You are on page 1of 9

AWAL MULA SEJARAH AGAMA BUDDHA

Agama Buddha adalah agama yang memiliki dasar ajaran yang berusia lebih dari 2000
tahun dan berasal dari India. Sekitar 350-550 juta orang di seluruh dunia saat ini menjadi penganut
agama Buddha. Arti dari Buddha sendiri yaitu “Yang Telah Sadar”, “Yang Telah Terjaga”, atau
“Yang Telah Cerah”. Asal kata Buddha yaitu dari kata Budh yang artinya terjaga, menyadari, dan
memahami dan juga menjadi akar dari kata – kata seperti bodhi, bodha, bodhati, dan buddhi. Di
Indonesia juga terdapat beberapa bukti penyebaran agama Buddha, seperti candi peninggalan
Buddha dan candi Budha di Indonesia.
Buddha adalah sebuah gelar untuk seseorang yang telah mencapai pencerahan sempurna.
Ajaran agama ini mengedepankan mengenai cinta kasih dan kebijaksanaan, yang dianggap sesuai
dengan pengertian filsafat atau jalan hidup oleh sebagian orang. Karena itulah istilah “isme” yang
sering ditambahkan pada ajaran filsafat juga kerap disandingkan dengan kata Buddha, sehingga
kata Buddhisme menjadi sebutan lain untuk agama Buddha.
Sejarah agama Buddha mulai dari abad ke-6 SM sampai sekarang dari lahirnya sang
Buddha Siddharta Gautama. Dengan ini, ini adalah salah satu agama tertua yang masih dianut di
dunia. Selama masa ini, agama ini sementara berkembang, unsur kebudayaan India, ditambah
dengan unsur-unsur kebudayaan Helenistik (Yunani), Asia Tengah, Asia Timur dan Asia
Tenggara. Dalam proses perkembangannya ini, agama ini praktis telah menyentuh hampir seluruh
benua Asia. Sejarah agama Buddha juga ditandai dengan perkembangan banyak aliran dan
mazhab, serta perpecahan-perpecahan. Yang utama di antaranya adalah aliran
tradisi Theravada , Mahayana, dan Vajrayana yang sejarahnya ditandai dengan masa pasang dan
surut.

Kelahiran Siddharta “Buddha” Gautama


Siddharta Gautama adalah putra Raja Suddhodana dari Kerajaan Kosala. Keluarganya
termasuk golongan ksatria dan merupakan keturunan suku bangsa Sakya. Setelah memasuki masa
grhasta, ia dikawinkan dengan Putri Yasodhara dan melahirkan putra bernama Rahula.
Siddharta Gautama lahir sekitar tahun 560 S.M di gana-sangha (persekutuan
mandiri) India Utara, dengan ibukotanya Kapilawastu di taman lumbini. Ia merupakan pangeran
dari kerajaan tersebut. Sebuah riwayat menceritakan kelahirannya yang menyatakan bahwa Maya,
ibunya, sebelum mengandung Siddharta memimpikan seekor gajah putih masuk ke dalam
rahimnya.Ratu Maya bermimpi menjelang kehamilannya
Setelah mimpi aneh tersebut, raja menanyakan makna mimpi itu kepada 44 orang
brahmana termahsyur di negerinya. Para Brahmana menyimpulkan bahwa raja akan segera
memiliki keturunan. Peristiwa aneh kemudian terjadi di saat proses mengandung, meskipun telah
mengandung lebih dari sembilan bulan, anak tersebut tidak kunjung lahir.
Baru ketika memasuki bulan ke-10 usia kandungan, anak tersebut lahir. Tujuh hari
kemudian, ibu dari Siddharta Gautama meninggal. Siddharta kemudian diasuh dan dibesarkan oleh
bibinya. Meskipun dibesarkan oleh bibinya, Sidharta telah menunjukkan kecerdasan di atas rata-
rata. Bahkan ia sudah bisa menulis sebelum diajarkan oleh gurunya.
Menurut riwayat hidupnya Siddharta Gautama pada awalnya merupakan pemeluk agama
Hindu, mengikuti orang tuanya. Untuk mencegah pengaruh kehidupan masyarakat yang mungkin
dapat melemahkan keimanannya, maka ia tidak diizinkan melihat dunia luar istana.
Siddharta memperoleh pendidikan yang sangat isolatif dari masyarakat luar. Untuk
menyenangkan dan mencegah munculnya keinginan melihat dunia luar, keluarganya memberikan
kehidupan serba mewah kepadanya. Tetapi layaknya manusia pada umumnya, Siddharta
mengalami kebosanan dan ketidakpuasan dengan kehidupan monoton yang dijalaninya.

