. Indonesia melihatnya sebagai usaha secara terus-
menerus dari pihak Malaysia untuk melakukan ekspansi terhadap wilayah Indonesia. Kasus
ini meningkat profilnya setelah Pulau Sipadan dan Ligitan, juga berada di blok Ambalat,
dinyatakan sebagai bagian dari Malaysia oleh Mahkamah Internasional.
Kasus Ambalat merupakan permasalahan yang sangat krusial bagi kedua belah pihak
baik bagi Indonesia maupun bagi Malaysia karena masalah Ambalat merupakan masalah
kedaulatan dan konsitusi suatu negara, berarti jika suatu wilayah di rampas (diambil) oleh
negara lain maka pemerintah yang bersangkutan akan mempertahanakan kedaulatan
wilayahnya dengan cara apapun baik secara kekerasan (militer) maupun diplomasi untuk
mempertahanakan kedaulatannya. Apalagi ditambah dengan adanya kandungan sumber daya
alam yang sangat melimpah di wilayah perairan Ambalat yaitu yang berupa minyak dan gas
bumi.
Kandungan minyak dan gas bumi di dua lempengan East Ambalat dan Blok East
Ambalat jika dieksploitasi memberi potensi keuangan sebesar Rp 4.200 triliun, jauh lebih
besar dari utang Indonesia yang Rp 1.400 triliun. Sejak tahun 1979, Malaysia telah
mengklaim Blok Ambalat yang terletak di perairan Laut Sulawesi di sebelah timur Pulau
Kalimantan itu sebagai miliknya, lalu memasukkannya ke dalam peta wilayah negaranya.
Dengan klaim tersebut, melalui Petronas, Malaysia kemudian memberikan konsesi minyak
(production sharing contracts) di Blok Ambalat kepada Shell, perusahaan minyak Inggris-
Belanda. Sebelumnya, kegiatan penambangan migas di lokasi yang disengketakan itu dibagi
oleh pemerintah Indonesia menjadi Blok Ambalat dan Blok East Ambalat. Blok Ambalat
dikelola kontraktor migas ENI asal Italia sejak tahun 1999, sementara Blok East Ambalat
dikelola Unocal Indonesia Ventures Ltd. asal Amerika sejak Desember 2004. Pemerintah
Malaysia menyebut Blok Ambalat sebagai ND 6 atau Blok Y, sedangkan blio East Ambalat
sebagai ND 7 atau Balok Z.2

Kronologi Kejadian
Tentara Nasional Indonesia bersiap mengeluarkan taring di Blok Ambalat menyusul
pelanggaran udara oleh Malaysia di wilayah itu hingga sembilan kali. Di zona itu, TNI
Angkatan Laut dan Angkatan Udara kini bergabung menggelar Operasi Sakti. Mereka
menurunkan tiga kapal perang, jet tempur Sukhoi Su-27, Su-30, dan F-16 Fighting Falcon.
Ambalat telah lama menjadi wilayah sengketa Indonesia dan Malaysia, dua negara
serumpun yang bertetangga. Blok laut seluas 15.235 kilometer persegi yang terletak di Selat
Makassar itu menyimpan potensi kekayaan laut yang luar biasa, terutama minyak.
Berdasarkan informasi yang dihimpun dari berbagai sumber, ada satu titik tambang di
Ambalat yang menyimpan cadangan potensial 764 juta barel minyak dan 1,4 triliun kaki
kubik gas. Itu baru sebagian kecil, sebab Ambalat memiliki titik tambang tak kurang dari
sembilan. Kandungan minyak dan gas di sana disebut dapat dimanfaatkan hingga 30 tahun –
suatu keuntungan besar bagi negara manapun yang menguasai Ambalat.
Sejak 1979 Malaysia sudah mengincar Ambalat, ketika negeri itu memasukkan Pulau
Sipadan dan Ligitan yang berada di perairan Ambalat sebagai titik pengukuran zona ekonomi
eksklusif mereka. Dalam peta itu, Ambalat pun diklaim milik Malaysia –memancing protes
dari Indonesia.
Indonesia tegas menyatakan Ambalat sebagai bagian dari wilayahnya sebab dari segi
historis, Ambalat merupakan wilayah Kesultanan Bulungan di Kalimantan Timur yang jelas
masuk Indonesia. Terlebih berdasarkan Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa
yang telah diratifikasi RI dan tercantum pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1984,
Ambalat diakui dunia sebagai milik Indonesia.
Meski demikian, kapal perang dan pesawat tempur Malaysia tetap sering wara-wiri di
Ambalat. Pada 2005 bahkan sempat terjadi ketegangan serius di Ambalat. Saat itu Angkatan
Laut RI dan Malaysia sama-sama dalam kondisi siap tempur.

