You are on page 1of 47

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN FEBRUARI 2019


UNIVERSITAS TADULAKO

AUTOSOMAL DOMINANT NONSYNDROMIC SNHL

OLEH

Nama : Musyarafa
NIM : N 111 17 058
Pembimbing : KOMPOL dr. Benyamin F L Sitio., M.Sc., Sp. THT-

Klinik KL

DISUSUN DALAM RANGKA UNTUK MEMENUHI TUGAS


KEPANITERAAN KLINIK
DI BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2019
BAB I

PENDAHULUAN

Komponen panca indra pada manusia sangat penting dalam kelangsungan


hidup manusia itu sendiri, termasuk telinga dengan fungsi pendengaran dan
keseimbangan. Pendengaran yang baik merupakan salah satu kebutuhan hidup
yang sangat penting bagi kita. Jika kita mengalami gangguan pendengaranmaka
hal itu akan sangat berdampak buruk dalam kehidupan sehari-hari. Pemenuhan
kualitas hidup adalah hal penting bagi orang yang menderita gangguan
pendengaran beserta keluarganya.1
Gangguan pendengaran dapat disebabkan faktor seperti genetik, penuaan,
terpapar suara keras, infeksi, kelainan kongenital, trauma pada telinga dan juga
paparan toksin. Pada seseorang dengan gangguan pendengaran yang berat, suara
yang cukup keras tidak dapat terdengar atau yang biasanya terjadi adalah orang
tersebut sangat sulit mengerti kata-kata yang diucapkan.2
Gangguan pendengaran merupakan masalah kesehatan yang memerlukan
perhatian khusus mengenai 6-8% dari populasi di negara berkembang dan
sebagian merupakan defek yang didapatkan sejak lahir.3
Autosomal dominant non syndromic Hearing loss (ADNSHL) adalah
ketulian yang progresif dengan onset pada usia dekade kedua atau ketiga,
memiliki beragam derajat ketulian dan merupakan kandidat yang potensial untuk
menjalani implantasi koklea.3
Referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan tentang mutasi genetik
pada tuli kongenital, berdasarkan kepustakaan yang ada serta untuk memnuhi
tugas kepaniteraan klinik dibagian ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorokan –
kepala – leher.

BAB II

2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Telinga

2.1.1 Embriologi telinga


Perkembangan struktur kepala dan leher dari mamalia merupakan
hasil diferensiasi jaringan lunak dari embrio mamalia, dimana struktur
kepala dan leher berasal dari jaringan lunak di daerah pharyngeal
apparatus dari embrio.4 Perkembangan dari pharyngeal apparatus embrio
membentuk tiga komponen yaitu lengkung brankial (faringeal), kantong
brankial dan celah brankial, dimana lengkung brankial merupakan unsur
pokok tempat berkembangnya struktur-struktur dari lapisan mesoderm
embrio seperti jaringan otot, elemen pembuluh darah dan sel-sel neural
crest yang nantinya akan membentuk jaringan tulang dan jaringan syaraf.
Oleh karena itu apabila terjadi gangguan perkembangan pada lengkung
brankial akan menyebabkan kelainan kongenital pada struktur kepala dan
leher.4 Periode yang penting untuk perkembangan telinga adalah pada
minggu ke-3 setelah fertilisasi, dimana telinga dalam terlebih dahulu
dibentuk. Telinga luar, tengah dan dalam berasal dari embriologi yang
berbeda dan perkembangannya dapat terganggu pada tingkatan manapun
sehingga dapat menimbulkan abnormalitas yang sangat bervariasi mulai
dari yang ringan sampai yang berat.4 Perkembangan auditorik
berhubungan erat dengan perkembangan otak. Neuron di bagian korteks
mengalami pematangan dalam waktu 3 tahun pertama kehidupan dan masa
12 bulan pertama kehidupan terjadi perkembangan otak yang sangat cepat.
Berdasarkan hal tersebut, maka upaya melakukan deteksi dini gangguan
pendengaran sampai habilitasi dapat dimulai pada saat perkembangan otak
masih berlangsung.5 Jaringan pada kepala dan leher berasal dari 3 lapisan
embrio yaitu endoderm, mesoderm, dan ektoderm.6 Perkembangan
prenatal dibagi menjadi beberapa periode yang terpisah. Periode pertama
dimulai dari saat implantasi blastosit ke dalam dinding uterus hingga

3
sirkulasi intraembrionik mulai terbentuk, selama periode singkat ini
(sekitar 21 hari) ketiga lapisan embrio yaitu endoderm, mesoderm, dan
ektoderm berkembang membentuk lempengan yang datar dan memanjang
yang mengandung notochord. Struktur seperti batang ini berasal dari
lapisan ektoderm dan memanjang sepanjang embrionic disc (potongan
embrio) mulai dari membran buccopharyngeal sampai ke membran
cloacal, dimana lapisan ektoderm dan lapisan endoderm bertemu. Periode
kedua yang berlangsung selama 35 hari (akhir minggu ke-8) yang
dinamakan periode embrionik. Selama periode ini terjadi pertumbuhan
yang cepat dan diferensiasi tingkat seluler sehingga pada saat hari ke-56
semua sistem utama dan organ telah terbentuk, dan embrio memiliki
bentuk yang dapat dinyatakan sebagai manusia. Waktu yang tersisa yaitu 7
bulan masa gestasi disebut periode fetal, dimana pertumbuhan yang cepat
hanya ditandai dengan perubahan bentuk serta perubahan posisi antara
struktur yang satu dengan yang lain.6
2.1.2 Perkembangan Telinga Dalam
Struktur telinga dalam terdiri dari labirin bagian membran berisi
cairan yang dibentuk dari lapisan ektoderm dan labirin bagian tulang (otic
capsule) yang dibentuk dari lapisan mesoderm dan neural crest.4
a. Labirin Bagian Membran
Telinga bagian dalam merupakan bagian yang pertama kali
dibentuk dan berkembang dibandingkan dengan bagian telinga
yang lain. Pada akhir minggu ke-3 masa gestasi (hari ke-22)
atau disebut juga periode 7 somit, lapisan ektoderm yang
berada di depan occipital somite mengalami penebalan pada
masing-masing sisi dari neural groove yang masih terbuka
dimana penebalan ini disebut dengan otic placode. Lapisan
mesoderm yang berada disekitar otic placode berproliferasi
sehingga perlahan-lahan membuat lapisan ektoderm yang
membentuk otic placode makin lama makin menyempit dan
membentuk otic pit dimana pada akhirnya otic placode akan
lenyap dari permukaan luar dan membentuk

4
otocyst (otic vesicle), yang akan menjadi cikal bakal
pembentukan labirin bagian membran.6 Otocyst terletak
diantara lengkung brankial kedua dan lengkung brankial ketiga
yang akan mengalami perkembangan dan perubahan bentuk
secara dramatis sehingga mencapai bentuk dewasa pada
minggu ke-10 dan mencapai ukuran dewasa pada minggu ke-20
gestasi.6
Dalam perkembangannya, otocyst lebih berkembang ke
arah panjang daripada lebar, hal ini menyebabkan otocyst dapat
dibagi menjadi tiga daerah dan terlihat jelas pada minggu ke-5
masa gestasi, yaitu daerah kranial yang akan berkembang
menjadi saluran endolimfatik (endolympatic duct), daerah
kaudal yang akan berkembang menjadi saluran koklea
(cochlear duct), dan daerah tengah atau daerah utrikulosakular
(utriculosaccular area) yang akan berkembang menjadi sistem
vestibular.6

Gambar 1.

Perkembangan dini dari telinga dalam pada minggu ke-3 dan ke-4
masa gestasi. Pembentukan otocyst dari otic placode
Daerah utrikulosakular terus berkembang sehingga pada
bagian utrikulo muncul 3 buah kantong yaitu di bagian
superior, posterior dan lateral yang akan membentuk kanalis

5
semisirkularis superior, posterior dan lateral dimana kanalis
semisirkularis superior terlebih dahulu terbentuk secara
lengkap pada minggu ke-6 kemudian diikuti oleh kanalis
semisirkularis posterior dan yang terakhir dibentuk adalah
kanalis semisirkularis lateral. Saluran koklea (cochlear duct)
juga mulai mengalami perkembangan secara cepat sehingga
membentuk 1,5 putaran pada minggu ke-8 serta telah mencapai
putaran penuh yaitu 2,5 putaran pada minggu ke-10 masa
gestasi, walaupun belum mencapai panjang keseluruhan, yang
baru akan dicapai pada minggu ke-20 masa gestasi.6 Epitel
sensoris, 3 buah krista, 2 buah makula, dan organ Corti dari
koklea dibentuk dari lapisan ektoderm otocyst. Makula
berkembang pada minggu ke-7 masa gestasi yang berasal dari
sekitar daerah tempat masuknya serabut saraf ke dalam
utrikulus dan sakulus. Membran otokonial mulai terbentuk
pada minggu ke-12 masa gestasi.6 Epitel sensoris dari koklea
mulai berkembang pada minggu ke-7, bersamaan dengan itu
saluran koklea juga mulai berkembang dan membentuk
putaran, pada dinding medial koklea lapisan dari epitel sensoris
ini mengalami perubahan menjadi bentuk seperti spiral
sebanyak 2 lapisan sepanjang koklea. Bagian spiral yang
sebelah dalam dan mempunyai ukuran lebih besar akan
berkembang menjadi sel rambut dalam (inner hair cell) dan
membran tektorial, sedangkan bagian spiral yang lebih kecil
yaitu pada bagian luar akan berkembang menjadi sel rambut
luar (outer hair cell). Sel-sel rambut ini dapat dikenali secara
jelas pada minggu ke-11 masa gestasi. 6 Organ Corti berasal dan
berkembang dari bagian dinding posterior saluran koklea
(cochlear duct), pada saat saluran koklea terus bertambah
panjang dan apabila pada waktu yang bersamaan dilakukan
potongan lintang maka terlihat bahwa struktur dalam dari

