You are on page 1of 24

ACARA III

EVALULASI BILANGAN PEROKSIDA DAN


TITIK ASAP MINYAK GORENG

A. Tujuan
Tujuan dari praktikum Acara III Evaluasi Bilangan Peroksida dan Titik
Asap Minyak Goreng adalah :
1. Mengetahui penentuan bilangan peroksida dari beberapa jenis minyak
goreng
2. Mengetahui penentuan titik asap dari beberapa jenis minyak goreng

B. Tinjauan Pustaka
Penyebab ketengikan dari lemak ada dua, yaitu proses hidrolitik dan
oksidatif. Ketengikan hidrolitik biasanya disebabkan oleh aktivitas
mikroorganisme terhadap lemak yang menimbulkan hidrolisis sederhana dari
lemak menjadi asam lemak digliserida, monogliserida dan gliserol. Lemak
yang mengalami ketengikan hidrolitik tidak akan terganggu nilai gizinya.
Sedangkan ketengikan oksidatif adalah karena asam lemak mengalami
pengurangan hidrogen sehingga membentuk radikal bebas. Adanya oksigen
radikal bebas menjadi asam lemak peroksida bebas radikal dan kemudian
menjadi asam lemak hidroperoksida. Bila hidroperoksida dibiarkan terbentuk,
maka zat tersebut akan meneruskan penguraiannya dengan cara memecah
menjadi berbagai macam aldehida dan keton yang besarnya tergantung jumlah
dan posisi dari ikatan rangkap yang telah mengalami peroksidasi. Perubahan
hidrolitik dan oksidatif inilah vang bertanggung jawab terhadap timbulnva
ketengikan lemak nabati (Winarno, 2004).
Ada dua tipe kerusakan yang utama pada lemak dan minyak, yaitu
ketengikan yang terjadi bila komponen citarasa dan bau yang mudah
menguap terbentuk sebagai akibat kerusakan oksidatif dari lemak dan minyak
yang jenuh. Komponen-komponen ini menyebabkan bau dan citarasa yang
tidak diinginkan dalam lemak dan minyak dan produk-produk yang
mengandung lemak dan minyak itu. Hidrolisa minyak dan lemak
menghasilkan asam-asam lemak bebas yang dapat mempengaruhi citarasa
dan bau daripada bahan itu. Hidrolisa dapat disebabkan oleh adanya air dalam
lemak atau minyak atau karena kegiatan enzim (Buckle et al., 2010).
Sedangkan menurut Moigradean et al. (2012), degradasi minyak dapat
disebabkan oleh reaksi oksidasi, hidrolisis, polimerisasi, pirolisis dan terjadi
penyerapan flavor dan aroma dari luar. Reaksi oksidatif minyak dapat terjadi
karena pengaruh beberapa faktor antara lain adalah cahaya, panas, ionisasi,
cemaran logam, metaloprotein, reaksi oksigen dengan lemak tidak jenuh.
Mekanisme ini meliputi mekanisme kimia dan enzimatik seperti autooksidasi,
fotooksidasi dan lipogenase. Menurut Palanisamy et al. (2011), lemak yang
teroksidasi akan menghasilkan peroksida lemak. Peroksida lemak ini
merupakan penyebab ketengikan lemak yang juga berperan sebagai radikal
hidroksil dan peroksil yang bersifat mutagenesis dan karsinogenik.
Bilangan peroksida sering digunakan untuk mengukur derajat oksidasi
lemak atau minyak namun tidak berpengaruh terhadap stabilitasnya. Maka
dari itu bilangan peroksida yang tinggi mengindikasikan ransiditas oksidatif
yang tinggi pula. Bilangan peroksida yang rendah dari sampel minya
mengindikasikan kemungkinan resistensi peroksida yang tinggi
(Nielsen dalam Ayoade, 2015).
Nilai titik asap yang sesuai untuk minyak kelapa yaitu dibawah 220-
215 ºC. Nilai titik asap dari suatu minyak ini tergantung pada jumlah
komponen minor yang serupa, terutama komponen asam lemak bebasnya.
Semakin tinggi nilai titik asap maka kualitas minyak untuk peggorengan akan
semakin baik. Fraksi campuran dari minyak-minyak mempunyai kualitas
terbaik sebagai minyak goreng karena nilai titik asap yang tinggi
(Norizzah, 2014).
Secara umum tingginya bilangan peroksida karena proses oksidasi.
Okidasi dapat berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah oksigen dengan
minyak atau lemak. Terjadinya reaksi oksidasi ini akan mengakibatkan bau
tengik pada minyak dan lemak. Selain itu juga kenaikan bilangan peroksida
disebabkan oleh suhu dan pengaruh cahaya.Penyimpanan minyak goreng
curah di pasar tradisional sebagian besar terkena langsung sinar matahari
sehingga meningkatkan suhu. Selain itu sebelum dikemas, minyak goreng
curah dibiarkan terbuka, kecepatan oksidasi lemak yang dibiarkan di udara
akan bertambah dengan kenaikan suhu (Yulia dkk., 2012).
Minyak kelapa sawit dapat dihasilkan dari ini kelapa sawit yang
dinamakan minyak inti kelapa sawit. Minyak kelapa sawit adalah minyak semi
padat yang mempunyai komposisi yang tetap. Kandungan karoten dari minyak
kelapa sawit dapat mencapai 1000 ppm atau lebih, kandungan tokoferol
bervariasi dan dipengaruhi oleh penanganan selama produksi. Warna minyak
ditentukan oleh adanya pigmen yang masih tersisa setelah proses pemucatan,
karena asam-asam lemak dan trigloserida tidak berwarna. Bau dan flavor
minyak terdaoat secara alami, juga terjadi akibat adanya asam-asam lemak
berantai pendek akibat kerusakan minyak. Sedangkan bau khas minyak kelapa
