You are on page 1of 21

AWAL MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejarah telah menunjukkan bahwa semua agama, termasuk Islam disiarkan dan
dikembangkan oleh pembawanya, sebagai utusan tuhan, dan oleh para pengikutnya
yakin bahwa kebenaran agama adalah kebenaran dari tuhan yang harus disampaikan
kepada umat manusia untuk menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari.
Masuknya Islam ke Indonesia agak unik bila dibandingkan dengan masuknya
Islam ke daerah-daerah lain. Keunikannya terlihat pada proses masuknya Islam ke
Indonesia yang relatif berbeda dengan daerah lain. Islam masuk ke Indonesia secara
damai dibawa oleh para pedagang dan muballigh. Sedangkan Islam yang masuk ke
daerah lain pada umumnya banyak lewat penaklukan, seperti masuknya Islam ke Irak,
Mesir, Afrika utara sampai ke Andalusia.1
Stoddard mengakui bahwa penyiaran dan pengembangan agama Islam
termasuk paling dinamis dan paling cepat, bila dibandingkan dengan agama-agama
lainnya, karena dalam kurun waktu dua puluh tiga tahun dari kehadirannya telah
tersebar diseluruh jazirah arabiah. Dari jazirah Arabiah itu menyebar ke Syam,
Palestina, Mesir, Iraq, lalu ke Tiongkok, Afrika hingga masuk ke Indonesia. Dengan
demikian sejarah telah membuktikan bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui proses
yang penuh kedamaian, tanpa disertai perlakuan anarkhis dan agresi militer atau tanpa
serangan pasukan bersenapan.
Dengan masuknya Islam di Indonesia, praktis pendidikan Islam juga ikut tumbuh
berkembang berbarengan dengan masuknya Islam diberbagai daerah di Nusantara.

1
H.Haidar Putra Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pemabaruan Pendidikan Islam di
Indonesia,(Cet.II; Jakarta: Kencana, 2009). h. 11

1
B. Rumusan Masalah

Bertolak dari uraian di atas dapatlah dirumuskan masalah sebagai berikut:


1. Bagaimana pendidikan Islam di awal masuknya Islam di Indonesia.
2. Bagaimana bentuk lembaga pendidikan Islam di saat tumbuh kembangnya agama
Islam di Indonesia.

II. PEMBAHASAN
A. Pendidikan Islam pada Awal Masuknya Islam di Indonesia

Islam datang ke Indonesia melalui jalur perdagangan internasional. Karena


pedagang muslim setelah runtuhnya Baghdad oleh Hulagu, ia melebarkan sayapnya
keberbagai Negara, termasuk Asia Selatan, Asia Timur dan Asia Tenggara. Mengenai
negeri asal Islam masuk ke Indonesia terdapat tiga teori yaitu; (1) teori India, (2) teori
Benggali, (3) teori Arab.2 Teori india terbagi dua. Pertama, Islam di Indonesia berasal
dari Gujarat dan Malabar, teori ini dipelopori oleh Pijnapel dengan menelusuri Islam
Indonesia kebanyakan menganut mazhab Syafi’i dari Gujarat dan Malabar. Teori
tersebut diikuti oleh antara lain, T.W. Arnold, Schieke dan Clifford Geertz. Kedua, Islam
di Indonesia berasal dari India Selatan, Koromandel, dipelopori oleh Snouck Hurgronye
(orang Belanda) dan diperkuat oleh G.E. Marisson, alasannya pada umumnya
masyarakat muslim tidak ber mazhab Syafi’i di Gujarat. Teori Banggali (Ballades
sekarang), Islam Indonesia berasal dari Benggali, dipelopori oleh S.Fatimi, dengan
alasan terjadinya hubungan niaga antara Benggali dan Samudra Pasai sejak zaman
purba. Benggali diislamkan kira-kira tahun 1200, satu abad sebelum Gujarat dari
India Selatan. Teori Arab, Islam Indonesia berasal dari Arab, ada yang mengatakan dari
Mesir, dari Hadramaut dan ada yang tidak menyebutkan tempatnya. Teori ini
dimunculkan pertama oleh Crawfurd (1820) dan diikuti oleh beberapa sejarawan.
Crawfurd mengatakan Islam Indonesia berasal dari Mesir, karena ber Mazhab syafi’i.3

2
Badri Yatim, Sejarah Islam di Indonesia (Cet. I; Jakarta: Dirjen Bimbaga Islam dan Universitas
Terbuka, 1998), h. 21
3
Ibid