6
saluran koklea berubah bentuk, yang awalnya berbentuk
lingkaran kemudian berubah menjadi oval dan akhirnya
berubah menjadi triangular. Bagian dinding posterior saluran
koklea berkembang menjadi organ Corti, dinding anterior
berkembang menjadi sebagian dari membran Reissner dan
dinding lateral berkembang menjadi stria vaskularis.6
b. Labirin Bagian Osseus
Lapisan mesoderm yang berada disekitar labirin bagian
membran mengalami perubahan-perubahan yang berkelanjutan
sehingga menghasilkan 2 macam formasi bentuk yaitu tulang
rawan otic capsule dan ruang perilimfatik (perilymphatic
space) yang mengandung cairan perilimfe pada minggu ke-8
masa gestasi. Di dalam koklea ruang perilimfatik ini
berkembang menjadi 2 bagian yaitu skala timpani dan skala
vestibuli dimana skala timpani dibentuk terlebih dahulu. Proses
osifikasi (penulangan) dari tulang rawan otik kapsul baru
dimulai ketika labirin bagian membran mencapai ukuran
dewasa, proses penulangan dimulai sekitar minggu ke-15 masa
gestasi dan berakhir pada minggu ke-21.6

7
Gambar 2. Perkembangan labirin bagian tulang. Potongan lintang
koklea yang menggambarkan perkembangan organ Corti, labirin
tulang, dan ruang perilympatik pada minggu ke-8 sampai minggu ke-
12 masa gestasi.4
Secara klinis gangguan perkembangan telinga dalam dibagi
menjadi 2 bagian yaitu:
1. Gangguan perkembangan pada labirin tulang dan labirin membrane
2. Gangguan perkembangan pada Labirin membran.
Abnormalitas dari telinga bagian dalam dapat disebabkan oleh
perkembangan yang terhambat ataupun perkembangan yang
menyimpang dimana faktor-faktor yang terlibat dan dapat
menimbulkan hal ini sangat bervariasi berupa faktor genetik, maupun
faktor teratogenik.6
Gambaran histopatologis yang sering dijumpai pada tuli kongenital
adalah displasia kokleasakular yang diakibatkan oleh terhambatnya
perkembangan bagian kaudal dari otocyst, sehingga sebagian atau
seluruh bagian dari organ Corti tidak terbentuk, yang pertama kali
digambarkan oleh Scheibe pada tahun 1892. Saluran koklea dan
sakulus mengalami kolaps, dan stria vaskularis mengalami degenerasi
sedangkan utrikulus dan kanalis semisirkularis normal.6
Gangguan perkembangan pada labirin tulang dan labirin membran
kebanyakan disebabkan oleh perkembangan yang terhambat pada
minggu ke-4 dan minggu ke-8 pada masa gestasi. Labirin aplasia
menyeluruh (Michel malformation) merupakan abnormalitas yang
sangat berat dan sangat jarang terjadi dimana diduga akibat dari
kegagalan otocyst untuk berkembang. Koklea aplasia, hipoplasia, dan
pemisahan saluran koklea (cochlear duct) yang tidak sempurna
merupakan kelainankelainan atau abnormalitas akibat dari
perkembangan koklea yang terhambat pada minggu ke-5, 6, dan 7 pada
masa gestasi. Displasia dari kanalis semisirkularis disebabkan oleh
kegagalan penyatuan epitel sentral dimana kanalis semisirkularis
lateral yang paling sering terkena. Hal ini disebabkan karena kanalis
semisirkularis lateral merupakan yang terakhir berkembang.6

8
2.1.3 Anatomi Telinga Dalam
Telinga dalam atau labirin terdiri dari labirin bagian tulang dan
labirin bagian membran. Labirin bagian tulang terdiri dari kanalis
semisirkularis, vestibulum dan koklea, sedangkan labirin bagian
membrane terletak di dalam labirin bagian tulang terdiri dari kanalis
semisirkularis, utrikulus, sakulus dan koklea.7

9
Koklea merupakan saluran tulang yang menyerupai cangkang siput
dan bergulung 21/2 putaran, dengan panjang kurang lebih 35 mm dengan
pusatnya yang disebut modiolus dan juga merupakan tempat keluarnya
lamina spiralis. Dari lamina spiralis menjulur ke dinding luar koklea suatu
membran basilaris. Pada tempat perlekatan membran basilaris ke dinding
luar koklea terdapat penebalan periosteum yang dikenal sebagai
ligamentum spiralis. Di samping itu juga terdapat membran vestibularis
(Reissner) yang membentang sepanjang koklea dari lamina spiralis ke
dinding luar. Kedua membran ini akan membagi saluran koklea tulang
menjadi tiga bagian yaitu ruang atas (skala vestibuli), ruang tengah
(duktus koklearis/skala media), dan ruang bawah yang disebut skala
timpani. Antara skala vestibuli dengan duktus koklearis dipisahkan oleh
membran vestibularis (Reissner). Antara duktus koklearis dengan skala
timpani dipisahkan oleh membran basilaris. Skala vestibuli dan skala
timpani mengandung perilimfe dan di dindingnya terdiri atas jaringan ikat
yang dilapisi oleh selapis sel gepeng yaitu sel mesenkim, yang menyatu
dengan periosteum disebelah luarnya. Skala vestibuli berhubungan dengan
ruang perilimfe vestibularis dan akan mencapai permukaan dalam fenestra
ovalis. Skala timpani menjulur ke lateral fenestra rotundum yang
memisahkannya dengan ruang timpani. Pada apeks koklea skala vestibuli

10
dan timpani akan bertemu melalui suatu saluran sempit yang disebut
helikotrema.7,8

Gambar 3. Koklea dan potongan melintang koklea.

Organ Corti terletak di atas membran basilaris yang mengandung


organ penting untuk mekanisme saraf perifer pendengaran, terdiri dari tiga
bagian utama, yaitu sel penunjang, sel-sel rambut dan suatu lapisan gelatin
penghubung membran tektoria.8 Cairan perilimfe memiliki komposisi ion
yang mirip dengan cairan cerebrospinalis (CSF) dan juga mirip dengan
cairan ekstraseluler, dengan konsentrasi natrium (Na+) tinggi dan kalium

11
(K+) rendah. Cairan perilimfe pada skala vestibuli berasal dari plasma
darah yang terdapat pada barrier hemato-perilimfatik, sedangkan cairan
perilimfe pada skala timpani berasal dari CSF.9 Cairan endolimfe adalah
cairan yang memiliki komposisi ion yang hampir sama dengan cairan
intraseluler dan mengisi membran auditorius dan labirin vestibularis.
Endolimfe dibentuk oleh sel – sel sekret pada stria vaskularis dan oleh sel
– sel gelap di dekat akhir dari krista ampularis pada duktus semisirkularis
dan dinding utrikulus. Endolimfe diabsorpsi pada sakus endolimfatikus.
Komposisi cairan ini adalah tinggi kalium (K+) dan rendah natrium (Na+).
Konsentrasi kalium 144 mEq/L dan natrium 13 mEq/L. Skala media
memiliki potensial istirahat sekitar 80 mV yang menurun dari basis ke
apeks. Potensial endokoklear ini dihasilkan stria vaskularis di dinding
lateral koklea.6,8
Membran basilaris adalah struktur fibrosa yang berlapis – lapis dari
lamina spiral pars osseus ke ligamen spiral. Elastisitas membran basilaris
bervariasi di sepanjang koklea dari kekakuan dan kelebarannya. Membran
basilaris tampak kaku dan sempit di daerah basis koklea. Pada daerah ini
merupakan daerah yang sensitif terhadap frekuensi tinggi. Sedangkan
ujung lain dari membran, yaitu pada apeks koklea, tampak lebih fleksibel
dan luas dan paling sensitif terhadap frekuensi rendah.7
Organ Corti merupakan rumah dari sel sensoris pendengaran.
Organ Corti terletak di sepanjang membran basilaris, dan menonjol dari
basis ke apeks koklea. Ukuran organ Corti bervariasi secara bertahap dari
basis koklea ke apeks koklea. Organ Corti terdiri atas sel – sel penyokong
dan sel – sel rambut. Sel rambut merupakan sel sensoris yang
menghasilkan impuls saraf dalam menanggapi getaran membran basilaris.
Di organ Corti terdapat 1 deret sel rambut dalam dan 3 sampai 5 deret sel
rambut luar. Ada sekitar 3500 sel rambut dalam dan 12000 sel rambut luar.
Sel – sel ini berbeda secara morfologi, bentuk dari sel rambut dalam
seperti botol dan ujung syarafnya berbentuk piala yang menyelubunginya,
sedangkan bentuk dari sel rambut luar seperti silinder dan ujung syarafnya
hanya pada basis sel yang terletak bebas di perilimfe pada organ Corti.8 Sel

12
rambut dalam dan luar ini memegang peranan penting pada perubahan
energi mekanik menjadi energi listrik. Fungsi sel rambut dalam sebagai
mekanoreseptor utama yang mengirimkan sinyal syaraf ke neuron
pendengaran ganglion spiral dan pusat pendengaran, sedangkan fungsi sel
rambut luar adalah meningkatkan atau mempertajam puncak gelombang
berjalan dengan meningkatkan aktivitas membran basilaris pada frekuensi
tertentu. Peningkatan gerakan ini disebut cochlear amplifier yang
memberikan kemampuan sangat baik pada telinga untuk menyeleksi
frekuensi, telinga menjadi sensitif dan mampu mendeteksi suara yang
lemah. Ujung dari sel rambut terdapat berkas serabut aktin yang
membentuk pipa dan masuk ke dalam lapisan kutikuler (stereosilia).
Stereosilia dari sel rambut dalam tidak melekat pada membran tektorial
dan berbentuk huruf U sedangkan stereosilia dari sel rambut luar kuat
melekat pada membran tektorial atasnya dan berbentuk huruf W.9