sawit ditimbulkan dari persenyawaan beta iodine. Mutu minyak kelapa sawit
yang baik mempunyai kadar kurang dari 0,1% dan kadar kotoran kurang dari
0,01%, kandungan asam lemak bebas serendah mungkin (kurang lebih 2%
atau kurang, bilangan peroksida dibawah 2, bebas dari warna merah dan
kuning tidak berwarna hijau, jernih, kandungan logam berat serendah
mungkin atau bebas dari ion logam (Muchtadi dkk, 2010).
Minyak jelantah adalah minyak yang telah dipakai dalam
penggorengan biasa. Kebanyakan minyak jelantah sebenarnya merupakan
minyak yang telah rusak. Minyak yang tinggi kandungan lemak tak jenuhnya
memiliki nilai tambah hanya pada penggorengan pertama saja, sementara yang
tinggi asam lemak jenuhnya bisa lebih lama lagi, meski pada akhirnya akan
rusak juga. Oleh proses penggorengan sebagian ikatan rangkap akan menjadi
jenuh. Penggunaan yang lama dan berkali-kali dapat menyebabkan ikatan
rangkap teroksidasi, membentuk gugus peroksida dan monomer siklik
(Ramdja dkk, 2010).
Menurut Raharjo dalam Aminah (2010), pengukuran angka peroksida
pada dasarnya adalah mengukur kadar peroksida dan hidroperoksida yang
terbentuk pada tahap awal reaksi oksidasi lemak. Bilangan peroksida yang
tinggi mengindikasikan lemak atau minyak sudah mengalami oksidasi, namun
pada angka yang lebih rendah bukan selalu berarti menunjukkan kondisi
oksidasi yang masih dini. Angka peroksida rendah bisa disebabkan laju
pembentukkan peroksida baru lebih kecil dibandingkan dengan laju
degradasinya menjadi senyawa lain, mengingat kadar peroksida cepat
mengalami degrasi dan bereaksi dengan zat lain.
Asam lemak jenuh (SFA) merupakan jenis lemak dalam minyak yang
dapat membuat minyak lebih kental dan ketika dikonsumsi dapat
meningkatkan tingkat kolesterol dan LDL. Secara keseluruhan, asam lemak
jenuh berperan dalam meningkatkan penyakit jantung. Asam lemak tidak
jenuh rantai panjang (PUFA) adalah salah satu lemak yang ketika dikonsumsi
dapat menurunkan tingkat LDL tetapi pada saat yang sama juga dapat
menurunkan HDL. Sedangkan asam lemak tidak jenuh rantai pendek (MUFA)
adalah jenis terbaik dari lemak karena ketika dikonsumsi dapat menurunkan
LDL dan menaikkan HDL (Mishra dan Manchanda,2012).
Salah satu parameter yang digunakan dalam menentukan kualitas
minyak goreng dalam penggunaanya adalah bilangan peroksida. Bilangan
peroksida merupakan pengukuran dari oksidasi atau ransiditas lemak atau
minyak yang menunjukkan penurunan kualitas dari makanan. Dalam
penggunaan minyak goreng, bilangan peroksida akan meningkat seiring
dengan meningkatnya pemanasan pada minyak goreng (Wannahari, 2012).
Ketaren (1986) dalam Haryani (2008) menyatakan bahwa minyak
merupakan trigliserida yang tersusun atas tiga unit asam lemak, berwujud cair
pada suhu kamar (25°C) dan lebih banyak mengandung asam lemak tidak
jenuh sehingga mudah mengalami oksidasi. Minyak yang berbentuk padat
sering disebut dengan lemak. Winarno (1986) dalam Marsigit dkk (2011)
menyebutkan bahwa mutu minyak goreng tergantung dari titik asapnya. Titik
asap yaitu suhu pemanasan minyak sampai terbentuk akrolein. Akrolein
adalah sejenis aldehid yang dihasilkan dari pecahan gliserol yang tidak
diinginkan. Akrolein dapat menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan
(Wiley, 2009 dalam Marsigit dkk, 2011).
Selama penggorengan, minyak dalam kondisi suhu tinggi, mengalami
kontak dengan udara dan air yang ada pada bahan. Air yang ada pada bahan
akan menguap dan minyak goreng akan masuk ke dalam bahan menggantikan
kandungan air pada bahan (Machado et al. 2007 dalam Budiyanto, 2012).
Peristiwa itu menyebabkan minyak terserap pada bahan dan, minyak
mengalami hidrolisis yang memutuskan asam lemak sehingga minyak dapat
mengalami yang ditandai dengan meningkatnya kandungan asam lemak bebas
(ALB). Selain itu, minyak goreng tercampur dengan komponen lain dari
bahan yang larut dalam minyak membuat minyak goreng mengalami
penurunan kualitas dan perubahan bau. Pada saat yang bersamaan sebagian
minyak mengalami oksidasi menjadi senyawa peroksida yang tidak stabil
(Berger, 2005 dalam Budiyanto, 2012). Menurut Moreira (1999) dalam
Budiyanto (2012), perubahan fisik minyak goring dapat dijadikan sebagai
indicator perubahan minyak goreng segar menjadi minyak yang tidak layak
pakai, misalnya ketika minyak goreng telah hitam, terlalu banyak asap, bau
tengik, menjadi lebih kental atau timbulnya buih pada minyak yang
digunakan. Minyak dengan titik asap yang rendah memiliki kandungan asam
lemak bebas yang tinggi. Beberapa Negara mendefenisikan minyak yang tidak
layak pakai bila titik asap dibawah 170 ºC, bau yang sangat tengik, dan asam
lemak yang teroksidasi diatas 1%. Penggunaan minyak goreng yang berulang
kali akan menurunkan titik asapnya dan membuat minyak menjadi lebih cepat
panas (berasap).