Kronologi Ketegangan
Pada 21 Februari 2005, 17 warga Indonesia ditangkap kapal perang Malaysia, KD Sri
Malaka, di Karang Unarang yang dianggap masih bagian dari Ambalat. Angkatan Laut
Malaysia kemudian mengejar nelayan Indonesia hingga keluar Ambalat.
Selanjutnya pada 8 April 2005, kapal perang RI, KRI Tedong Naga, menyerempet
Kapal Diraja Rencong milik Malaysia sampai tiga kali, namun tak sampai terjadi hantam
meriam antarkedua kapal. Untuk mencegah pecahnya peperangan antara armada tempur dua
negara di perairan sekitar Ambalat, Panglima TNI pada 21 April menerbitkan Surat
Keputusan yang menyatakan TNI AL hanya boleh melepaskan tembakan jika Malaysia lebih
dulu menembak mereka.
Di masa tegang kala itu, Indonesia mengklaim telah terjadi 35 kali pelanggaran
perbatasan oleh Malaysia. Tahun berganti, ketegangan tak jua surut. Pada 24 Februari 2007,
kapal perang KD Budiman milik Malaysia memasuki perairan Indonesia hingga satu mil laut
sekitar pukul 10.00 WITA. Sore harinya, kapal perang Malaysia yang lain, KD Sri Perlis,
bahkan ikut memasuki wilayah RI hingga dua mil laut.
Kedua kapal perang Malaysia itu kemudian diusir keluar dari perairan Indonesia oleh
kapal perang RI, KRI Welang. Namun Malaysia tak berhenti begitu saja. Keesokannya, 25
Februari 2007, KD Sri Perlis kembali memasuki perairan Indonesia sejauh 3 ribu yard sekitar
pukul 09.00 WITA. Kapal itu segera diusir keluar wilayah RI oleh KRI Untung Suropati.
Meski demikian, ketegangan berlanjut dua jam kemudian. Jelang tengah hari sekitar
pukul 11.00 WITA, pesawat patroli Malaysia melintas di wilayah udara RI sejauh 3 ribu
yard. ‘Kebandelan’ Malaysia ini membuat Indonesia menyiagakan empat kapal perangnya
sekaligus, yakni KRI Untung Suropati, KRI Ki Hadjar Dewantara, KRI Welang, dan KRI
Keris.
Dua tahun kemudian, 2009, Indonesia kembali mengingatkan Malaysia untuk tak
melakukan provokasi militer di Ambalat. Indonesia pun terus memperketat penjagaannya di
Ambalat dengan mengerahkan 130 pasukan marinir ke wilayah itu. Kapal perang pun
disiagakan di Ambalat.
Tedjo Edhy Purdijatno yang saat itu masih menjabat Kepala Staf Angkatan Laut
mengatakan TNI akan terus menambah kekuatan pasukan marinir di sekitar Ambalat.
Penjagaan keamanan di Ambalat menjadi prioritas, sebab sejak Januari hingga Juni 2009,
sudah 13 kali kapal dan pesawat tempur Malaysia memasuki Ambalat.
Pada 1 Juni 2009, Hatta Rajasa yang saat itu menjabat Menteri Sekretaris Negara
menyatakan Indonesia tak bakal melepaskan Ambalat sejengkal pun. Ucapan Hatta itu imbas
insiden beberapa hari sebelumnya, 25 Mei 2009, saat kapal perang Tentara Diraja Laut
Malaysia masuk Ambalat hingga diusir KRI Untung Suropati.
Malaysia, di tiap perundingan dengan Indonesia, kerap menyebut dan meyakini
Ambalat sebagai bagian dari teritorial mereka. Malaysia bahkan memprotes kehadiran TNI di
Blok Ambalat.
Hingga kini, 2015, Ambalat belum bertemu damai. TNI meminta pemerintah RI untuk
kembali melayangkan protes diplomatik ke Malaysia karena sembilan kali pelanggaran
sepanjang tahun ini yang dilakukan militer Malaysia di Ambalat.