13
Gambar 2.8. Sel rambut, organ Corti dan sel rambut luar dan dalam dilihat
dengan mikroskop elektron.9
2.4. Fisiologi Pendengaran
Getaran suara ditangkap oleh daun telinga yang ditransmisikan ke
liang telinga dan mengenai membran timpani sehingga membran timpani
bergetar. Amplitudo getaran membran timpani sesuai dengan intensitas
bunyi. Getaran ini diteruskan ke tulang-tulang pendengaran (maleus,
inkus, stapes) yang berhubungan satu sama lain. Ketika gelombang
mencapai basis stapes, ia akan menggetarkan fenestra ovale yang
merupakan perlekatan dari basis stapes ke koklea. Lalu getaran tersebut
akan mendorong cairan perilemfe pada skala vestibuli yang ada di koklea
di auris interna. Adanya pendesakan cairan perilimfe di skala vestibuli,
akan terjadi peningkatan tekanan di skala vestibuli tersebut. Tekanan ini
kemudian akan diteruskan ke skala timpani melalui helikotrema. Cairan
pada skala timpani ikut terdesak. Hal ini mengakibatkan tekanan pada
skala timpani meningkat, kemudian desakan cairan timpani akan
mendorong fenestra rotundum yang terdapat di sebelah lateral dari skala
timpani ke arah lateral. Karena sifat compliance/kelenturan fenestra
rotundum, maka setelah terdesak ke lateral, ia akan kembali ke posisi
semula sehingga tekanan akan terpantulkan kembali ke skala timpani,
helikotrema, kemudian ke skala vestibuli, begitu seterusnya. Getaran
diteruskan melalui membrana Reissner yang mendorong endolimfe dan
membrana basilaris ke arah bawah. Puncak gelombang yang berjalan di
sepanjang membran basilaris yang panjangnya 35 mm tersebut, ditentukan
oleh frekuensi gelombang suara. Membran basilaris yang terletak dekat
telinga tengah lebih pendek dan kaku, akan bergetar bila ada getaran
dengan nada rendah. Hal ini dapat diibaratkan dengan senar gitar yang
pendek dan tegang, akan beresonansi dengan nada tinggi. Getaran yang
bernada tinggi pada perilimfe skala vestibuli akan melintasi membran
basilaris bagian basal. Sebaliknya nada rendah akan menggetarkan bagian
membran basilaris di daerah apex. Getaran ini kemudian akan turun ke
perilimfe skala timpani, kemudian keluar melalui foramen rotundum ke

14
telinga tengah untuk diredam (Ingber 2006). Membran basilaris
merupakan membran yang membatasi skala timpani dengan skala media.
Gerakan membran basilaris ke atas akan membengkokkan stereosilia ke
arah stereosilia yang lebih tinggi pada fase depolarisasi mengakibatkan
terjadinya peregangan pada serabut tip link di puncak stereosilia. Ketika
tip link meregang langsung membuka saluran mekanoelekrik transduksi
(MET) pada membran stereosilia dan menimbulkan aliran arus K+ ke
dalam sel sensoris. Aliran kalium timbul karena terdapat perbedaan
potensial endokoklea +80 mV dan potensial intraseluler negatif pada sel
rambut, sel rambut dalam -40 mV dan sel rambut luar -70 mV. Hal tersebut
menghasilkan depolarisasi intraseluler yang menyebabkan kation termasuk
kalium dan kalsium mengalir ke dalam sel rambut. Masuknya ion K+ akan
mengubah potensial listrik dalam sel rambut dan mendepolarisasi sel, pada
akhirnya sel rambut memendek dengan mempengaruhi motor sel rambut
luar atau prestin.7,9 Ketika membran basilaris bergerak turun, stereosilia
membengkok ke arah stereosilia yang terpendek pada fase hiperpolarisasi
mengakibatkan terjadinya pengenduran pada serabut tip link di puncak
stereosilia maka saluran MET akan tertutup. Bila stereosilia tegak lurus,
pembukaan saluran MET tak akan berpengaruh. Tip link ini seperti saluran
elastik yang bisa mengendalikan buka tutupnya saluran MET. Ion K+
keluar dari sel rambut luar ke dalam ruang ekstraseluler di sekitar sel
rambut luar kemudian masuk ke sel pendukung. Rangsangan suara diubah
menjadi getaran membran basilaris, dan mengarahkan pada pembukaan
dan penutupan saluran MET pada stereosilia kemudian menghasilkan
respon elektrokimia dan akhirnya akan mepresentasikan suara pada saraf
pendengaran.7,9 Serabut-serabut serabut saraf koklearis berjalan menuju
inti koklearis dorsalis dan ventralis. Sebagian besar serabut inti melintasi
garis tengah dan berjalan naik menuju kolikulus inferior kontralateral,
namun sebagian serabut tetap berjalan ipsilateral. Penyilangan selanjutnya
pada lemniskus lateralis dan kolikulus inferior. Dari kolikulus inferior

15
jaras pendengaran berlanjut ke korpus genikulatum dan kemudian ke
korteks pendengaran pada lobus temporalis.9
2.5. Gangguan Pendengaran
Tuli dibagi atas tuli konduktif, tuli sensorineural serta tuli campur
(mixed deafness). Gangguan telinga luar dan telinga tengah dapat
menyebabkan tuli konduktif, sedangkan gangguan telinga dalam
menyebabkan tuli sensorineural, yang terbagi atas tuli koklea dan tuli
retrokoklea.3
World Health Organization (WHO) mengenai angka gangguan
pendengaran dan ketulian menunjukkan peningkatan yang signifikan. Pada
tahun 2000 terdapat 250 juta (4,2%) dari total penduduk dunia, tahun 2005
sekitar 278 juta (4,2%) dan mengalami peningkatan pada tahun 2013
menjadi sekitar 360 juta (5,3%) penduduk dunia, 328 juta penduduk (91%)
merupakan orang dewasa dan 32 juta (9%) adalah anak-anak.2

2.6. Tuli Kongenital


2.1.4 Fdfrfy
2.1.5 bvgygh
2.1.6 hhg

Gambar 10 Pengukuran oksigen dalam darah11

2.4.2 Barotrauma pada saat Menyelam


1. Tekanan atmosfer
Tekanan atmosfer yang ada di laut yaitu 1 atmosfer atau 1 bar.

1 Atmosfer diperkirakan mendekati dengan 10 meter kedalaman laut,

33 kaki kedalaman air laut, 34 kaki kedalaman air segar, 1 kg/cm 2,

14,7 Ibs/in2 psi, 1 bar, 101,3 kilopascals, 760 mmHg.13

16
Gambar 11. Tekanan di berbagai lapisan bumi13
2. Tekanan Absolut
Tekanan absolut merupakan tekanan total yang dialami seorang

penyelam ketika berada di kedalaman laut yang merupakan jumlah dari

tekanan atmosfer yang berada di permukaan air ditambah tekanan yang

dihasilkan oleh massa air di atas penyelam (tekanan hidrostatik). Tekanan

total yang dialami penyelam disebut tekanan absolut. Tekanan ini

menggambarkan keadaan atmosfer dan disebut sebagai absolut atmosfer

atau ATA.13
3. Tekanan Gauge
Seperti yang telah dijelaskan, tekanan hidrostatik pada pada penyelam

secara umum diukur dengan suatu tekanan atau depth gauge. Seperti alat

ukur yang telah dijelaskan tekanan pada permukaan laut dan mengabaikan

tekanan atmosfer (1 ATA). Tekanan gauge dapat diubah menjadi tekanan

absolute dengan menambahkan 1 tekanan atmosfer.13


4. Tekanan Parsial
Pada campuran gas, proporsi tekanan total yang dimiliki oleh masing-

masing gas disebut sebagai tekanan parsial (bagian atas tekanan). Tekanan

parsial yang dimiliki oleh masing-masing gas sebanding dengan persentase

campuran. Setiap gas memiliki proporsi yang sama dengan tekanan total

17
campuran, seperti proporsinya dalam komposisi campuran. Misalnya,

udara pada 1 ATA mengandung oksigen 21%, maka tekanan parsial

oksigen adalah 0,21 ATA dan udara pada 1 ATA mengandung nitrogen

78%, maka tekanan parsial nitrogen adalah 0,78 ATA.13


Barotrauma pada saat menyelam dapat terjadi pada saat turun ke dalam

air yang disebut sebagai squeeze, sedangkan barotrauma pada saat naik ke

permukaan air secara cepat disebut reverse squeeze atau overpressure.13


2.4.3 Barotrauma pada saat Penerbangan

Tekanan Lingkungan yang menurun, menyebabkan udara dalam telinga

tengah mengembang dan secara pasif akan keluar melalui tuba auditiva. Jika

perbedaan tekanan antara rongga telinga tengah dan lingkungan teralu besar, maka

tuba auditiva akan menciut. Untuk memenuhi regulasi tekanan yang adekuat,

terjadi perbedaan tekanan telinga tengah dengan tekanan atmosfir yang besar

selama lepas landas dan mendarat, menyebabkan ekstensi maksimal membran

tympani, dan dapat mengakibatkan pendarahan. Pada ekstensi submaksimal, akan

timbul perasaan penuh dalam telinga dan pada ekstensi maksimal berubah menjadi

nyeri.14

Pada saat pesawat mulai naik, akan terjadi perubahan tekanan udara yang

tiba-tiba, dimana akan timbul tekanan positif pada rongga telinga tengah dan

negatif pada bagian luar membran timpani. Hal ini akan menimbulkan penonjolan

keluar dari membrane timpani (bulging), sedangkan saat pesawat akan mendarat

akan terjadi keadaan yang sebaliknya akan timbul tekanan negatif pada liang

telinga tengah dengan tekanan positif pada bagian luar telinga akibatnya terjadi

retraksi-penarikan ke arah dalam. Di sinilah sangat dibutuhkan fungsi normal tuba

18
eusthacius untuk dapat mengalirkan udara yang terperangkap di telinga tengah

keluar melalui nasofaring.15

Barotrauma telinga luar, tengah dan dalam. Barotrauma telinga ini bisa

terjadi secara bersamaan dan juga dapat berdiri sendiri.15

Barotrauma telinga luar berhubungan dengan dunia luar, maka pada waktu

menyelam, air akan masuk ke dalam meatus akustikus eksternus. Bila meatus

akustikus eksternus tertutup, maka terdapat udara yang terjebak. Pada waktu

tekanan bertambah, mengecilnya volume udara tidak mungkin dikompensasi

dengan kolapsnya rongga (kanalis akustikus eksternus), hal ini berakibat

terjadinya decongesti, perdarahan dan tertariknya membrana timpani ke lateral.

Peristiwa ini mulai terjadi bila terdapat perbedaan tekanan air dan tekanan udara

dalam rongga kanalis akustikus eksternus sebesar ± 150 mmHg atau lebih, yaitu

sedalam 1,5 – 2 meter.15

Barotrauma telinga tengah akibat adanya penyempitan, inflamasi atau

udema pada mukosa tuba mempengaruhi kepatenannya dan merupakan penyulit

untuk menyeimbangkan tekanan telinga tengah terhadap tekanan lingkungan yang

terjadi pada saat ascent maupun descent, baik penyelaman maupun penerbangan.

