You are on page 1of 25

LAPORAN KASUS

Hipertensi

Pembimbing:
dr. Stephanie Chandra., Sp.PD

Disusun Oleh :
Amelia Kumalasari 113170004
Amri Muharam 113170005

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD WALED
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
CIREBON
2019
IDENTITAS PASIEN

Nama pasien : Ny. S

Usia : 39 tahun

Agama : Islam

Pekerjaan : Ibu Rumah tangga

Status pernikahan : Sudah menikah

Status : BPJS

Alamat : Pabuaran, Kab Cirebon

Tanggal MRS : 12 Februari 2019

Tanggal pemeriksaan : 15 Februari 2019

Keluhan Utama :

Kepala Pusing sejak 1 minggu SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang dengan keluhan pusing kurang lebih sudah 1 minggu yang
lalu. Pusing dirasakan seperti berputar. Keluhan dirasakan semakin memberat 3
hari SMRS. Keluhan tersebut dirasakan terus menerus. Selain itu dirasakan
leher terasa kaku dan terasa pegal, sakit kepala dan sulit tidur. Keluhan lain
seperti mual (-), Muntah (-). sesak nafas (-), pusing (+), batuk (-), badan terasa
lemas (+), demam (-), nyeri dada (-) menjalar ke leher atau punggung
(-).Riwayat pengobatan hanya minum obat warung yaitu obat sakit kepala.
BAK dalam batas normal.

1
Riwayat Penyakit Dahulu :

Keluhan serupa sebelumnya : Ada, 2 bulan yang lalu

Riw. Asma : Disangkal

Hipertensi : Ada, kurang lebih sejak 10 tahun, terkontrol

Kolesterol tinggi : Disangkal

DM : Ada, kurang lebih sejak 3 tahun, terkontrol

Riwayat Penyakit Keluarga :

Anggota keluarga dengan keluhan serupa : Disangkal

Riwayat Asma : Disangkal

Hipertensi : Disangkal

Kolesterol tinggi : Disangkal

DM : Disangkal

Riwayat Sosial :

Sering konsumsi pedas dan asam terutama sebelak dan rujak

Riwayat minum jamu-jamuan .Seperti jamu kupu-kupu.

Tanda-tanda Vital :

Keadaan umum :Tampak sakit sedang

Kesadaran :Compos mentis GCS E4V5M6

Tekanan darah :160/100 mmHg

Laju nadi :100x/menit, pulsasi kuat,reguler

Laju napas (RR) :20 x/menit

Suhu :36,5oC (axilla)

SpO2 :98% tanpa O2

2
Pemeriksaan Fisik

Mata :Konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-,

pupil isokor, refleks cahaya langsung +/+,

refleks cahaya tidak langsung +/+, edema preorbital -/-

Hidung :discharge (-), deviasi septum (-),epitaksis (-)

Mulut :sianosis (-)

Leher :JVP tidak meningkat, pembesaran KGB (-) / tiroid (-)

Thorax :

Pulmo:

Inspeksi : Simetris kiri = kanan, gerakan simetris, retraksi (-),


Palpasi : Fremitus vokal kanan= kiri, ekspansi dada kiri = kanan
Perkusi : Sonor di lapang paru dextra et sinistra
Auskultasi : Vesicular bronko sound +/+, wheezing -/-, rhonki -/-

Cor :
Inspeksi : Pulsasi iktus kordis (-)
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V di linea aksilaris anterior sinistra
Perkusi : Batas kiri di ICS V linea aksilaris anterior sinistra Batas dextra di linea
parasternalis dextra,Pinggang jantung di ICS II linea sternalis sinistra
Auskultasi : S1-S2 regular, murmur (-), gallop (-)Heart rate = 99x/menit, kuat

angkat, reguler

Abdomen :
Inspeksi : Tampak cembung, distensi (-),bekas luka (-) pulsasi aorta abdominal
tidak terlihat.
Auskultasi : Bising usus 20 kali per menit
Palpasi : Nyeri tekan (+) regio epigastrika,tidak teraba pembesaran hepar dan
tidak ada kelainan struktur organ hepar, tidak teraba pembesaran spleen
Perkusi : Timpani, shifting dullness(-)

Ekstremitas :

Akral hangat di semua extremitas

3
CRT< 2 detik di semua ekstremitas

Pucat palmar -/-, sianosis (-)

Tidak ada edema pretibial

Kekuatan motorik 5 di semua ekstremitas

Diagnosis Banding

Hipertensi stage II

Vertigo

Cephalgia

Pemeriksaan Penunjang

Leukosit : 7.200/μL

Hemoglobin : 11,7 g/dL

Trombosit : 450.000/μL

Hematokrit : 34 %

GDS : 238 mg/dl

Hasil EKG

4
Irama sinus, reguler, gelombang p normal, gelombang QRS normal, tidak ada elevasi
dan depresi segmen ST .

Diagnosis Kerja

Hipertensi Stage II

Diabetes Melitus tipe II

Tatalaksana

• Captopril 3x12,5 mg P.O

• Amlodipin 1 x 5 mg P.O

• Metformin 2 x 500 mg P.O

• Paractamol 3 x 500 mg P.O

Prognosis

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad fungtionam : dubia ad bonam