2
Teori Arab di atas diperkuat oleh Hamka dan mendapat perhatian serta
pembenaran dalam seminar-seminar yang membahas sejarah masuknya Islam di
Indonesia, baik internasional maupun lokal. Hamka berpendapat Islam masuk di
Indonesia pada abad pertama pertama Hijriah atau abad ke 7/8 Masehi. 4pada saat itu
pula lembaga pendidikan Islam berda di Indonesia. Sehubungan dengan itu Taufik
Abdullah mengatakan, bahwa pendidikan Islam di Nusantara sangat erat hubungannya
dengan kedatangan Islam itu sendiri ke Nusantara Indonesia pada abad pertama hijriah
atau abad ke 7/8 Masehi.5 dalam hal ini Mahmud Yunus mengatakan bahwa sejarah
pendidikan Islam sama tuanya dengan masuknya agam tersebut di Indonesia. 6 Hal ini
disebabkan karena penganut agama baru (Islam) tersebut sudah barang tentu ingin
mempelajari dan memahami lebih mendalam ajaran-ajaran Islam itu. Misalnya shalat,
puasa, tata cara berdoa, menulis dan membaca Al-Qur’an yang menyebabkan
terjadinya proses pembelajaran meskipun dalam pengertian yang sederhana.
Anton Timur Djaelani mengatakan bahwa pada awal pendidikan Islam mulai
terselenggara ketika umat Islam belajar di rumah-rumah, langgar/ surau, mesjid dan
kemudian berkembang menjadi pondok pesantren.7 setelah itu baru timbul sistem
madrasah yang teratur sebagaimana yang dikenal dewasa ini.
Meskipun pendidikan Islam dimulai sejak keberadaannya di kepulauan Nusantara,
namun tidak dapat dipastikan bagaimana cara pendidikan pada masa permulaan Islam
di Indonesia itu, karena terbatasnya informasi. Yang pasti pendidikan Islam pada masa
itu telah ada, tetapi dalam bentuk yang sangat sederhana.
Kegiatan pendidikan Islam di Indonesia yang lahir dan tumbuh serta berkembang
bersamaan dengan masuknya Islam di Indonesia, sesungguhnya merupakan
pengalaman dan pengetahuan yang penting begi kelangsungan perkembangan Island

4
Ibid
5
Taufik Abdullah, Sejarah Ummat Islam di Indonesia (Majelis ulama Indonesia, 1991), h. 39.
6
H. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1995),
h.6.
7
Anton Timur Djaelani, Meningkatkan Mutu Pendidikan dan Pembangunan Perguruan Agama
(Jakarta: CV. Darmogo, 1990), h. 16.

3
an umat Islam baik kuantitas maupun kualitas.8pendidikan Islam itu menjadi tolak ukur,
bagaimana umat Islam dengan umatnya telah memainkan perannya dalam berbagai
aspek sosial, ekonomi, politik maupun budaya. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa
kegiatan pendidikan Islam di Nusantara tidak hanya mendasarkan pada makna
pendidikan dalam arti sempit, melainkan dalam arti yang sangat luas, yaitu pendidikan
yang syarat dengan nilai-nilai pembangunan umat dan bangsa Indonesia dalam
berbagai tata kehidupan. Rahman Getteng mengatakan bahwa tujuan akhir suatu
pendidikan yang sehat adalah mengarahkan manusia kepada kesalehan hidup dan
meningkatkan harkat kemanusiaannya.9
Islam tersebar di Nusantara melalui berbagai saluran di antaranya saluran itu
adalah saluran pendidikan. Para wali dan para ulama menyebarluaskan agama Islam
melalui jalur pendidikan. Para ulama mendirikan pesantren-pesantren dengan tujuan
membentuk kader dan guru agama. Para alumni pesantren itu langsung kembali
kedaerah masing-masing untuk mendirikan pesantren dan sekaligus menjadi seorang
muballig meneruskan ajaran agama Islam yang mereka terima di pesantren. Melalui
tangan para ulama inilah Islam berkembang ke daerah-daerah, seperti wali songo di
Jawa, Abd Rauf Singkal dan teman-temannya di Aceh, Muh. Arsyad al Banjari di
Banjar, Dato Ribandang, Dato Patimang dan Dato Ditiro’ di Sulawesi.
Pendidikan Islam tumbuh dan berkembang karena para raja itu mempelopori
langsung kegiatan pendidikan. Misalnya raja Gowa XIV, Sultan Alauddin yang pertama
yang mendirikan masjid di Bontoala. Masjid ini berfungsi sebagai tempat shalat, juga
sebagai pusat pengajian, pendidikan dan pengajaran Islam.10 Yang bertindak sebgai
guru pada saat itu adalah Dato Ribandang dan dibantu oleh Patimang dan Dato Ditiro.
Sejarah membuktikan bahwa Islam telah masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M/
1 H tetapi baru meluas pada abad ke-13 M.11 perluasan Islam ditandai berdirinya

8
Proyek Pembinaan PraSarana dan Sarana Perguruan Tinggi IAIN, Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia (Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama RI,
1996), h. 4
9
Abd. Rahman Getteng, Pendidikan Islam di Sulawesi Selatan: Tinjauan Historis dari Tradisional
Hingga Modern ( Cet. I. Jayakarta: Graha Guru, 2005), h. 13
10
Musyrifah Sunanto,Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Ed 1-2 (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2007), h. 112
11
Sidi Ibrahim Boechari, S.H, Pengaruh Timbal Balik Antara Pendidikan Islam dan Pergerakan
Nasional di Minangkabau (Jakarta: Gunung Tiga, 1991), h. 32