Terjadinya barotrauma tergantung pada kecepatan penurunan atau kecepatan

peningkatan tekanan lingkungan yang jauh berbeda dengan kecepatan

peningkatan tekanan telinga tengah.15

Barotrauma telinga dalam biasanya adalah komplikasi dari barotrauma

telinga tengah pada waktu menyelam, disebabkan karena malakukan maneuver

valsava yang dipaksakan. Bila terjadi perubahan dalam kavum timpani akibat

19
barotrauma maka daerah kavum timpani akan mengalami edema dan akan

menekan stapes yang terletak pada foramen ovale dan membran pada foramen

rotunda, yang mengakibatkan peningkatan tekanan di telinga dalam yang akan

merangsang labirin vestibuler sehingga terjadi deviasi langkah pada pemeriksaan

“Stepping Test”. Dapat disimpulkan , gangguan pada telinga tengah dapat

berpengaruh pada labirin vestibuler dan menampakkan ketidakseimbangan laten

pada tonus otot melalui refleks vestibulospinal.15

1.4.4 Barotrauma pada luka ledakan


1. Cedera Primer
Cedera primer adalah cedera langsung yang disebabkan oleh

ledakan tekanan gelombang yang sangat tinggi, atau gelombang kejut.

Cedera primer terutama mengenai organ-organ berongga yang

mengandung udara karena adanya perubahan physiological anatomi

dari gaya yang dihasilkan oleh gelombang ledakan sehingga

mempengaruhi permukaan dan struktur tubuh. Organ-organ tersebut

seperti paru-paru, usus, dan telinga. Namun, yang paling sering adalah

telinga karena dipengaruhi oleh overpressure, diikuti oleh paru-paru

dan organ-organ berongga dari saluran pencernaan (usus). 16,17,18


Mekanisme kerusakan organ yang terjadi pada cedera ledakan

primer dapat melalui efek spalling, implosion (ledakan), dan inersia

dan perbedaan tekanan. Jika blast shock wave berjalan dari satu

medium ke medium lain yang densitasnya lebih kecil, seperti cairan

jaringan ke udara pada alveolus, akan terjadi peningkatan tekanan

lokal pada medium pertama. Fenomena ini disebut spalling dan

mengakibatkan sobekan mikroskopis serta makroskopis pada jaringan

20
yang menghubungkan kedua medium, yang mengakibatkan perdarahan

ke dalam alveolus. Pada kasus-kasus yang berat, perdarahan ini dapat

terjadi sampai bronkus terminal. Implosion terjadi jika gelombang

tekanan yang melalui organ berongga mengakibatkan kompresi dan

dekompresi segera. Ekspansi yang tiba-tiba terjadi mengakibatkan

ledakan "sekunder". Inersia merupakan kekuatan sobekan yang

terbentuk jika gelombang tekanan melalui medium dengan densitas

yang berbeda dan dengan kecepatan berbeda pula. 16,17,18


Cedera yang terjadi adalah barotrauma, yaitu cedera yang

disebabkan oleh perbedaan tekanan antara organ internal dengan

permukaan luar tubuh saat terjadi gelombang tekanan. Derajat

kerusakan organ ditentukan oleh kekuatan bahan ledakan, lama dan

tekanan puncak fase positif, lokasi ledakan, serta jarak korban terhadap

sumber ledakan. Lokasi ledakan dalam ruang tertutup berperan dalam

meningkatkan mortalitas dan derajat keparahan cedera yang terjadi.

Insiden cedera ledakan primer juga lebih tinggi pada ledakan dalam

ruang tertutup.16
2. Cedera Pada Telinga/Cedera Pada Sistem Auditorius
Telinga merupakan organ yang paling sensitif mengalami

kerusakan akibat trauma ledakan. Tekanan yang mengenai membran

timpani berperan penting dan ini dipengaruhi oleh orientasi kepala

terhadap gelombang tekanan.16,17


Gambaran khas cedera ledakan primer pada sistem auditorius

adalah kerusakan telinga tengah dan dalam. Gambaran paling sering

adalah kehilangan pendengaran, dengan atau tanpa disertai ruptur

21
membran timpani. Perforasi membran timpani terutama terjadi pada

bagian anteroinferior dari pars tensa. Penyembuhan spontan terjadi

pada 50-80% pasien dengan perforasi. Penelitian lain menemukan

100% pasien kehilangan pendengaran permanen setelah ledakan.16,17


Perforasi membran timpani dulu dianggap sebagai petanda

kemungkinan terjadinya cedera ledakan pada paru-paru dan

gastrointestinal, sehingga pasien dengan perforasi membran timpani

harus diobservasi selama 6 sampai 12 jam. Namun, dalam penelitian

terakhir yang dilakukan di Israel selama 1994 sampai dengan 1996

terhadap 770 pasien korban ledakan bom, didapat kesimpulan bahwa

adanya ruptur membran timpani bukan merupakan petanda adanya

cedera primer paru yang tersembunyi atau mengancam. Pasien-pasien

ini dapat dipulangkan setelah dilakukan pemeriksaan radiologis toraks

dan observasi dalam waktu singkat.16,17


Cedera telinga tengah – perforasi Membran Timpani adalah cedera

yang paling umum ke telinga tengah. Cedera Telinga harus dicurigai

dengan gangguan pendengaran, tinnitus, otalgia, vertigo, perdarahan

dari saluran eksternal, atau otore.19

Gambar 12. Membran Timpani normal dan perforasi akibat ledakan20


22
2.3 DIAGNOSIS
2.5.1 Anamnesis
Pada anamnesis umumnya didapatkan adanya riwayat menyelam atau

penerbangan dimana terdapat perubahan cepat pada tekanan lingkungan. Secara

spesifik, barotrauma juga dapat ditemukan riwayat ventilasi tekanan positif yang

mengakibatkan peningkatan tekanan paru sehingga menyebabkan terjadinya

pulmonary barotrauma. Pasien dengan barodontalgia biasanya memiliki satu atau

lebih keadaan sebagai berikut yaitu karies, inflamasi periapikal akut maupun

kronik, kista gigi residual, sinusitis, maupun riwayat operasi gigi dalam waktu

dekat. Riwayat infeksi telinga tengah maupun luar juga dapat menjadi penanda

barotrauma telinga tengah maupun luar. Pada sinus barotrauma biasanya pasien

memiliki riwayat rhinitis dan polip nasi.13,21

2.5.2 Manifestasi Klinis dan Mekanisme


Tiga gejala klinis yang terdapat pada barotrauma secara umum adalah : efek

pada sinus atau telinga tengah, penyakit dekompresi, dan emboli gas arteri.

Barotrauma yang terjadi pada saat penurunan disebut squeeze. Gejala Knilis pada

barotrauma bergantung pada daerah yang mengalami gangguan, yaitu sebagai

berikut:
1. Barotrauma saat turun (Squeeze) Telinga Luar
Barotrauma pada telinga luar dapat terjadi bila telinga bagian luar mengalami

obstruksi, sehingga volume gas tertutup yang ada akan dikompresi atau dikurangi

selama proses turun ke dalam air. Hal ini dapat terjadi pada pemakaian tudung

yang ketat, wax pada liang telinga, pertumbuhan tulang atau eksostosis atau

menggunakan penutup telinga. Biasanya obstruksi pada saluran telinga bagian

luar ini akan menyebabkan penonjolan membran timpani disertai perdarahan,

23
swelling dan hematom pada kulit yang melapisi saluran telinga bagian luar.

Kondisi seperti ini dapat ditemukan pada saat menyelam dengan kedalaman

sedikitnya 2 meter.13,22

Gambar 13. Barotrauma saat turun (squeeze) pada telinga luar23


Gambar di atas menunjukkan patofisiologi pada telinga luar dimana

adanya obstruksi pada telinga luar (seperti penutup telinga) dapat menimbulkan

suatu ruang udara yang dapat berubah volumenya sebagai respon terhadap

perubahan tekanan lingkungan. Ketika menyelam, volume pada ruang ini

menurun dan menyebabkan membran timpani terdorong keluar (ke arah meatus

eksterna). Hal ini dapat menyebabkan nyeri dan perdarahan kecil pada membran

timpani.23
Blok atau obstruksi pada telinga luar mungkin dapat mencegah suatu

penyamaan tekanan saat menyelam. Oleh karena itu, penutup telinga tidak boleh

digunakan saat menyelam. Gejala yang ditemukan dapat berupa perdarahan pada

telinga luar hingga perdarahan pada membran timpani. Tidak ada terapi spesifik

yang diperlukan dan penyelamam dapat dilakukan kembali ketika jaringan telah

sembuh.24

2. Barotrauma saat turun (Squeeze) Telinga Tengah


Barotrauma pada telinga tengah merupakan barotrauma yang paling umum.

24
Membran Timpani merupakan pembatas antara saluran telinga luar dan ruang

telinga tengah. Pada saat penyelam turun, tekanan air meningkat diluar gendang

telinga, untuk menyeimbangkan tekanan ini, maka tekanan udara harus mencapai

bagian dalam dari gendang telinga, melalui tuba eustakius. Ketika tabung

eustakius ditutupi oleh mukosa, maka telinga tengah memenuhi empat syarat

terjadinya barotrauma (adanya gas dalam rongga, dinding yang kaku, ruang

tertutup, penetrasi pembuluh darah).13,22


Pada saat seorang penyelam terus turun pada kedalaman, maka akan terjadi

ketidakseimbangan tekanan. Jika terjadi peningkatan tekanan maka gendang

telinga akan terdorong ke dalam, awalnya akan terjadi penekanan gas yang

berada pada telinga tengah, sehingga pada batasan tertentu terjadi tekanan pada

telinga tengah lebih rendah dari tekanan air diluar, menciptakan vakum relatif

dalam ruang telinga tengah. Tekanan negatif ini menyebabkan pembuluh darah

pada gendang telinga dan lapisan pertama telinga tengah akan terjadi kebocoran

dan akhirnya dapat pecah. Jika terus menurun, selain pecahnya gendang telinga

yang menyebabkan udara atau air dapat masuk kedalam telinga tengah untuk

menyamakan tekanan, dapat pula terjadi pecahnya pembuluh darah dan

menyebabkan perdarahan ke dalam telinga tengah untuk menyamakan tekanan.13,22


Gejala yang dapat ditemukan jika terjadi tekanan pada telinga tengah yaitu

nyeri akibat terjadi peregangan pada gendang telinga. Rasa sakit sering dirasakan

