You are on page 1of 21

LAPORAN PRAKTIKUM

SANITASI PENANGANAN LIMBAH DAN LINGKUNGAN

Ayu Enich Putri Fadila


H0916015
Kelompok 12

ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2019
ACARA II
SANITASI UDARA DAN RUANG

A. Tujuan Praktikum
Tujuan praktikum sanitasi acara II “Sanitasi Udara dan Ruang”
adalah :
1. Mengetahui jumlah koloni dan densitas mikroorganisme yang terdapat
pada udara
2. Mengetahui jumlah koloni dan densitas mikroorganisme yang terdapat
pada ruangan
B. Tinjauan Pustaka
Sanitasi, menurut kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai
pemelihara kesehatan. Sedangkan sanitasi menurut WHO adalah upaya
pengendalian semua faktor lingkungan fisik manusia, yang mungkin
menimbulkan atau dapat menimbulkan hal-hal yang merugikan, bagi
perkembangan fisik, kesehatan, dan daya tahan hidup manusia. Sanitasi
juga dapat dikatakan sebagai suatu cara untuk mencegah berjangkitnya
suatu penyakit menular dengan jalan memutuskan mata rantai dari sumber.
Sanitasi merupakan usaha kesehatan masyarakat yang menitik beratkan
pada penguasaan terhadap berbagai faktor lingkungan yang mempengaruhi
derajat kesehatan (Iswadi, 2014).
Prosedur sanitasi bertujuan untuk memproduksi makanan dengan
aman dan sehat dengan mencegah kontaminasi makanan. Perusahaan harus
menjaga kebersihan ruang kerja juga dengan staf dan peralatan yang
kontak langsung dengan makanan. Pemerikasaan kebersihan dapat
dilakukan secara visual untuk memastikan kondisi kebersihan peralatan.
Pembersihan peralatan dapat menggunakan desinfektan untuk membunuh
mikroba (Utami dkk., 2016).
Kontaminasi adalah suatu kondisi terjadinya percampuran/
pencemaran terhadap sesuatu oleh unsur lain yang memberikan efek
tertentu yang biasanya berdampak buruk. Komponen yang menyebabkan
terjadinya kontaminasi sangat beragam, baik itu benda mati ataupun
mahluk hidup. Kontaminan yang berasal dari benda mati misalnya
senyawa kimia dan kotoran. Sedangkan kontaminan yang berasal dari
mahluk hidup misalnya mikroba (Susilowati dan Shanti, 2001).
Ada 2 macam cara perhitungan jumlah mikroba/bakteri, yaitu
perhitungan secara langsung dan tidak langsung. Perhitungan jumlah
mikroba secara langsung yaitu jumlah mikroba dihitung secara
keseluruhan, baik yang mati atau yang hidup sedangkan perhitungan
jumlah miroba secara tidak langsung yaitu jumlah mikroba dihitung secara
keseluruhan baik yang mati atau yang hidup atau hanya untuk menentukan
jumlah mikroba yang hidup saja (Volk dan Wheeler, 1993).
Teknik dilusi atau pengenceran dengan larutan fisiologis sangat
penting di dalam analisa mikrobiologi. Karena hampir semua metode
perhitungan jumlah sel mikroba mempergunakan teknik ini, seperti TPC
(Total Plate Count) atau Angka Lempeng Total (ALT). Teknik pour plate
(lempeng tuang) adalah suatu teknik di dalam menumbuhkan
mikroorganisme di dalam media agar dengan cara mencampurkan media
agar yang masih cair dengan stok kultur bakteri. Kelebihan teknik ini
adalah mikroorganisme yang tumbuh dapat tersebar merata pada media
agar. Pada cara ini dilakukan pengenceran dengan menggunakan sejumlah
botol pengencer yang diisi aquadestilata steril. Agar cair didinginkan dan
baru kemudian dituangkan ke cawan petri. Setelah agar membeku cawan
dieramkan selama 24 – 48 jam (37oC). Lempengan yang digunakan dalam
perhitungan bakteri ialah lempengan yang mengandung 30 – 300 koloni
(Gouveia dan Maria., 2015).

