You are on page 1of 4

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang banyak memberikan
manfaat bagi kehidupan manusia, baik untuk produksi kayu, jasa lingkungan,
maupun sumber plasma nutfah. Indonesia merupakan salah satu negara yang
mempunyai hutan yang luas dengan berbagai tipe hutan yang tersusun atas
berbagai jenis tumbuhan dengan keanekaragaman yang tinggi. Keanekaragaman
hayati sebagai sumber kekayaan hayati bagi umat manusia merupakan pilar untuk
mengembangkan tanaman pangan, bahan baku industri, maupun bahan baku obat-
obatan.
Berangkat dari catatan sejarah, ketertarikan terhadap sumber daya hutan
telah sekian lama terfokus hanya pada produk berupa kayu atau turunannya.
Nilai-nilai sumber daya hutan yang lainnya ditempatkan pada kelas kedua dan
dinilai sebagai produk tambahan dengan sebutan produk minor hutan. Dari hal
tersebut tergambar secara jelas kurangnya ketertarikan dan perhatian terhadap
produk hutan non kayu.
Seiring dengan waktu, telah terjadi peningkatan ketertarikan dan perhatian
terhadap hasil hutan non kayu akhir-akhir ini. Perubahan iklim dunia merupakan
salah satu faktor signifikan yang berkontribusi dalam meningkatkan perhatian
berbagai kalangan terhadap nilai-nilai biodiversitas dan signifikansi jasa
lingkungan yang terkandung di dalam hutan. Kondisi degradasi hutan di berbagai
belahan dunia yang semakin tinggi juga telah menuntut dilakukannya upaya-
upaya pelestarian dan pengelolaan hutan dan hasil hutan.
Produk hasil hutan non kayu kini telah menjadi bisnis besar dan beberapa
diantaranya berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut. Berbagai upaya telah
dilakukan untuk mendukung bisnis tersebut mulai dari budidaya, ekstraksi sampai
ke pemasaran. Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa tidak jarang
pemanenan terhadap hasil hutan non kayu sama merusaknya dengan pemanenan
terhadap kayu. Pada beberapa jenis hasil hutan non kayu (rotan, kayu penghasil
gaharu, berbagai jenis akar dan batang) sistem pemanenannya akan menimbulkan
kematian terhadap pohon/tumbuhan tersebut.
2

Diantara sekian banyak pengelompokan jenis hasil hutan non kayu,


tumbuhan atau pohon sebagai sumber senyawa aktif obat-obatan (industri farmasi)
merupakan salah satu kelompok hasil hutan non kayu dengan nilai ekonomis yang
tinggi. Menurut Kuswiyati et al. (1999) dalam Anonim (1999), disebutkan bahwa
Indonesia mempunyai 1260 jenis tumbuhan obat-obatan. Tanaman obat yang
dimanfaatkan baru 456 jenis dari 646 jenis tanaman obat yang telah diteliti. Di
negara lain seperti Cina, sudah terdaftar lebih dari 7000 spesies tanaman obat,
Korea sejak 1983 melakukan standardisasi 530 jenis tanaman obat. Di Jerman,
penelitian dan pemanfaatan obat-obatan dari bahan alam yang biasa disebut
phytomedicines sudah jauh lebih maju. Tahun 1989 pasar obat-obatan dari bahan
alam di Jerman mencapai nilai $1,7 milyar, atau 10% dari total nilai pasar Jerman.
Hasil penelitian Allenbach Institute (1989) menyatakan bahwa 58% penduduk
Jerman menggunakan obat dari bahan alam (Kompas, 22 Oktober 1998 dalam
Budiatmoko 1999).
Namun demikian, sangat disayangkan bahwa potensi hutan Indonesia
sebagai sumber bahan alami obat-obatan bernilai tinggi belum tergali secara
optimal. Hanya beberapa jenis pohon atau tumbuhan saja yang sudah
dimanfaatkan secara komersial dan masih jauh lebih banyak jenis pohon/
tumbuhan yang belum terjamah. Dengan tingkat degradasi hutan yang sangat
tinggi, cukup masuk akal jika timbul kekhawatiran bahwa tumbuhan/pohon
penghasil obat-obatan di hutan Indonesia akan musnah bahkan sebelum
potensinya dapat diketahui.