4
kerajaan Islam tertua di Indonesia, seperti Perlak dan Samudra Pasai di Aceh pada
tahun 1292 dan tahun 1297 melalui pusat-pusat perdagangan di Aceh di pantai
Sumatra Utara dan melalui urat nadi perdagangan di Malaka, agama Islam kemudian
menyebar ke pualu Jawa da seterusnya Indonesia bagian timur. Walaupun disana ada
peperangan, tetapi Islam masuk ke Indonesia, dan peralihan agama Hindu ke Islam,
secara umum berlangsung damai.12 Dalam hal ini Mukti Ali mengatakan: “Barangkali
boleh kita berkata bahwa suksesnya penyiaran Islam di Indonesia, selain memegang
ajaran-ajaran Islam itu gampang dimengerti, juga karena kesanggupan pembawa Islam
tempo hari dalam memberikan konsesi terhadap adat kebiasaan yang ada dan hidup
dalam masyarakat”.13
Semantara itu Fachry Ali dan Bachtiar Effendy menguraikan, setidak-tidaknya
terdapat tiga faktor utama yang ikut mempercepat proses penyebaran Islam di
Indonesia, yaitu:
1. Karena ajaran Islam melaksanakan prinsip ketahuidan dalam sistem
ketuhanannya, suatu prinsip secara tegas menekankan ajaran untuk
mempercayai Tuhan Yang Maha Tunggal. Sebagai konsekwensinya. Islam
mengajarkan juga prinsip keadilan dan persamaan dalam tata hugungan
kemasyarakatan.
2. Karena daya (fleksibilitas) ajaran Islam, dalam pengertian bahwa ia merupakan
kodifikasi nilai-nilai universal.
3. Dengan demikian, ajaran Islam berhadapan dengan berbagai bentuk dan jenis
situasi kemasyarakatan. Karena watak ajaran yang demikian itu, maka Islam
secara tidak serentak menggantikan seluruh tatanan nilai yang telah
berkembang di kehidupan masyarakat Indonesia sebelum datangnya Islam.
4. Pada gilirannya nanti, Islam oleh masyarakat Indonesia dianggap suatu institusi
yang amat dominan untuk menghadapi dan melawan ekspansi pengaruh barat
yang melalui kekuasaan-kekuasaan bangsa Portugis kemudian Belanda,
mengobarkan penjajah dan menyebarkan agama Kristen.14

12
BP3K Depdikbud, Pendidikan Islam dari Jaman ke Jaman (Jakarta: 1999), h.31
13 A. Mukti Ali, Alam Pemikiran Islam Modern di Indonesia (Jakarta: Tinta Mas, 1994), h.6
14
Fachry Ali dan Bachtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam (Bandung: Mizan, 1990), h.37

5
Antara dominasi kolonialisme dan penyebaran agama Kristen berjalan seiring.
Penyebaran agama Kristen tidak semata-mata dimaksudkan untuk kepentingan
keagamaan, tetapi lebih jauh lagi dimaksudkan sebagai alat, untuk mempertahankan
status quo, yakni kolonialisme belanda.15
Prof. Mahmud Yunus lebih memperinci tentang faktor-faktor, mengapa agama
Islam dapat tersebar dengan cepat di seluruh Indonesia pada masa permulaan, yaitu:
1. Agama Islam tidak sempit dan tidak berat melakukan aturan-aturannya,
bahkan mudah di turuti oleh segala golongan umat manusia, bahkan untuk
masuk Islam cukup dengan mengucapkan dua kalimat syahadat saja.
2. Sedikit tugas dan kewajiban Islam.
3. Penyiaran Islam itu dilakukan dengan cara berangsur-angsur sedikit demi
sedikit.
4. Penyiaran Islam dilakukan dengan cara kebijaksanaan dan cara yang sebaik-
baiknya.
5. Penyiaran Islam itu dilakukan dengan perkataan yang mudah dipahami
umum. Dapat dimengerti oleh golongan bawah sampai golongan atas, yang
sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW, yang maksudnya: Berbicaralah
kamu dengan manusia menurut akal mereka.16
Itulah beberapa faktor yang menyebabkan mudahnya proses Islamisasi di
kepulauan Nusantara, sehingga pada gilirannya nanti menjadi agama utama dan
mayoritas di negeri ini.
Proses pembentukan dan pengembangan masyarakat Islam yang pertama
melalui bermacam-macam kontak, misalnya kontak jual beli, kontak perkawinan, dan
kontak dakwah langsung, baik secara individual maupun kolektif.17 Dari situlah
semacam proses pendidikan dan pelajaran Islam berlangsung, meskipun dalam bentuk
yang sangat sederhana. Materi pelajarannya yang pertama sekali adalah kalimat
syahadat. Sebab barang siapa yang sudah bersyahadat berarti seseorang sudah
masuk Islam. Dengan demikian diketahui bahwa ternyata dalam Islam itu praktis sekali,
15
Ibid.
16
H. Mahmud Yunus, op.cit, h.14
14 17 K.H. Saifuddin Zuhri, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Bandung: Al-Ma’arif, 1998), h.

194

6
dan dari sana pula pendidikan beranjak, dari hal-hal yang paling mudah. Penganjur-
penganjur Islam yang pertama-tama mengembangkan agama Islam (pendidikan Islam)
dengan cara berangsur-angsur dan mudah, sedikit demi sedikit, pendeknya bila
seseorang mengucapkan dua kalimat syahadat, mengakui rukun iman yang enam dan
rukun Islam yang lima, telah dianggap sebagai muslim.18
Kemudian setelah itu barulah diperkenalkan bagaimana cara-cara melaksanakan
shalat lima waktu, diajarkan cara membaca Al-Qur’an, cara menulis bahasa Arab, dan
seterusnya. Pendidikan Islam pada masa ini adalah pendidikan yang dilaksanakan
secara informal.

B. Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia


Lembaga pendidikan Islam berkembang seiring dengan berkembangnya
kerajaaan Islam di Indonesia di antaranya:
1. Kerajaan Islam di Aceh
a. Kerajaan Samudra Pasai
Para ahli sependapat bahwa agama Islam sudah masuk ke Indonesia
(khususnya Sumatra) sejak abad ke-7 atau 8 M, meskipun ketentuan tentang tahunnya
secara pasti terdapat dsedikit perbedaan.
Dari beberapa catatan sejarah, bahwa kerajaan Islam yang pertama di Indonesia
kerajaan Samudra Pasai yang didirikan pada abad ke-10 M dengan raja pertamanya al-
Malik Ibrahim bin Mahdum. Tapi catatan lain ada yang menyatakan bahwa kerajaan
Islam yang pertama di Indonesia adalah kerajaan Perlak. Hal ini dikuatkan oleh Yusuf
Abdullah Puar, dengan mengutippendapat seorang pakar sejarah NA. Baloach dalam
bukunya “Advend of Islam in Indonesia”.19Tapi sayang sekali bukti-bukti kuat yang
mendukung fakta sejarah ini tidak banyak ditemukan, terutama menyangkut refrensi
yang mengarah kearah itu.
Seorang pengembara dari Maroko yang bernama Ibnu Batutah pada tahun 1345
M sempat singgah di kerajaan Pasai pada zaman pemerintahan Malik al-Zhahir, saat

18
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangan (Cet.1; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), h.21
19
Yusuf Abdullah Puar, Sejarah Islam di Indonesia (Bandung: Angkasa, 1994), h.9

7
perjalanannya ke Cina. Ibnu Batutah menuturkan bahwa ia sangat mengagumi akan
keadaan karajaan Pasai, dimana rajanya sangat alim dan begitu pula dalam ilmu
agamanya, dengan menganut paham mazhab Syafi’I, dan serta mempraktekkan pola
hidup yang sangat sederhana.20
Apa yang dikemukakan oleh Ibnu Batutah tersebut, dapat dipahami bahwa system
pendidikan yang berlaku di zaman kerajaan Pasai, yaitu:
1) Materi pendidikan dan pengajaran agama bidang syari’at ialah fiqih mazhab
syafi’i.
2) Sistem pendidikannya secara informal berupa majelis ta’lim dan halaqah.
3) Tokoh pemerintahan merangkap sebagai tokoh agama.
4) Biaya pendidikan agama bersumber dari Negara.21
Kerajaan Perlak merupakan salah satu kerajaan Islam tertua di Indonesia.
Bahkan ada yang menyatakan lebih dahulu dari kerajaan Samudra Pasai. Alasannya,
seorang putri ganggang sari telah kawin dengan Merah Selu (Malik al Shaleh) yang
diketahui adalah raja Pasai pertama. Namun, sebagaimana dikemukakan terdahulu,
bahwa tidak banyak kepustakaan yang menjurus kearah itu untuk menguatkan
pendapat tersebut.
Perlak merupakan daerah yang sangat strategis di pantai selat malaka dan
bebas dari pengaruh Hindu. Berdasarkan faktor demikian maka Islam dengan mudah
sakali berdaptasi tanpa goncangan sosial dengan penduduk setempat.
Di Perlak terdapat suatu lembaga pendidikan, berupa mejelis ta’lim, disitu
diajarkan kitab-kitab agama, yang mempunyai bobot pengetahuan tinggi, seperti kitab
al-Um karangan imam Syafi’I dan sebagainya.22
Dengan demikian di kerajaan perlak, proses pendidikan Islam berjalan dengan
baik dan lancar
b. Kerajaan Aceh Darussalam (1511-1874)

20
Hasbullah, op.cit, h.28
21
Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta; Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana
PT. Dep.Agama RI, 1996), h. 135
22
Hasbullah, op.cit, h. 30

8
Ketika kerajaan Islam Pasai mengalami kemunduran di Malaka, maka berdirilah
sebuah kerajaan yang dipimpin oleh Sultan Muhammad Syah. Namun kerajaan ini tidak
bertahan lama setelah mengalami masa

keemasan yaitu ketika sultan Muzaffar Syah (1450) memerintah. Setelah itu terus
mengalami kemunduran karena tidak mampu membendung pengaruh dari luar,
terutama yang berasal dari Aceh, maka sejak itu pula kesultanan aceh mulai
berkembang.23
Kerajaan Aceh Darussalam yang diproklamasikan pada tanggal 12 Zulkaedah
916 H (1511 M) dan menyatakan perang terhadap buta huruf dan buta ilmu, sehingga
menjadi tempaan sejak berabad-abad yang lalu, berdasarkan pendidikan Islam dan
ilmu pengetahuan.24
Kerajaan Aceh Darussalam tersebut adalah hasil pelebaran kerajaan Islam di
belahan barat dan kerajaan Islam Samudra Pasai di belahan timur. Dimana ketika itu
putra Sultan Abidin Syamsu Syah diangkat menjadi raja dengan gelar Sultan Alauddin
Ali Mughayat Syah (1507-1522).25
Aceh pada saat itu merupakan sumber ilmu pengetahuan dengan para
sarjananya yang terkenal didalam dan diluar negri, sehingga banyaklah orang luar yang
datang ke Aceh untuk menuntut ilmu. Bahkan ibu kota kerajaan Aceh Darussalm terus
berkembang ilmu pengetahuan dan kebudayaannya.
Bidang pendidikan, di kerajaan Aceh Darussalam adalah benar-benar mendapat
perhatian. Pada saat itu terdapat lembaga-lembaga negara yang bertugas dalam
bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan, di antaranya:
1. Bidang Seutia Hukama;
Merupakan lembaga ilmu pengetahuan, tempat berkumpulnya para ulama, ahli
pikir dan cendekiawan untuk membahas dan mengembangkan ilmu
pengetahuan.
2. Balai Seutia Ulama;