C. Metodologi
1. Alat
a. Bunsen
b. Cawan Petri
c. Cotton Bud
d. Karet Gelang
e. Kertas Payung
f. Korek
g. Penggaris
h. Pipet Volume 1 ml
i. Propipet
j. Rak Tabung Reaksi
k. Tabung Reaksi
l. Tissue
m. Vortex
2. Bahan
a. Air
b. Alkohol
c. Larutan Garam Fisiologis
d. Media Agar
e. Lantai Kotor
f. Lantai di Lap Alkohol
g. Lantai Lap Basah
h. Udara Kamar mandi
i. Udara Kantin
j. Udara Masjid
3. Cara kerja
a. Sanitasi Udara
15 ml PCA

Penuangan ke dalam cawan petri

Pembiaran terbuka pada masing-masing sampel ruang 30 menit

Penutupan cawan petri

Penginkubasian 48 jam pada suhu 30 C

Perhitungan densitas

Gambar 2.1 Diagram Alir Pengujian Sanitasi Udara


b. Sanitasi Ruang
4 x 4 cm sampel meja/lantai

Cotton Swab Pengambilan sampel dengan metode swab

Pengenceran 3x

1 ml sampel Pengambilan

Penuangan pada cawan petri

15 ml PCA Penuangan pada cawan petri

Pembiaran media hingga padat

Penutupan

Inkubasi selama 48 jam selama 30 C

Perhitungan densitas

Gambar 2.2 Diagram Alir Pengujian Sanitasi Ruang

D. Hasil dan Pembahasan


Tabel 2.1 Perhitungan Densitas Mikroba di Udara
Kelompok Perlakuan Densitas Mikroba
10 Kamar Mandi Spreader
11 Kantin Spreader
12 Masjid 2,80324401 x 104 mikroba/jam/m2
Sumber : Laporan Sementara
Sanitasi merupakan keseluruhan upaya yang mencakup kegiatan
atau tindakan yang perlu dilakukan untuk membebaskan hal-hal yang
berkenaan dengan kebutuhan manusia, baik itu berupa barang atau jasa,
dari segala bentuk gangguan atau bahaya yang merusak kebutuhan
manusia di pandang dari sudut kesehatan. Sedangkan sanitasi makanan
sendiri merupakan suatu usaha pencegahan untuk membebaskan makanan
dan minuman dari segala bahaya yang dapat mengganggu, merusak
kesehatan, mulai dari minuman itu sebelum diproduksi, selama dalam
proses pengolahan, pengangkutan,penyimpanan hungga sampai ke tahap
penyajian makanan dan minuman itu siap di konsumsi (Sihite, 2009).
Sumber kontaminasi, kontaminan atau cemaran dapat diartikan
secara luas sebagai semua benda asing yang tidak dikehendaki baik berupa
debu, kotoran, tanah, pasir, potongan tangkai, daun, jasad renik, serangga,
kutu dan lain-lain yang mencemari bahan, alat maupun ruangan
pengolahan. Kontaminan ada yang mudah dilihat wujudnya, ada pula yang
tidak terlihat (kasat mata). Sumber kontaminasi yang paling berbahaya
adalah yang tidak terlihat seperti bakteri , kapang, khamir maupun virus.
Kontaminan juga belum tentu merupakan bahan yang kotor tetapi bahan
yang bersihpun dapat merupakan cemaran apabila salah tempat
(Rachmawan, 2001).
Sumber kontaminan pada bahan pangan dibagi dalam 2 kelompok
besar yaitu kontaminan primer dan kontaminan sekunder. Kontaminan
primer disebabkan oleh perlakuan sebelum dipanen atau dipotong (untuk
hewan) misalnya berasal dari makanan ternak, pupuk kandang,
penyiraman dengan air tercemar dan lain-lain. Kontaminan sekunder dapat
terjadi pada beberapa tahapan setelah bahan pangan dipanen atau
dipotong, misalnya selama pengolahan, penjualan, penyajian, distribusi
maupun penyimpanan dan persiapan oleh konsumen. Sumber kontaminan
sekunder dapat berasal dari produk itu sendiri misalnya daging, telur, susu,
ikan, unggas, seafood, sayuran, buah-buahan dan rempah- rempah
(Suriadi dan Linie., 2016).
Sumber kontaminan bisa juga berasal dari lingkungan (udara,
tanah, air) peralatan pengolahan, pekerja pengolahan, sampah produksi,
serangga, tikus dan lain-lain. Peralatan pengolahan yang tidak dicuci
bersih seperti pisau (slicer), talenan, dan peralatan lain yang berhubungan
langsung dengan bahan pangan; juga peralatan saji seperti piring, gelas,
sendok, botol dan lain-lain dapat menjadi sumber kontaminan. Kebiasaan
pribadi (personal habit) pada pekerja dan konsumen dalam mengelola
bahan pangan dapat merupakan sumber yang penting dari kontaminan