Perumusan Masalah
Kulit, daun, cabang, ranting, dan akar dari genus Taxus merupakan
sumber paclitaxel (Taxol®), yang saat ini sangat sukses digunakan dalam
pengobatan kanker ovarium dan kanker payudara. Saat ini, Taxol® juga mulai
digunakan untuk pengobatan beberapa jenis kanker lainnya dan penyakit non
kanker seperti alzheimer, sarkoma kaposi (tumor jaringan pembuluh darah), dan
sklerosis ginjal. Seiring dengan tingginya tingkat eksploitasi yang dilakukan untuk
memperoleh bahan aktif Taxol® di dunia farmasi karena permintaan pasar yang
sangat tinggi terhadap produk ini maka populasi Taxus di dunia telah menurun
3

secara drastis. Tingkat pemanenan Taxus yang sangat tinggi di populasi


alamiahnya juga dipicu oleh sangat rendahnya kandungan Taxol® pada bagian
tanaman. Produksi 1 kg Taxol® membutuhkan sekitar 30.000 kg biomasa.
Menurut Smith & Cameron (2001), kebutuhan Taxol® untuk Amerika Utara dan
Eropa saja sekitar 400 kg/tahun (setara dengan 12 juta kg biomas) atau
diprediksikan sekitar 1.000 kg/tahun untuk pasar dunia (setara dengan 30 juta kg
biomas). Jika diasumsikan 1 ha hutan tanaman mampu menghasilkan 400 kg
biomasa maka diperlukan 75.000 ha hutan tanaman Taxus untuk pemenuhan
suplai bahan baku.
Permintaan yang sangat tinggi terhadap bahan aktif Taxol® dan berbagai
senyawa Taxane lainnya yang diekstraksi dari Taxus berlangsung mulai tahun
1990-an dan mengalami kenaikan rata-rata sebesar 20% per tahun. Fenomena ini
diprediksikan akan terus meningkat seiring dengan kenyataan bahwa Taxol®
merupakan obat anti kanker paling dicari di dunia (Anonim, 2003). Upaya
budidaya untuk pemenuhan bahan baku telah dilakukan di wilayah timur laut
Pasifik dan Midwest Amerika Serikat namun sebagian besar bahan baku yang
digunakan masih diimpor dari Asia terutama dari Cina dan India. Penurunan
drastis populasi Taxus telah menyebabkan jenis ini dimasukan ke dalam
Appendiks II CITES sejak tahun 2005 (CITES 2005).
Indonesia merupakan sedikit dari negara yang memiliki sebaran alamiah
Taxus di zona Asia. Taxus sumatrana yang dikenal di dunia dengan nama
Sumatran yew (Cemara sumatra) merupakan salah satu jenis pohon berdaun jarum
yang tumbuh secara alamiah di Indonesia (Sumatera) pada ketinggian 1.400-2.300
mdpl. Sedikit sekali penelitian ilmiah yang sudah dilakukan mengenai jenis ini di
Indonesia. Sangat berbeda dengan negara-negara di belahan bumi bagian utara
yang sudah sangat berkembang dalam meneliti Taxus dari berbagai aspek, di
Indonesia hanya terdapat dua hasil penelitian saja yang telah dipublikasikan yaitu
mengenai studi kapang endofitik penghasil Taxol® yang hidup pada batang
Cemara sumatra yang tumbuh di Cibodas (Syukur et al. 2003) dan penemuan
senyawa taxane diterpenoid baru yang diekstraksi dari bagian daun Cemara
sumatra yang tumbuh di Sumatera ( Kitagawa et al. 1995). Sampai dengan saat
ini belum dilaporkan adanya publikasi ilmiah hasil penelitian atau kajian
4

mengenai keragaman genetik, teknik budidaya maupun strategi konservasi


Cemara sumatra yang tumbuh alami di Indonesia. Dari kondisi ini muncul dua
permasalahan utama, yaitu:
1. Bagaimana keragaman genetik intra maupun antar populasi Cemara sumatra
di Indonesia dan strategi konservasi apa yang bisa disusun berdasarkan
keragaman genetik yang dimilikinya?
2. Bagaimana tingkat keberhasilan perbanyakan vegetatif melalui penyetekan
dengan media berbeda pada Cemara sumatra?

Tujuan
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah :
1. Menduga keragaman genetik Cemara sumatra dari 3 populasi reproduktif
(populasi pohon induk, populasi Cibodas, populasi anakan alam) dengan
menggunakan Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) dan
memformulasikan strategi konservasi yang paling sesuai.
2. Mengkaji metode penyetekan dengan tingkat keberhasilan yang paling tinggi
dari beberapa media yang berbeda.

Hipotesis
1. Variasi genetik populasi Cibodas sebagai hasil perbanyakan vegetatif dari
alam akan lebih mendekati populasi pohon induk alam dibanding dengan
populasi anakan alam.
2. Pemakaian media tanam yang berbeda pada penyetekan Cemara sumatra
akan menghasilkan perbedaan tingkat keberhasilan dalam memperbanyak
jenis ini secara vegetatif.

Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi sains dasar
(basic science) mengenai keragaman genetik dan teknik perbanyakan Cemara
sumatra yang penting sebagai landasan dalam praktek budidaya dan
pengelolaannya dimasa mendatang, baik untuk tujuan komersial maupun
konservasi.

You might also like