C. Metodologi
1. Alat
 Alumunium foil
 Buret 50 ml
 Gelas beker 100 ml
 Gelas ukur 100 ml
 Kompor
 Neraca analitik
 Pipet ukur 1 ml
 Pipet ukur 10 ml
 Pipet ukur 5 ml
 Propipet
 Tabung Erlenmeyer 250 ml
 Termometer
 Wajan

2. Bahan
 Minyak Kunci Mas baru
 Minyak Kunci Mas goreng 1x
 Minyak Kunci Mas goreng 2x
 Minyak Bimoli baru
 Minyak Bimoli goreng 1x
 Minyak Bimoli goreng 2x
 Minyak curah baru
 Minyak curah goreng 1x
 Minyak curah goreng 2x
 Minyak jelantah
 Larutan KI jenuh
 Larutan campuran asam asetat glasial (60%) dan kloroform (40%)
 Na-thiosulfat 0.1 N
 Aquadest 30 ml
3. Cara Kerja
a. Penentuan bilangan peroksida

5 gr sampel
30 ml larutan as.
Asetat glasial-
Kloroform Pemasukkan dalam tabung Erlenmeyer yang
sudah ditutup alumuium foil

0,5 ml KI jenuh Pengocokan hingga larut

Pendiaman selama 2 menit sambil


dihomogenkan

30 ml aquades Penambahan

5 tetes amilum Penambahan hingga terjadi perubahan warna


1%
Penitrasian dengan Na-thiosulfat 0,1 N hingga
terjadi perubahan warna

Gambar 3.1 Diagram Alir Pengujian Bilangan Peroksida Minyak


Goreng
b. Penentuan titik asap

200 ml sampel minyak

Pemanasan di atas wajan

Pengamatan suhu mulai terbentuk asap


menggunakan termometer suhu tinggi

Gambar 3.2 Diagram Alir Penentuan Titik Asap Minyak Goreng


D. Hasil dan Pembahasan
Tabel 3.1 Penentuan Bilangan Peroksida Berbagai Sampel Minyak Goreng

No Sampel ml Na-thiosulfat Bilangan peroksida


Shift 1 Shift 2 Shift 1 Shift 2
1 Kunci mas baru 0,2 0,2 4 3,97
2 Bimoli baru 0,1 0 2 0
3 Curah baru 0 0 0 0
4 Kunci mas goreng 1x 0,8 1 16 20
5 Bimoli goreng 1x 0,3 1,6 6 32
6 Curah goreng 1x 0,6 0,4 12 8
7 Kunci mas goreng 2x 0,5 1,5 10 29,41
8 Bimoli goreng 2x 0,5 0,9 10 18
9 Curah goreng 2x 0,2 0,7 4 14
10 Minyak jelantah 0,85 0,1 17 2
Sumber : Laporan Sementara
Praktikum acara III Evaluasi Bilangan Peroksida dan Titik Asap
Minyak Goreng ini bertujuan untuk menentukan bilangan peroksida dan titik
asap minyak goreng serta mengetahui pengaruhnya terhadap kualitas sampel
minyak yang digunakan. Dalam praktikum sampel minyak yang digunakan
yaitu minyak kelapa sawit dengan merk Kunci Mas dan Bimoli, minyak curah
dan minyak jelantah yang masing-masingnya dalam keadaan baru, digunakan
untuk menggoreng sekali dan dua kali.
Minyak kelapa sawit dapat dihasilkan dari inti kelapa sawit yang
dinamakan minyak inti kelapa sawit. Minyak kelapa sawit adalah minyak semi
padat yang mempunyai komposisi yang tetap. Kandungan karoten dari minyak
kelapa sawit dapat mencapai 1000 ppm atau lebih, kandungan tokoferol
bervariasi dan dipengaruhi oleh penanganan selama produksi. Warna minyak
ditentukan oleh adanya pigmen yang masih tersisa setelah proses pemucatan,
karena asam-asam lemak dan trigloserida tidak berwarna. Bau dan flavor
minyak terdaoat secara alami, juga terjadi akibat adanya asam-asam lemak
berantai pendek akibat kerusakan minyak. Sedangkan bau khas minyak kelapa
sawit ditimbulkan dari persenyawaan beta iodine. Mutu minyak kelapa sawit
yang baik mempunyai kadar kurang dari 0,1% dan kadar kotoran kurang dari
0,01%, kandungan asam lemak bebas serendah mungkin (kurang lebih 2%
atau kurang, bilangan peroksida dibawah 2, bebas dari warna merah dan
kuning tidak berwarna hijau, jernih, kandungan logam berat serendah
mungkin atau bebas dari ion logam (Muchtadi dkk, 2010).
Minyak jelantah adalah minyak yang telah dipakai dalam
penggorengan biasa. Kebanyakan minyak jelantah sebenarnya merupakan
minyak yang telah rusak. Minyak yang tinggi kandungan lemak tak jenuhnya
memiliki nilai tambah hanya pada penggorengan pertama saja, sementara yang
tinggi asam lemak jenuhnya bisa lebih lama lagi, meski pada akhirnya akan
rusak juga. Oleh proses penggorengan sebagian ikatan rangkap akan menjadi
jenuh. Penggunaan yang lama dan berkali-kali dapat menyebabkan ikatan
rangkap teroksidasi, membentuk gugus peroksida dan monomer siklik
(Ramdja dkk, 2010). Minyak curah banyak digunakan masyarakat Indonesia
sebagai pengganti minyak goreng yang bermerk karena harganya lebih murah
namun seringkali kemasan pembungkus minyak goreng curah ini tidak tepat
dan dapat berinteraksi langsung dengan matahari dan mikroba yang dapat
mengubah kualit minyak goreng curah (Yulia dkk, 2012). Sedangkan menurut
Aminah (2010), minyak goreng curah selama ini didistribusikan dalam bentuk
tanpa kemasan yang berarti bahwa minyak goreng curah sebelum digunakan
banyak terpapar oksigen. Penggunaan minyak goreng curah dalam praktek
penggorengan di rumah tangga maupun pedagang kecil dilakukan secara
berulang-ulang, hal tersebut sangat memungkinkan terjadinya reaksi oksidasi
yang lebih tinggi.
Penentuan angka peroksida merupakan salah satu parameter untuk
menentukan kualitas minyak. Menurut Raharjo dalam Aminah (2010),
pengukuran angka peroksida pada dasarnya adalah mengukur kadar peroksida
dan hidroperoksida yang terbentuk pada tahap awal reaksi oksidasi lemak.
Bilangan peroksida yang tinggi mengindikasikan lemak atau minyak sudah
mengalami oksidasi, namun pada angka yang lebih rendah bukan selalu berarti
menunjukkan kondisi oksidasi yang masih dini. Angka peroksida rendah bisa
disebabkan laju pembentukkan peroksida baru lebih kecil dibandingkan
dengan laju degradasinya menjadi senyawa lain, mengingat kadar peroksida
cepat mengalami degrasi dan bereaksi dengan zat lain. Selain itu menurut
Ketaren dalam Sumarlin dkk (2011), bilangan peroksida merupakan nilai
terpenting untuk mengetahui tingkat kerusakan yang telah terjadi pada minyak
atau lemak yang diakibatkan oleh proses oksidasi yang berlangsung bila