Dampak Sengketa Ambalat terhadap Hubungan Kedua Negara


Sebagai dua negara yang bertetangga dan serumpun membuat Indonesia mempunyai
hubungan yang khas dan kental. Hubungan antara Indonesia dan Malaysia dapat dilihat
sebagai saudara tua dan saudara muda. Selain kultur, kekerabatan, simbol, , agama, sajarah
panjang persaudaraan Indonesia dan Malaysia merupakan aktor utama berdirinya sebuah
perkumpulan negara di Asia Tenggara yang kemudian dikenal dengan ASEAN yang
mempengaruhi daerah di Selat Malaka sebagai daerah kawasan yang paling aman dari konflik
dan pertarungan pertentangan negara di ASEAN.
Namun, dalam perjalanannya dua negara serumpun yang berdampingan nyatanya
tidak selalu hidup rukun dan damai. Berbagai percikan yang datang dari internal maupun
eksternal dapat mempengaruhi hubungan yang tadinya baik – baik saja menjadi sedikit
memanas. Begitu pula dengan hubungan antara Indonesia dan Malaysia,. Dua negara yang
hidup berdampingan seharusnya dapat menghormati kepentingan masing – masing negara,
namun sering timbul konflik – konflik yang membuat hubungan keduanya memanas.
Riwayat sejarah hubungan antara Indonesia dan Malaysia menunjukkan beberapa percikan
yang terjadi sejak zaman dahulu kala. Masih jelas ingatan ketika dahulu Indonesia dan
Malaysia berkonfrontasi hingga Presiden Soekarno memutuskan untuk keluar dari PBB.
Setelah itu, adanya perebutan antar Pulau Sipadan dan Ligitan yang membuat
hubungan antara Indonesia dan Malaysia tidak kunjung membaik. Dan setelahnya ditambah
dengan perebutan wilayah kembali oleh kedua negara dan kali ini adalah wilayah Blok
Ambalat yang kaya akan sumber daya alam.
Dalam segi diplomatik, dampak akibat sengketa Blok Ambalat ini tidak terlalu terlihat
ditunjukkan oleh kedua negara. Hal ini dibuktikan dengan masih cukup baiknya hubungan
kerjasama bilateral antara kedua negara. Namun, yang merasakan langsung akibat dari
sengketa Ambalat ini adalah TNI Angkatan Laut dan TNI Angkatan Udara yang sering
merasa geram karena wilayah kedaulatan Indonesia sering dimasuki oleh angkatan bersenjata
Malaysia.

