Professional Documents
Culture Documents
Disusun Oleh
NIM :153170136
Kelas :E
Secara historis filsafat merupakan induk ilmu, dalam perkembangannya ilmu makin
terspesifikasi dan mandiri, namun mengingat banyaknya masalah kehidupan yang tidak bisa
dijawab oleh ilmu, maka filsafat menjadi tumpuan untuk menjawabnya. Filsafat memberi
penjelasan atau jawaban substansial dan radikal atas masalah tersebut. Sementara ilmu terus
mengembangakan dirinya dalam batas-batas wilayahnya, dengan tetap dikritisi secara radikal.
Proses atau interaksi tersebut pada dasarnya merupakan bidang kajian Filsafat Ilmu, oleh karena
itu filsafat ilmu dapat dipandang sebagai upaya menjembatani jurang pemisah antara filsafat
dengan ilmu, sehingga ilmu tidak menganggap rendah pada filsafat, dan filsafat tidak memandang
ilmu sebagai suatu pemahaman atas alam secara dangkal.
Pada dasarnya filsafat ilmu merupakan kajian filosofis terhadap hal-hal yang berkaitan
dengan ilmu, dengan kata lain filsafat ilmu merupakan upaya pengkajian dan pendalaman
mengenai ilmu (Ilmu Pengetahuan/Sains), baik itu ciri substansinya, pemerolehannya, ataupun
manfaat ilmu bagi kehidupan manusia. Pengkajian tersebut tidak terlepas dari acuan pokok filsafat
yang tercakup dalam bidang ontologi, epistemologi, dan axiologi dengan berbagai pengembangan
dan pendalaman yang dilakukan oleh para ahli.
1. PENGERTIAN FILSAFAT
Perkataan Inggris philosophy yang berarti filsafat berasal dari kata Yunani “philosophia”
yang lazim diterjemahkan sebagai cinta kearifan. Akar katanya ialah philos (philia, cinta) dan
sophia (kearifan). Menurut pengertiannya yang semula dari zaman Yunani Kuno itu filsafat berarti
cinta kearifan. Namun, cakupan pengertian sophia yang semula itu ternyata luas sekali. Dahulu
sophia tidak hanya berarti kearifan saja, melainkan meliputi pula kebenaran pertama, pengetahuan
luas, kebajikan intelektual, pertimbangan sehat sampai kepandaian pengrajin dan bahkan
kecerdikkan dalam memutuskan soal-soal praktis (The Liang Gie, 1999).
Banyak pengertian-pengertian atau definisi-definisi tentang filsafat yang telah dikemukakan
oleh para filsuf. Menurut Merriam-Webster (dalam Soeparmo, 1984), secara harafiah filsafat
berarti cinta kebijaksanaan. Maksud sebenarnya adalah pengetahuan tentang kenyataan-kenyataan
yang paling umum dan kaidah-kaidah realitas serta hakekat manusia dalam segala aspek
perilakunya seperti: logika, etika, estetika dan teori pengetahuan.
Menurut Surajiyo (2010:1) secara etimologi kata filsafat, yangg dalam bhs Arab dikenal
denganistilah falsafah dan dalam Bahasa Inggris di kenal dengan istilah philoshophy adalah
dari Bahasa Yunaniphiloshophia terdiri atas kata philein yang berarti cinta (love) dan shopia yang
berarti kebijaksanaan (wisdom), sehingga secara etimologi istilah filsafat berarti cinta
kebijaksanaan (love of wisdom) dalam arti yang sedalam-dalamnya. Dengan demikian, seorang
filsuf adalah pecinta atau pencari kebijaksanaan.
Secara terminologi, menurut Surajiyo (2010: 4) filsafat adalah ilmu pengetahuan yang
menyelidiki segala sesuatu yang ada secara mendalam dengan menggunakan akal sampai
pada hakikatnya. Filsafat bukan mempersoalkan gejala-gejala atau fenomena, tetapi yang dicari
adalah hakikat dari sesuatu fenomena. Hakikat adalah suatu prinsip yang menyatakan “sesuatu”
adalah “sesuatu” itu adanya. Filsafat mengkaji sesuatu yang ada dan yang mungkin ada secara
mendalam dan menyeluruh. Jadi filsafat merupakan induk segala ilmu.