23
Moh. Rifa’I, Sejarah Islam (Semarang: Wicaksana, 1996), h. 135
24
Ibid.
25
Hasbullah, op.cit, h. 31

9
Merupakan jabatan pendidikan yang bertugas mengurus masalah-masalah
pendidikan dan pengajaran.
3. Balai Sutia Himpunan Ulama;
Mrupakan kelompok studi tempat untuk para ulama dan sarjana berkumpul untuk
bertukar pikiran membahas persoalan-persoalan pendidikan dan ilmu
pendidikannya. Adapun jenjang pendidikan yang ada adalah sebagai berikut:
a. Meunasa (madrasah)
Terdapat di setiap kampung. Berfungsi sebagai sekolah dasar, materi yang
diajarkan yaitu: menulis dan membaca huruf arab, ilmu agama, bahasa jawi/
melayu, akhlak dan sejarah Islam.
b. Rangkan
Diselenggarakan di setiap mukiman, merupakan masjid sebagai tempat
berbagai aktivitas umat termasuk pendidikan. Rangkan adalah setingkat
madrasah tsanawiyah. Materi yang diajarkan; bahasa arab, ilmu bumi,
sejarah, berhitung (hisab), akhlak, fiqih dan lain-lain.
c. Dayah
Terdapat di setiap daerah ulebalang dan terkadang berpusat di masjid, dapat
disamakan dengan madrasah Aliyah sekarang. Materi yang diajarkan; fiqih
(hukum Islam), bahasa arab, tauhid, tasawuf/ akhlak, ilmu bumi, sejarah/ tata
negara, ilmu pasti dan faraid.
d. Daya Teuku Cik
Dapat disamakan dengan perguruan tinggi atau akademi, diajarkan fiqih,
tafsir, hadis, tauhid (ilmu kalam), akhlak/ tasawuf, ilmu bumi, ilmu bahasa dan
sastra arab, sejarah dan tata negara, mantiq, ilmu falaq dan filsafat.26
Dengan demikian, jelas sekali bahwa kerajaan Aceh Darussalam ilmu
pengetahuan benar-benar berkembang dengan pesat dan mampu melahirkan para
ulama dan ahli ilmu pengetahuan, seperti: Hamsah Fansuri, Syekh Syamsuddin
Sumatrani, Syekh Nuruddin Ar Raniry dan Syekh Abdul Rauf Tenku Syiah Kuala, yang
merupakan nama-nama yang tidak asing lagi sampai sekarang.

26
Ibid, h.32

10
2. Kerajaan Demak
Salah satu raja Majapahit bernama Sri Kertabumi mempunyai istri Beragama
Islam yang bernama putri Cempa. Kejadian tersebut tampaknya sangat besar
pengaruhnya terutama dalam rangka dakwah Islam. Dari putri Cempa inilah lahir
seorang putra bernama Raden Fatah, yang kemudian kita ketahui menjadi raja Islam
pertama di Jawa (Demak).27
Kehadiran kerajaan Islam Demak dipandang oleh rakyat Majapahit sebagai
cahaya baru yang membawa harapan. Kerajaan Islam itu diharapkan sebagai kekuatan
baru yang akan menghalau segala bentuk penderitaan lahir batin dan mendatangkan
kesejahteraan. Raja Majapahit sudah kenal Islam jauh sebelum kerajaan Demak berdiri.
Bahkan keluarga raja Brawijaya sendiri kenal agama Islam melalui putri Cempa yang
selalu bersikap ramah dan damai.28
Dengan berdirinya kerajaan Islam Demak (abad ke-15 M) Yang merupakan
kerajaan Islam pertama di Jawa tersebut maka penyiaran agama Islam makin luas,
pendidikan dan pengajaran Islam pun bertambah maju.
Sistem pelaksanaan pendidikan dan pengajaran agama Islam di Demak punya
kemiripan dengan yang dilaksanakan di Aceh, yaitu dengan mendirikan masjid di
tempat-tempat yang menjadi sentral di suatu daerah, di sana diajarkan pendidikan
agama di bawah pimpinan seorang Badal
untuk menjadi seorang guru, yang menjadi pusat dan pengajaran serta sumber agama
Islam.
Wali suatu daerah diberi gelaran resmi, yaitu gelar sunan dengan ditambah
nama daerahnya, sehingga tersebutlah nama-nama seperti Sunan Maulana Malik
Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Gunung Jati,
Sunan Kudus, Sunan Kalijaga dan Sunan Muria.29
Antara kerajaan Demak dengan wali-wali yang Sembilan atau walisongo terjalin
hubungan yang bersifat khusus, yang boleh dikatakan semacam hubungan timbal balik
dimana sangatlah besar peranan para walisongo di bidang dakwah Islam, dan juga

27
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Cet. XVI; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004),
h.211
28
Zuhairini, dkk, op. cit, h. 136-137
29
Mahmud Yunus, op. cit, h. 219