Penyelesaian Sengketa Blok Ambalat Bisa Memakan Waktu Puluhan Tahun


Penyelesaian sengketa Blok Ambalat bisa memakan waktu cukup lama. Bahkan Hassan
Wirajuda Menteri Luar Negeri mengatakan penyelesaian sengketa antara RI-Malaysia ini bisa
memakan waktu sampai puluhan tahun. Ini diungkapkannya saat menjadi pembicara dalam
Kuliah Tamu Perundingan Batas Wilayah Maritim dengan Negara Tetangga di Fakultas
Hukum.
Dalam siaran pers Humas Unair yang diterima suarasurabaya.net, Menlu
membandingkan dengan kasus sengketa RI dan Vietnam. Kasus tersebut adalah sengketa
Batas Landas Kontinen (BLK) di perairan antara Pulau Kalimantan dengan Vietnam di
daratan Asia Tenggara.
Meskipun sudah lebih dari 30 kali perundingan formal dan informal diselenggarakan,
kedua pihak masih bertahan dengan posisi hukum masing-masing atas Laut Cina Selatan
itu.Total waktu untuk penyelesaian RI-Vietnam ini membutuhkan waktu setidaknya 32
tahun.Beda Vietnam berbeda pula dengan Singapura. Kasus sengketa Indonesia-Singapura
baru bisa diselesaikan dalam waktu lima tahun.
Dalam kuliah tamu yang dihadiri ratusan mahasiswa itu, Menlu HASSAN WIRAJUDA
juga mengungkapkan mengenai kisah sejarah sengketa yang pernah dialami oleh Indonesia.
Yang menarik ketika menyampaikan mengenai kasus Sipadan-Ligitan, Menlu mengatakan
Sipadan Ligitan secara yuridis sebenarnya memang bukan milik Indonesia, namun juga
bukan milik Malaysia.
Jika kita lihat di peta wilayah Indonesia baseline NKRI UU No 4/PrP/1960, Sipadan
Ligitan ini bukan milik Indonesia karena di luar batas teritorial laut Indonesia, tapi juga
bukan milik Malaysia
Kasus sengketa wilayah memang lazim dialami oleh negara yang berbatasan dengan
banyak negara seperti Indonesia. Kalau dilihat dari sisi wilayah laut, Indonesia berbatasan
dengan 10 negara. Sedangkan wilayah daratnya, Indonesia berbatasan dengan tiga negara,
yakni Malaysia, Papua Nugini dan Timor Leste.
Sebuah negara pantai seperti Indonesia menurut hukum Laut Internasional berhak atas
laut teritorial (12 mil laut), zona tambahan (24 mil laut), zona ekonomi eksklusif, ZEE (200
mil laut) dan landas kontinen (350 mil laut atau bahkan lebih). Lebar masing-masing zona ini
diukur dari referensi yang disebut dengan garis pangkal (baseline).
Pada laut teritorial, Indonesia berhak atas kedaulatan penuh. Sedangkan di luar zona itu
berlaku hak berdaulat. Dan Ambalat ini berada di kawasan hak berdaulat. Dalam kawasan
hak berdaulat ini suatu negara tidak memiliki kedaulatan penuh, namun hanya memiliki hak
untuk mengelola dan memanfaatkan sumber dayanya.Garis batas darat antara Indonesia dan
Malaysia memang sudah ditetapkan dan berhenti pada Pulau Sebatik.
Namun idealnya garis tersebut diteruskan ke arah laut di sebelah timur sebagai batas
maritim yang harus disepakati kedua belah pihak. Garis inilah yang belum ada dan kini
sedang dirundingkan karena Ambalat berada di garis tersebut.
Saat ini, tutur Hassan Wirajuda, pihaknya sudah melakukan 13 kali perundingan dan
kini tengah bersiap untuk memasuki perundingan yang keempat belas. Ia paham ekspektasi
masyarakat terhadap penyelesaian Ambalat begitu besar, namun ia meminta agar masyarakat
bersabar.
Pada 17 Mei 2009, masalah tuntutan bertindih ke atas Ambalat di antara Malaysia dan
Indonesia tidak akan dibawa ke Mahkamah Keadilan Antarabangsa. Menteri Luar Malaysia
Datuk Seri Dr Rais Yatim telah berunding dengan Menteri Luar Indonesia Dr. N. Hassan
Wirajuda. Indonesia enggan membawa kasus ini kepada ICJ setelah kalah dalam perbicaraan
kasus pulau Ligitan dan Sipadan, lagipula mengikut peta Zon Ekonomi Ekslusif (ZEE),
Ambalat, termasuk blok ND6 dan ND7 merupakan hak milik Indonesia, sebagai negara
kepulauan sejak dahulu kala. Malaysia terpaksa beralah kepada Singapura berhubung
tuntutan Pulau Batu Putih. Pembangkang di Malaysia menyalahkan Menteri Luar Malaysia
ketika itu Datuk Seri Dr Rais Yatim. Alternatif yang ada adalah dengan melantik pakar
teknikal dan juga satu kumpulan yang terdiri dari penasihat berkecuali.
Indonesia akan tetap lakukan upaya diplomasi ini dan tidak akan melakukan
peperangan. Karena pada dasarnya Indonesia juga menangkap sinyal, pihak Malaysia juga
ingin menyelesaikan permasalahan ini secara damai.