Susanto (2011: 6) menyatakan bahwa menurut Istilah, filsafat adalah ilmu pengetahuan
yang berupaya mengkaji tentang masalah-masalah yang muncul dan berkenaan dengan segala
sesuatu, baik yang sifatnya materi maupun immateri secara sungguh-sungguh guna menemukan
hakikat sesuatu yang sebenarnya, mencari prinsip-prinsip kebenaran, serta berpikir secara rasional-
logis, mendalam dan bebas, sehingga dapat dimanfaatkan untuk membantu menyelesaikan
masalah-masalah dalam kehidupan manusia.
Kalau menurut tradisi filsafati dari zaman Yunani Kuno, orang yang pertama memakai
istilah philosophia dan philosophos ialah Pytagoras (592-497 S.M.), yakni seorang ahli
matematika yang kini lebih terkenal dengan dalilnya dalam geometri yang menetapkan a2 + b2 =
c2. Pytagoras menganggap dirinya “philosophos” (pencinta kearifan). Baginya kearifan yang
sesungguhnya hanyalah dimiliki semata-mata oleh Tuhan. Selanjutnya, orang yang oleh para
penulis sejarah filsafat diakui sebagai Bapak Filsafat ialah Thales (640-546 S.M.). Ia merupakan
seorang Filsuf yang mendirikan aliran filsafat alam semesta atau kosmos dalam perkataan Yunani.
Menurut aliran filsafat kosmos, filsafat adalah suatu penelaahan terhadap alam semesta untuk
mengetahui asal mulanya, unsur-unsurnya dan kaidah-kaidahnya (The Liang Gie, 1999).
Menurut sejarah kelahiran istilahnya, filsafat terwujud sebagai sikap yang ditauladankan
oleh Socrates. Yaitu sikap seorang yang cinta kebijaksanaan yang mendorong pikiran seseorang
untuk terus menerus maju dan mencari kepuasan pikiran, tidak merasa dirinya ahli, tidak menyerah
kepada kemalasan, terus menerus mengembangkan penalarannya untuk mendapatkan
kebenaran (Soeparmo, 1984).
Timbulnya filsafat karena manusia merasa kagum dan merasa heran. Pada tahap awalnya
kekaguman atau keheranan itu terarah pada gejala-gejala alam. Dalam perkembangan lebih lanjut,
karena persoalan manusia makin kompleks, maka tidak semuanya dapat dijawab oleh filsafat
secara memuaskan. Jawaban yang diperoleh menurut Koento Wibisono dkk. (1997), dengan
melakukan refleksi yaitu berpikir tentang pikirannya sendiri. Dengan demikian, tidak semua
persoalan itu harus persoalan filsafat.
Pengertian-pengertian tentang filsafat ilmu, telah banyak dijumpai dalam berbagai buku
maupun karangan ilmiah lainnya. Menurut The Liang Gie (1999), filsafat ilmu adalah segenap
pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan
ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Filsafat ilmu merupakan
suatu bidang pengetahuan campuran yang eksistensi dan pemekarannya bergantung pada
hubungan timbal-balik dan saling-pengaruh antara filsafat dan ilmu.
Sehubungan dengan pendapat tersebut serta sebagaimana pula yang telah digambarkan pada
bagian pendahuluan dari tulisan ini bahwa filsafat ilmu merupakan penerusan pengembangan
filsafat pengetahuan. Objek dari filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan. Oleh karena itu setiap saat
ilmu itu berubah mengikuti perkembangan zaman dan keadaan tanpa meninggalkan pengetahuan
lama. Pengetahuan lama tersebut akan menjadi pijakan untuk mencari pengetahuan baru. Hal ini
senada dengan ungkapan dari Archie J.Bahm (1980) bahwa ilmu pengetahuan (sebagai teori)
adalah sesuatu yang selalu berubah.
Filsafat ilmu menurut Surajiyo (2010 : 45), merupakan cabang filsafat yang membahas
tentang ilmu. Tujuan filsafat ilmu adalah mengadakan analisis mengenai ilmu pengetahuan dan
cara bagaimana ilmu pengetahuan itu diperoleh. Jadi filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang
ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara memperolehnya. Pokok perhatian filsafat ilmu adalah proses
penyelidikan ilmiah itu sendiri.