Keluar dari Kehidupan Istana


Ketika usia Siddharta mencapai 16 tahun, ia menikah dengan saudara sepupunya yang
seusia, Yashodara. Hampir selama 13 tahun setelah pernikahnya dia hidup dengan bahagia, dalam
kemewahan dan tidak pernah merasakan kesedihan, kekurangan. Ia dikarunia seorang anak. yang
ia namakan Rahula. Rahula memiliki arti belenggu, pemberian ini mencerminkan kehidupannya
yang terbelenggu layaknya terpenjara di istana. Ia hidup dalam istana tanpa pernah tahu apa yang
terjadi di luar istana.
Ketika Siddharta memasuki usia 29 tahun, ia beberapa kali berhasil keluar istana dan melihat
kehidupan luar istana. Di luar istana ia mendapatkan 4 pengalaman yang memperkuat
keinginannya untuk keluar dari istana semakin kuat:
 Ia melihat seorang laki-laki tua yang lemah dan menyaksikan betapa usia tua
menghancurkan ingatan, keindahan, dan keperkasaan. Ia tidak pernah bertemu dengan
orang tua sebelumnya.
 Ia melihat orang cacat yang tersiksa kesakitan, ia merasa kaget melihat penderitaan
sedemikian rupa. Ia tidak pernah mengalami penderitaan seperti itu.
 Ia melihat orang sedang menangis dalam duka dan prosesi pemakaman. Perasaannya
sangat terganggu oleh suasana penderitaan karena kematian. Ia tidak pernah melihat
peristiwa kematian sebelumnya.
 Ia melihat seorang suci sedang mengembara, dengan rasa puas dan gembira, berjalan
berkeliling dengan mangkok drema di tangannya. Ia tiba-tiba mengerti bahwa semua
kesenangan hidup tidak berarti.
Siddharta terkejut dan menanyakan kepada ajudannya, Channa tentang mereka. Kemudian
Channa menjelaskan bahwa mereka adalah manusia seperti kita, hanya usia mereka sudah tua.
Sekembalinya ke istana, Siddharta marah kepada ayahnya karena selama ini dia menyembunyikan
keadaan sebenarnya yang terjadi di luar istana. Ayahnya menjelaskan dengan sangat lembut tanpa
nada tinggi bahwa apa yang dilakukanya adalah kasih sayang kepada Siddharta.
Istana bukan lagi tempat yang menyenangkan bagi Siddharta yang sedang melakukan
perenungan. Kehidupan istana yang begitu mempesona tidak dapat menjawab segala kegundahan
yang dialami oleh Siddharta. Dia meyakini punya peranan penting ketimbang sebagai
raja Kapilavastthu. Istri muda, anak yang terkasih tidak dapat menghalangi dan mengubah
keputusannya untuk melakukan perenungan di luar istana. Waktu untuk meninggalkan
keduniawian sudah tiba.
Empat pengalaman yang Siddharta alami, semakin memperkuat keinginannya untuk mencari
pengetahuan akan kebenaran. Akhirnya pada tengah malam ia meninggalkan istana bersama
istrinya, Gopa dan anaknya, Rahula.
Dalam proses mencari kebenaran, Siddharta berguru pada banyak pendeta Hindu yang sedang
bertapa di hutan selama beberapa tahun, pertama ia berlatih meditasi, lalu hidup sangat miskin
bersama lima temannya. Akan tetapi segala pelajaran yang mereka berikan belum mampu
memuaskannya.
Siddharta kemudian pergi ke suatu tempat yang kemudian dikenal dengan nama Bodhgaya. Di
sana ia bermeditasi selama beberapa tahun untuk mencari ilham sejati yang dapat memberikan
tuntunan hidup. Ketika ia duduk menyendiri di bawah pohon bodhi untuk bermeditasi, saat itu lah
hal yang ia nantikan terjadi. Ia memperoleh pengetahuan tentang kebenaran yang sejati. sehingga
ia mendapatkan penerangan sempurna meliputi pengetahuan yang tinggi, yaitu :
 Pubbenivasanussati, yaitu pengetahuan tentang kehidupan dan proses kelahiran kembali
(tumiba lahir)
 Dibacakkhu, yaitu pengetahuan dari mata dewa dan mata batin
 Cuti upapatana, yaitu pengetahuan bahwa timbul dan hilangnya bentuk-bentuk kehidupan,
baik atau buruk, bergantung pada perilaku masing-masing
 Asvakkhayanana, pengetahuan tentang padamnya semua kecenderungan dan Adviya,
tentang menghilangkan ketidaktahuan.