Adapun Solusi Terbaik Dalam Menangani Kasus Ambalat


Oleh karena itu dalam menyelesaikan sengketa Blok Ambalat, pemerintah RI mesti
menggunakan cara-cara damai melalui diplomasi antar kedua negara, sehingga dapat
mencegah penggunaan kekerasan atau perang. Penggunaan cara-cara diplomasi ditentukan
pula oleh pasal 33 Piagam PBB yakni melalui negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbritase,
penyelesaian pengadilan, atau penyelesaian melalui agen-agen regional atau cara-cara lain
menurut pilihan masing-masing negara.
Ada tiga cara diplomasi yang lebih tepat digunakan dalam penyelesaian Blok Ambalat
yaitu:
1. Negosiasi
Negosiasi merupakan teknik penyelesaian sengketa yang tidak melibatkan pihak ketiga.
Pada dasarnya negosiasi hanya berpusat pada diskusi yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait
yakni Indonesia dan Malaysia. Perbedaan persepsi yang dimiliki oleh kedua negara
diharapkan akan diperoleh jalan keluar dan menyebabkan pemahaman atas inti persoalan
menjadi lebih mudah untuk dipecahkan. Bilamana jalan keluar ditemukan kedua belah pihak,
maka akan berlanjut pada pemberian konsesi dari pihak yang satu kepada pihak yang lain.
2. Mediasi
Mediasi yang merupakan bentuk penyelesaian dengan melibatkan pihak ketiga, dalam
hal ini pihak ketiga bertindak sebagai pelaku mediasi (mediator). Seorang mediator memiliki
peran yang aktif untuk mencari solusi yang tepat untuk melancarkan terjadinya kesepakatan
antara pihak-pihak yang bersengketa.
3. Inquiry
Inquiry yaitu ketika terdapat sengketa antara Indonesia dan Malaysia maka untuk
menyelesaikannya sengketa tersebut, kedua belah pihak dapat mendirikan sebuah komisi atau
badan yang bersifat internasional untuk mencari dan mendengarkan semua bukti-bukti yang
relevan dengan permasalahan yang dipersengketakan.
Komisi atau badan ini sering disebut Komisi Pencari Fakta yang dengan dasar bukti-
bukti yang dikumpulkannya, kemudian dapat mengeluarkan sebuah fakta yang sebenarnya
dan disertai dengan penyelesaiannya.

Perspektif Sosial Politik Kasus Ambalat


Kasus Blok Ambalat seharusnya mendorong dan menggerakan kemauan politik
(political will) yang lebih kuat dan terarah dari pemerintah RI untuk secara riil, koordinatif
dan terfokus semakin memberikan aksentuasi pada pembangunan dan pengawasan di wilayah
perbatasan, termasuk dan terutama di kawasan yang oleh suatu faktor tertentu dapat menjadi
‘lahan perebutan’ antar negara.
Kurangnya kemampuan pemerintah pusat membangun dan mengawasi wilayah
perbatasan RI menjadi salah satu kelemahan fundamental yang mengakibatkan mudahnya
terjadi tindak pencurian ikan (illegal fishing) ataupun pencurian dan penyelundupan kayu
(illegal logging) serta berbagai kekayaan Indonesia lainnya.
Dari perspektif sosial-politik, hal ini sesungguhnya mencerminkan bahwa kedaulatan
kita atas negara/wilayah sendiri masih sangat rapuh dan rentan, sehingga memungkinkan
terjadinya pelanggaran perbatasan bahkan yang lebih merugikan lagi ‘pencaplokan wilayah
perbatasan’ sebagaimana yang nyaris terjadi di Blok Ambalat.
Dari perspektif sosial, sebenarnya pemerintah hendaknya menginsyafi bahwa konstruksi
sosial dan kultural masyarakat di daerah perbatasan (terutama yang terisolir dari berbagai
dimensi: sosial, politik, ekonomi, komunikasi, dan sebagainya), sangat berbeda dengan
masyarakat di dekat sentrum kekuasaan/pemerintahan.
Gradasi kesadaran sosial-politik masyarakat di Blok Ambalat dan sekitarnya tentu tidak
sama kuat dengan masyarakat di pulau Jawa, begitupun dengan perasaan termajinalisasi dari
proses pembangunan nasional yang begitu deras di Jawa.
Oleh karena itu sebagai bagian integral dari wilayah kedaulatan NKRI, pembangunan
masyakakat dan pengelolaan segala sumber daya di wilayah-wilayah perbatasan memerlukan
kerangka penanganan yang menyeluruh dengan mencakup berbagai sektor pembangunan
secara terkoordinasi, baik dan efektif mulai dari tataran pemerintah pusat hingga level
pemerintah daerah.

You might also like