Dalam perkembangannya filsafat ilmu mengarahkan pandangannya pada strategi
pengembangan ilmu yang menyangkut etik dan heuristik. Bahkan sampai pada dimensi
kebudayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau kemanfaatan ilmu, tetapi juga arti
maknanya bagi kehidupan manusia (Koento Wibisono dkk., 1997).
Oleh karena itu, diperlukan perenungan kembali secara mendasar tentang hakekat dari ilmu
pengetahuan itu bahkan hingga implikasinya ke bidang-bidang kajian lain seperti ilmu-ilmu
kealaman. Dengan demikian setiap perenungan yang mendasar, mau tidak mau mengantarkan kita
untuk masuk ke dalam kawasan filsafat. Menurut Koento Wibisono (1984), filsafat dari sesuatu
segi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang berusaha untuk memahami hakekat dari sesuatu “ada”
yang dijadikan objek sasarannya, sehingga filsafat ilmu pengetahuan yang merupakan salah satu
cabang filsafat dengan sendirinya merupakan ilmu yang berusaha untuk memahami apakah
hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri.
Lebih lanjut Koento Wibisono (1984), mengemukakan bahwa hakekat ilmu menyangkut
masalah keyakinan ontologik, yaitu suatu keyakinan yang harus dipilih oleh sang ilmuwan dalam
menjawab pertanyaan tentang apakah “ada” (being, sein, het zijn) itu. Inilah awal-mula sehingga
seseorang akan memilih pandangan yang idealistis-spiritualistis, materialistis, agnostisistis dan
lain sebagainya, yang implikasinya akan sangat menentukan dalam pemilihan epistemologi, yaitu
cara-cara, paradigma yang akan diambil dalam upaya menuju sasaran yang hendak dijangkaunya,
serta pemilihan aksiologi yaitu nilai-nilai, ukuran-ukuran mana yang akan dipergunakan dalam
seseorang mengembangkan ilmu.
Dengan memahami hakekat ilmu itu, menurut Poespoprodjo (dalam Koento Wibisono,
1984), dapatlah dipahami bahwa perspektif-perspektif ilmu, kemungkinan-kemungkinan
pengembangannya, keterjalinannya antar ilmu, simplifikasi dan artifisialitas ilmu dan lain
sebagainya, yang vital bagi penggarapan ilmu itu sendiri. Lebih dari itu, dikatakan bahwa dengan
filsafat ilmu, kita akan didorong untuk memahami kekuatan serta keterbatasan metodenya,
prasuposisi ilmunya, logika validasinya, struktur pemikiran ilmiah dalam konteks dengan realitas
in conreto sedemikian rupa sehingga seorang ilmuwan dapat terhindar dari kecongkakan serta
kerabunan intelektualnya.
Adapun tujuan mempelajari filsafat ilmu menurut Amsal Bakhtiar (2008:20) adalah:
a) Mendalami unsur-unsur pokok ilmu sehingga secara menyeluruh kita dapat memahami sumber,
hakekat dan tujuan ilmu.
b) Memahami sejarah pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan ilmudi berbagai bidang sehingga
kita dapat gambaran tentang proses ilmu kontemporermsecara historis.
c) Menjadi pedoman untuk membedakan studi ilmiah dan non ilmiah.
d) Mempertegas bahwa persoalan antara ilmu dan agama tidak ada pertentangan.
Bagi mahasiswa dan peneliti, tujuan mempelajari filsafat ilmu adalah
1) seseorang (peneliti, mahasiswa) dapat memahami persoalan ilmiah dengan melihat ciri dan cara
kerja setiap ilmu atau penelitian ilmiah dengan cermat dan kritis.
2) seseorang (peneliti, mahasiswa) dapat melakukan pencarian kebenaran ilmiah dengan tepat dan
benar dalam persoalan yang berkaitan dengan ilmunya (ilmu budaya, ilmu kedokteran, ilmu teknik,
ilmu keperawatan, ilmu hukum, ilmu sosial, ilmu ekonomi dan sebagainya) tetapi juga persoalan
yang menyangkut seluruh kehidupan manusia, seperti: lingkungan hidup, peristiwa sejarah,
kehidupan sosial politik dan sebagainya.