Quo ad sanationam : dubia ad bonam

BAB I

5
PENDAHULUAN

Hipertensi merupakan kondisi yang paling umum ditemukan dalam praktik pelayanan
primer. Pada tahun 2008 terdapat 40% orang dewasa berusia 25 tahun ke atas yang tersebar di
seluruh dunia, didiagnosis dengan hipertensi. Angka ini telah meningkat sejak tahun 1980
sebesar 600 juta hingga tahun 2008 mencapai 1 milyar. 1 Di Indonesia sendiri, prevalensi
penderita hipertensi tahun 2008 yang berusia 25 tahun ke atas sebesar 41%. Angka ini
menempati peringkat kedua tertinggi di daerah Asia Tenggara setelah negara Myanmar.2
Peningkatan prevalensi hipertensi dipengaruhi oleh pertumbuhan populasi, usia, serta
perilaku sebagai faktor risiko seperti diet tidak sehat, penggunaan alkohol yang
membahayakan, kurangnya aktivitas fisik, berat badan yang berlebiha dan paparan terhadap
stress secara persisten. Tingginya tekanan pada pembuluh darah menyebabkan jantung harus
1

bekerja lebih keras dalam usahanya untuk memompa darah ke seluruh tubuh. Apabila kondisi
ini tidak diatasi maka hipertensi dapat menuju pada serangan jantung, pembesaran jantung
dan pada akhirnya kegagalan jantung. Tingginya tekanan pembuluh darah dapat juga
menyebabkan darah bocor ke dalam otak, menjadi stroke. Hipertensi juga dapat
menyebabkan kegagalan ginjal, kebutaan, ruptur tekanan darah, dan gangguan kognitif.1
Selama lebih dari 30 tahun terakhir telah dilakukan upaya dalam meningkatkan
kesadaran, pencegahan, penatalaksanaan terhadap hipertensi mengingat kontribusi penyakit
ini dalam angka kematian. Sejak publikasi pertama tahun 1997 lalu, kini di tahun 2013,
kembali dipublikasikan sebuah pedoman penatalaksanaan hipertensi pada dewasa (2014
Evidence-Based Guideline for the Management of High Blood Pressure in Adults, Report
From the Panel Members Appointed to the Eighth Joint National Committee (JNC 8)) yang
dibuat oleh para ahli berdasarkan systemtic review dan uji klinis.,. Pedoman ini menyediakan
pendekatan berbasis bukti dalam rekomendasi, target serta terapi penatalaksanaan hipertensi
pada dewasa yang sesuai bagi petugas pelayanan primer.3
Oleh karena itu, dalam referat ini akan dibahas mengenai hipertensi serta butir-butir
rekomendasi pengelolaan penyakit hipertensi yang tercantum dalam JNC 8, sebagai upaya
pendekatan diagnosis dan penatalaksanaan sesuai standar kompetensi dokter pelayanan
primer.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

6
2.1 Definisi
Hipertensi merupakan peningkatan tekanan pembuluh darah yang persisten ditandai
dengan tekanan sistolik ≥140 mmHg dan/atau tekanan diastolik ≥90 mmHg.4

2.2 Etiologi
Berdasarkan penyebabnya, 80-95% penderita hipertensi digolongkan sebagai hipertensi
primer atau esensial yaitu ketika penyebab hipertensi tidak dapat diidentifikasi (idiopatik) dan
sebagian besar merupakan interaksi yang kompleks antara genetik dan interaksi lingkungan.5
Sementara itu 5-20% lainnya digolongkan sebagai hipertensi sekunder, yang diakibatkan
adanya penyakit yang mendasari seperti gangguan ginjal, gangguan adrenal,penyempitan
aorta, obstructive sleep apneu, gangguan neurogenik, endokrin, dan obat-obatan.4

2.3 Klasifikasi
Penentuan derajat hipertensi dilakukan berdasarkan rata-rata dari dua atau lebih
pengukuran tekanan darah (dalam posisi duduk) selama dua atau lebih kunjungan pasien
rawat jalan.6 Klasifikasi hipertensi dapat dilihat dalam Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi hipertensi AHA 20174

7
Gambar 2. Klasifikasi hipertensi menurut JNC 8.

2.4 Faktor risiko


Terdapat beberapa gaya hidup yang berperan sebagai faktor risiko berkembangnya
hipertensi, termasuk diantaranya adalah: konsumsi makanan yang mengandung banyak garam
dan lemak, sedikit sayur dan buah, penggunaan alkohol hingga di tingkat yang
membahayakan, kurangnya aktivitas disik, serta pengelolaan stress yang rendah. Gaya hidup
tersebut juga sangat dipengaruhi oleh kondisi pekerjaan dan kehidupan individu.1

Faktor Gaya Metabolik


sosial hidup
Globalisasi Diet tidak Tekanan darah
Urbanisasi sehat tinggi
Usia Rokok Obesitas
Pendapatan Alkohol Diabetes
Pendidikan Kurangnya Peningkatan
aktivitas kadar lemak
darah

Gambar 1. Faktor risiko hipertensi1

Faktor risiko di atas, lebih lanjut lagi dapat dibedakan menjadi dua yakni faktor yang dapat
dan tidak dapat dikendalikan.
I. Faktor yang tidak dapat dikendalikan
a. Usia
Risiko kejadian hipertensi akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Pada
umur 25-44 tahun prevalensi hipertensi sebesar 29%, pada umur 45-64 tahun
sebesar 51% dan pada umur >65 Tahun sebesar 65%. Penelitian Hasurungan pada
lansia menemukan bahwa dibanding umur 55-59 tahun, pada umur 60-64 tahun
terjadi peningkatan risiko hipertesi sebesar 2,18 kali,umur 65-69 tahun 2,45 kali dan
umur >70 tahun 2,97 kaliMeskipun hipertensi bisa terjadi pada segala usia, namun