terjadi kontak antara oksigen dengan minyak. Asam lemak tidak jenuh
penyusun suatu trigliserida dapat mengikat oksigen pada ikatan rangkapnya,
sehingga membentuk peroksida. Makin besar bilangan peroksida
menunjukkan makin besar pula derajat kerusakan pada minyak
(Sumarlin dkk, 2011).
Peroksida terbentuk pada tahap inisiasi oksidasi, pada tahap ini
hidrogen diambil dari senyawa oleofin menghasilkan radikal bebas,
keberadaan cahaya dan logam berperan dalam proses pengambilan hidrogen
tersebut. Radikal bebas yang terbentuk bereaksi dengan oksigen membentuk
radikal peroksi, selanjutnya dapat mengambil hidrogen dari molekul tak jenuh
lain menghasilkan peroksida dan radikal bebas yang baru (deMan, 1999;
Ericson, 2002 dalam Aminah 2010). Peroksida yang merupakan hasil oksidasi
lipid akan bereaksi dengan ion Iodida (I-) sesuai reaksi berikut:
2 I- + H2O + ROOH  ROH _ 2OH- + I2
Berdasarkan reaksi tersebut, jumlah peroksida (ROOH) sama dengan jumlah
Iodium (I2) yang terbentuk. Untuk mengukur jumlah Iodium (I2) maka
Iodium tersebut kembali direaksikan dengan ion Tiosulfat (S2O32-) yang akan
kembali mengubah Iodium menjadi ion Iodida (I-) sesuai dengan reaksi
berikut:
2S2O32- + I2  S4O62- _ 2 I-
Namun, sebelum dilakukan penambahan tiosulfat, Iodium yang terbentuk
pada reaksi awal harus terlebih dahulu direaksikan dengan kanji (amilum)
yang akanmembentuk suatu senyawa kompleks yang berwarna biru-
kehitaman (Effendi, 2009).
Pada pengujian angka peroksida dilakukan penimbangan sampel minyak
sebanya 5 g dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang sebelumnya sudah
ditutup dengan alumunium foil. Kemudian ditambahkan 30 ml larutan
campuran asam atetat glasial dan kloroform dan larutan KI sebanyak 0,5 ml.
Campuran tersebut kemudian dikocok selama dua menit dan ditambahkan 30
ml aquades untuk kemudiandi titrasi dengan Na-tiosulfat 0,1 N dengan
indikator amilum 1% yang akan membentuk warna biru-kehitaman. Titrasi
dihentikan ketika warna sampel kembali ke warna awal sampel minyak.
Berbagai macam reagen memiliki fungsi masing-masing. Penambahan asetat
glasial dan kloroform pada lemak berfungsi sebagai pelarut. Sedangkan
penambahan kalium iodida berlebih (yang akan bereaksi dengan peroksida),
akan mempengaruhi terbentuknya iodium. Larutan kemudian dititrasi dengan
larutan Na-thiosulfat standar dengan indikator amilum (Budimarwanti, 2013).
Tabel 3.1 menunjukkan nilai bilangan peroksida dari masing-masing
sampel pada kedua shift. Pada shift 1 nilai bilangan peroksida sampel kunci
mas baru sebesar 4 dengan ml Na-thiosulfat 0,2 ml, nilai bilangan peroksida
sampel bimoli baru sebesar 2 dengan ml Na-thiosulfat 0,1 ml, nilai bilangan
peroksida sampel minyak curah baru sebesar 0 dengan ml Na-thiosulfat 0 ml,
nilai bilangan peroksida sampel kunci mas goreng 1x sebesar 16 dengan ml
Na-thiosulfat 0,8 ml, nilai bilangan peroksida sampel bimoli goreng 1x
sebesar 6 dengan ml Na-thiosulfat 0,3 ml, nilai bilangan peroksida sampel
minyak curah goreng 1x sebesar 12 dengan ml Na-thiosulfat 0,6 ml, nilai
bilangan peroksida sampel kunci mas goreng 2x sebesar 10 dengan ml Na-
thiosulfat 0,5 ml, nilai bilangan peroksida sampel bimoli goreng 2x sebesar
10 dengan ml Na-thiosulfat 0,5 ml, nilai bilangan peroksida sampel minyak
curah goreng 2x sebesar 4 dengan ml Na-thiosulfat 0,2 ml, dan terakhi rnilai
bilangan peroksida sampel minyak jelantah sebesar 17 dengan ml Na-
thiosulfat 0,85 ml. Sehingga diperoleh urutan bilangan peroksida sampel
minyak shift 1 dari tertinggi hingga terendah yaitu minyak jelantah, kunci
mas goreng 1x, curah goreng 1x, kunci mas dan bimoli goreng 2x, bimoli
goreng 1x, kunci mas baru dan curah goreng 2x, bimoli baru dan terakhir
curah baru.
Pada shift 2 nilai bilangan peroksida sampel kunci mas baru sebesar
3,97 dengan ml Na-thiosulfat 0,2 ml, nilai bilangan peroksida sampel bimoli
baru sebesar 0 dengan ml Na-thiosulfat 0 ml, nilai bilangan peroksida sampel
minyak curah baru sebesar 0 dengan ml Na-thiosulfat 0 ml, nilai bilangan
peroksida sampel kunci mas goreng 1x sebesar 20 dengan ml Na-thiosulfat 1
ml, nilai bilangan peroksida sampel bimoli goreng 1x sebesar 32 dengan ml
Na-thiosulfat 1,6 ml, nilai bilangan peroksida sampel minyak curah goreng 1x
sebesar 8 dengan ml Na-thiosulfat 0,4 ml, nilai bilangan peroksida sampel
kunci mas goreng 2x sebesar 29,41 dengan ml Na-thiosulfat 1,5 ml, nilai
bilangan peroksida sampel bimoli goreng 2x sebesar 18 dengan ml Na-
thiosulfat 0,9 ml, nilai bilangan peroksida sampel minyak curah goreng 2x
sebesar 14 dengan ml Na-thiosulfat 0,7 ml, dan terakhi rnilai bilangan
peroksida sampel minyak jelantah sebesar 2 dengan ml Na-thiosulfat 0,1 ml.
Sehingga diperoleh urutan bilangan peroksida sampel minyak shift 2 dari
tertinggi hingga terendah yaitu bimoli goreng 1x, kunci mas goreng 2x, kunci
mas goreng 1x, bimoli goreng 2x, curah goreng 2x, curah goreng 1x, kunci
mas baru, minyak jelantah, terakhir bimoli dan curah baru.
Dari hasil kedua shift diketahui bahwa minyak yang telah digunakan
untuk penggorengan berulang kali memiliki angka peroksida yang tinggi.
Pada shift 1 dan shift 2 angka peroksida pada sampel meningkat sesuai
dengan frekuensi penggorengan tiap sampel. Angka peroksida tertinggi pada
shift 1 terdapat pada sampel minyak jelantah dan terendah pada minyak curah
baru, hal ini sudah sesuai dengan teori Ketaren dalam Ilmi dkk (2015), bahwa
angka peroksida dalam minyak akan bertambah pada saat minyak yang sudah
digunakan didinginkan dan peroksida akan mengalami dekomposisi kembali