11
Raden Fatah sendiri menjadi raja adalah atas keputusan para wali dan dalam hal ini
para wali tersebut juga sebagai penasehat dan pembantu raja.30
Pada kondisi yang demikian, maka yang menjadi sasaran pendidikan dan
dakwah Islam meliputi kalangan pemerintah dan rakyat umum.
Djumhur dan Dana Suparta mangatakan dua lembaga pendidikan yang
memegang peranan penting pada penyebaran agama Islam di pulau Jawa, yakni
langgar dan pesantren.31
Langgar, pengajaran di langgar merupakan pengajaran agama permulaan.
Karena pertama-tama yang dipelajari adalah abjad arab, kemudian mengeja ayat-ayat
Al-Qur’an dengan suara irama tertentu. Sistem yang digunakan adalah sistem
sekepala. Guru menyebutkan dan santri menirukannya. Lama belajarya tidak tentu
tergantung tingkat kecerdasan santri. Waktu belajarnya, pagi hari dan malam hari
berlangsung sekitar dua jam. Guru yang mengajar adalah guru yang memiliki
pengetahuan agama yang mendalam dan dianggap sakti. Santri yang tamat diadakan
selamatan khatam al-Qur’an.
Pesanteran, pengajaran yang lebih mendalam diberikan di pesantren. Untuk
memperoleh gambaran darimana asal usul pesantren itu maka perlu ditelusuri dari
berbagai sumber, karena pesantren termasuk lembaga pendidikan sampai saat ini tetap
eksis namanya.
Data tentang pesantren, baik berupa menuskrip atau peninggalan sejarah yang
menjelaskan tentang awal sejarah pembangunan pesantren, menjadikan keterangan-
keterangan yang berkenaan dengannya bersifat prejudice dan sangat beragam. Namun
demikian, kekurangan ini justru menjadi faktor determinan, dijadikannya sejarah
pesantren sebagai kajian yang tidak pernah kering di kalangan peneliti dan ahli sejarah,
baik dari dalam maupum luar negeri. Di samping itu, minimnya catatan sejarah
pesantren ini pula kemudian menjadi alasan tersendiri bagi dilanjutkannya penelusuran
lintasan sejarah kepesantrenan secara berkesinambunagn (sustainable).32
Sehubungan dengan hal tersebut, penelususran asal usul pesantren merupakan
bahasan pokok yang harus disentuh, jika ingin membahas lintasan sejarah yang pernah

30
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, loc. Cit.
31
Djumhur dan Danasaputra, Sejarah Pendidikan (Cet. VII; Bandung: CV. Ilmu, 1999), h.111
32
H. M. Amir Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren, (Cet. 1; Jakarta: IRD Press, 2004), h. 1

12
dilaluinya. Pasalnya, meski mayoritas para peneliti, seperti Karel Streenbrink, Clifford
Geerts dan yang lainnya, sepakat bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan
tradisional asli Indonesia, namun mereka mempunyai pandangan yang berbeda dalam
proses lahirnya pesantren tersebut.33 Perbedaan pandangan ini setidaknya
dikategorikan dalam dua kelompok besar.34
Pertama, kelompok ini berpendapat bahwa pesantren merupakan hasil kreasi
sejarah anak bangsa setelah mengalami persentuhan budaya dengan budaya pra
Islam. Pesantren merupakan sistem pendidikan Islam yang memiliki kesamaan dengan
Mandala dan Asrama dalam khasanah lembaga pendidikan pra-Islam. Pesantren
merupakan sekumpulan komunitas independen yang pada awalnya mengisolasi diri
di sebuah tempat yang jauh dari pusat perkotaan (pegunungan).
Nurchalish Madjid pernah menegaskan, pesantren adalah artefak
peradaban Indonesia yang dibangun sebagai institusi pendidikan keagamaan bercorak
tradisional, unik dan indigenous.35 Sebagai sebuah artefak peradaban, keberadaan
pesantern dipastikan memiliki keterkaitan yang kuat dengan sejarah dan budayalah
yang berkembang pada awal berdirinya. Jika benar pesantren selaras dengan
dimulainya misi dakwah Islam di bumi Nusantara, berarti hal itu menunjukkan
keberadaan pesantren sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang berkembang
sebelumnya, tiada lain kebudayaan Hindu-Budha. Nurchalish Msdjid menegaskan,
pesantren mempunyai hubungan historis dengan lembaga pra-Islam yang sudah ada
semenjak kekuasaan Hindu-Budha, sehingga tinggal meneruskannya melalui proses
islamisasi dengan segala bentuk penyesuaian dan perubahannya.
Kedua, kelompok yang berpendapat, pesantren diadopsi dari lembaga
menyatakan bahwa lembaga Mandala dan asrama yang ada semenjak zaman Hindu-
Budha merupakan tempat berlangsungnya praktek pengajaran tekstual sebagaimana di
pesantren. Termasuk dalam kelompok ini adalah Martin Van Bruinessen. Salah seorang
sarjana Barat yang concen terhadap sejarah perkembangan dan tradisi pesantren di

33
Ibid, h. 2
34
Ibid
35
Nurcholis Madjid, Politik-Politik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadina,
1997), h. 10

13
Indonesia.36 Keterangan-keterangan sejarah yang berkembang dari mulut ke mulut (oral
history) memberikan indikasi yang kuat bahwa pondok pesantren yang tertua, baik di
jawa maupun di luar jawa, tidak dapat dilepaskan dari inspirasi yang diperoleh melalui
ajaran yang dibawa para walisongo.
Zamakhasari Dhofier, dalam tradisi pesantren, menjelaskan bahwa berdasarkan
keterangan-keterangan yang terdapat dalam Serat dan Serat Centini, dapat
disimpulkan bahwa paling tidak sejak permulaan abad ke-16 telah banyak pesantren-
pesantren yang mashur dan menjadi pusat pendidikan Islam.37 Sependapat dengan
Zamakhasari, Mastuhu menegaskan, pesantren telah ada dan mulai dikenal sejak
periode 13 M.38 Fenomena kesejarahan pesantren telah memunculkan pandangan
yang beragam tentang asal usulnya.
Alwi Shihab menegaskan bahwa Syaikh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan
Gresik (w. 1419 H) merupakan orang pertama yang membangun pesantren sebagai
tempat mendidik dan menggembleng para santri. Tujuannya agar para santri menjadi
juru dakwah yang mahir sebelum mereka diterjunkan langsung di masyarakat luas.39
Gayung bersambut, usaha Syaikh menemukan momentum seiring dengan mulai
runtuhnya singgasana kekuasaan Majapahit (1293-1478 M). islam pun berkembang
demikian pesat, khususnya di daerah-daerah pesisir yang kebetulan menjadi pusat-
pusat perdagangan antar daerah, bahkan antar negara.
Seiring dengan pengembangan pesantren di wilayah pesisir. Pengaruh ekologi
luar dan psikologis para juru dakwah yang juga berprofesi sebagai pedagang,
menjadikan pesantren pada periode awal ini cenderung menampilkan corak kosmopolit,
adaptif dan cepat menerima nilai-nilai baru. Dalam kata lain, sublimasi terdapat tradisi
lama dan budaya lokal, seperti mengadopsi bentuk bangunan ibadah dan asrama, dan
atau menggunakan metode pembelajaran.
Pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana, kemudian dilanjutkan
dengan kitab-kitab tentang berbagai ilmu yang mendalam. Tingkatan suatu pesantren