sebelum pecahnya gendang telinga. Gejala tersebut dapat sedikit berkurang

dengan berhenti untuk menyelam yang lebih dalam dan segera naik beberapa

meter secara perlahan. Jika penyelaman ke bawah terus berlanjut, meskipun ada

rasa sakit, dapat terjadi pecahnya gendang telinga. Ketika pecah terjadi, nyeri

25
akan berkurang dengan cepat. Kecuali penyelam memakai pakaian diving dengan

topi keras, rongga telinga tengah dapat terkena air ketika pecahnya gendang

telinga tersebut. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya infeksi telinga tengah, dan

disarankan agar tidak menyelam sampai kerusakan yang terjadi sembuh. Pada saat

membran timpani pecah, penyelam dapat tiba-tiba mengalami vertigo. Hal

tersebut dapat menyebabkan disorientasi, mual dan muntah.13,22


Vertigo ini terjadi akibat adanya gangguan dari maleus, inkus dan stapes, atau

dengan air dingin yang merangsang mekanisme keseimbangan telinga bagian

dalam. Barotrauma pada telinga tengah terjadi tidak harus disertai dengan

pecahnya membran timpani. 13,22

Gambar 14. Barotrauma saat turun (Squeeze) pada telinga tengah23


Masalah yang paling sering terjadi ketika penerbangan dan menyelam adalah

kegagalan dalam menyamakan tekanan antara telinga tengah dan tekanan

lingkungan. Persamaan tekanan terjadi melalui tuba eustakius, yang merupakan

jaringan lunak berbentuk tabung yang berasal dari belakang hidung hingga ruang

telinga tengah. Kerusakan yang terjadi bergantung pada tingkat dan kecepatan dari

perubahan tekanan lingkungan. Ketika penyelam menyelam hanya 2,6 kaki

dengan kesulitan menyamakan tekanan pada telinga tengahnya, membran timpani

dan tulang-tulang pendengaran akan tertarik, dan penyelam merasakan suatu

26
tekanan dan rasa nyeri. Pada tekanan yang lebih tinggi, tuba eustakius mungkin

tertutup oleh tekanan negatif dari telinga tengah. Hal ini dapat terjadi pada

kedalaman 3,9 kaki dibawah laut. Peningkatan yang lebih tinggi lagi dapat

menyebabkan ruptur membran timpani.23


Gejala dari barotrauma berupa nyeri dan ketulian. Tinnitus dan vertigo tidak

terlalu terlihat pada kasus ini. Tergantung pada luas cederanya, pada otoskopi

dapat terlihat injeksi pembuluh darah atau perdarahan pada membran timpani,

perforasi membran timpani, atau darah pada telinga tengah. Audiometri

memberikan suatu diagnosis tuli konduktif tanpa komponen sensorineural.

Pengobatan yang dilakukan adalah berdasarkan gejalanya. Dalam beberapa hari

hingga minggu, gejala menghilang dan penampilan membran timpani dapat

kembali normal.24
3. Barotrauma Penurunan (Squeeze) Telinga Dalam
Terjadi bila pada saat penyelam naik ke permukaan dengan cepat sehingga

tekanan pada membran timpani diteruskan pada tingkap bulat dan lonjong

sehingga meningkatkan tekanan telinga dalam. Ruptur tingkap bulat dan lonjong

dapat terjadi dan mengakibatkan gangguan telinga dalam sehingga gejala yang

ditemukan adalah gangguan keseimbangan dan pendengaran seperti vertigo

persisten dan kehilangan pendengaran.13,22


Gejala klinis yang biasa terjadi pada barotrauma telinga dalam yaitu adanya

tinnitus, berkurangnya ketajaman pendengaran, adanya vertigo, mual dan muntah.

Kehilangan pendengaran juga dapat disebabkan oleh adanya emboli pada

pembuluh darah arteri labirin yang mensuplai darah pada koklea. Dimana fungsi

koklea sangat sensitif terhadap pembuluh darah yang memberi suplai ke koklea.

Adanya emboli pada arteri labirin yang mensuplai koklea akan mengganggu

27
fungsi dari koklea. Emboli, trombus, penurunan aliran darah atau vasospasme

pada pembuluh darah arteri labirin dapat menyebabkan kehilangan pendengaran.1,2


Gambar 15. Barotrauma telinga dalam23
Cedera pada telinga dalam selama penyelaman dikaitkan dengan adanya

ketidakmampuan untuk menyamakan telinga tengah. Perubahan tekanan yang

tiba-tiba dan besar pada teling tengah dapat diteruskan ke telinga dalam,

meyebabkan kerusakan pada mekanisme telinga dalam dan dapat menimbulkan

vertigo berat dan ketulian. Terdapat dua mekanisme teori unutk menjelaskan

telinga dalam : implosif dan eksplosif. Pada teori implosif, tekanan diteruskan

melalui retraksi ke dalam membran timpani, menyebabkan tulang-tulang

pendengaran bergerak menuju telinga dalam pada tingkap lonjong. Tekanan ini

diteruskan ke telinga dalam dan menyebabkan pendorongan pada tingkap bundar.

Jika penyelam melakukan manuver politzer dan tuba eustakius terbuka secara

tiba-tiba, tekanan telinga tengah meningkat dengan sangat cepat.


Hal ini menyebabkan tulang pendengaran kembali ke posisi semula,

sehingga tingkap bundar rusak. Sedangkan pada teori ekslosif, penyelam tidak

dapat membuka tuba eustakius, sehingga tekanan intrakranial terus meningkat

selama penyelam melakukan manuver politzer. Karena cairan otak berhubungan

dengan cairan pada telinga dalam, maka tekanan ini akan diteruskan ke telinga

dalam, dan menyebabkan tingkap bundar ataupun tingkap lonjong telinga dalam

pecah.23,24
4. Barotrauma saat turun (Squeeze) Sinus Paranasalis
Barotrauma pada sinus terjadi bila pasase yang menghubungkan sinus dan

ruangan lainnya tertutup karena mukosa maupun jaringan. Gejala yang ditemukan

adalah adanya nyeri pada sinus yang terkena dan pendarahan dari hidung yang

berasal dari sinus yang terkena. 13,26

28
Barotrauma yang terjadi pada saat penyelam naik dari kedalaman secara cepat

disebut reverse squeeze atau overpressure. Terjadi usaha tubuh untuk

mengeluarkan isi dari ruangan untuk menyesuaikan tekanan. Overpressure

memiliki beberapa gejala yang berbeda dengan squeeze yaitu:


1. Barotrauma saat naik (Overpressure) Telinga Tengah
Pada overpressure telinga tengah, peregangan dan ruptur membran timpani

dapat terjadi dan mengakibatkan nyeri yang sama dengan squeeze. Sebagai

tambahan, dapat terjadi facial baroparesis dimana peningkatan tekanan

mengakibatkan kurangnya suplai darah pada nervus facialis karena tekanan pada

telinga tengah diteruskan ke os temporalis. Dibutuhkan overpressure selama 10

sampai 30 menit untuk gejala dapat terjadi, dan fungsi nervus facialis kembali ke

normal setelah 5 - 10 menit setelah penurunan overpressure. 13,22


2. Barotrauma saat naik (Overpressure) Sinus Paranasalis
Gejala pada overpressure sinus sama dengan squeeze pada sinus.13

Kedua mekanisme yang menyebabkan barotrauma telinga dalam akan

menyebabkan terbentuknya fistula perilimfatik. Tingkap bundar lebih sering

terkena dibandingkan tingkap lonjong, tetapi biasanya keduanya dapat ruptur.

Gejala berupa tinnitus, vertigo dengan mual dan muntah, hilang pendengaran,

akan muncul ketika menyelam. Biasanya barotrauma telinga tengah telah terjadi,

tetapi membran timpani mungkin terlihat normal. Tuli berupa tuli sensorineural,

diikuti oleh nistagmus dan tes fistula yang positif.27,28

2.5.3 Pemeriksaan Fisis

Pemeriksaan fisis harus disesuaikan dengan riwayat pasien. Pemeriksaan

fisis secara umum harus dilakukan dengan menekankan pada telinga, sinus, dan

leher serta paru-paru, kardiovaskular, dan sistem neurologi. Inspeksi dan palpasi

29
ekstremitas, dan pergerakan sendi. Pada sinus, inspeksi mukosa nasal untuk polip,

perdarahan atau lesi. Palpasi dan transluminasi sinus untuk memeriksa adanya

perdarahan. Perkusi gigi atas dengan spatel untuk melihat adanya nyeri tekan pada

sinus. 29,28,30

Pada telinga inspeksi secara hati-hati membran timpani, lihat apakah ada

tanda-tanda: kongesti di sekitar umbo, berapa persen membran timpani yang

rusak, jumlah perdarahan di belakang gendang telinga, bukti ruptur membran

timpani. Pemeriksaan fisis dapat ditemukan retraksi, eritema, dan injeksi atau

perdarahan pada membran timpani. Gejala yang lebih berat berupa otitis,

hemotimpanum, dan perforasi membran timpani. Selama inspeksi pada telinga,

dapat ditemukan penonjolan ringan ke arah luar atau ke dalam dari gendang

telinga. Jika kondisi memberat, mungkin didapatkan darah atau memar di

belakang gendang telinga. Palpasi untuk mencari nyeri tekan pada tuba eustakius.
29,28,30

Kelainan membran timpani dapat dilihat melalui pemeriksaan otoskopi.

Membran timpani tampak mengalami injeksi dengan pembentukan bleb

hemoragic atau adanya darah di belakang gendang telinga. Kadang-kadang

membran timpani akan mengalami perforasi. Bila gejala menetap setelah

perjalanan udara tersebut, biasanya tes garputala audiometrik akan menunjukkan

tuli konduktif ringan di telinga yang terkena. Periksa keseimbangan dan

pendengaran pasien. Serta mengevaluasi membran timpani berdasarkan skala

Teed:29

1. Teed 0 – tidak ada kerusakan yang terlihat, telinga normal

30
2. Teed 1– kongesti sekitar umbo, terjadi ketika perbedaan tekanan 2 pound/inci 2

(PSI)

3. Teed 2 – kongesti seluruh membran timpani, terjadi ketika perbedaan tekanan

2-3 PSI

4. Teed 3 – perdarahan pada telinga tengah

5. Teed 4– perdarahan luas pada telinga tengah disertai gelembung darah yang

terlihat di belakang membran timpani; membran timpani mungkin ruptur

6. Teed 5 – seluruh telinga tengah diisi oleh darah yang berwarna gelap

(deoksigenasi).