setelah proses pemanasan. Hal serupa dikemukakan pula oleh Mulasari
(2012), yang menyatakan bahwa frekuensi penggorengan yang makin sering
mengakibatkan kandungan peroksidanya semakin meningkat, hal ini
dikarenakan reaksi oksidasi termal yang terjadi pada saat penggorengan.
Oksidasi termal yakni oksidasi yang dikarenakan adanya pemanasan dan
adanya paparan udara, yang mengakibatkan terbentuknya peroksida muda.
Minyak goreng dengan kandungan peroksida yang sudah melebihi standar
memiliki endapan yang relatif tebal, keruh, berbuih sehingga membuat
minyak goreng lebih kental dari pada minyak goreng yang kandungan
peroksidanya masih sesuai standar. Menurut Sumarlin dkk (2011), makin
besar bilangan peroksida menunjukkan makin besar pula derajat kerusakan
pada minyak. Hal ini berarti bahwa makin besar bilangan peroksida maka
kualitas minyak akan semakin menurun. Namun terdapat beberapa
penyimpangan, pada shift 2 angka peroksida tertinggi terdapat pada sampel
bimoli goreng 1x dimana hal ini belum sesuai teori yang ada. Hal ini
mungkin disebabkan karena sampel bimoli goreng 1x telah lama disimpan
sehingga mempengaruhi kualitas minyak tersebut dan kurang telitinya
praktikan dalam menera reagen yang digunakan maupun saat menera hasil
titrasi. Penyimpangan yang terjadi juga dapat ditunjukkan dengan jauhnya
hasil pengujian meskipun sampel minyak yang digunakan sama.
Syarat mutu bilangan peroksida pada minyak goreng menurut SNI.01-
3741-2002 (Dirjen Perkebunan, 1989) maksimal sebesar 1 mg O2/100 g
minyak. Bilangan peroksida diatas 1 mg O2/100g minyak akan menunjukkan
mutu minyak yang buruk. Selain itu standar mutu minyak goreng telah
dirumuskan dan ditetapkan dalam SNI 01-3741-2002 pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2 Standar Mutu Minyak Goreng Berdasarkan SNI 01-3741-2002
KRITERIA UJI SATUAN SYARAT
Keadaan bau, warna dan rasa - Normal
Air % b/b Maks 0.30
Asam lemak bebas (dihitung sebagai
% b/b Maks 0.30
asam laurat)
Sesuai SNI. 022-M dan
Bahan Makanan Tambahan Permenkes No.
722/Menkes/Per/IX/88
Cemaran Logam :
- Besi (Fe) Maks 1.5
Mg/kg
- Tembaga (Cu) Maks 0.1
Mg/kg
- Raksa (Hg) Maks 0.1
Mg/kg
- Timbal (Pb) Maks 40.0
Mg/kg
- Timah (Sn) Maks0.005
Mg/kg
- Seng (Zn) Maks
Mg/kg
40.0/250.0)*
Arsen (As) % b/b Maks 0.1
Angka Peroksida % mg 02/gr Maks 1
Catatan * Dalam kemasan kaleng
Sumber :SNI 01-3741-2002
Kualitas pada minyak ditentukan dari seberapa cepat minyak tersebut
mengalami kerusakan. Menurut Ketaren dalam Gunawan dkk (2003),
kerusakan minyak selama proses penggorengan akan mempengaruhi mutu
dan nilai dari minyak dan bahan yang digoreng. Pada minyak yang rusak
terjadi proses oksidasi, polimerisasi dan hidrolisis. Proses tersebut
menghasilkan peroksida yang bersifat toksik dan asam lemak bebas yang
sukar dicerna oleh tubuh. Selain itu menurut Sudarmadji dalam Gunawan dkk
(2003), indikator kerusakan minyak antara lain angka peroksida dan asam
lemak bebas. Angka peroksida menunjukkan banyaknya kandungan
peroksida di dalam minyak akibat proses oksidasi dan polimerisasi. Asam
lemak bebas menunjukkan sejumlah asam lemak bebas yang dikandung oleh
minyak yang rusak, terutama karena peristiwa oksidasi dan hidrolisis.
Besarnya nilai angka peroksida dapat didorong oleh beberapa faktor.
Menurut Ketaren dalam Yulia dkk (2012), faktor-faktor yang dapat
mempercepat oksidasi pada minyak adalah suhu, cahaya atau
penyinaran,tersedianya oksigen dan adanya logam-logam yang bersifat
sebagai katalisator proses oksidasi. Oleh karena itu, minyak harus disimpan
pada kondisi penyimpanan yang sesuai dan bebas dari pengaruh logam dan
harus dilindungi dari kemungkinan serangan oksigen, cahaya serta temperatur
tinggi. Keadaan lingkungan yang mempengaruhi penyimpanan minyak dan
lemak, yaitu RH (kelembaban udara) ruang penyimpanan, suhu (temperatur),
ventilasi, tekanan, dan masalah pengangkutan.
Perubahan sifat fisika dan kimia minyak goreng terjadi setelah beberapa
lama digunakan untuk menggoreng pada temperatur tinggi. Ada dua tipe
kerusakan yang utama pada lemak dan minyak, yaitu ketengikan yang terjadi
bila komponen citarasa dan bau yang mudah menguap terbentuk sebagai
akibat kerusakan oksidatif dari lemak dan minyak yang jenuh. Komponen-
komponen ini menyebabkan bau dan citarasa yang tidak diinginkan dalam
lemak dan minyak dan produk-produk yang mengandung lemak dan minyak
itu. Hidrolisa minyak dan lemak menghasilkan asam-asam lemak bebas yang
dapat mempengaruhi citarasa dan bau daripada bahan itu. Hidrolisa dapat
disebabkan oleh adanya air dalam lemak atau minyak atau karena kegiatan
enzim (Buckle et al., 2010). Sedangkan menurut Handoko dkk (2009),
kerusakan minyak terutama disebabkan oleh otooksidasi radikal asam lemak
tidak jenuh dalam lemak. Otooksidasi merupakan reaksi yang kompleks dan
melibatkan sejumlah besar reaksi intermediet. Biasanya perubahan asam
lemak tidak jenuh atau produk otooksidasi intermediet karena adanya
oksigen. Kecepatan otooksidasi dipengaruhi oleh derajat ketidakjenuhan asam
lemak, adanya aktivitas produk otooksidasi dan antioksidan, tekanan parsial
oksigen, dan kondisi penyimpanan (temperatur, cahaya, dan waktu).
Tabel 3.3 Penentuan Titik Asap
No Sampel Titik Asap (ºC)
Shift 1 Shift 2
1 Kunci mas baru 160 160
2 Bimoli baru 148 150
3 Curah baru 163 130
4 Kunci mas goreng 1x 167 184
5 Bimoli goreng 1x 165 150
6 Curah goreng 1x 162 148
7 Kunci mas goreng 2x 144 192
8 Bimoli goreng 2x 160 180
9 Curah goreng 2x 150 150
10 Minyak jelantah 112 80
Sumber: Laporan sementara