36
H. M. Amir Haedari, dkk. op. cit, h. 4
37
Zamakhsyari Dhoefier, Tradisi Pesantren Suatu KajianTentang Pandangan Kiai (Jakarta:
LP3ES. 1992), h. 33-35
38
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem
Pendidikan Pesantren (Jakarta; INIS, 1994), h.51
39
Alwi Shihab, Islam Insklusif (Cet. I: Bandung: Mizan, 2002), h. 23

14
dilanjutkan dengan kitab-kitab tentang berbagai ilmu yang mendalam. Tingkatan suatu
pesantren dan pengajarannya, biasanya diketahui dari jenis-jenis kitab yang diajarkan.
Secara garis besar sistem pengajaran yang dilaksanakan di pesantren, dan
dikelompokkan menjadi tiga macam, diantara masing-
masing sistem mempunyai ciri khas tersendiri, yaitu:
1. Sorogan
Kata sorogan berasal dari bahasa jawa yang berarti “sodoran atau yang
disodorkan”. Maksudnya suatu sistem belajar secara individual dimana seorang
santri berhadapan dengan seorang guru, terjadi interaksi saling mengenal
diantara keduanya. Seorang kiai atau guru menghadapi santri satu persatu,
secara bergantian.
2. Bandungan
Sistem bandungan ini sering disebut dengan halaqah, dimana dalam pengajian,
kitab yang dibaca oleh kiai hanya satu, sedangkan para santrinya membawa
kitab yang sama, lalu santri mendengarkan dan menyimak bacaan kiai.
3. Weton
Istilah weton berasal dari bahasa Jawa yang diartikan berkala atau berwaktu.
Pengajian weton tidak merupakan pengajian rutin tetapi dilaksanakan pada saat-
saat tertentu, misalnya pada tiap selesai shalat jum’at dan sebagainya.
Apa yang dibaca kiai tidak bisa dipastikan, terkadang dengan kitab yang
biasanya digunakan atau kitab yang lain dan dibaca secara berurutan, tetapi kadang-
kadang guru hanya memetik disana sini saja. Peserta pengajian weton tidak harus
membawa kitab.
Adapun ciri khas pondok pesantren yang sekaligus menunjukkan unsur-unsur
pokoknya, serta membedakannya dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya adalah
sebagai berikut:
a. Pondok
Disini kyai bersama santrinya bertempat tinggal. Adanya pondok sebagai
tempat tinggal bersama antara kyai dengan para santri, mereka manfaatkan
dalam rangka bekerja sama memenuhi kebutuhan sehari-hari, hal ini
merupakan pembeda dalam lembaga pendidikan lainnya.

15
b. Mesjid
Dalam kondidi ini, mesjid adalah pusat sebagai kegiatan ibadah dan belajar
mengajar. Masjid yang merupakan unsur pokok kedua pesantren, disamping
berfungsi sebagai tempat melakukan shalat berjamaah setiap waktu shalat,
juga berfungsi sebagai tempat belajar mengajar. Biasanya waktu belajar
mengajar berkaitan dengan waktu shalat berjamaah, baik sebelum maupun
sesudahnya.
c. Santri
Santri merupakan unsur pokok dari suatu pesantren, tentang santri ini
biasanya terdiri atas dua kelompok, yaitu:
1) Santri mukim, ialah santri yang berasal dari daerah yang jauh dan
menetap dalam pondok pesantren.
2) Santri kalong, ialah santri-santri yang berasal dari daerah-daerah
sekitar pesantren dan biasanya mereka tidak menetap dalam
pesantren. Mereka pulang ke rumah masing-masing setiap selesai
mengikuti suatu pelajaran di pesantren.
d. Kiai
Adanya kiai dalam pesantren merupakan hal yang mutlak bagi sebuah
pesantren, sebab dia adalah tokoh sentral yang memberikan pengajara.
Karena kiai menjadi salah satu unsur yang paling dominan dalam kehidupan
suatu pesantren.
e. Kitab-kitab Islam klasik
Unsur pokok lain yang cukup membedakan pesantren dengan lembaga
pendidikan lainnya adalah bahwa pada pesantren diajarkan kitab-kitab Islam
klasik atau yang sekarang terkenal dengan sebutan kitab kuning, yang
dikarang oleh para ulama terdahulu, mengenai berbagai macam ilmu
pengetahuan agama Islam dan bahasa arab.
Pondok pesantren dewasa ini merupakan lembaga gabungan antara sistem
pondok dan pesantren yang memberikan pendidikan dan pengajaran agama Islam
dengan sistem bendungan, sorogan ataupun wetonan dengan para santri disediakan
pondokan ataupun merupakan santri kalong yang dalam istilah pendidikan pondok