3) Seseorang (peneliti, mahasiswa) dapat memahami bahwa terdapat dampak kegiatan ilmiah
(penelitian) yang berupa teknologi ilmu (misalnya alat yang digunakan oleh bidang medis, teknik,
komputer) dengan masyarakat yaitu berupa tanggung jawab dan implikasi etis. Contoh dampak
tersebut misalnya masalaheuthanasia dalam dunia kedokteran masih sangat dilematis dan
problematik, penjebolan terhadap sistem sekuriti komputer, pemalsuan terhadap hak atas
kekayaaan intelektual (HAKI) , plagiarisme dalam karya ilmiah.
PEMBAHASAN
Positivisme
1. Judul : Relevansi Paradigma Positivistik Dalam Penelitian Sosiologi Pedesaan
2. Asumsi Paradigma Positivistik
Menelusuri pemikiran dalam melihat praktik sosial, tentunya pada displin ilmu sosiologi
bahwa paradigma positivistik membawa pengaruh besar untuk menjawab persoalan atau
masalah sosial. Kajian sosiologi mengasumsikan bahwa paradigma positivistik pertama
kali muncul dalam dunia ilmu pengetahuan. Keyakinan utama dalam pemahaman tersebut
berdasarkan dari ontologi realisme yaitu realitas dalam praktik sosial berjalan dengan
hukum alam. Paradigma positivistik muncul untuk menyatakan sikap penolakan terhadap
pola pikir dari pada metafisik. Menurut paradigma positivistik praktik sosial yang terjadi
dalam kehidupan berdasarkan dari pada data bersifat empiris. Penolakan yang dilakukan
oleh paradigma positivistik sebagai spekulasi teoritis dalam memperoleh ilmu pengetahuan
baru. Paradigma positivistik mengambarkan tesisnya kepada asumsi bahwa ilmu adalah
satu-satunya pengetahuan yang valid dan bersifat empiris. Fakta sosial yang terjadi dalam
praktis sosial tentunya pada tindakan manusia akan menjadi sejalan dengan objek
pengetahuan. Displin dalam ilmu sosiologi menjabarkan bahwa paradigma positivistik
berada pada analisis teori Auguste Comte dan Johan Stuart Mill (ilmu filsafat). Walapun
asumsi tersebut paradigma positivistik berada pada penemuan pertama yaitu Saint Simon
dan para tokok sosialistik yang sangat dekat dengan tokoh-tokoh ilmu ekonomi. Asumsi
Auguste Comte yang merupakan tokoh sosiologi mewarnai bahwa ada istilah yang
diberikan yaitu phisique sociale. Pemikiran ini Auguste Comte ingin membedakan antara
social statics dan social dynamic (Salim, 2006). Pada pola asumi tersebut perbedaan
terletak kepada jenjang-jenjang peradaban dan menelaah perubahan sosial. Dengan
demikian, asumsi yang dirumsukan yaitu :
1. Asumsi ontologi, yang mempertanyakan kepada ilmuan mengenai; apa yang sebenarnya
hakikat sesuatu yang diketahui oleh kita? apa sebenarnya praktis sosial yang terjadi?
Sehingga pertanyaan yang dikemukakan adalah what is nature of reality? Pertanyaan yang
diajukan sebagai pertanyaan awal seseorang peneliti untuk memahami realitas sosial.
Auguste Comte mengasumsikan kepada pola pemikiran masyarakat yang mengalami
namanya perubahan.
2. Asumsi epistemologis, ini adalah asumsi yang sangat mendasar mengenai jawaban
sebagai ilmuan terkait dengan praktik sosial yang terjadi. Peran pertanyaan yang muncul
adalah apa sebenarnya hakikat antara pencari ilmu dan objek sebagai hasil lapangan? Ini
mengambarkan bahwa pertanyaa apa yang akan dikemukaan seorang peneliti untuk
menelaah masalah sosial. Auguste Comte mengasmsikan bahwa gejala sosial yang terjadi
tentunya ada hubungan dengan permasalahan yang lain. Apakah terkait dengan status
sosial dalam masyarakat itu sendiri.