sekunder (Yassin dan Almouqatea., 2010).
Sanitasi dalam industri pangan, mencakup cara kerja yang bersih
dan aseptik dalam berbagai bidang, meliputi persiapan pengolahan,
pengepakan, penyiapan maupun transport makanan. Dengan melaksanakan
prinsip sanitasi selama pengolahan maka kontaminasi dapat dikurangi atau
ditekan seminimal mungkin. Sanitasi yang baik dalam suatu industri
pangan tidak hanya terletak pada kebersihan bahan baku, peralatan yang
digunakan, ruangan dan pekerja; tetapi juga dalam penanganan dan
pembuangan limbah. Demikian juga perilaku bersih dan sehat dari pekerja
pengolahan sangat menentukan terhadap keberhasilan kegiatan sanitasi
(Sekulska dkk., 2007).
Menurut Badan POM (2014), Higiene dan sanitasi merupakan
parameter penting dalam industri pangan atau jasa boga. Kegiatan higiene
dan sanitasi harus merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari industri
pangan agar dihasilkan produk yang aman, bermutu, bergizi dan layak
untuk dikonsumsi. pada suatu industri terutama industri pangan, program
sanitasi dirasa sangat penting untuk mendukung sistem jaminan keamanan
pangan dan pengendalian mutu yang memenuhi persyaratan
konsumen. Perundang-undangan dan peraturan yang berlaku di Indonesia
yang berkaitan dengan masalah higiene dan sanitasi adalah UU No. 23
Tahun 1992 Tentang Kesehatan, UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan,
Bab II Bagian pertama mengatur tentang sanitasi pangan, yaitu pasal 4
sampai 8. Penjabaran lebih lanjut mengenai pasal-pasal tersebut dijelaskan
dalam PP No. 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan.
Pada setiap kegiatan sanitasi, dikenal 4 tahap penting yang harus
dilaksanakan yaitu pembasahan, pelarutan, pembilasan dan sanitizing
(kegiatan saniter). Pembahasan, pelarutan dan pembilasan biasa dilakukan
pada sanitasi ruangan (lantai, dinding, langit-langit, jendela) dan alat-alat
besar; sedangkan kegiatan saniter biasa digunakan untuk membersihkan
alat-alat gelas atau alat-alat yang digunakan dalam proses pengolahan
pangan. Kegiatan pencucian biasanya meliputi pembasahan, pelarutan dan
pembilasan. Pembasahan dan pembilasan dapat menggunakan air dingin,
air hangat ataupun air panas tergantung pada jenis alat dan kotoran yang
melekat. Dalam pelarutan biasanya digunakan sabun atau deterjen yang
dapat melarutkan sisa kotoran ataupun sisa lemak yang menempel pada
peralatan yang digunakan. Penggunaan deterjen mempunyai beberapa
keuntungan, karena deterjen dapat melunakkan air mengemulsifikasi
lemak, melarutkan mineral dan komponen-komponen larut lainnya.
Kegiatan saniter bisa dilakukan dengan menggunakan bahan kimiawi
seperti antiseptik atau desinfektan, juga cara fisik menggunakan panas
langsung, uap panas dan sinar ultra violet (Wibowo., 2016)
Bahan pangan / bahan baku pengolahan dapat dobersihkan dengan
mencucinya menggunakan air bersih yang mengalir (air kran) agar kotoran
yang telah lepas tidak menempel kembali. Pada saat ini telah tersedia alat-
alat saniter dari mulai yang paling sederhana seperti sapu, sikat dari
berbagai bahan (nylon, plastik, ijuk, sabut dan lainlain) dengan berbagai
ukuran, lap (kain, kulit, busa, spon), sabut cuci; sampai peralatan modern
seperti vaccum cleaner, sikat listrik, mesin pel elektrik dan lain-lain.
Berdasarkan Tabel 2.1 Perhitungan untuk Densitas Mikroba
dapat dilihat hasil perhitungan sanitasi udara yang dilakukan dengan
meletakkan cawan petri yang telah diisi media agar di tiga tempat yaitu
kamar mandi, kantin, dan masjid yang ada di Fakultas Pertanian UNS
selama 30 menit dan diinkubasi pada suhu 30oC selama 2 hari. Dari ketiga
sampel, hanya satu sampel yaitu perlakuan di Masjid yang dapat dihitung
densitas mikrobanya yaitu 2,8032441 x 104 mikroba/jam/m2. Sedangkan,