Tiga malam berikutnya ia pergi melalui tiga tahap pencerahan, melawan godaan Mara, roh
jahat. Pada malam pertama, seluruh kehidupan pertamanya lewat di depan matanya. Malam kedua,
ia melihat lingkaran kelahiran, kehidupan, dan kematian beserta hukum yang menguasainya.
Malam ketiga, ia mengerti tentang “Empat Kebenaran Mulia”: keseluruhan penderitaan, asal-usul
penderitaan, penyembuhan penderitaan, dan jalan menemukan penyembuhan itu.
Ia kemudian sadar bahwa semua manusia mengalami penderitaan, akar penderitaan berasal
dari keinginan kuat dan jika keinginan kuat itu berhenti, maka penderitaan pun berhenti. Sejak
peristiwa itu ia memakai gelar Buddha, yang artinya telah memperoleh pengetahuan tentang
kebenaran yang sejati.
Selanjutnya, Siddharta dipanggil sampai tiga kali oleh Dewa Tertinggi yaitu Brahma, untuk
membantu orang lain menerima pencerahan. Panggilan untuk menyebarkan ajaran ini ia jalankan
selama 44 tahun, dan pengikut pertamanya adalah kelima temannya yang dulu hidup bersama
dalam kemiskinan.
Setelah melakukan penyebaran ajaran Buddha selama 44 tahun, Siddharta Buddha Gautama
meninggal pada tahun 483 SM di Kusinagara. Tidak ada pengikutnya yang dapat
menggantikannya, karena kedudukan Buddha bukan kedudukan yang dapat dicapai orang dalam
waktu satu generasi saja.
Kepercayaan dan Ajaran Agama Buddha
Setelah Siddharta Buddha Gautama memperoleh pencerahan, ia memutuskan
membatalkan kepergiannya ke nirvana agar dapat mengajarkan Dhamma kepada orang lain yang
ada di dunia. Visi ini ia ajarkan dalam Empat Kebenaran Mulia atau disebut Catur Arya Sentani,
dan Delapan Jalan Luhur atau disebut Astha Arya Margha.
Empat kebenaran luhur atau Catur Arya Sentani terdiri dari:
 Dukha, artinya penderitaan, maksudnya bahwa hidup di dunia adalah penderitaan.
Sepanjang hidupnya manusia mengalami penderitaan, ajaran Buddha ditunjukan untuk
membantu manusia mengerti makna penderitaan dan mengatasinya.
 Samudaya, artinya sebab penderitaan. Penyebab penderitaan adalah keinginan manusia
yang kuat akan hidup, kesenangan, dan harta.
 Nirodha, artinya pemadaman. Pemadaman di sini maksudnya adalah menghilangkan
penderitaan itu dengan jalan menyingkirkan keinginan kuat.
 Margha, jalan untuk menghilangkan keinginan kuat nafsu duniawi. Jalan yang
dimaksudkan adalah jalan tengah antara aksese dan hedonisme, satu-satunya jalan untuk
menghilangkan keinginan kuat itu.
Untuk menghilangkan keinginan kuat kehidupan duniawi, manusia harus menempuh delapan
jalan tengah atau disebut Astha Arya Margha, yaitu:
 Mengerti empat kebenaran mulia dengan benar.
 Berpikir benar, yang membawa kepada sifat mencintai semua bentuk kehidupan, bahkan
juga kepada kehidupan yang tingkatannya paling rendah sekalipun.
 Berbicara dengan benar, dengan tujuan yang mulia.
 Bertingkah laku dengan benar, menyangkut tindakan yang bermoral, penuh perhatian
kepada sesama, dan melakukan kebaikan terhadap semua makhluk hidup.
 Mata pencaharian yang benar, maksudnya adalah supaya umat Buddha tidak mencari
pencaharian dari hal-hal yang mengakibatkan kekerasan.
 Usaha yang benar untuk mengusir semua pikiran jahat.
 Perhatian yang benar menyangkut kesadaran terhadap kebutuhan orang lain.
 Konsentrasi yang benar dalam melakukan meditasi, sehingga ketenangan batin seseorang
dapat tercipta.
Selama hidupnya, Siddharta “Buddha” Gautama tidak mengerjakan cara-cara menyembah
kepada Tuhan maupun konsepi ketuhanan. Walaupun dalam wejangan-wejangannya kadang
menyebut tuhan, tetapi ia lebih banyak menekankan tentang ajaran hidup suci, seingga banyak ahli
menyebut agama Buddha sebagai ajaran moral.
Tidak disinggungnya konsep ketuhanan dalam agama Buddha tercermin dalam credo/syahadat
agama Buddha atau disebut Triratna, yang berbunyi:

Budham Saranam gacchami : Aku berlindung kepada Buddha.


Dharman Saranam gacchami : Aku berlindung kepada Dharma (hukum-hukum agama).
Sangham Saranam gacchami : Aku berlingung kepada Sangha (orde pendeta).
Dalam susunan kalimat kesaksian tersebut tidak disebut nama tuhan, hanya ada penyerahan diri
kepada Budha, Dharma, dan kepada Sangha.
Sementara untuk menegakkan Dharma, maka pengikut-pengikut Buddha pada umumnya wajib
menjauhi larangan-larangan sebagai berikut:
 Dilarang melakukan pembunuhan terhadap semua makhluk.
 Dilarang melakukan pencurian, perampokan, penyerobotan, dan sebagainya.
 Dilarang melakukan perbuatan cabut, misalnya berzina.
 Dilarang berbuat dusta/menipu.
 Dilarang minum minuman keras.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, Ajaran Buddha Gautama merupakan reformasi
terhadap ajaran para Brahman. Ia sendiri dulunya berasal dari golongan Ksatria, sehingga tidak
mengherankan jika banyak orang dari kasta tersebut yang menjadi pengikutnya. Reformasi yang
diadakan oleh Buddha Gautama antara lain:
 Meniadakan sistem kasta menurut agama Hindu.
 Meniadakan penyembahan kepada banyak dewa.
 Memberikan pengertian baru kepada hukum karma dan samsara/reinkarnasi.
Menurut Buddha Gautama, jika manusia mampu melaksanakan hidup suci dengan
melenyapkan keinginan kuat nafsu kehidupan, maka setelah ia melalui serangkaian reinkarnasi
pada akhirnya ia akan mencapai nirwana. Orang yang telah mencapai nirwana disebut Arahat.
Dalam rangkaian reinkarnasi itu orang dapat menjelma menjadi manusia kembali, binatang atau
dewa.