3. Asumsi metodologi, para ilmuan menjadikan alat untuk menjawab persoalan yang
terjadi. Artinya metodologi terkait dengan alat apa yang digunakan untuk menjawab
perosalan dalam masyakat. Jika kita telusuri alat yang Comte melihat masyarakat yaitu
observasi. Observasi yang dilakukan oleh Comte dengan kreasi simultan observasi dengan
hukum. Pemahaman ini menekankan kepada proses fenomena sosial dihubungkan dengan
variabel yang lain. Komperasi tersebut mampu dihubungkan dengan displin ilmu sosial
lainnya.
4. Asumsi aksiologi, terkait dengan nilai apa yang dapat diharapkan dalam sebuah kajian.
Sehingga membawa efek terhadap perubahan masyarakat yang akan datang. Ilmu
pengetahuan tersebut akan memberi efek terhadap perubahan dan dampak menjadi
masyarakat yang sejehtera.
Banyaknya persoalan pada masyarakat pedesaan yang dijawab dengan kajian sosiologi
pedesaan memberi adil mengenai pengetahuan dan nilai-nilai dalam menentukan
paradigma. Paradigma postivistik yang menyederhanakan data dilapangan akan
berdampak terhadap hasil dan pengetahuan yang baru, dijadikan sebagai penelitian yang
ilmiah. Secara umum data yang bersifat tingkatan seperti pendapatan, jenis kelamin, usia,
pendidikan, status dan sebagainya bisa diselesaikan dengan paradigma positivisme.
3. https://ejournal.undip.ac.id/index.php/ilmusos/article/download/18510/13630
Interpretif
Cara pandang interpretif dalam berbagai aspeknya, secara umum selaras dengan cara
pandang non-positivisme. Secara lebih detail, beberapa cara pandang interpretif
tersebut meliputi (dengan perbandingan cara pandang positivisme):
1. Dimensi Ontologis. Dimensi ini meliputi bagaimana cara pandang peneliti terhadap
realitas yang diteliti. Realitas adalah subyektif dan berganda sebagaimana yang
diperlihatkan oleh partisipan dalam studi.
Non-Positivisme Positivisme
Realitas adalah subyektif dan Realitas adalah obyektif dan
berganda sebagaimana yang tunggal, terlepas dari peneliti
diperlihatkan oleh partisipan dalam
studi.
2. Dimensi Epistemologis. Dimensi ini meliputi cara pandang tentang bagaimana
hubungan peneliti dengan yang diteliti.
Non-Positivisme Positivisme
Peneliti berinteraksi dengan yang Peneliti independen dari yang
diteliti diteliti
3. Dimensi Aksiologis. Dimensi ini meliputi cara pandang tentang peranan nilai-nilai.
Non-Positivisme Positivisme
Value-laden dan bias Value-free dan tidak bias
4.Dimensi Metodologis. Dimensi ini meliputi cara pandang atas dilakukannya proses
penelitian.
Non-Positivisme Positivisme
- Proses induktif - Proses deduktif
- Mutual simultaneous shaping of - Sebab akibat
factors - Static design; kategori-kategori
- Emerging design; kategori- ditentukan sebelum penelitian
kategori diidentifikasi selama - Bebas konteks
proses penelitian - Generalisasi untuk prediksi dan
- Dibatasi konteks eksplanasi
- Pola-pola, teori-teori - Akurasi dan keandalan melalui
dikembangkan untuk memahami validitas dan reliabilitas
- Akurasi dan keandalan melalui
verifikasi
3. https://www.researchgate.net/publication/322248391_STUDI_INTERPRETIF_UNT
UK_MEMAHAMI_PERILAKU_KEENGGANAN_MENGGUNAKAN_E-
BILLING/download
Tindakan
Prinsip pertama, wacana dipahami sebagai sebuah tindakan (action). Dengan pemahaman
semacam ini mengasosiasikan wacana sebagai bentuk interaksi. Implikasinya, ada
beberapa konsekuensi bagaimana wacana harus dipandang. Pertama, wacana dipandang
sebagai sesuatu yang bertujuan, apakah untuk mempengaruhi, mendebat, membujuk,
menyanggah, bereaksi, dan sebagainya. Seseorang dalam berbicara atau menulis
mempunyai maksud tertentu, baik besar maupun kecil. Kedua, wacana dipahami sebagai
sesuatu yang diekspresikan secara sadar, terkontrol, bukan sesuatu yang di luar kendali
atau diekspresikan di luar kesadaran (Eriyanto, 2011).