8
paling sering dijumpai pada orang berusia >35 tahun. Prevalensi hipertensi
dikalangan usia lanjut cukup tinggi yaitu sekitar 40 % dengan kematian sekitar 50 %
diatas umur 65 tahun. Peningkatan tekanan darah dapat terjadi seiring dengan
bertambahnya usia, disebabkan oleh perubahan struktur pada pembuluh darah besar,
sehingga lumen menjadi lebih sempit dan dinding pembuluh darah menjadi lebih
kaku.7,8

b. Jenis Kelamin
Prevalensi hipertensi lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita, dengan
peningkatan risiko sebesar 2 kali lipat untuk peningkatan tekanan darah sistolik. Pria
lebih banyak mengalami kemungkinan hipertensi dari pada wanita,seringkali dipicu
oleh perilaku tidak sehat (merokok dan konsumsi alkohol), depresi dan rendahnya
status pekerjaan, perasaan kurang nyaman terhadap pekerjaan dan pengangguran.7

c. Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi akan meningkatkan risiko
kejadian hipertensi terutama pada hipertensi primer. Keluarga yang memiliki
hipertensi dan penyakit jantung meningkatkan risiko hipertensi 2-5 kali lipat. Jika
kedua orang tua menderita hipertensi, kemungkinan anaknya menderita hipertensi
sebesar 45%, sedangkan jika hanya salah satu dari orang tuanya yang menderita
hipertensi maka kemungkinan anaknya menderita hipertensi sebesar 30%.8

d. Genetik
Peran faktor genetik terhadap timbulnya hipertensi terbukti dengan ditemukannya
kejadian bahwa hipertensi lebih banyak pada kembar monozigot (satu sel telur)
daripada heterozigot (berbeda sel telur). Seorang penderita yang mempunyai sifat
genetik hipertensi primer (esensial) apabila dibiarkan secara alamiah tanpa
intervensi terapi, akan menyebabkan hipertensinya berkembang dan dalam waktu
sekitar 30-50 tahun akan timbul manifestasi klinis.8
II. Faktor yang dapat dikendalikan
a. Kebiasaan Merokok
Rokok juga dihubungkan dengan hipertensi. Hubungan antara rokok dengan
peningkatan risiko kardiovaskuler telah banyak dibuktikan. Semakin lama seseorang
merokok dan semakin banyak rokok yang dihisap maka kejadian hipertensi akan

9
semakin meningkat. Seseorang yang menghisap lebih dari satu pak rokok sehari
meningkatkan risiko kejadian hipertensi 2 kali lipat daripada mereka yang tidak.
Zat-zat kimia beracun, seperti nikotin dan karbon monoksida yang diisap melalui
rokok, yang masuk kedalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel pembuluh
darah arteri dan mengakibatkan proses aterosklerosis dan hipertensi. Selain itu
merokok juga meningkatkan denyut jantung dan kebutuhan oksigen untuk disuplai
ke otot jantung. Merokok pada penderta hipertensi akan semakin meningkatkan
risiko kerusakan pada pembuluh darah arteri.9

b. Konsumsi Garam
Garam merupakan faktor yang sangat penting dalam patogenesis hipertensi.
Hipertensi hampir tidak pernah ditemukan pada suku bangsa dengan asupan garam
yang minimal. Asupan garam kurang dari 3 gram tiap hari akan mengurangi risiko
kejadian hipertensi, sedangkan jika asupan garam antara 5-15 gram perhari
prevalensi hipertensi meningkat menjadi 15-20 %. Pengaruh asupan terhadap
timbulnya hipertensi terjadi melalui peningkatan volume plasma, curah jantung dan
tekanan darah.
Garam menyebabkan retensi cairan dalam tubuh, sehingga akan meningkatkan
volume dan tekanan darah. Pada manusia yang mengkonsumsi garam 3 gram atau
kurang ditemukan tekanan darah rata-rata rendah, sedangkan asupan garam sekitar
7-8 gram tekanan darahnya rata-rata lebih tinggi. Konsumsi garam yang dianjurkan
tidak lebih dari 6 gram/hari setara dengan 110 mmol natrium atau 2400 mg/hari.9

c. Kebiasaan Konsumsi Minum Minuman Beralkohol


Alkohol juga dihubungkan dengan hipertensi. Mekanisme peningkatan tekanan
darah akibat alkohol masih belum jelas. Namun diduga, peningkatan kadar kortisol
dan peningkatan volume sel darah merah serta kekentalan darah merah berperan
dalam menaikkan tekanan darah.9,10

d. Olahraga
Kurangnya aktifitas fisik meningkatkan risiko menderita hipertensi karena
meningkatkan risiko kelebihan berat badan. Orang yang tidak aktif juga cenderung
mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi sehingga otot jantungnya

10
harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi. Makin keras dan sering otot jantung
harus memompa, makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri.10

e. Psikososial dan stress


Stress atau ketegangan jiwa dapat merangsang kelenjar adrenal melepaskan hormon
adrenalin dan memicu jantung berdenyut lebih cepat dan kuat, sehingga
meningkatkan tekanan darah. Jika keadaan ini berlangsung terus menerus maka
tubuh akan berusaha mengadakan penyesuaian sehingga timbul kelainan organis
atau perubahan patologis.10

f. Hiperlipidemia/hiperkolesterolemia
Kelainan metabolisme lemak (lipid) ditandai dengan peningkatan kadar kolesterol
total, trigliserida, kolesterol LDL dan atau penurunan kolesterol HDL darah.
Kolesterol merupakan faktor penting dalam terjadinya aterosklerosis yang
mengakibatkan peningkatan resistensi perifer sehingga meningkatkan tekanan
darah.10