Gambar 16. Barotrauma otitik (hemotimpanum)31

Pada gambar di atas, membran timpani tampak kebiruan karena ada darah

pada telinga tengah. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan untuk memventilasi

telinga tengah yang diikuti oleh fungsi abnormal dari tuba eustakius. Barotrauma

otitik biasanya terjadi pada saat pesawat mendarat atau pada penyelam. Tidak ada

pengobatan khusus pada kasus ini. Jika terdapat infeksi yang terkait pada

pernafasan atas ataupun alergi, dekongestan dengan antihistamin mungkin dapat

membantu.31

2.5.4 Pemeriksaan penunjang

31
Pemeriksaan yang dilakukan pada penderita barotrauma adalah

pemeriksaan laboratorium berupa:19

1. Darah Lengkap

Pasien yang memiliki hematokrit lebih dari 48% memiliki sekuele

neurologis yang persisten selama 1 bulan setelah perlukaan.

2. Analisa Gas Darah

Untuk mengevaluasi gradien alveolus-arteri untuk mengetahui terjadinya

emboli gas.

3. Kadar Serum Creatinin Phosphokinase

Peningkatan kadar serum kreatin fosfokinase menandakan peningkatan

kerusakan jaringan karena mikroemboli

4. Foto Thoraks dan CT Scan

Foto x-ray thorax jika pasien mengeluh adanya kesulitan bernafas.

Pemeriksaan penunjang lainnya berupa CT-Scan kepala untuk melihat apakah

terdapat embolisme udara pada otak.

5. PTA

PTA dilakukan untuk menentukan apakah terjadi tuli konduktif atau tuli

sensorineural.

6. Timpanometri

Timpanometri dilakukan untuk melihat apakah ada cairan di dalam cavum

timpani serta untuk melihat fungsi dari tuba

7. OAE

Untuk melihat apakah ada kerusakan di telinga dalam

32
2.6 PENATALAKSANAAN
Penanganan prehospital dapat dipertimbangkan termasuk menstabilkan ABC

dan mengkoreksi setiap kondisi yang dapat mengancam nyawa serta

mempertahankan oksigenase dan perfusi yang adekuat. Pasien harus diberi aliran

oksigen yang besar dan infus dengan akses vena yang besar untuk memelihara

tekanan darah dan nadi. Intubasi dapat dilakukan pada pasien dengan jalan nafas

yang tidak stabil atau hipoksia persisten meski dengan oksigen 100%. Pipa

torakostomi dapat dilakukan pada pneumotoraks atau hemotoraks. Needle

decompression dapat dilakukan bila dicurigai tension pneumotoraks. Kateterisasi

pasien dengan shok untuk memantau volume dan hidrasi pasien, juga pada pasien

DCS yang tidak dapat mengosongkan kandung kemih karena kerusakan saraf

pada kandung kemih.29


Walaupun kasus-kasus ringan dapat diobati dengan menghirup 30% O2 pada

tekanan permukaan, pengobatan terpenting adalah rekompresi. Tiba di RUBT

maka rekompresi dengan 30% O2 dengan tekanan paling sedikit kedalaman 18

meter (2,8 ATA) adalah pilihan utama pada banyak kasus PD (Penyakit

Dekompresi). Bila sesudah 10 menit penderita belum sembuh sempurna, maka

terapi diperpanjang sampai 100 menit dengan diselingi tiap 20 menit bernapas 5

menit udara biasa. Setelah ini dilakukan dekompresi dari 18 meter ke 9 meter

selama 30 menit dan mengobservasi penderita. Selanjutnya penderita dinaikkan

kepermukaan selama 30 menit. Seluruh waktu pengobatan dapat berlangsung

kurang dari 5 jam. 13,21


Rekompresi mengurangi diameter gelembung sesuai Hukum Boyle dan ini

akan menghilangkan rasa sakit dan mengurangi kerusakan jaringan. Selanjutnya

33
gelembung larut kembali dalam plasma sesuai Hukum Henry. O2 yang digunakan

dalam terapi mempercepat sampai 10 kali pelarutan gelembung dan membantu

oksigenasi jaringan yang rusak dan iskemik. Dalam kasus darurat yang jauh dari

fasilitas RUBT dapat dilakukan rekompresi dalam air untuk mengobati PD

langsung ditempat. Rekompresi dilakukan pada kedalaman maksimum 9 meter

selama 30-60 menit.13,21


Kecepatan naik adalah 1 meter tiap 12 menit, dan bila gejalanya kambuh,

tetaplah berada di kedalaman tersebut selama 30 menit sebelum meneruskan naik

kepermukaan. Setiba di permukaan, penderita diberi O2 selama 1 jam, kemudian

bernafas dengan udara selama 1 jam, demikian seterusnya hingga 12 jam.

Walaupun dapat dan telah dilakukan, mengenakan kembali alat selam dan

menurunkan penyelam di dalam air untuk rekompresi, namun cara ini tidak dapat

dibenarkan. Kesukaran yang dihadapi adalah penderita tidak dapat menolong

dirinya sendiri, tidak dapat dilakukan intervensi medis bila ia memburuk dan

terbatasnya suplai gas. Oleh karena ini usaha untuk mengatasi PD sering kali tidak

berhasil dan malahan beberapa pebderita lebih memburuk keadaannya. Bila terjadi

tuli mendadak akibat oklusi arteri labirin, sebaiknya dilakukan terapi hiperbarik.

Interval waktu Antara saat kejadian dan gejala sangat penting dalam pemberian

terapi hiperbarik oksigen. 13,21


2.6.1 Terapi Oksigen Hiperbarik32
Dasar dari terapi hiperbarik kecil berisi banyak prinsip fisika. Teori terapi

yang mendasari Toricelli yang digunakan untuk menentukan tekanan udara 1 atm

adalah 760 mmHg. Tekanan udara dalam komposisi unsur-unsur udara yang

terkandung di dalamnya mengandung nitrogen (N2) 79% dan Oksigen (O2) 21%.

Di pernapasan kita juga. Di ruang terapi oksigen hiperbarik disediakan

34
mengandung oksigen (O2) 100%. Terapi hiperbarik juga didasarkan pada teori

fisika dasar dari hukum Dalton, Boyle, Charles dan Henry.


Sedangkan prinsip fisiologis adalah bahwa tidak adanya O2 pada tingkat sel

akan menyebabkan gangguan kehidupan di semua organisme. Oksigen yang

mengelilingi tubuh manusia masuk ke tubuh melalui pertukaran gas. Fase fase

pertukaran gas pernapasan terdiri dari ventilasi, transportasi, pemanfaatan, dan

difusi. Dengan kondisi tekanan oksigen yang tinggi, diharapkan matriks seluler

yang menopang kehidupan suatu organisme untuk mendapatkan kondisi yang

optimal.
Terapi oksigen hiperbarik (HBOT) adalah perawatan medis di mana pasien

di ruangan menghisap oksigen tekanan tinggi (100%) atau tekanan barometrik

tinggi (ruang hiperbarik). Kondisi lingkungan HBOT dalam tekanan udara lebih

besar daripada tekanan di jaringan (1 ATA). Situasi ini dapat dialami oleh

seseorang pada saat menyelam atau di ruang udara bertekanan tinggi (RUBT)

yang dirancang baik untuk kasus penyelaman atau perawatan penyakit klinis.

Individu yang menerima pengobatan HBOT adalah suatu kondisi pada individu

yang berada di ruang tekanan tinggi (1 ATA) dan menghirup oksigen 100%.

Tekanan atmosfer di permukaan laut adalah 1 atm. Setiap pengurangan di

kedalaman 33 kaki, tekanan akan naik 1 atm. Seorang ahli terapi hiperbarik,

Laksma Dr. dr. M. Guritno S, SMHS, DEA yang memiliki pengetahuan mendalam

tentang oksigen hiperbarik di Prancis selama lima tahun menjelaskan bahwa ada

dua jenis terapi hiperbarik, efek mekanis dan fisiologis. Efek fisiologis dapat

dijelaskan melalui mekanisme plasma oksigen terlarut. Mengangkut oksigen ke

jaringan meningkat dengan meningkatnya oksigen terlarut dalam plasma.


2.6.2 Mekanisme HBOT32

35
HBOT memiliki mekanisme untuk memodulasi nitric oxide (NO) dalam sel

endotel. Dalam sel-sel endotel ini juga meningkatkan faktor pertumbuhan endotel

vaskular (VEGF) HBOT menengah. Siklus Krebs melalui peningkatan NADH

memicu peningkatan fibroblast. Fibroblast diperlukan untuk sintesis proteoglikan

dan bersama-sama dengan VEGF akan merangsang sintesis kolagen dalam proses

remodeling, salah satu tahap dalam penyembuhan luka.


Mekanisme di atas yang terkait dengan salah satu manfaat utama HBOT

adalah untuk penyembuhan luka. Pada luka adalah bagian tubuh yang mengalami

edema dan infeksi. Pada bagian ini terdapat edema radikal bebas dalam jumlah

besar. Area edema mengalami kondisi hipo-oksigen karena hipoperfusi.