Konteks
Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks wacana, seperti: latar, situasi,
peristiwa, dan kondisi. Wacana di sini dipandang, diproduksi, dimengerti, dan dianalisis
pada suatu konteks tertentu. Mengikuti Guy Cook (via Eriyanto, 2011), analisis wacana
juga memeriksa konteks dari komunikasi: siapa yang mengkomunikasikan dengan siapa
dan mengapa; dalam jenis khalayak dan situasi apa; melalui apa; bagaimana perbedaan tipe
dari perkembangan komunikasi; dan hubungan untuk setiap masing-masing pihak. Titik
tolak analisis wacana di sini, bahasa tidak bisa dipahami sebagai mekanisme internal dari
linguistik semata dan bukan suatu objek yang diisolasi dalam ruang tertutup.
Historis
Menempatkan wacana dalam konteks sosial tertentu, berarti wacana diproduksi dalam
konteks tertentu dan tidak dapat dimengerti tanpa menyertakan konteks yang
menyertainya. Salah satu aspek penting untuk bisa mengerti teks adalah dengan
menempatkan wacana itu dalam konteks historis tertentu.
Kekuasaan
Analisis wacana kritis juga mempertimbangkan elemen kekuasaan (power) dalam
analisisnya. Di sini, setiap wacana yang muncul, dalam bentuk teks, percakapan, atau
apapun, tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral; tetapi merupakan
bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan merupakan salah satu kunci hubungan
antara wacana dengan masyarakat. Seperti kekuasaan laki-laki dalam wacana mengenai
seksisme, kekuasaan kulit putih terhadap kulit hitam dalam wacana mengenai rasisme,
kekuasaan perusahaan berbentuk dominasi pengusaha kelas atas kepada bawahan, dan
sebagainya.
Jika penelitian ini dilihat dari beberapa aspek maka :
Secara Ontologi
Paradigma kritis pada dasarnya secara epistimologi membenahi pandangan yang umum
berlaku . Paradigma ini menyarankan pada teori dan ilmu sosial untuk tidak hanya memberi
makna realitas sosial atau proses sosial belaka, tanpa memiliki implikasi pada praktik
politik. Bagi paradigm kritis, justru tugas teori adalah membuat sejarah ( Fakih,2002:94)
Realisme historis, realitas yang terlihat dibentuk oleh nilai-nilai
sosial,politik,kultural,ekonomik,etnik dadan gender terkristalisasi sepanjang waktu.
Realitas yang teramati merupakan realitas “semu” (virtual reality) yang telah terbentuk
oleh proses sejarah dan kekuatan-kekuatan sosial,budaya,dan ekonomi-politik.
Aksiologi
Pengetahuan proposional transaksional dapat bernilai secara instrumental sebagai alat
untuk emansipasi sosial adalah tujuan dan nilai intrinsic.Nilai,etika dan pilihan moral
merupakan bagian tak terpisahkan dari penelitian. Tujuan dari penelitian adalah kritik
sosial,transformasi,emansipasi dan social empowerment
Epistimologi
Transaksional atau subjektivis : temuan-temuan yang benar terjadi di realitas yang
sebenarnya. Hubungan peneliti dengan yang diteliti selalu dijembatani dengan nilai-nilai
tertentu. Pemahaman tentang suatu realitas merupakan value mediated findings.
Metodologi
Secara partisipasi mengutamakan analisis komprehensif,kontekstual,dan multi-level
analysis yang bisa dilakukan melalui penempatan diri sebagai aktivis/partisipan dalam
proses transformasi sosial.Kriteria kualitas penelitiannya yaitu Historical Situatedness:
sejauhmana penelitian memperhatikan konteks historis,sosial,budaya,ekonomi dan politik.