Komponen Lipid Batasan (mg/dl) Klasifikasi


Kolesterol total <200 Yang diinginkan
200-239 Batas tinggi
>240 Tinggi
Kolesterol LDL <100 Optimal
100-129 Mendekati optimal
130-159 Batas tinggi
160-189 Tinggi
>190 Sangat tinggi
Kolesterol HDL <40 Rendah
>60 Tinggi
Trigliserida <150 Normal
150-199 Batas tinggi
200-499 Tinggi
>500 Sangat tinggi
Tabel 2. Batasan kadar lipid dalam darah10

g. Obesitas
Kegemukan (obesitas) adalah persentase abnormalitas lemak yang dinyatakan dalam
indeks massa tubuh (body mass index) Berat badan dan indeks massa tubuh
berkorelasi dengan tekanan darah. Obesitas tidak menyebabkan hipertensi, namun
prevalensi hipertensi pada obesitas jauh lebih besar. Orang dengan obesitas memiliki
risiko 5 kali lipat lebihbesar untuk menderita hipertensi dibandingkan dengan orang

11
dengan berat badan yang normal. .Obesitas erat kaitannya dengan kegemaran
mengkonsumsi makanan yang mengandung tinggi lemak. Obesitas meningkatkan
risiko terjadinya hipertensi karena beberapa sebab. Makin besar massa tubuh, makin
banyak darah yang dibutuhkan untuk memasok oksigen dan makanan ke jaringan
tubuh. Ini berarti volume darah yang beredar melalui pembuluh darah menjadi
meningkat sehingga memberi tekanan lebih besar pada dinding arteri. Kelebihan
berat badan juga meningkatkan frekuensi denyut jantung dan kadar insulin dalam
darah. Peningkatan insulin menyebabkan tubuh menahan natrium dan air.10
2.5 Patofisiologi

Gambar 2. Patofisiologi hipertensi1

Tekanan yang dibutuhkan untuk mengalirkan darah melalui sistem sirkulasi dilakukan
oleh aksi memompa dari jantung (cardiac output/CO) dan resistensi vaskular (peripheral
vascular resistance). Fungsi kerja masing-masing penentu tekanan darah ini dipengaruhi oleh
interaksi dari berbagai faktor yang kompleks. Hipertensi sesungguhnya merupakan
abnormalitas dari faktor-faktor tersebut, yang ditandai dengan peningkatan curah jantung
dan / atau ketahanan periferal.11
Cardiac output berhubungan dengan hipertensi, peningkatan cardiac output secara logis
timbul dari dua jalur, yaitu baik melalui peningkatan cairan (preload) atau peningkatan
kontraktilitas dari efek stimulasi saraf simpatis. Tetapi tubuh dapat mengkompensasi agar
cardiac output tidak meningkat yaitu dengan cara meningkatkan resistensi perifer. 11
Selain itu konsumsi natrium berlebih dapat menyebabkan hipertensi karena peningkatan
volume cairan dalam pembuluh darah dan preload, sehingga meningkatkan cardiac output.11

Gambar 3. Peran natrium dan kalium dalam patofisiologi hipertensi 12

2.6 Diagnosis

12
Evaluasi pasien hipertensi mempunyai tiga tujuan:

1. Mengidentifikasi penyebab hipertensi.


2. Menilai adanya kerusakan organ target dan penyakit kardiovaskuler, beratnya penyakit,
serta respon terhadap pengobatan.
3. Mengidentifikasi adanya faktor risiko kardiovaskuler yang lain atau penyakit penyerta,
yang ikut menentukan prognosis dan ikut menentukan panduan pengobatan.13

Data yang diperlukan untuk evaluasi tersebut diperoleh dengan cara anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan penunjang. Peninggian
tekanan darah kadang sering merupakan satu-satunya tanda klinis hipertensi sehingga
diperlukan pengukuran tekanan darah yang akurat. Berbagai faktor yang mempengaruhi hasil
pengukuran seperti faktor pasien, faktor alat dan tempat pengukuran.10

2.6.1 Anamnesis
Anamnesis yang dilakukan meliputi tingkat hipertensi dan lama menderitanya,
riwayat dan gejala-gejala penyakit yang berkaitan seperti penyakit jantung koroner,
penyakit serebrovaskuler dan lainnya. Apakah terdapat riwayat penyakit dalam keluarga,
gejala yang berkaitan dengan penyakit hipertensi, perubahan aktifitas atau kebiasaan
(seperti merokok, konsumsi makanan, riwayat dan faktor psikososial lingkungan
keluarga, pekerjaan, dan lain-lain). Dalam pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran
tekanan darah dua kali atau lebih dengan jarak dua menit, kemudian diperiksa ulang di
kontrolateralnya.10