Peningkatan fibroblast, seperti yang disebutkan sebelumnya akan meningkatkan

vasodilatasi di daerah edema. Jadilah kondisi daerah yang terluka menjadi

hipervaskular, hypercellular dan hyperoxia. Dengan paparan oksigen tekanan

tinggi, peningkatan IFN-γ, i-NOS dan VEGF. IFN-γ menyebabkan TH-1

meningkatkan efek pada sel-B, menyebabkan pengingkatan Ig-G. Dengan

meningkatnya Ig-G, efek leukosit fagosit juga akan meningkat. Dapat

disimpulkan bahwa luka, HBOT berfungsi untuk menurunkan infeksi dan edema ..
Adapun cara HBOT pada prinsipnya diawali dengan pemberianO2 100%,

tekan 2-3 Atm. Tahap selanjutnya diikuti dengan pengobatan penyakit

dekompresi. Maka akan terjadikerusakan jaringan, penyembuhan luka, hipoksia di

sekitar luka. Kondisi ini akan memicu peningkatan fibroblast, sintesis kolagen,

rasio RNA / DNA, peningkatan pembunuhan leukosit, dan angiogenesis yang

menyebabkan neovaskularisasi jaringan parut . Kemudian akan ada peningkatan

dan peningkatan aliran darah mikrovaskuler. Kepadatan kapiler meningkat

36
sehingga daerah tersebut akan mengalami reperfusi iskemia. Sebagai tanggapan,

akan ada peningkatan NO hingga 4-5 kali, disertai dengan pemberian oksigen

hiperbarik 2-3 ATA selama 2 jam. Hasilnya cukup memuaskan, yaitu luka

penyembuhan jaringan. Terapi ini adalah yang paling banyak dilakukan pada

pasien dengan diabetes mellitus yang memiliki luka yang sulit disembuhkan

karena perfusi perifer yang buruk dan oksigenasi jaringan distal.


Indikasi lain yang dilakukan HBOT adalah untuk mempercepat

penyembuhan penyakit, cedera akibat radiasi, cedera kompresi, osteomielitis,

keracunan karbon monoksida, emboli udara, gangren, infeksi jaringan lunak sudah

nekrotik, cangkok dan flap kulit, luka bakar, abses intrakranial dan anemia.
Prosedur pemberian HBOT dilakukan pada tekanan 2-3 ATA-90 dengan O2

O2 yang terputus-putus akan mencegah keracunan. Menurut Paul Bert,

efeksamping biasanyaakan sistem saraf pusat seperti onset mual, berkedut otot-

otot wajah dan perifer serta kejang. Sedang menurut Lorrain Smith, efek samping

bisamengenai paru-paru adalah batuk, sesak dan rasa sakit di bawahnya.


Di Indonesia, di mana pengembangan dimulai dengan pemasangan ruang

kompresi pada saat pembangunan dermaga Graving, di Ujung, Surabaya, yang

digunakan untuk merawat pasien dengan dekompresi. Hingga saat ini fasilitas

hiperbarik tersedia di beberapa rumah sakit di Indonesia, terutama rumah sakit

Angkatan Laut dan rumah sakit yang terkait dengan penambangan:


- RS PT Arun, Aceh;
- RSAL Dr Midiyatos, Tanjung Pinang;
- RSAL Dr Mintohardjo, Jakarta;
- RS Pertamina Cilacap;
- Panti Waluyo, Solo;
- Angkatan Laut Lakesla, Surabaya;
- Rumah Sakit Sanglah, Denpasar;
- RS Pertamina Balikpapan;
- RSU Napier;
- RS Mount Wenang, Manado;

37
- RSAL Halong, Ambon;
- RS Petromer, Sorong.
Terapi oksigen hiperbarik dilakukan di ruang hiperbarik (ruang hiperbarik)

dibagi menjadi dua, yaitu: Multiplace dan monoplace. Beberapa ruang dapat

digunakan untuk beberapa pasien pada saat yang sama, sedangkan di monoplace

hanya digunakan untuk pengobatan satu pasien saja. Tidak perlu menggunakan

masker atau sarung tangan di dalam ruangan kecuali dalam kasus keracunan

karbon monoksida atau penghirupan asap. Di dalam ruangan, pasien ruang dapat

melakukan aktivitas apa pun seperti mendengarkan musik, membaca, atau bahkan

aerobik. Hehehe. Untuk penelitian, hewan percobaan dapat dimasukkan ruang.


Dosis perawatan oksigen hiperbarik adalah untuk memberikan tekanan

oksigen 100% lebih besar dari tekanan oksigen murni terus menerus ke tubuh,

dengan tekanan 2 atmosfer absolut (ATA) hingga 3 ATA. Untuk perawatan luka

khususnya untuk kecelakaan selam, kasus penggunaan oksigen hiperbarik terlebih

dahulu, membutuhkan tekanan 100% oksigen selama 90 menit pada kedalaman 45

kaki air laut (FSW) - 13,7m air laut (MSW) atau 1:38 sesuai dengan bar atau 2, 36

(ATA). Dosis yang digunakan dalam pengobatan HBOT tidak boleh lebih dari 3

ATA karena tidak aman untuk pasien dengan status lemah selain terkait dengan

lamanya pengobatan diperlukan, juga mengatakan bahwa tekanan di atas 2,5 ATA

memiliki efek imunosupresif.


Pada kebanyakan perawatan, waktu HBOT setiap sesi adalah 90 menit

hingga 120 menit sekali atau dua kali sehari disesuaikan dengan kondisi jaringan

dan perawatan yang diperlukan. Biasanya dibutuhkan 10 sesi sebagai terapi

pengobatan (untuk kebugaran dan kecantikan) atau lebih sesuai dengan kondisi.
Pengobatan HBOT bekerja untuk:

38
1. Meningkatkan konsentrasi oksigen dalam jaringan di seluruh tubuh, bahkan

pada aliran darah yang berkurang


2. Menstimulasi pertumbuhan pembuluh darah baru untuk meningkatkan aliran

darah dalam sirkulasi yang berkurang.


3. Menyebabkan pelebaran kembali arteri sehingga meningkatkan diameter

pembuluh darah, bukan pada awal terapi.


4. Merangsang fungsi adaptif pada peningkatan superoksida dismutase (SOD),

adalah salah satu anti-oksidan dalam pertahanan tubuh terhadap radikal bebas

dan bertujuan untuk mengatasi infeksi dengan meningkatkan kerja sel darah

putih sebagai pembunuh kuman antibiotik.32

Gambar 17. Alat serta terapi oksigen hiperbarik32

Gambar 17. Pasien saat terapi oksigen hiperbarik32


Periode emas dari terbloknya pembuluh darah oleh thrombus atau emboli

yang dapat memberikan suatu disfungsi neurologik adalah 3 jam. Hal ini di

defenisikan sebagai periode reperfusi pertama. Periode reperfusi kedua dimulai

saat 3 sampai 5 jam setelah terjadi oklusi. Obat-obatan yang dapat diberikan

39
selama rekompresi adalah infuse cairan (dekstran, plasma) bila ada dehidrasi atau

syok, steroid (deksamethason) bila ada edema otak, obat anti pembekuan darah

(heparin), digitalis bila terjadi gagal jantung, anti oksidan (vitamin E, C, beta

karoten) untuk mengantisipasi pembekuan oksidan (radikal bebas) yang merusak

sel tubuh pada terapi oksigen hiperbarik. 13,21


Pada kasus yang tidak gawat darurat, pengobatan biasanya cukup dengan

cara konservatif saja, yaitu dengan memberikan dekongestan, menghindari

menyelam atau terbang sampai pasien dapat menyeimbangkan kembali fungsi

telinga tengah, atau dengan melakukan perasat Valsava selama tidak terdapat

infeksi di jalan napas atas. Tetapi bila terdapat tanda-tanda ketulian dan vertigo,

pemberian steroid harus dimulai. Apabila cairan yang bercampur darah menetap di

telinga tengah sampai beberapa minggu, maka dianjurkan untuk tindakan

miringotomi dan bila perlu memasang pipa ventilasi (Grommet).1,33.34


Antibiotik tidak diindikasikan kecuali bila terjadi pula perforasi di dalam air

yang kotor. Pasien dilarang untuk menyelam sampai telinga tengah sembuh dan

pasien dapat dengan mudah menyesuaikan tekanan pada telinga tengah. Jika

terjadi perforasi, pasien harus menunggu hingga perforasi sembuh dan membran

timpani utuh kembali. 1,33.34


Selama pasien tidak menderita infeksi traktus respiratorius atas, membarana

nasalis dapat mengerut dengan semprotan dekongestan dan dapat diusahakan

menginflasi tuba eustakius dengan perasat politzer. Kemudian pasien diberikan

dekongestan, antihistamin atau kombinasi keduanya selama 1-2 minggu atau

sampai gejala menghilang. Bila pasien menderita infeksi traktus respiratorius atas,

diindikasikan terapi serupa tetapi tuba eustakius tidak boleh diinflasi sampai

40
infeksi teratasi sempurna. Harus diberikan antibiotika bila terdapat faringitis atau

rhinitis bakterialis. 1,33.34


Pada keadaan yang jarang dengan perforasi membran timbani, biasanya

penyembuhan terjadi secara spontan, tetapi pasien dianjurkan diperiksa ulang dan

dicegah masuknya air ke dalam telinga sampai ia normal kembali. Bila pasien

tetap harus terbang dalam keadaan pilek, pasien dianjurkan minum preparat

dekongestan-antihistamin setengah jam sebalum berangkat dan selanjutnya setiap

3-4 jam pada penerbangan yang lama. Disamping itu ia dianjurkan membawa

inhaler propel heksedrin(bensedrex) dan menyedot 3-4 kali melalui tiap-tiap

lubang hidung tepat sebelum naiknya dan pada waktu mulai turunnya pesawat.
1,33.34

Barotrauma sinus diterapi dengan dekongestan, oral dan nasal. Nyeri

dikontrol dengan NSAIDs atau obat analgesik narkotik. Pada barotrauma telinga

tengah, pengobatan didasarkan pada skala Teed. Untuk kasus ringan (Teed 0-2) :

dekongestan, nasal (0,05% oxymetazoline hydrochloride spray 2 kali sehari

selama 3 hari) dan oral (pseudoephedrine 60-120 mg dua atau tiga kali sehari).
1,33.34