Tahap Penyebaran Agama Buddha


Sebelum disebarkan di bawah perlindungan maharaja Asoka pada abad ke-3 SM, agama
Buddha kelihatannya hanya sebuah fenomena kecil saja, dan sejarah peristiwa-peristiwa yang
membentuk agama ini tidaklah banyak tercatat. Dua konsili (sidang umum) pembentukan
dikatakan pernah terjadi, meski pengetahuan kita akan ini berdasarkan catatan-catatan dari
kemudian hari. Konsili-konsili (juga disebut pasamuhan agung) ini berusaha membahas
formalisasi doktrin-doktrin Buddhis, dan beberapa perpecahan dalam gerakan Buddha.
 Konsili Buddha Pertama (abad ke-5 SM)
Konsili pertama Buddha diadakan tidak lama setelah Buddha wafat di bawah perlindungan
raja Ajatasattu dari Kekaisaran Magadha, dan dikepalai oleh seorang rahib bernama Mahakassapa,
di Rajagaha(sekarang disebut Rajgir). Tujuan konsili ini adalah untuk menetapkan kutipan-kutipan
Buddha (sutta (Buddha)) dan mengkodifikasikan hukum-hukum monastik (vinaya): Ananda,
salah seorang murid utama Buddha dan saudara sepupunya, diundang untuk meresitasikan ajaran-
ajaran Buddha, dan Upali, seorang murid lainnya, meresitasikan hukum-hukum vinaya. Ini
kemudian menjadi dasar kanon Pali, yang telah menjadi teks Referensi dasar pada seluruh masa
sejarah agama Buddha.
 Konsili Kedua Buddha (383 SM)Sunting
Konsili kedua Buddha diadakan oleh raja Kalasoka di Vaisali, mengikuti konflik-konflik
antara mazhab tradisionalis dan gerakan-gerakan yang lebih liberal dan menyebut diri mereka
sendiri kaum Mahasanghika.
Mazhab-mazhab tradisional menganggap Buddha adalah seorang manusia biasa yang
mencapai pencerahan, yang juga bisa dicapai oleh para bhiksu yang mentaati peraturan monastik
dan mempraktikkan ajaran Buddha demi mengatasi samsara dan mencapai arhat. Namun kaum
Mahasanghika yang ingin memisahkan diri, menganggap ini terlalu individualistis dan egois.
Mereka menganggap bahwa tujuan untuk menjadi arhat tidak cukup, dan menyatakan bahwa
tujuan yang sejati adalah mencapai status Buddha penuh, dalam arti membuka jalan
paham Mahayana yang kelak muncul. Mereka menjadi pendukung peraturan monastik yang lebih
longgar dan lebih menarik bagi sebagian besar kaum rohaniwan dan kaum awam (itulah makanya
nama mereka berarti kumpulan "besar" atau "mayoritas").
Konsili ini berakhir dengan penolakan ajaran kaum Mahasanghika. Mereka meninggalkan
sidang dan bertahan selama beberapa abad di Indian barat laut dan Asia Tengah menurut prasasti-
prasasti Kharoshti yang ditemukan dekat Oxus dan bertarikh abad pertama.

 Kerajaan Asoka (+/- 260 SM)