2.6.2 Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan fisik harus diperhatikan bentuk tubuh, termasuk berat dan
tinggi badan. Pada pemeriksaan awal, tekanan darah diukur pada kedua lengan, dan
dianjurkan pada posisi terlentang, duduk, dan berdiri sehingga dapat mengevaluasi
hipotensi postural. Pasien yang berusia kurang dari 30 tahun sebaiknya juga diukur
tekanan arterinya di ekstremitas bawah, setidaknya satu kali. Laju nadi juga dicatat.6
Palpasi leher dilakukan untuk meraba pembesaran tiroid dan penilaian terhadap
tanda hipo- atau hipertiroid serta memeriksa adanya distensi vena. Pemeriksaan pembuluh
darah dapat menggambarkan penyakit pembuluh darah dan sebaiknya mencakup
funduskopi, auskultasi untuk mencari bruit pada arteri karotis dan arteri femoralis serta
palpasi pada pulsasi femoralis dan kaki. Retina merupakan jaringan yang arteri dan
arteriolnya dapat diperiksa secara langsung. Seiring dengan peningkatan derajat beratnya
hipertensi dan penyakit aterosklerosis, terjadi perubahan progresif pada pemeriksaan

13
funduskopi, yaitu adanya peningkatan refleks cahaya arteriol, defek pertukaran
arteriovenosus, hemoragik, eksudat, dann pada pasien dengan hipertensi maligna dapat
ditemukan papiledema. 6
Pemeriksaan pada jantung dapat menunjukkan abnormalitas dari laju dan ritme
jantung, peningkatan ukuran, heave perikordial, murmur serta bunyi jantung ketiga dan
keempat. Pembesaran jantung kiri dapat dideteksi dengan iktus kordis yang membesar
dan bergeser ke lateral. Pemeriksaan paru dapat ditemukan rhonki basah halus dan tanda
bronkospasme.Pemeriksaan abdomen untuk menemukan adanya bruit renal atau
abdominal, pembesaran ginjal atau adanya pulsasi aorta yang abnormal. Bruit abdomen,
khususnya bruit yang lateralisasi dan melebar sepanjang sistol ke diastol, meningkatkan
kemungkinan adanya hipertensi renovaskular. Dilakukan juga pemeriksaan pada
ekstremitas untuk mengevaluasi edema atau hilangnya pulsasi arteri perifer. Pemeriksaan
fisik sebaiknya termasuk pemeriksaan saraf.6,14

Cara pemeriksaan tekanan darah10

a) Pengukuran tekanan darah yang umum dilakukan menggunakan alat tensi meter yang
dipasang/dihubungkan pada lengan pasien dalam keadaan duduk bersandar, berdiri
atau tiduran. Penurunan lengan dari posisi hampir mendatar (setinggi jantung) ke
posisi hampir vertikal dapat menghasilkan kenaikan pembacaan dari kedua tekanan
darah sistolik dan diastolik.
b) Untuk mencegah penyimpangan bacaan sebaiknya pemeriksaan tekanan darah dapat
dilakukan setelah orang yang akan diperiksa beristirahat selama 5 menit. Bila perlu
dapat dilakukan dua kali pengukuran dengan selang waktu 5 sampai 20 menit pada
sisi kanan dan kiri. Ukuran manset dapat mempengaruhi hasil.
c) Sebaiknya lebar manset 2/3 kali panjang lengan atas. Manset sedikitnya harus dapat
melingkari 2/3 1engan dan bagian bawahnya harus 2 cm di atas daerah lipatan lengan
atas untuk mencegah kontak dengan stetoskop.
d) Balon dipompa sampai di atas tekanan sistolik, kemudian dibuka perlahan-lahan
dengan kecepatan 2-3 mmHg per denyut jantung. Tekanan sistolik dicatat pada saat
terdengar bunyi yang pertama (Korotkoff I), sedangkan tekanan diastolik dicatat pada
bunyi yang kelima (Korotkoff V).

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang sebagai evaluasi inisial pada penderita hipertensi meliputi
pengurukan funsi ginjal, elektrolit serum, glukosa puasa, dan lemak dapat diulang
kembali setelah pemberian agen antihipertensi dan selanjutnya sesuai dengan indikasi

14
klinis. Pemeriksaan laboratorium ekstensif diperlukan pada pasien dengan hipertensi yang
resisten terhadap obat dan ketiga evaluasi klinis mengarah pada bentuk kedua dari
hipertensi. 6,14

Sistem Pemeriksaan
Ginjal Urinanalisis mikroskopik, eksresi albumin, serum
BUN dan/atau kreatinin
Endokrin Serum natrium, kalium, kalsium, dan TSH
Metabolik Glukosa puasa atau HbA1c, profil lipid (kolesterol
total, HDL dan LDL, trigliserida)
Lainnya Darah lengkap, rontgen dan elektrokardiogram

Tabel 3. Pemeriksaan Penunjang sebagai evaluasi awal 6,14

2.7 Tatalaksana
2.7.1 Tatalaksana Farmakologis
Terdapat beberapa rekomendasi menurut JNC VIII untuk menangani hipertensi,
beberapa rekomendasi tersebut antara lain:
 Rekomendasi 1: Pada populasi umum, terapi farmakologik mulai diberikan jika
tekanan darah sistolik ≥150 mmHg atau jika tekanan darah diastolik ≥90 mmHg pada
kelompok usia ≥60 tahun dengan target terapi adalah tekanan darah sistolik <150
mmHg dan tekanan darah diastolik <90 mmHg.
 Rekomendasi 2: Pada kelompok usia < 60 tahun, terapi farmakologik mulai diberikan
jika tekanan darah diastolik ≥90 mmHg dengan target terapi adalah tekanan darah
diastolik <90 mmHg (untuk kelompok usia 30-59 tahun).
 Rekomendasi 3: Pada kelompok usia <60 tahun, terapi farmakologik mulai diberikan
jika tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dengan target terapi adalah tekanan darah
sistolik <140 mmHg.
 Rekomendasi 4: Pada kelompok usia ≥18 tahun dengan gagal ginjal kronis terapi
farmakologik mulai diberikan jika tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau tekanan
darah diastolik ≥90 mmHg dengan target terapi adalah tekanan darah sistolik <140
mmHg dan tekanan darah diastolic <90 mmHg.
 Rekomendasi 5: Pada kelompok usia ≥18 tahun dengan diabetes melitus terapi
farmakologik mulai diberikan jika tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau tekanan
darah diastolik ≥90 mmHg dengan target terapi adalah tekanan darah sistolik <140
mmHg dan tekanan darah diastolic <90 mmHg.