Selama ini penelitian kebahasaan, khususnya penelitian wacana masih difokuskan pada
aspek struktur linguistik sebagai pembentuk wacana tersebut. Wacana dikaji pada ada
tidaknya kohesifitas dan kekoherenan wacana tersebut. Apa sajakah satuan-satuan
linguistik yang membentuk kohesifitas dan kohorensian baik koherensi leksikal maupun
gramatikal. Hal ini, berbeda dengan penelitian wacana dengan menggunakan paradigma
wacana kritis. Wacana kritis berpandangan bahwa struktur pembentuk wacana tidak berada
pada “ruang hampa” sosial. Sebab, wacana pada dasarnya adalah sebuah tindakan (sosial)
yang sarat dengan latar belakang politik, ekonomi, kekuasan, budaya dll. Jadi, jika selama
ini wacana dikaji dari aspek linguistiknya semata. Tulisan ini akan memaparkan bagaimana
pandangan wacana kritis dalam memperlakukan wacana/teks.
3.https://ejournal.undip.ac.id/index.php/nusa/article/viewFile/20587/13974
DAFTAR PUSTAKA
Badara,Aris.2012. Analisis Wacana: Teori, Metode, dan Penerapannya pada Wacana Media.
Eriyanto. 2011. Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS.
Ismail. 2013. Ironi dan Sarkasme Bahasa Politik Media. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Noorsalim, Mashudi dan Muridan S. Widjojo. 2004. “Bahasa Negara Versus Bahasa Gerakan
Mahasiswa (Kajian Semiotik atas Teks-Teks Pidato Presiden Soeharto dan Selebaran Gerakan
Mahasiswa)”. Jakarta: LIPI Press.
Ajzen, I. (1991). The theory of planned behavior. Organizational Behavior and Human
Decision Processes, 50, 179–211.
Angkasa, M. (2017, April 15). Bayar Pajak Kok Susah. Jawa Pos, p. 4.
Budiarto, E. (2017, April 28). Bikin Kode Billing Lebih Awal. Jawa Pos, p. 4.
James, S., dan Alley, C. (2002). Tax compliance, self-assessment and tax administration.
Journal in Finance and Management in Public Services, 2(2), 27–42.
Saad, N. (2014). Tax Knowledge , Tax Complexity and Tax Compliance : Taxpayers ’ View.
Procedia - Social and Behavioral Sciences, 109(1), 1069–1075.
Sapiei, N. S., dan Kasipillai, J. (2013). Impacts of the Self-Assessment System for Corporate
Taxpayers. American Journal of Economics, 3(2), 75–81.
Yusdita, E. E. (2016). Tinjauan Kepatuhan Wajib Pajak Berdasarkan Teori Perilaku Terencana
dan Teori Psikologi Fiskal. Universitas Brawijaya
Creswell, John W. 2010. Desearch Design; Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Durkheim, Emile. 1982. The Rules Of Sociological Method. New York: The Free Press.
Gordon, B. Davis. 1991. Kerangka Dasar Sistem Informasi Manajemen Bagian 1. Jakarta: PT.
Pustaka Binamas Pressindo.
Hardiman, Fransisco Budi. 1993. Kritik Ideologi Pertaurtan Pengetahuan dan Kepentingan.
Yogjakarta:
Kanisius Jamilah, Joharotul. 2016. Ketahanan Industri Bordir di Tasikmalaya: Studi Etika
Moral Ekonomi Islam Pada Komunitas Tatar Sunda. Disertasi IPB Sosiologi Pedesaan. Bogor:
Insitut Pertanian Bogor.
Johson, D Paul. 1990. Teori Sosiologi Klasik dan Modren, jilid 1 Ter. Robert M.Z. Lawang.
Jakarta: Gramedia.
Lubis, Akhyar Yusuf. 2009. Epitemologi Fundasional. Bogor: Akademika.
Malik, Abdul dan Aris Dwi Nugroho. 2016. Menuju Paradigma Penelitian Sosiologi Yang
Integratif. Jurnal Sosiologi Reflektif, Volume 10, N0. 2.
Salim, Agus. 2006. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial; Buku Sumber Untuk Penelitian
Kualittaif. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Saidi, Anas. 2015. Pembagian Epistemologi Habermas dan Implikasinya Terhadap Metodologi
Penelitian Sosial-Budaya. Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 2.
Septimawan, Dhanny Sutopo dan Nurul Pramesti. 2017. Konseptualisasi Praktik Sosial dalam
Lintas Ruang dan Waktu: Kehidupan Masyarakat di Pedesaan. Jurnal Sosiologi Pendidikan
Humanis Vol 2, No 2.