16
pesantren modern memenuhi kriteria pendidikan non formal serta menyelenggarakan
juga pendidikan fomal berbentuk madrasah dan bahkan sekolah umum dalam berbagai
bentuk tingkatan dan aneka kejuruan menurut kebutuhan masyarakat masing-masing.40
Berdasarkan kenyataan tersebut, tampaknya sebagian pondok pesantren tetap
mempertahankan bentuk pendidikannya yang asli, sebagian lagi mengalami perubahan.
Hal ini lebih disebabkan oleh tuntutan zaman dan perkembangan pendidikan di tanah
air. Karena itulah sekarang di samping terdapat pesantren dengan karakteristik
ketradisionalannya bermunculan juga pesantren-pesantren modern, bahkan yang
terakhir akan dikembangkan pesantren dengan orientasi pengembangan IPTEK.

40
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem
Pendidikan Pesantren (Jakarta; INIS, 1994), h.52

17
B A B III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Pendidikan Islam di Indonesia sangat erat hubungannya dengan masuknya
Islam pada abad pertama hijriah atau pada abad ke-7/ 8 M. pendidikan Islam pada
masa ini masih sangat sederhana, yaitu dimana orang-orang yang baru masuk Islam
diajarkan tata cara shalat, puasa dan baca tulis Al-Qur’an serta pendidikan lainnya.
Islam berkembang dengan pesatnya di seluruh pelosok Nusantara, karena para
raja yang telah memeluk Islam giat berusaha menyebarkan
ajaran Islam, antara lain berkembangnya pesantren, surau, langgar dan semacamnya,
bahkan istana kadang dijadikan tempat muzakarah. Pesantren merupakan lembaga
pendidikan Islam yang berkembang di pulau Jawa bahkan di luar pulau Jawa dan
sampai sekarang ini tetap berkembang. Untuk dapat dikatakan pesantren sekurang-
kurangnya memiliki kiai, santri, mesjid dan pondokan. Pesantren pada dasarnya hanya
mengajarkan agama, sedang kajiannya atau nama pelajarannya antara lain kitab
kuning, Al-Qur’an dan tafsirnya, aqidah dan ilmu kalam, fiqih dan ushul fiqih, hadist dan
mustalah hadist, bahasa Arab dan tasawuf.
Metode yang lazim digunakan wetonan, badongan, sorongan dan hafalan.

B.Saran
Suatu penelitian atau kajian dapat saja dinikmati, tetapi jangan sampai tidak
apresiatif terhadap penelitian atau kajian orang lain, sejarah memang tidak pernah
bohong, tatapi interpretasi kadang berbeda, karena bukti yang didapatkan berbeda.
Demikian halnya pendidikan Islam di Indonesia, tentu cara dan bentuknya berbeda
karena berbeda zamannya.

18
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik, Sejarah Umat Islam di Indonesia Majelis Ulama Indonesia, 1991
Ali, A. Mukti, Alam Pikiran Islam Modern di Indonesia. Jakarta: Tinta Mas, 1994
Ali, Fachry dan Bakhtiar Efendy, Merambah Jalan Baru Islam. Bandung: Mizan, 1990
Boechari, Sidi Ibrahim, Pengaruh Timbal Balik antara Pendidikan Islam dan Pergerakan
Nasional di Minangkabau. Jakarta: Gunung Tiga, 1991
BP3K Depdikbud, Pendidikan Islam dari Jaman ke Jaman. Jakarta: 1999
Departemen Agama RI, Pedoman Pembinaan Pondok Pesantren. Jakarta: Ditjen.
Bimbaga Islam, 1995
Dhofier, Zamakhasyani, Tradisi Pesantren: Suatu Kajian Tentang Pandangan Kiai.
Jakarta: LP3ES, 1992
Djaelani, Anton Timur, Meningkatkan Mutu Pendidikan Pembangunan Perguruan
Agama. Jakarta: CV. Darmogo, 1990
Daulay Putra Haidar, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan di Indonesia,
Cet, II Jakarta: Kencana 2009 .
Djumhur ulama dan Danasaputra, Sejarah Pendidikan Cet. VII; Bandung; cv.Ilmu, 1989
Getting, Abd. Rahman, Pendidikan Islam di Sulawesi Selatan: Tinjauan Historis dari
tradisional hingga modern. Cet.I Jayakarta: Graha Baru 2005
Madjid Nurkholis, Politik-Politik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta:
Paramadina, 1997
Mastuhu, Dinamika sistem Pendidikan: Suatu Kajian Tentang unsur dan nilai sistem
Pendidikan Pesantren. Jakarta : INIS, 1994
Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/ IAIN, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia. (Jakarta: Direktorat Jendral
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Departemen Agama RI,1996
Rifa’i. Moh., Sejarah Islam. Semarang: Wicaksana, 1996
Shihab, Alwi, Islam Insklusif. CetI: Bandung, Mizan 2002
Wahab, Rachidin, Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Ed. 1-2 Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada 2007

19
Wadab, Rachidin, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung: Alfabeta,
2004
Yatim, Badri, Sejarah peradaban Islam. (Cet. 16; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2004
…….. Sejarah Islam di Indonesia. Cet. I; Jakarta: Ditjen Bimbaga Islam dan Universitas
terbuka, 1998
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung,
1995
Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan
Sarana PT. Dep. Agama RI, 1996
Zuhri, Saifuddin, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia,
Bandung: Al-Ma’arif, 1998

20
21

You might also like