15
 Rekomendasi 6: Pada populasi bukan kulit hitam, termasuk penderita diabetes
melitus, terapi inisial dapat menggunakan diuretik-thiazide, penghambat kanal
kalsium, angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACEI) atau angiotensin receptor
blocker (ARB).
 Rekomendasi 7: Pada populasi kulit hitam, termasuk penderita diabetes melitus terapi
inisial dapat menggunakan diuretik-thiazide atau penghambat kanal kalsium.
 Rekomendasi 8: Pada kelompok usia ≥18 tahun dengan gagal ginjal kronis terapi
antihipertensi harus menggunakan ACEI atau ARB untuk memperbaiki outcome pada
ginjal. (Terapi ini berlaku untuk semua pasien gagal ginjal kronis dengan hipertensi
tanpa memandang ras ataupun penderita diabetes melitus atau bukan.)
 Rekomendasi 9: Tujuan utama dari penanganan hipertensi adalah untuk mencapai dan
mempertahankan tekanan darah yang ditargetkan. Apabila target tekanan darah tidak
tercapai setelah 1 bulan pengobatan maka dosis obat harus ditingkatkan atau
ditambahkan dengan obat lainnya dari golongan yang sama (golongan diuretic-
thiazide, CCB, ACEI, atau ARB). Jika target tekanan darah masih belum dapat
tercapai setelah menggunakan 2 macam obat maka dapat ditambahkan obat ketiga
(tidak boleh menggunakan kombinasi ACEI dan ARB bersamaan). Apabila target
tekanan darah belum tercapai setelah menggunakan obat yang berasal dari
rekomendasi 6 karena ada kontraindikasi atau diperlukan >3 jenis obat untuk
mencapai target tekanan darah maka terapi antihipertensi dari golongan yang lain
dapat digunakan.3

16
Gambar
4.
Algoritma
tatalaksana hipertensi pada dewasa3

Untuk terapi farmakologis, berikut adalah beberapa jenis obat serta dosisnya yang
dapat digunakan.

17
Tabel 4. Obat anti hipertensi beserta dosisnya3

Tabel 5. Strategi penggunaan obat anti hipertensi3

Tabel 4. Obat-obat Anti Hipertensi yang Dianjurkan JNC 8

18
Dalam JNC 8 beta blocker tidak lagi digunakan dan direkomendasikan 4 kelas obat
tertentu berdasarkan penelaahan bukti untuk subkelompok ras, gagal ginjal kronis, dan
diabetes dimana panelis membuat tabel obat dan dosis yang digunakan berdasarkan hasil uji
coba. Berdasarkan rekomendasi di atas baik JNC 7 maupun JNC 8 tidak dikenal penggunaan
reserpine sebagai obat anti hipertensi sehingga reserpine sebaiknya tidak lagi digunakan
dalam tata laksana hipertensi.2,3,4
Pada kasus krisis hipertensi yaitu tekanan darah lebih dari 180/110 mmHg perlu
dibedakan antara hipertensi urgency (tanpa kerusakan organ tubuh) dan hipertensi emergency
(dengan kerusakan organ tubuh). Hipertensi urgency dapat diobati secara rawat jalan dengan
terapi anti hipertensi oral, dianjurkan untuk menurunkan tekanan darah secara perlahan dalam
24 - 48 jam. Obat yang dianjurkan adalah captopril 50 mg sublingual atau oral. Pemberian
nifedipine sublingual atau oral tidak lagi direkomendasikan untuk hipertensi urgency karena
dapat menyebabkan hipotensi berat dan iskemia organ.
Hipertensi emergency memerlukan penanganan cepat, termasuk perawatan ICU.
Pemeriksaan tekanan darah harus diperiksa di kedua lengan menggunakan teknik
pemeriksaan yang benar. Pemeriksaan fisik dilakukan dengan tujuan mencari adanya

19
kerusakan organ target, sedangkan pemeriksaan laboratorium harus mencakup kimia klinik,
urinalisis, darah lengkap, dan toksikologi. Terapi dengan obat anti hipertensi secara intravena
sangat disarankan dalam kondisi ini. Pemilihan obat harus didasarkan karakteristik obat yang
spesifik (efek samping). Penurunan tekanan darah harus terkontrol untuk menghindari
hipoperfusi organ dan iskemia atau infark. Obat-obatan yang biasa dipakai adalah labetalol,
esmolol, nitrogliceryn, sodium nitroprusside, clevidipine, trimetaphan, dan pentholamine