dua sampel lainnya yaitu perlakuan di kamar madi dan kantin
menunjukkan hasil yang spreader karena mikroba yang terlihat memenuhi
lebih dari 25% media agar dalam cawan petri. Hasil densitas mikroba ini
dipengaruhi oleh laju ventilasi, kepadatan orang, dan kegiatan orang-orang
di ruangan tempat cawan diletakkan. Semakin cepat laju ventilasi, semakin
banyak orang, dan semakin sering intensitas kegiatan orang-orang dalam
ruangan tersebut maka akan menyebabkan semakin tinggi, bahkan dapat
terjadi spread pada hasil densitas mikroba. Spreader berarti terdapat
koloni yang tumbuh diantara permukaan agar bagian bawah atau bagian
bawah cawan. Pada salah satu sampel, spreader tumbuh kecil dan terpisah
maka dapat dihitung sebagai satu koloni. Sedangkan untuk sampel lainnya
spreader terlalu besar dan menutupi koloni lain sehingga tidak perlu
dihitung adanya koloni dalam cawan tersebut. Hasil pengamatan diatas
sudah sesuai dengan teori yang ada, bahwa pada kamar mandi dan kantin
menunjukkan hasil spreader (terlalu banyak sehingga tidak dapat dihitung)
karena kantin merupakan tempat terbuka dengan banyaknya orang dan
aktivitas yang menyebabkan udara tercampur dari bau berbagai masakan.
Hal tersebut berlaku pula untuk kamar mandi. Sedangkan Masjid juga
merupakan tempat dengan banyaknya orang dan aktivitas di dalamnya
namun tidak seintens kantin maupun kamar mandi (Natsir dkk., 2017).
Tabel 2.2 Perhitungan Sanitasi Ruang
Kelompok Perlakuan Densitas Mikroba
10 Lantai Kotor Spreader
11 Lantai Lap Basah Spreader
12 Lantai di Lap Alkohol Spreader
Sumber : Laporan Sementara
Angka Lempeng Total (ALT) adalah salah satu metode kuantitaif
yang digunakan untuk mengetahui jumlah mikroba pada suatu sampel. Uji
ALT merupakan metode untuk menghitung angka cemaran bakteri aerob
mesophile yang terdapat dalam sampel dengan metode atau cara tuang
(pour plate) pada media padat dan diinkubasi selama 24-48 jam pada suhu
35-45oC dengan posisi dibalik. Selain cara tuang, dapat juga dilakukan
dengan cara tetes dan cara sebar (Dewi, 2016).
Angka Lempeng Total (ALT) digunakan untuk mengetahui adanya
cemaran mikroba pada produk pangan dengan melakukan pemeriksaan
mikrobiologis. Pemeriksaan ini merupakan indikator adanya cemaran
mikroba yang melebihi standar batas maksimum (Suriawiria, 1996). Salah
satu dalam pemeriksaan mikrobiologis yang sering menggunakan Angka
Lempeng Total (ALT) khususnya untuk minuman sari buah
(Fauzi dkk., 2017).
Ada 2 macam cara perhitungan jumlah mikroba/bakteri, yaitu
perhitungan secara langsung dan tidak langsung. Perhitungan jumlah
mikroba secara langsung yaitu jumlah mikroba dihitung secara
keseluruhan, baik yang mati atau yang hidup. Sedangkan perhitungan
jumlah miroba secara tidak langsung yaitu jumlah mikroba dihitung secara
keseluruhan baik yang mati atau yang hidup atau hanya untuk menentukan
jumlah mikroba yang hidup saja (Volk dan Wheeler, 1993).
Menurut Jutono dkk (1980) ada 2 cara perhitungan jumlah
mikrobia yaitu perhitungan secara langsung (direct method) dan secara
tidak langsung (indirect method). Berikut adalah berbagai cara
perhitungan mikroba secara langsung menurut Jutono dkk (1980) :
1. Menggunakan cara pengecatan dan pengamatan mikrospis
Pada cara ini mula-mula dibuat preparat mikroskopik pada gelas
benda, suspensi bahan atau biakan mikroba yang telah diketahui
volumenya kemudian diratakan diatas gelas benda pada suatu luas
tertentu. Setelah itu preparat dicat dan dihitung jumlah rata-rata sel
mikroba tiap bidang pemandangan mikroskopik. Luas bidang
pemandangan mikroskopik dihitung dengan mengukur garis tengahnya.
2. Menggunakan filter membrane (miliphore filter)
Suspensi bahan mula-mula disaring sejumlah volume tertentu
kemudian disaring dengan filter membrane yang telah disterilkan
terlebih dahulu. Dengan menghitung jumlah sel rata-rata tiap kesatuan