Penentuan kualitas suatu minyak juga dapat dilihat dari titik asapya.
Tingkah laku minyak goreng saat dipanaskan ditunjukkan oleh kandungan
asam lemak dari titik asap minyak. Mutu minyak goreng ditentukan titik
asapnya, yakni temperatur saat triasilgliserol mulai terurai dengan adanya
udara. Asap merupakan tanda telah terjadi penguraian. Secara normal titik
asap terjadi pada temperatur 200 - 221 ºC dan berkurang dengan adanya
penguraian produk. Semakin tinggi titik asap, semakin baik mutu minyak
goreng tersebut. Titik asap suatu minyak goreng tergantung dari kadar
gliserol dan asam lemak bebas (Belitz dan Grosch dalam Handoko dkk,
2009).
Hariskal dalam Marsigit dkk (2011) menjelaskan bahwa minyak
dengan titik asap yang rendah memiliki kandungan asam lemak bebas yang
tinggi. Minyak yang teroksidasi karena kontak dengan udara, panas dan
cahaya akan berdampak pada turunnya titik asap (Fauziah et al., dalam
Marsigit dkk, 2011). Menurut Deane dalam Marsigit dkk (2011), minyak yang
telah teroksidasi karena terkena udara, panas dan cahaya akan mempunyai
titik asap yang lebih rendah. Dengan menggunakan minyak berulang kali juga
membuat asap lebih cepat dihasilkan (Elizabeth dalam Marsigit dkk, 2011).
Pada prinsipnya penentuan titik asap adalah dengan memanaskan
minyak atau lemak. Bila suatu minyak atau lemak dipanaskan, pada suhu
tertentu timbul asap tipis kebiruan. Titik ini disebut titik asap. Bila pemanasan
diteruskan akan tercapai flash point. Jika minyak sudah terbakar secara tetap
disebut fie point. Suhu terjadinya smoke point ini bervariasi dan dipengaruhi
oleh jumlah asam lemak bebas dan berat molekul. Jika asam lemak bebas
banyak, ketiga suhu tersebut akan menurun, sedangkan jika berat molekulnya
rendah ketiga suhu tersebut juga rendah (Winarno dalam Chairunisa, 2013).
Mekanisme pada pengujian penentuan titik asap yaitu dilakukan penimbangan
sampel minyak sebanyak 200 ml. Kemudian sampel dipanaskan di atas wajan
dan dilakukan pengamatan suhu ketika mulai terbentuk asap dari minyak.
Suhu yang terbaca ketika asap mulai terbentuk menunjukkan nilai titik asap
minyak tersebut.
Berdasarkan Tabel 3.3 dapat diketahui titik asap berbagai sampel
minyak untuk 2 shift praktikum. Pada shift 1 diperoleh titik asap sampel
minyak kunci mas baru adalah 160 ºC, titik asap sampel minyak bimoli baru
adalah 148 ºC, titik asap sampel minyak curah baru adalah 163 ºC, titik asap
sampel minyak kunci mas goreng 1x adalah 167 ºC, titik asap sampel minyak
bimoli goreng 1x adalah 165 ºC, titik asap sampel minyak curah goreng 1x
adalah 162 ºC, titik asap sampel minyak kunci mas goreng 2x adalah 144 ºC,
titik asap sampel minyak bimoli goreng 2x adalah 160 ºC, titik asap sampel
minyak curah goreng 2x adalah 150 ºC, dan terakhir titik asap sampel minyak
jelantah adalah 112 ºC. Sehingga diperoleh urutan titik asap sampel minyak
shift 1 dari tertinggi hingga terendah yaitu kunci mas goreng 1x, bimoli
goreng 1x, curah baru, curah goreng 1x, kunci mas baru dan bimoli goreng 2x,
curah goreng 2x, bimoli baru, kunci mas goreng 2x dan terakhir minyak
jelantah.
Pada shift 2 diperoleh titik asap sampel minyak kunci mas baru adalah
160 ºC, titik asap sampel minyak bimoli baru adalah 150 ºC, titik asap sampel
minyak curah baru adalah 130 ºC, titik asap sampel minyak kunci mas goreng
1x adalah 184 ºC, titik asap sampel minyak bimoli goreng 1x adalah 150 ºC,
titik asap sampel minyak curah goreng 1x adalah 148 ºC, titik asap sampel
minyak kunci mas goreng 2x adalah 192 ºC, titik asap sampel minyak bimoli
goreng 2x adalah 180 ºC, titik asap sampel minyak curah goreng 2x adalah
150 ºC, dan terakhir titik asap sampel minyak jelantah adalah 80 ºC. Sehingga
diperoleh urutan titik asap sampel minyak shift 2 dari tertinggi hingga
terendah yaitu kunci mas goreng 2x, kunci mas goreng 1x, bimoli goreng 2x,
kunci mas baru, bimoli baru, bimoli goreng 1x dan curah goreng 2x, curah
goreng 1x, curah baru dan terkahir minyak jelantah.
Dari kedua shift diperoleh sampel dengan titik asap tertinggi yaitu
sampel kunci mas yang telah dipakai untuk penggorengan satu dan dua kali
dan titik asap terendah yaitu sampel minyak jelantah. Hasil praktikum untuk
nilai titik asap terendah sudah sesuai dengan teori Winarno dalam Aminah
(2010) yang menyatakan bahwa minyak yang digunakan berulang akan
mempunyai titik asap yang semakin rendah, suhu minyak menjadi lebih cepat
meningkat. Dalam hal ini minyak jelantah memiliki titik asap terendah karena
minyak jelantah telah dipakai berulang kali untuk penggorengan. Sedangkan