Untuk kasus Sedang (Teed 3-4) pengobatan sama dengan diatas, tapi dapat

ditambahkan dengan oral steroid, seperti prednisone 60 mg/hari selama 6 hari lalu

diturunkan hingga 7-10 mg per hari. Jika membran timpani ruptur atau air

terkontaminasi, dapat diberi antibiotik sesuai dengan pengobatan otitis media

akut.Pada kasus berat (Teed 5) pengobatan sama seperti diatas. Dapat

dipertimbangkan miringotomi jika pengobatan gagal. Kontrol nyeri dengan

Tylenol dengan kodein (asetaminofen 300 mg dengan kodein fosfat 30 mg) 1-2

tablet setiap 4-6 jam.3,27

41
Dokter umum dapat mendiagnosa dan mengobati gangguan ini dengan

dekongestan dan manuver valsava. Kasus berulang memerlukan konsultasi dari

ahli THT, dengan opsi bedah miringotomi, meskipun kebanyakan kasus membaik

secara spontan.35
2.7 DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding untuk barotrauma adalah adanya infeksi pada telinga

ataupun pada sinus. Penyakit infeksi dapat berupa otitis eksterna, otitis media

maupun sinusitis. Pada barotrauma, gejala yang muncul disertai dengan adanya

riwayat perubahan tekanan yang dialami oleh penderita baik oleh karena

menyelam ataupun riwayat bepergian dengan pesawat terbang. Selain itu, pada

pemeriksaan laboratorium didapatkan adanya tanda-tanda infeksi pada otitis

eksterna, otitis media maupun sinusitis.3

2.8 KOMPLIKASI

Komplikasi yang mungkin ditemukan berupa infeksi telinga akut, hilangnya

pendengaran, ruptur atau perforasi dari gendang telinga dan vertigo.30

2.9 PROGNOSIS

Kasus-kasus berat memerlukan waktu hingga 4-6 minggu untuk menyembuh,

tapi umumnya dapat sembuh dalam dua atau tiga hari. Barotrauma biasanya

sembuh sendiri. Hilangnya pendengaran sebagian besar bersifat temporer.2,30

2.10 PREVENTIF

Barotrauma dapat dicegah dengan menghindari terbang ataupun menyelam

pada waktu pilek dan menggunakan teknik pembersihan yang tepat. Jika terasa

nyeri, agaknya tuba eustakius telah menciut. Yang harus dikerjakan jika ini terjadi

42
pada saat menyelam adalah hentikan menyelam atau naiklah beberapa kaki dan

mencoba menyeimbangkan tekanan kembali. Hal ini tidak dapat dilakukan jika

sedang terbang dalam pesawat komersial, maka perlu untuk mencegah penciutan

tuba eustakius. 1,33.34,35

Metode terbaik adalah dengan mulai melakukan manuver-manuver

pembersihan dengan hati-hati beberapa menit sebelum pesawat mendarat. Jika

pasien harus terbang dalam keadaan pilek, maka sebaiknya menggunakan

dekongestan semprot hidung atau oral.. Tindakan preventif terdiri atas nasal spray

vasokonstriktor 12 jam sebelum penerbangan, dekongestan oral dan mengunyah

permen karet ketika mendarat. 1,33.34,35

Selain itu, usaha preventif terhadap barotrauma dapat dilakukan dengan selalu

mengunyah permen karet atau melakukan perasat Valsava, terutama sewaktu

pesawat terbang mulai turun untuk mendarat.1

BAB III

KESIMPULAN

Barotrauma merupakan segala sesuatu yang diakibatkan oleh tekanan kuat

yang tiba-tiba dalam ruangan yang berisi udara, yang diakibatkan oleh kegagalan

43
tuba eustachius untuk menyamakan tekanan dari bagian telinga tengah dengan

adekuat dan terjadi paling sering selama turun dari ketinggian atau naik dari

bawah air saat menyelam. Dapat terjadi saat menyelam dan saat penerbangan.

Manifestasi klinis yang timbul berupa nyeri pada telinga, rasa tidak nyaman pada

salah satu atau kedua telinga, penurunan pendengaran ringan, rasa penuh pada

telinga, pusing, hingga keluarnya cairan dari dalam telinga yang menunjukan

ruptur membran timpani.

Penatalaksanaan non medikamentosa pada kasus ini yaitu dengan mengunyah,

menelan, menghisap ataupun melakukan manuver Valsava untuk membuka tuba

eustakius. Sedangkan untuk medikamentosa dilakukan apabila penanganan

dengan non medikamentosa tidak berhasil dilakukan. Komplikasi yang dapat

terjadi yaitu infeksi telinga akut, hilangnya pendengaran, ruptur atau perforasi dari

gendang telinga dan vertigo. Pada kasus yang ringan prognosis akan lebih baik

karena kondisi ini dapat sembuh dalam 2-3 hari, namun pada kasus yang berat

dapat sembuh dalam 4-6 minggu.

44
ALGORITMA PENANGANAN BAROTRAUMA

Riwayat Penerbangan atau Gejala dan Tanda


Menyelam Barotrauma

Gawat Darurat Tidak Gawat Darurat

Manajemen Jalan napas (A,B,C) Melakukan manuver valsava


Menghindari menyelam atau terbang sampai pasien mampu
menyeimbangkan kembali telinga tengah
Melakukan Rekompresi Pemberian dekongestan
Apabila ada gejala vertigo perlu diberikan steroid.

Apabila tuli mendadak

Lakukan tindakan reperfusi

Terapi oksigen hiperbarik 3 jam pertama Terapi obat-obatan 3-5 jam berikutnya dengan:
Infus cairan (dextran, plasma) bila dehidrasi atau syok
Steroid (dexametasone) bila edema otak
Anti platelet (heparin)
Digitalis, bila terjadi gagal jantung

45
DAFTAR PUSTAKA

1. Adams Boeis Higler. BOEIS Buku Ajar Penyakit THT. ECG, 1997.
2. Soepardie EA, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2007.
3. Caisson disease of bone. Gregg PJ, Walder N. 2010.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/3757375 (diakses 13 Februari 2019).
4. Decompression Sickness. 2011. http://medical-
dictionary.thefreedictionary.com/Caisson's+disease (diakses 13 Februai 2019)
5. Picture of ear anatomy. Available at:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/002077.htm
6. Efiaty AS, Nurbaiti, Jenny B, Ratna DR. Buku Ajar Ilmu Kesehatan: Telinga, Hidung,
Tenggorokan Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta FKUI, 2007: 10-14, 65-74.
7. Djaafar ZA. Kelainan telinga tengah. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar
ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi kelima. Jakarta: FKUI, 2001.
h. 49-62
8. Paparella MM, Adams GL, Levine SC. Penyakit telinga tengah dan mastoid. Dalam:
Effendi H, Santoso K, Ed. BOIES buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC, 1997:
88-118
9. Berman S. Otitis media ini developing countries. Pediatrics. July 2006. Available from
URL: http://www.pediatrics.org . (diakses 13 Februari 2019)
10. Aly, Rusly, dr. Barotrauma. Banda Aceh: Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala.
2010;35-8.
11. Direction of Commander, Naval Sea Systems of Command. Mixed Gas Surface Supplied
Diving Operations in US Navy Diving Manual Revision 6. 2011; 180-199.
12. Tamiri T. Seigel J, Knupfer G, eds. Explosions in Encyclopedia of Forensic Science,
Three Volume Set. 2000: Academic Press; p. 732-734, 761-767
13. Edmonds, Carl MD, et al. Physics Diving Chapter 2 dalam Diving Medicine for SCUBA
Divers 5th Edition. Australia: National Library of Australia. 2013; 11-28.
14. Ajeng, Darmafindi dan Indriawati Ratna. Pengaruh Frekuensi Penggunaan Pesawat
Terbang dengan Kejadian Barotrauma. Yogyakarta: Bagian Fisiologi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. 2011.;1-6.
15. Ear Barotrauma. 2012; http://www.medtogo.com/ear-lung-barotrauma.html (diakses 13
Februari 2019)
16. Diah, E. Trauma Ledakan. Avalaible from URL http://www.localhost.com. (diakses 13
Februari 2019)

46
17. Centers for Disease Control and Prevention. Explosions and Blast Injuries: A Primer for
Clinicians. Updates June 14, 2006. Available on:
http://www.bt.cdc.gov/masscasualties/explosions.asp. (diakses 13 Februari 2019)
18. Leung SH, Cheung KY, Yau HH, Kam CW. Case Report : Blast Injury. Hon kong Journal
Of Emergency Medicine. 2002: 46-51.
19. Born, Departement of Orthopaedic Surgery, Rhode Islands Hospital, Brown University,
Medical Office Center. Blast Trauma: The Fourth Weapon of Mass Destruction. Updates
October 5, 2005. Available on: http://www.fimnet.fi/sjs/articles/SJS42005-279.pdf
20. Tamiri T. Seigel J, Knupfer G, eds. Explosions in Encyclopedia of Forensic Science,
Three Volume Set. 2000: Academic Press; p. 732-734, 761-767
21. Direction of Commander, Naval Sea Systems of Command. Mixed Gas Surface Supplied
Diving Operations in US Navy Diving Manual Revision 6. 2011; 180-199.
22. Edmonds, Carl MD, et al. Ear Barotrauma Chapter 9 dalam Diving Medicine for SCUBA
Divers 5th Edition. Australia: National Library of Australia. 2013; 90-107.
23. Bentz, BG. Barotrauma. American Hearing Research Foundation. 2012
24. Becker, G. Medical Aspect of Scuba Diving. Current concepts in otolaryngology. P. 40-54
25. Bailey, BT. Head & Neck Surgery Otolaryngology. Londong : Lippincott Williams &
Wilkins . 2006. P.4-5
26. Edmonds, Carl MD, et al. Sinus Barotrauma Chapter 10 dalam Diving Medicine for
SCUBA Divers 5th Edition. Australia: National Library of Australia. 2013; 108-112.
27. Mirza, S. etc. Otic Barotrauma from Air Travel. UK : The Journal of Laryngology &
Otology. 2005.
28. Lalwani, AK. Current Diagnosis & Treatment : Otolaryngology Head and Neck Surgery.
2nd Edition. NY: The McGraw Hill Companies. 2007. P. 57
29. Saputra, YE. Mekanisme Ledakan Bom. 20 Januari 2008. www.chemistry.org
30. MedlinePlus. Ear Barotrauma.
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001064.htm (diakses 13 Februari 2019)
31. Metin, TO. Diagnosis in Othorhinolaryngology- An Illustrated Guide. Turkey : Springer.
2009. P. 33: Sciencers Publisher; 2010
32. Shebert P, Comparative High Pressure Biology, New Hampshire USA
33. DePalma RG, Burris DG, Champion HR, et all. Blast Injuries. Updates March 32, 2005.
Available on: N Engl J Med 2005; 352:1335-1342. www.nejm.org (diakses 13 Februari
2019)
34. Ballenger, JJ. Etc. Ballenger’s Otorhinolaryngology: Head and Neck Surgery. USA:
PMPH-USA. 2009. P. 215-6
35. Menner, AL. A Pocket Guide to The Ear. New York : Thieme Stuttgart. 2003. P. 85

47

You might also like