luas pada filter membran dapat dihitung jumlah sel dari volume
suspensi yang disaring (Jutono dkk, 1980).
3. Menggunakan counting chamber
Dasar perhitungannya dengan menempatkan satu tetes suspensi
bahan atau biakan mikroba. Alat kemudian ditutup dengan gelas
penutup dan diamati dengan mikroskop yang perbesarannya tergantung
pada besar kecilnya mikroba. Perhitungan ini dapat menggunakan
hemositometer, Peteroff Hauser Bacteria Counter atau alat-alat lain
yang sejenis.
Sedangkan untuk perhitungan secara tidak langsung, menentukan
jumlah miroba yang hidup dapat dilakukan setelah larutan bahan atau
biakan mikroba diencerkan dengan faktor pengenceran tertentu dan
ditumbuhkan dalam media dengan cara-cara tertentu tergantung dari
macam dan sifat-sifat mikroba. Menurut Hadietomo (1990), perhitungan
secara tidak langsung dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu:
1. Menggunakan sentrifuge
Caranya adalah 10 cc biakan cair mikrobia disentrifuge dengan
menggunakan sentrifuge. Kecepatan dan waktu sentrifugasi harus
diperhatikan. Setelah ditentukan volume mikrobia keseluruhan maka
dapat dipakai untuk menentukan jumlah sel-sel mikrobia tiap cc, yaitu
dengan membagi volume mikrobia keseluruhan dengan volume rata-
rata tiap sel mikrobia (Suriawiria, 1985).
2. Berdasarkan kekeruhan
Apabila seberkas sinar dilakukan pada suatu suspensi mikrobia
maka makin pekat (keruh) suspensi tersebut, makin besar intensitas
sinar yang diabsorbsi sehingga intensitas sinar yang diteruskan makin
kecil (Jutono dkk, 1980). Untuk perhitungan jumlah bakteri
berdasarkan kekeruhan digunakan alat-alat seperti photoelectric
turbidimeter electrophotometer, spectrophotometer, nephelometer,
dan alat-alat lain yang sejenis. Alat-alat ini menggunakan sinar
monokromatik dengan panjang gelombang tertentu
(Dwijoseputro, 1990).
3. Menggunakan perhitungan elektronik (electronic counter)
Alat ini dapat untuk menentukan ribuan sel setiap detik secara
tepat. Prinsip kerja alat ini adalah adanya gangguan-gangguan pada
aliran ion-ion yang bergerak diantara 2 elektroda. Adanya
penyumbatan sementara oleh sel mikrobia pada pori sekat yang
terdapat diantara kedua elektroda menyebabkan terputusnya aliran
listrik. Jumlah pemutusan aliran tiap satuan waktu dihubungkan
dengan kecepatan aliran cairan yang mengandung mikrobia adalah
ukuran jumlah mikrobia dalam cairan tersebut (Dwidjoseputro, 1990).
4. Berdasarkan analisa kimia
Cara ini didasarkan atas hasil analisa kimia sel-sel mikrobia.
Makin banyak sel-sel mikrobia, makin besar hasil analisa kimianya
secara kuantitatif.
5. Berdasarkan berat kering
Terutama digunakan untuk penentuan jumlah jamur benang.
Kenaikkan berat kering suatu mikrobia diiringi dengan kenaikkan
sintesa dan volume sel-sel, dapat menentukan jumlah mikrobia.
6. Menggunakan cara pengenceran
Cara ini digunakan untuk menentukan jumlah mikrobia yang
hidup saja. Dasar perhitungannya adalah mengencerkan sejumlah
volume tertentu suatu suspensi bahan atau biakan mikrobia secara
bertingkat.
7. Most Probable Number (MPN)
Pengenceran sel dapat membantu untuk memperoleh
perhitungan jumlah mikroorganisme yang benar. Metode ini dilakukan
dengan pengenceran beberapa kali ulangan. Secara matematik
hasilnya dapat untuk menentukan kemungkinan besar jumlah
mikrobia yang terdapat dalam suspensi. Namun pengenceran yang
terlalu tinggi akan menghasilkan lempengan agar dengan jumlah
koloni yang umumnya relatif rendah (Hadioetomo, 1990).
8. Total Plate Count (TPC )
Cara ini yang paling umum digunakan untuk perhitungan
jumlah mikrobia. Dasarnya ialah membuat suatu seri pengenceran
bahan dengan kelipatan 10, 100, atau 1000 (Jutono dkk, 1980).
Terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi pertumbuhan