Maharaja Asoka dari Kekaisaran Maurya (273–232 SM) masuk agama Buddha setelah
menaklukkan wilayah Kalingga (sekarang Orissa) di India timur secara berdarah. Karena
menyesali perbuatannya yang keji, sang maharaja ini lalu memutuskan untuk meninggalkan
kekerasan dan menyebarkan ajaran Buddha dengan membangun stupa-stupa dan pilar-pilar di
mana ia menghimbau untuk menghormati segala makhluk hidup dan mengajak orang-orang untuk
mentaati Dharma. Asoka juga membangun jalan-jalan dan rumah sakit-rumah sakit di seluruh
negeri.
Periode ini menandai penyebaran agama Buddha di luar India. Menurut prasasti dan pilar yang
ditinggalkan Asoka (piagam-piagam Asoka), utusan dikirimkan ke pelbagai negara untuk
menyebarkan agama Buddha, sampai sejauh kerajaan-kerajaan Yunani di barat dan terutama
di kerajaan Baktria-Yunani yang merupakan wilayah tetangga. Kemungkinan besar mereka juga
sampai di daerah Laut Tengah menurut prasasti-prasasti Asoka.
 Konsili Buddha Ketiga (+/- 250 SM)
Maharaja Asoka memprakarsai Konsili Buddha ketiga sekitar tahun 250
SM di Pataliputra (sekarang Patna). Konsili ini dipimpin oleh rahib Moggaliputta. Tujuan konsili
adalah rekonsiliasi mazhab-mazhab Buddha yang berbeda-beda, memurnikan gerakan Buddha,
terutama dari faksi-faksi oportunistik yang tertarik dengan perlindungan kerajaan dan organisasi
pengiriman misionaris-misionaris Buddha ke dunia yang dikenal.
Kanon Pali (Tipitaka, atau Tripitaka dalam bahasa Sanskerta, dan secara harafiah berarti
"Tiga Keranjang"), yang memuat teks-teks Referensi tradisional Buddha dan dianggap diturunkan
langsung dari sang Buddha, diresmikan penggunaannya saat itu. Tipitaka terdiri dari doktrin (Sutra
Pitaka), peraturan monastik (Vinaya Pitaka) dan ditambah dengan kumpulan filsafat
(Abhidharma Pitaka).
Usaha-usaha Asoka untuk memurnikan agama Buddha juga mengakibatkan pengucilan
gerakan-gerakan lain yang muncul. Terutama, setelah tahun 250 SM, kaum Sarvastidin (yang
telah ditolak konsili ketiga, menurut tradisi Theravada) dan kaum Dharmaguptaka menjadi
berpengaruh di India barat laut dan Asia Tengah, sampai masa Kekaisaran Kushan pada abad-abad
pertama Masehi. Para pengikut Dharmaguptaka memiliki ciri khas kepercayaan mereka bahwa
sang Buddha berada di atas dan terpisah dari anggota komunitas Buddha lainnya. Sedangkan kaum
Sarvastivadin percaya bahwa masa lampau, masa kini dan masa depan terjadi pada saat yang sama.