hasil praktikum belum sesuai untuk nilai titik asap tertinggi, karena minyak
kunci mas goreng 1x dan 2x telah dipakai sebelumnya untuk penggorengan.
Hal ini mungkin disebabkan karena kurang telitinya praktikan dalam
membaca temperatur suhu serta umur sampel minyak dan kondisi
penyimpanan sampel yang tidak sesuai.
Pemanasan minyak goreng dengan suhu tinggi dan digunakan secara
berulang akan mengakibatkan minyak mengalami kerusakan karena adanya
oksidasi yang mampu menghasilkan senyawa aldehida, keton, serta senyawa
aromatis yang mempunyai bau tengik. Selain itu mengakibatkan polimerasi
asam lemak tidak jenuh sehingga komposisi medium minyak berubah (Mariod
et al. dalam Ilmi dkk, 2015). Menurut Winarno dalam Budiyanto (2012),
minyak yang teroksidasi karena kontak dengan udara, panas dan akan terurai
dan membentuk senyawa yang lebih sederhana dan mudah menguap. Hal ini
berdampak pada turunnya titik asap minyak goreng. Minyak goreng bekas
yang teroksidasi titik asapnya akan semakin kecil. Secara umum salah satu
indikator kerusakan mutu minyak goreng adalah titik asapnya. Pada saat asap
terbentuk, terbentuk pula senyawa akrolein, sejenis aldehid yang tidak
diinginkan karena dapat menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan. Menurut
Budiyanto (2012), minyak yang telah digunakan untuk menggoreng akan
mengalami peruraian molekul-molekul, sehingga titik asapnya turun. Apabila
suhu penggorengan lebih tinggi dari suhu normal (168 – 196 ºC) maka akan
menyebabkan degradasi minyak goreng berlangsung dengan cepat yang
ditandai dengan menurunnya titik asap. Menurut Winarno dalam Chairunisa
(2013), pembentukan akrolein dapat dilihat pada gambar berikut:
CH-OOC-R1 H-C=OH
2H2O
CH-OOC-R2 H-C + H2O
Panas
CH-OOC-R3 H-C-H
Hasil penelitian Tarmizi dan Siew (2008) dalam Ilmi dkk (2015),
menunjukkan bahwa peningkatan kadar FFA (Free Fatty Acid) berhubungan
erat dengan menurunnya titik asap minyak goreng. Minyak goreng yang
memiliki mutu baik apabila titik asapnya semakin tinggi (Winarno dalam Ilmi
dkk, 2015). Hasil analisis menunjukkan terjadinya penurunan kadar FFA
setelah minyak digunakan empat kali. Menurut Sulieman et al. (2006) dalam
Ilmi dkk (2015), penurunan FFA disebabkan karena hilangnya asam lemak
yang memiliki bobot molekul rendah melalui proses penguapan. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi titik asap, semakin baik mutu
minyak goreng tersebut (Belitz dan Grosch dalam Handoko dkk, 2009).
Dalam mencegah atau memperlambat kerusakan minyak dapat
dilakukan hal-hal yang dapat mencegah atau memperlambat kerusakan
minyak yang terjadi selama penggunaan maupun penyimpanan. Selama
penyimpanan dan pengolahan minyak atau lemak, asam-asam lemak bebas
akan bertambah dan dapat dihilangkan dengan proses pemurnian dan
deodorisasi untuk menghasilkan minyak yang lebih baik. Selain itu untuk
pencegahan ketengikan pada minyak atau lemak, penyimpanan lemak yang
lebih baik adalah dalam tempat tertutup yang gelap dan dingin. Wadah lebih
baik terbuat dari aluminium atau stainless steel, lemak harus dihindarkan dari
logam besi atau tembaga. Bila minyak telah diolah menjadi bahan makanan,
pola ketengikannya akn berbeda. Kandungan gula yang tinggi mengurangi
kecepatan timbulnya ketengikan, misalnya biskuit yang manis akan lebih
tahan daripada yang tidak bergula. Adanya antioksidan dalam lemak juga akan
mengurangi kecepatan proses oksidasi (Winarno, 2004). Perlindungan
minyak dari serangan radiakal memerlukan senyawa organik tertentu
(antioksidan) yang dapat menghambat otooksidasi. Antioksidan dapat bereaksi
cepat dengan radikal sehingga berfungsi sebagai penjerat (trap) radikal (Sykes
dalam Setyawan, 2009).
E. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan
antara lain:
1. Angka peroksida tertinggi pada shift 1 yaitu pada sampel minyak jelantah
sebesar 17, sedangkan yang terendah yaitu pada sampel minyak goreng
curah baru sebesar 0. Angka peroksida tertinggi pada shift 2 yaitu pada
sampel minyak goreng bimoli penggorengan 1 kali sebesar 32, sedangkan
yang terendah yaitu pada sampel minyak goreng curah baru dan bimoli
baru sebesar 0.
2. Titik asap tertinggi pada shift 1 yaitu pada sampel minyak goreng kunci
mas penggorengan 1 kali sebesar 167, sedangkan yang terendah yaitu pada
sampel minyak jelantah sebesar 112. Titik asap tertinggi pada shift 2 yaitu
pada sampel minyak goreng kunci mas penggorengan 2 kali sebesar 192,
sedangkan yang terendah yaitu pada sampel minyak jelantah baru sebesar
80.
3. Semakin tinggi bilangan peroksida suatu minyak maka semakin rendah