suatu mikroorganisme. Faktor lingkungan yang mempengaruhi
pertumbuhan mikroba tersebut terbagi mejadi tiga kelompok besar,
yaitu faktor fisika, faktor kimia, dan faktor biologi. Faktor fisika antara
lain suhu, kandungan oksigen, tekanan osmotik, pH, dan lain-lain. Faktor
kimia antara lain senyawa racun atau senyawa kimia lain yang berfungsi
sebagai bahan makanan. Faktor biologi antara lain interaksi dengan
mikroorganisme lain (Gandjar dkk., 1992).
Pengaruh suhu terhadap pertumbuhan mikroba adalah
mempengaruhi laju reaksi enzimatis dan kimia di dalam sel. Semakin
meningkat suhu, maka laju reaksi akan semakin cepat. Namun, pada taraf
suhu tertentu, komponen sel akan mengalami kerusakan. Suhu akan
meningkatkan metabolisme sampai pada titik terjadinya
denaturasi. Ketika mencapai titik tersebut, fungsi sel akan menurun
sampai ke titik nol. Berdasarkan hal tersebut, ada tiga tingkatan suhu
yang memengaruhi mikroorganisme. Suhu minimum adalah batas
terendah bagi suatu mikroba masih dapat hidup, suhu optimum adalah
suhu optimal bagi suatu mikroba untuk melakukan pertumbuhan, dan suhu
maksimum adalah batas tertinggi bagi suatu mikroba untuk dapat hidup
(Madigan dkk., 2011).
Pengaruh pH terhadap pertumbuhan mikroba berkaitan dengan
kondisi asam atau basanya lingkungan suatu mikroba. Jika pH lebih
rendah dari 7 (pH netral), berarti kondisi berada dalam keadaan asam.
Sementara itu, nilai pH di atas 7 menunjukkan bahwa kondisi berada
dalam keadaam basa (alkifilik). Jika dilihat dari pH, umumnya bakteri
dapat tumbuh dengan baik pada pH netral (neutrofilik), yaitu 6,5 sampai
7,5. Namun, ada juga mikroba yang tahan pada kondisi pH rendah atau
asam (asidofilik) dan mikroba yang tahan pada kondisi pH tinggi atau basa
(alkalifilik) (Tortora dkk., 2010; Madigan dkk., 2011).
Faktor tekanan osmotik berkaitan dengan seberapa tinggi
konsentrasi zat terlarut, seperti garam, gula, dan substansi lain, berada
dalam suatu zat pelarut (air). Pengaruh tekanan osmotik terhadap
pertumbuhan mikroba adalah substansi yang terlarut mempunyai afinitas
kepada air, membuat air berasosiasi dengannya sehingga lebih sedikit
tersedia untuk organisme. Jika konsentrasi larutan pada suatu lingkungan
melebihi yang berada dalam sitoplasma, air di dalam sel akan keluar. Hal
tersebut akan memberikan ancaman yang serius karena sel bisa dehidrasi
sehingga sel tidak dapat tumbuh. Ketersediaan air diekspresikan dalam
bentuk aktivitas air atau diberi simbol aw. Berdasarkan bentuk adaptasi
terhadap tekanan osmotik, mikroba dikelompokkan menjadi halophile,
osmophile, dan xerophile (Madigan dkk., 2011).
Sementara itu, oksigen berperan penting bagi mikroorganisme
dalam hal respirasi sel. Namun, tidak semua mikroorganisme
membutuhkan oksigen ketika melakukan respirasi sel. Berdasarkan
kebutuhan mikroorganisme terhadap oksigen, maka mikroorganisme
dikelompokkan menjadi aerob obligat, aerob fakultatif, mikroaerophile,
aerotolerant, dan anaerob obligat (Madigan dkk., 2011).
Faktor kimia yang memengaruhi mikroorganisme adalah senyawa
kimia yang berfungsi sebagai bahan makanan dan senyawa kimia yang
bersifat racun bagi mikroorganisme. Senyawa kimia yang berfungsi
sebagai bahan makanan bagi mikroorganisme, misalnya karbon, nitrogen,
sulfur, fosfor, trace element, dan organic growth factor
(Tortora dkk., 2010). Sementara itu, senyawa yang bersifat racun bagi
mikroba adalah zat desinfektan dan antiseptik. Zat antiseptik adalah agen
kimia yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroba dan
tidak toksik jika digunakan oleh jaringan hidup. Contoh zat desinfektan
adalah ethanol dan detergen kationik yang digunakan untuk disinfeksi
lantai, meja, dinding, dan lain-lain. Contoh zat antiseptik adalah ethanol,
walaupun dapat juga berfungsi sebagai desinfektan (Madigan dkk., 2011).