Aliran-Aliran Agama Buddha


Beberapa abad setelah Buddha meninggal, Buddha Theravada dan Mahayana lahir sebagai
dua aliran utama dalam pengajaran Budha. Buddha Theravada adalah jalan keselamatan yang
biasanya diikuti oleh para rahib, sedangkan Buddha Mahayana adalah kelompok yang paling besar
di antara dua kelompok aliran itu dengan lebih dari 300 juta pengikut di seluruh dunia.
Terdapat perbedaan yang mendasar di dua aliran ini, karena saat Buddha Gautama meninggal
ajaran Buddha waktu itu belum dicatat atau dibukukan, maka ajaran yang diajarkan kepada murid-
muridnya hanya tersimpan dalam ingatan mereka. Maka timbul perbedaan perubahan dan
perbedaan penafsiran di antara dua aliran ini.
 Buddha Theravada
Buddha Theravada atau Hinayana merupakan aliran ortodoks dalam agama Buddha, yaitu
aliran yang mempertahankan keaslian ajaran agama Buddha. Aliran ini dapat ditemuai di Sri
Lankka, Myanmar, Thailand, dan beberapa tempat di Asia Tenggara. Theravada artinya jalan bagi
kaum tua-tua, sementara Hinayana berarti kendaraan kecil. Ajarannya didasarkan pada kitab yang
disebut Pali Canon, yang dipercayai pemeluk sekte ini sebagai catatan paling akurat tetang apa
yang dikatakan dan dilakukan oleh Buddha.
Salah satu esensi pokok dari kitab itu adalah menekankan bahwa Buddha hanyalah seorang
manusia, seseorang yang telah mencapai pencerahan, dan bahwa pencerahan dapat dicapai dengan
mengikuti teladan dan ajarannya.
Tujuan tertinggi dari aliran ini adalah menjadi Arahat yaitu orang yang benar-benar telah
lenyap nafsu dan keinginannya serta ketidaktahuannya, sehingga ia dapat mencapi Nirwana dan
terbebas dari rangkaian samsara (reinkarnasi). Aliran ini menitik beratkan pada kelepasan
individual, artinya tiap orang berusaha melepaskan dirinya masing-masing dari penderitaan hidup.
Dalam sekte Theravada terdapat dua golongan umat. Golongan pertama adalah para rahib
Buddha, atau biasa yang disebut biksu. Mereka bergantung pada kaum awam Buddha untuk
makanan dan pakaian mereka. Para biksu bebas dari tugas rumah tangga sehingga mereka
mempunyai kesempatan yang baik untuk mencapai nirvana. Di antara para biksu itu, para rahib
hutan lah yang paling dekat pada pencerahan karena meditasi mereka yang sangat ketat.
Sementara golongan kedua adalah pemilik rumah tangga. Golongan ini akan menerima
kemurahan kelahiran kembali pada masa yang akan datang dengan cara memberikan makanan,
pakaian, dan uang kepada para rahib.
 Buddha Mahayana
Berkembangnya agama Buddha Mahayana dari abad ke-1 SM diiringi dengan perubahan
kompleks politik di India barat laut. Kerajaan-kerajaan Yunani-India ini secara bertahap
dikalahkan dan diasimilasi oleh kaum nomad Indo-Eropa yang berasal dari Asia Tengah, yaitu
kaum Schytia India, dan lalu kaum Yuezhi, yang mendirikan Kekaisaran Kushan dari kira-kira
tahun 12 SM.
Mahayana yang artinya kendaraan besar adalah aliran yang mengadakan pembaharuan
terhadap ajaran Buddha yang asli. Penganut aliran ini banyak dijumpai di negara-negara India,
Nepal, Tibet, Mongolia, Tiongkok, Korea, Jepang, dan India. Tokoh terkemuka yang dianggap
sebagai reformer oleh penganut aliran ini adalah Acvagosha. Ciri khas dari aliran ini adalah adanya
upacara penyembahan kepada Tuhan dalam agama Buddha.
Jika meneliti lebih dalam konsepsi ketuhanan menurut aliran Mahayana, sebenarnya hampir
menyerupai paham kedewataan dalam agama Hindu. Dengan demikian terdapat keterkaitan
historis bahwa kepercayaan India lama itu masih tampak pengaruhnya di kepercayaan agama
Buddha, khususnya Mahayana.
Dalam konsepsi ketuhanan aliran Mahayana masih tampak adanya pengaruh dari aliran Bhakti
dan Tantra. Yaitu aliran yang merupakan perpaduan sinkretis dari berbagai macam kepercayaan,
termasuk kepercayaan primitif di India.
Menurut Teologi Mahayana, yang disebut Buddha itu bukan hanya Buddha Gautama saja,
melainkan terdapat 4 orang lagi yang disebut Buddha sebagai guru dunia, yaitu: Kakusandha,
Konagammana, dan Kassapa yang telah datang sebelum Buddha Gautama, dan setelah Buddha
Gautama kelak akan datang seorang lagi manusia Buddha yang bernama Maitreya.
Susunan wujud tingkat tinggi sampai wujud tingkat terendah menurut aliran Mahayana dapat
dilihat di table berikut:
Tingkat Wujud Tingkat Alam

Adhi Buddha Maha Para Nirwana

Dhyani Buddha Para Nirwana

Dhayani Boddhisatwa Arupa Dewacan Rupa


Dewacan Dewacan

Manusia Buddha
Rupa
Manusia Binatang

Arta
Kamaloka
Asuraka

Adhi Buddha adalah Buddha asli yang tidak lain adalah Tuhan Yang Maha Esa. Adhi
Buddha ini bersemayam di dalam Maha Para Nirwana. Pada tingkat bawahnya terdapat Dhyani
Buddha, yang merupakan pancaran dari Adhi Buddha. Dhyani Buddha mempunyai kedudukan
sebagai dewa tertinggi yang bersemayam di surga Sukhawati.
Menurut kepercayaan aliran Mahayana, tujuan tertinggi bukan lah menjadi Arahat
layaknya aliran Theravada, melainkan menjadi Boddhisatwa. Cita-cita pengikut aliran Mahayana
bukan lah kelepasan individual, tetapi kelepasan bersama-sama orang banyak sehingga aliran itu
diberi nama kendaraan besar, karena mempunyai jangkauan untuk menyelamatkan lebih banyak
umat manusia.

You might also like