2.7.2 Tatalaksana Non Farmakologis


Pendekatan nonfarmakologis merupakan penanganan awal sebelum penambahan
obat-obatan hipertensi, disamping perlu diperhatikan oleh seorang yang sedang dalam
terapi obat. Sedangkan pasien hipertensi yang terkontrol, pendekatan nonfarmakologis ini
dapat membantu pengurangan dosis obat pada sebagian penderita. Oleh karena itu,
modifikasi gaya hidup merupakan hal yang penting diperhatikan, karena berperan dalam
keberhasilan penanganan hipertensi. Pendekatan nonfarmakologis dibedakan menjadi
beberapa hal:

I. Menurunkan faktor risiko yang menyebabkan aterosklerosis.


Berhenti merokok penting untuk mengurangi efek jangka panjang hipertensi
karena asap rokok diketahui menurunkan aliran darah ke berbagai organ dan dapat
meningkatkan beban kerja jantung. Selain itu pengurangan makanan berlemak dapat
menurunkan risiko aterosklerosis.
Penderita hipertensi dianjurkan untuk berhenti merokok dan mengurangi asupan
alkohol. Berdasarkan hasil penelitian eksperimental, sampai pengurangan sekitar 10
kg berat badan berhubungan langsung dengan penurunan tekanan darah rata-rata 2-3
mmHg per kg berat badan.15

II. Olahraga dan aktifitas fisik


Selain untuk menjaga berat badan tetap normal, olahraga dan aktifitas fisik
teratur bermanfaat untuk mengatur tekanan darah, dan menjaga kebugaran tubuh.
Olahraga seperti jogging, berenang baik dilakukan untuk penderita hipertensi.
Dianjurkan untuk olahraga teratur, minimal 3 kali seminggu, dengan demikian dapat
menurunkan tekanan darah walaupun berat badan belum tentu turun. Melakukan
aktivitas secara teratur (aktivitas fisik aerobik selama 30-45 menit/hari) diketahui
sangat efektif dalam mengurangi risiko relatif hipertensi hingga mencapai 19%

20
hingga 30%. Begitu juga halnya dengan kebugaran kardio respirasi rendah pada usia
paruh baya diduga meningkatkan risiko hipertensi sebesar 50%.
Olahraga yang teratur dibuktikan dapat menurunkan tekanan perifer sehingga
dapat menurunkan tekanan darah. Olahraga dapat menimbulkan perasaan santai dan
mengurangi berat badan sehingga dapat menurunkan tekanan darah. Yang perlu
diingat adalah bahwa olahraga saja tidak dapat digunakan sebagai pengobatan
hipertensi.1
III. Perubahan pola makan
a. Mengurangi asupan garam
Pada hipertensi derajat I, pengurangan asupan garam dan upaya penurunan berat
badan dapat digunakan sebagai langkah awal pengobatan hipertensi. Nasihat
pengurangan asupan garam harus memperhatikan kebiasaan makan pasien,
dengan memperhitungkan jenis makanan tertentu yang banyak mengandung
garam. Pembatasan asupan garam sampai 60 mmol per hari, berarti tidak
menambahkan garam pada waktu makan, memasak tanpa garam, menghindari
makanan yang sudah diasinkan, dan menggunakan mentega yang bebas garam.
Cara tersebut diatas akan sulit dilaksanakan karena akan mengurangi asupan
garam secara ketat dan akan mengurangi kebiasaan makan pasien secara drastis.16
b. Diet rendah lemak jenuh
Lemak dalam diet meningkatkan risiko terjadinya aterosklerosis yang berkaitan
dengan kenaikan tekanan darah. Penurunan konsumsi lemak jenuh, terutama
lemak dalam makanan yang bersumber dari hewan dan peningkatan konsumsi
lemak tidak jenuh secukupnya yang berasal dari minyak sayuran, biji-bijian dan
makanan lain yang bersumber dari tanaman dapat menurunkan tekanan darah.16
c. Memperbanyak konsumsi sayuran, buah-buahan dan susu rendah lemak.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa beberapa mineral bermanfaat mengatasi
hipertensi. Kalium dibuktikan erat kaitannya dengan penurunan tekanan darah
arteri dan mengurangi risiko terjadinya stroke. Selain itu, mengkonsumsi kalsium
dan magnesium bermanfaat dalam penurunan tekanan darah. Banyak konsumsi
sayur-sayuran dan buah-buahan mengandung banyak mineral, seperti seledri, kol,
jamur (banyak mengandung kalium), kacang-kacangan (banyak mengandung
magnesium). Sedangkan susu dan produk susu mengandung banyak kalsium.16

IV. Menghilangkan stress

21
Stres menjadi masalah bila tuntutan dari lingkungan hampir atau bahkan sudah
melebihi kemampuan kita untuk mengatasinya. Cara untuk menghilangkan stres
yaitu perubahan pola hidup dengan membuat perubahan dalam kehidupan rutin
sehari-hari dapat meringankan beban stres.13
2.8 Komplikasi
I. Jantung
Penyakit jantung merupakan penyebab yang tersering menyebabkan kematian pada
pasien hipertensi. Penyakit jantung hipertensi merupakan hasil dari perubahan struktur
dan fungsi yang menyebabkan pembesaran jantung kiri disfungsi diastolik, dan gagal
jantung.6
II. Otak
Hipertensi merupakan faktor risiko yang penting terhadap infark dan hemoragik otak.
Sekitar 85 % dari stroke karena infark dan sisanya karena hemoragik. Insiden dari
stroke meningkat secara progresif seiring dengan peningkatan tekanan darah,
khususnya pada usia > 65 tahun. Pengobatan pada hipertensi menurunkan insiden
baik stroke iskemik ataupun stroke hemorgik.6
III. Ginjal
Hipertensi kronik menyebabkan nefrosklerosis, penyebab yang sering terjadi pada
renal insufficiency. Pasien dengan hipertensif nefropati, tekanan darah harus 130/80
mmHg atau lebih rendah, khususnya ketika ada proteinuria.6

2.9 Pencegahan
Pencegahan dan kontrol dari hipertensi membutuhkan dukungan politik sebagai peran
dari pemerintah dan para pembuat kebijakan. Petugas kesehatan, komunitas peneliti
akademis, lembaga masyarakat, sektor privat, serta keluarga dan penderita hipertensi sendiri
semuanya ikut berperan.