Faktor biologi juga dapat memengaruhi pertumbuhan
mikroorganisme, misalnya adalah peristiwa sinergisme mikroba atau
antagonisme mikroba. Sinergisme mikroba adalah peristiwa pada dua atau
lebih mikroba yang secara bersama-sama memproduksi substansi yang tak
satupun dapat memproduksinya secara terpisah. Antagonisme mikroba
adalah peristiwa salah satu organisme pertumbuhannya terhambat dan
yang lainnya tidak terhambat (peristiwa tersebut disebut juga
antibiose). Hal tersebut karena organisme inhibitor dapat memproduksi
substansi yang menghambat atau membunuh satu atau lebih
mikroorganisme. Zat yang dapat menghambat atau mematikan
mikroorganisme yang lain disebut zat antibiotik (Benson, 2001).
Menurut Metode Analisis Mikrobiologi (MA PPOM 61/MIK/06)
pada pengujan Angka Lempeng Total digunakan PCA (Plate Count Agar)
sebagai media padatnya. Plate Count Agar (PCA) atau yang juga sering
disebut dengan Standard Methods Agar (SMA) merupakan sebuah media
pertumbuhan mikroorganisme yang umum digunakan untuk menghitung
jumlah bakteri total (semua jenis bakteri) yang terdapat pada setiap sampel
seperti makanan, produk susu, air limbah dan sampel-sampel lainnya
(Syamsuri, 1992). PCA (Plate Count Agar) juga digunakan sebagai
medium untuk mikroba aerobik dengan inokulasi di atas permukaan
(Ruly, 2008).
Larutan pengencer/ larutan fisiologis adalah larutan yang
digunakan untuk mengencerkan pada analisis mikrobiologi. Larutan
fisiologis digunakan untuk memperoleh contoh dengan jumlah mikroba
terbaik untuk dapat dihitung yaitu antara 30 sampai 300 sel mikroba per
ml. Larutan fisiologis biasanya dibuat dengan perbandingan 1:10, 1:100,
1:1000, dan seterusnya. Larutan fisiologis digunakan untuk melarutkan
atau melepasan mikroba dari substratnya sehingga lebih mudah
penanganannya. Larutan pengencer atau larutan fisiologis juga digunakan
untuk mengurangi kepadatan-kepadatan bakteri yang ditanam (Fais, 2009).
Berdasarkan Tabel 2.2 Hasil Perhitungan untuk Sanitasi Ruang
yang dilakukan dengan meletakkan cawan petri yang telah diisi media agar
dengan tiga perlakuan yaitu cotton swap 4 x 4 cm pada lantai kotor, lantai
lap basah, dan lantai yang di lab dengan alkohol di Laboratorium
Mikrobiologi Fakultas Pertanian UNS dan diinkubasi pada suhu 30oC
selama 2 hari. Sampel dibuat secara duplo. Sampel dengan perlakuan
lantai kotor dan lantai yang di lap basah menunjukkan jumlah koloni yang
lumayan banyak dan berada di range 25-300 koloni. Hasil perhitungan
paling kecil ditunjukkan oleh cawan yang diinokulasi dengan sampel lantai
yang di lap dengan alkohol yaitu menunjukkan jumlah kurang dari 25
koloni dalam satu cawan. Untuk masing-masing sampel, satu cawan dapat
dihitung jumlah koloni nya dan satu cawan yang lain menunjukkan hasil
spreader. Apabila salah satu cawan menunjukkan spreader maka hasil
untuk perlakuan tersebut dapat disimpulkan sebagai spreader pula. Suatu
tempat akan menunjukkan ALT atau densitas mikroba yang besar apabila
tempat tersebut tidak dibersihkan dan akan menunjukkan ALT yang kecil
apabila dibersihkan dengan baik seperti menggunakan air, sabun pel, atau
alkohol. Hasil sudah sesuai dengan teori dimana lantai yang dibersihkan
dengan alkohol menunjukkan ALT terkecil. Hal ini karena alkohol
merupakan antiseptik yang dapat membunuh mikroorganisme seperti
bakteri, virus, dan jamur (Florez dan Mayo, 2015).
E. Kesimpulan
Kesimpulan dari Acara II Sanitasi Udara dan Ruang adalah :
1. Pada perhitungan densitas mikroba di udara perlakuan kamar mandi
dan kantin menunjukkan hasil spreader, sedangkan masjid
menunjukkan hasil densitas mikroba sebesar 2,80324401 x 104
mikroba/jam/m2
2. Pada perhitungan densitas mikroba di ruang perlakuan lantai kotor,
lantai lap basah, dan lantai di lap alkohol menunjukkan hasil spreader.
DAFTAR PUSTAKA