mutu minyak tersebut. Sedangkan semakin tinggi titik asap suatu minyak
maka semakin baik mutu minyak tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Aminah, Siti. 2010. Bilangan Peroksida Minyak Goreng Curah dan Sifat
Organoleptik Tempe pada Pengulangan Penggorengan. Jurnal Pangan dan
Gizi Vol. 01 No. 01.
Ayoade, G. W., Ammo I. A., dan V. O. E. Akpambang. 2015. Physicochemical
and Fatty Acid Composition of Crude and Refined Oils of African
Canarium. International Journal of Science and Technology Vol. 4, No. 5,
May, 2015.
Buckle, K.A., R. A Edwards, G. H. Fleet dan M. Wootton. 2010. Ilmu Pangan.
UI-Press: Jakarta.
Budimarwanti, C. 2013. Analisa Lipid Sederhana dan Lipida Kompleks.
Budiyanto, Meizul Zuki dan Mina S. Hutasoit. 2012. Ketahanan Minyak Goreng
Kemasan dan Minyak Curah pada Penggorengan Kerupuk Jalin. Jurnal
Agroindustri Vol. 2 No. 1, Mei 2012.
Effendi, M.Y.. 2009. Perbandingan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Daging Pisang
Ambon (Musa AAA ‘Pisang Ambon’) dengan Vitamin A, Vitamin C, dan
Katekin melalui Perhitungan Bilangan Peroksida. Skripsi Pendidikan
Dokter Umum Universitas Indonesia.
Gunawan., M.T., A Rahayu. 2003. Analisis Pangan : Penentuan Angka Peroksida
dan Asam Lemak Bebas pada Minyak Kedelai dengan Variasi
Menggoreng. JSKA Volume VI No.3.
Handoko, Donatus Setyawan P., Triyono, Narsito dan Tutik Dwi. 2009.
Peningkatan Kualitas Minyak Jelantah Menggunakan Adsorben H5-NZA
dalam Reaktor Sistem Fluid Fixed Bed. Jurnal Ilmu Daar, Vol. 10, No. 2,
Juli 2009 : 121-132.
Ilmi, Ibnu Malkan Bakhrul, Ali Khomsan, dan Sri Anna Marliyati. 2015. Kualitas
Minyak Goreng dan Produk Gorengan Selama Penggorengan di Rumah
Tangga Indonesia. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 4 (2).
Marsigit, W., Budiyanto, dan Mukhsin. 2011. Analisis Penurunan Kualitas
Minyak Goreng Curah selama Penggorengan Kerupuk Jalin. Jurnal
Agroindustri Vol. 1 No. 2
Mishra, S dan S. C. Manchanda. 2012. Cooking Oils for Heart Health. J.
Preventive Cardiology, Vol. 1, No. 3, February 2012.
Muchtadi, Tien R. M. S., Sugiyono, daan Fitriyono Ayustaningwarno. 2010. Ilmu
Pengetahuan Bahan. Alfabeta. Bogor.
Moigradean, D., Mariana-Atena Poiana, Ioan Gogoasa. 2012. Quality
Characteristics and Oxidative Stability of Coconut Oil During Storage.
Journal of Agroalimentary Processes and Technologies 2012, 18 (4), 272-
276.
Mulasari, Asti Surahma dan Risa Rahmawati Utami. 2012. Kandungan Peroksida
pada Minyak Goreng di Pedagang Makana Gorengan Sepanjang Jalan
Prof. Dr. Soepomo Umbulharjo Yogyakarta Tahun 2012. Arc-Com-Health
Journal Vol. 1, No. 2 : 120-123, Desember 2012.
Norrizah, A. R., Norsyamimi M., Zaliha O., Nur Azimah K., dan Siti Hazirah M.
F. 2014. Physicochemical Properties of Palm Oil and Palm Kernel Oil
Blend Fractions After Interesterification. International Food Research
Journal 22(4): 1390-1395.
Palanisamy, Uma D., Muniswaran Sivanathan, Ammu Kutty Radhakrishnan,
Nagaraja Haleagrahara, Thavamanithevi Subramaniam and Gan Seng
Chiew. 2011. An Effective Ostrich Oil Bleaching Technique Using
Peroxide Value as an Indicator. Molecules 2011, 16, 5709-5719.
Ramdja, A. Fuadi, Lisa Febrina dan Daniel Krisdianto. 2010. Pemurnian Minyak
Jelantah Menggunakan Ampas Tebu Sebagai Adsorben. Jurnal Teknik
Kimia, No. 1, Vol. 17, Januari 2010.
SNI. 2002. Minyak Goreng SNI 01-374-2002. Badan Standarisasi Nasional.
Jakarta.
Sumarlin, La Ode, Lela Mukmillah dan Ratna Istianah. 2011. Analisis Mutu
Minyak Jelantah Hasil Peremajaan Menggunakan Tanah Diatomit Atami
dan Terkalsinasi. Program Studi Kimia Universitas Muhammadiyah
Sukabumi.
Wannahari, R. Dan Nordin M. F. N. 2012. Reduction of Peroxide Value in Used
Palm Cooking Oil Using Bagasse Adsorbent. American International
Journal of Contemporary Research, Vol. 2, No. 1: January 2012).
Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Yulia, E., A H Mulyati., F Nuraeni. 2012. Kualitas Minyak Goreng Curah yang
Berada di Pasar Tradisional di Daerah Jabotabek pada Berbagai
Penyimpanan. PT Bima Mitra Farma, Tangerang.
LAMPIRAN

1. Perhitungan Kelompok 10
Diketahui :
N Na-tiosulfat = 0,1 N
mL Na-tiosulfat (pentitrasi) = 0,85 mL
(mL Natrium tiosulfat x N x 1000
Bilangan Peroksida =
gr sampel
0,85 mL x 0,1 N x 1000
=
5 gr

= 17
2. Dokumentasi

Gambar 3.3 Sampel Kelompok 10 Gambar 3.4 Proses titrasi dengan


Uji Peroksida Na-tiosulfat
Gambar 3.6Sampel Kelompok 3
Gambar 3.5 Warna setelah titrasi
Uji Titik asap

Gambar 3.7 Proses Pengujian Titik


Asap

You might also like