BAB III
KESIMPULAN

Hipertensi merupakan penyakit yang sangat umum ditemui dan dikenal sebagai penyakit
kardiovaskular dimana penderita memiliki tekanan darah diatas normal. Faktor risiko untuk

22
terjadinya hipertensi dapat dibagi menjadi 2 yaitu faktor yang dapat dimodifikasi dan faktor
yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor yang tidak dapat dimodifikasi antara lain usia, jenis
kelamin, riwayat keluarga, dan faktor genetik. Sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi
tergantung dari gaya hidup pasien.
Sasaran pengobatan hipertensi untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas
kardiovaskuler dan ginjal. Berdasarkan JNC VIII target tekanan darah adalah kurang dari
140/90 mmHg untuk kelompok usia >40 tahun dan kurang dari 150/90 mmHg untuk
kelompok usia >60 tahun. Terapi untuk hipertensi dapat dibagi menjadi 2 yaitu terapi
farmakologis dan terapi non farmakologis. Terapi non farmakologis antara lain mengurangi
asupan garam, olah raga, menghentikan rokok dan mengurangi berat badan, dapat dimulai
sebelum atau bersama-sama dengan obat farmakologi. Untuk terapi farmakologi beberapa
golongan obat yang dapat dipakai antara lain ACE inhibitor, angiotensin receptor blocker,
beta blocker, penghambat kanal kalsium, dan diuretik tipe thiazide. Penggunaan obat
antihipertensi dapat dikombinasikan ataupun dengan menaikkan dosis obat secara bertahap
sampai mencapai target tekanan darah.
Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko utama penyebab gagal jantung, gagal ginjal
serta penyakit serebrovaskular.

DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization (WHO). A Global Brief on Hypertension: Silent Killer,


Global Public Health Crisis [Internet]. 2013 [diakses pada 15 November 2015]. Tersedia
dari: http://chronicconditions.thehealthwell.info/search-results/global-brief-
hypertension-silent-killer-global-public-health-crisis?source=relatedblock
2. Krishnan A, Garg R, Kahandaliyanage A. Hypertension in the South-East Asia Region:
an overview. Regional Health Forum. 2013; 17(1): 7-14.

23
3. James PA, Oparil S, Carter BL et al. 2014 Evidence-Based Guideline for the
Management of High Blood Pressure in Adults Report From the Panel Members
Appointed to the Eighth Joint National Committee (JNC 8). JAMA: 2013.
4. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, Cushman WC, Green LA, Izzo JL, et al. Seventh
Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and
Treatment of High Blood Pressure. Hypertension. 2003; 42: 1206–52.
5. Cowley AW Jr. The genetic dissection of essential hypertension. Nat Rev Genet. 2006
Nov; 7(11):829–40. [PMID: 17033627].
6. Kasper, Braunwald, Fauci, et al. Harrison’s principles of internal medicine 17th edition.
New York: McGrawHill: 2008.
7. Setiawan, Zamhir. Karakteristik sosiodemografi sebagai faktor resiko hipertensi studi
ekologi di pulau Jawa tahun 2004 [Tesis].Jakarta: Program Studi Epidemiologi Program
Pasca Sarjana FKM-UI; 2006.

8. Hasurungan, JA.Faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi pada lansia di Kota


Depok tahun 2002 [Tesis]. Jakarta:Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia; 2002.
9. Thomas M. Habermann, , Amit K. Ghosh. Mayo Clinic Internal Medicine Concise
Textbook. 1st edition. Canada: Mayo Foundation for Medical Education and Research:
2008.
10. Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular Departemen Kesehatan RI. Pedoman
Teknis Penemuan dan Tatalaksana Penyakit Hipertensi. 2006.
11. Norman M. Kaplan. Kaplan's Clinical Hypertension 9th edition. Philadelphia, USA:
Lippincott Williams & Wilkins: 2006.
12. Horacio J, Nicolaos E. Sodium and Potassium in the Pathogenesis of Hypertension. N
Engl J Med 2007; 356: 1966-78.
13. Rahajeng E, Tuminah S. Prevalensi Hipertensi dan Determinannya di Indonesia.
Majalah Kedokteran Indonesia: 2009; 59 (12): 580-7.
14. Kenning I, Kerandi H, Luehr D, Margolis K, O’Connor P, Pereira C, Schlichte A,
Woolley T. Institute for Clinical Systems Improvement. Hypertension Diagnosis and
Treatment. Updated November 2014.
15. Basuki B, Setianto B. Age, body posture, daily working load – past antihypertensive
drugs and risk of hypertension: a rural Indonesia study. Med J Indon. 2001; 10(1): 29-33.
16. Kaplan NM. Clinical hypertension. 8th ed. Lippincott: Williams & Wilkins; 2002.

24

You might also like