Benson. 2001. Microbiological Application Lab Manual, 8th ed. The McGraw-
Hill Companies. California
BPOM. 2014. Pengujian Mikrobiologi Pangan. Jakarta: Pusat Pengujian Obat dan
Makanan Badan Pengawasan Obat Dan Makanan Republik Indonesia.
Dewi, Meylisa Mutiara. 2016. Uji angka kapang/khamir (akk) dan angka lempeng
total (alt) pada jamu gendong temulawak di pasar Tarumanegara
Magelang. Jurnal Sanata Dharma University 35-36.
Dwidjoseputro, D. 1990. Dasar-dasar Mikrobiologi. Djambatan. Jakarta.
Fais. 2009. Metode penanaman. Universitas Junda. Bogor.
Fauzi, dkk., 2017. Sterilisasi dan Macam-macamnya. Lembaga Sumber Daya
Informasi, IPB, Bogor.
Florez, Ana Belen., dan Baltasar Mayo. 2015. Diversity and Dinamics of
Antibiotic Resistant Bacteria in Cheese as Determined by PCR Denaturing
Gradient Gel Electrophorensis. International Journal of Food
Mincrobiological 2(4) : 63-69.
Gandjar, I., I. R. Koentjoro, W. Mangunwardoyo, & L. Soebagya. 1992. Pedoman
Praktikum Mikrobiologi Dasar.
Gouveia., Adelita A.V.I dan Maria A. Nicoletti. 2015. Influence of The Sampling
Technique on Microorganism Detection in The Monitoring of Flat
Surfaces. Latin America Journal of Pharmacy 34(1): 146-152.
Hadioetomo, R. 1990. Mikrobiologi Dasar-Dasar Dalam Praktek. Gramedia.
Jakarta.
Iswadi, Samingan dan Hendra Yulisman. 2014. Identifikasi Jenis Bakteri Udara di
Ruangan Bersistem HVAC. Jurnal Biotik 3(4) : 288-293.
Jutono, J., Soedarsono, S., Hartadi, S., Kabirun, S., Suhadi, D., Soesanto.
1980. Pedoman Praktikum Mikrobiologi Umum. Departemen
Mikrobiologi Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta.
Madigan, M. T., J. M. Martinko, D. A. Stahl, D. P. Clark. 2011. Brock Biology Of
Microorganisms. 13th ed. Benjamin Cummings Publishing. San Francisco.
Natsir, Muhammad Halima., Eko Widodo., dan Osfar Sjofjan. 2017. Industri
Pakan Ternak. UB Press. Malang.
Rachmawan, Obin. 2001. Modul Keahlian Tekhnologi Hasil Pertanian
Penanganan Susu Segar. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan.
Jakarta.
Rully, R. 2008. Biologi Insekta Entomologi. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Sekulska, M. Steryjakowska dkk. 2007. Micobiological Quality of Indoor Air in
University Rooms. Polish Journal of Environment Study 16(4) : 623-632.
Sihite R. 2009. Sanitation & Hygiene. Penetbit SIC. Surabaya.
Suriadi, Husaini dan Linie Marlinae. 2016. Hubungan Hygine Sanitasi dengan
Kualitas Bakteriologis Depot Air Minum (DAM) di Kabupaten Balangan.
Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia 15(1) : 28-35.
Suriawiria, U. 1985. Pengantar Mikrobiologi Umum. Penerbit Angkasa. Bandung.
Susilowati, Ari dan Shanti Listyawati. 2001. Keanekaragaman Jenis
Mikroorganisme Sukber Kontaminan Kultur In Vitro di Sub Lab Biologi
Laboratorium MIPA Pusat UNS. Jurnal Biodiversitas 2(1) : 110-114.
Syamsuri. 1992. Biologi Umum Perguruan Tinggi . Pustaka Tama. Jakarta
Tortora, G. J., B. R. Funke & C. L. Case. 2010. Microbiology: An introduction,
10th ed. Benjamin & Cummings. California.
Utami, Sartika Putri., Ema Mulyawati., dan Dayinah Herman Soebandi. 2016.
Perbandingan Daya Anti Bakteri Disinfektan Instrumental Preparasi
Saluran Akar Natrium Hipoklorit 5,23% Glutaraldehid terhadap Bakteri
Bacillus Subtilis. Jurnal Mikrobiologi 7 (2) : 151-156.
Volk, W.A and M.F. Wheeler. 1993. Mikrobiologi Dasar Edisi Kelima Jilid 1.
Penerbit Erlangga. Jakarta.
Wibowo, Ari Purno Wahyu dan Rian Andrivani. 2016. Perhitungan Julah Bakteri
Escherecia coli dengan Pengolahan Melalui Metode Thresholding dan
Counting Morphology. Jurnal Ilmiah Teknologi Informasi Terapan 2(3) :
235-243.
Yassin., M.F dan S. Almoqatea. 2010. Assesment of Airbone Bacteria and Fungi
In an Indoor and Outdoor Environment. International Journal of
Environment Science Technology 7(3) : 535-544.
LAMPIRAN
1. Perhitungan
Kelompok 12 (Masjid) :
Densitas mikroba/jam/m2
= Rata-rata koloni dari 2 cawan x (60 menit/30 menit) x (10.000 cm2 / luas
cawan cm2 )
= [(76+83)/2] x (60/30) x (10.000/56,72)
= 28.032,4401 densitas mikroba/jam/m2

2. Dokumentasi

Gambar 2.1 Hasil Perhitungan Gambar 2.2 Hasil Perhitungan


Koloni Sanitasi Udara Koloni Sanitasi Ruang (Lantai
(Masjid) di Lap dengan Alkohol)

You might also like