Professional Documents
Culture Documents
Dosen
Dr. Mukti Fajar
Disusun Oleh:
1261002 REGULAR 61 A
2013
Bab I
PENDAHULUAN
Sengketa merek antara PT. Avia Avian selaku pemegang merek Avitex dengan PT.
Indaco Coating Industry sebagai pemegang merek Envitex tidak terlepas dari semakin
menggiurkannya bisnis cat di Indonesia. Menurut lembaga riset Frost dan Sullivan besarnya
nilai industri cat di Indonesia pada tahun 2009 diperkirakan mencapai US$992 juta dengan
volume 637.750 metrik ton. Kemudian, di tahun 2010 mencapai US$1.1 Milyar dengan
volume mencapai 688.770 metrik ton. Pada tahun 2011 nilai industri cat telah mencapai
US$1.197 Milyar dengan volume 748.004 metrik ton. Dari data tersebut. Dapat diketahui
bisnis cat di Indonesia diperkirakan selalu tumbuh sebesar 8-10% per tahun bersamaan
dengan semakin tumbuh-suburnya bisnis properti di Indonesia.
Besarnya nilai industri cat tersebut membuat para produsen cat bersaing untuk
menikmati irisan kue industri cat sebesar-besarnya. Salah satu akibat adanya persaingan
dalam industri cat tersebut dapat tergambar dengan adanya sengketa merek antara merek
Avitex dengan Envitex yang terjadi pada Januari 2012 di Pengadilan Niaga di Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat. PT. Avia Avian sebagai pemilik merek Avitex menggugat Iwan
Andranacus, Direktur Utama PT Indaco Coating Industry sebagai pemegang merek Envitex.
Dibawah ini akan dijelaskan mengenai gambaran singkat produsen cat yang bersengketa
tersebut sebagai berikut:
PT. Avia Avian didirikan oleh Tan Tek Swie alias Soetikno Tanoko pada November
1978 yang merupakan satu-satunya produsen cat yang menerapkan sistem terintegrasi dalam
setiap tahap produksinya dan salah satu produsen cat terkemuka di Indonesia. PT. Avia
Avian memproduksi sejumlah merek cat yang dikenal luas, seperti Cat Kayu & Besi Avian
(cat berkualitas dari masa ke masa), Cat Tembok Avitex, Cat Tembok Aries (cat paling
ekonomis di Indonesia), serta Cat No Drop (cat pelapis anti bocor) serta produk cat tembok
premium Sunguard, Supersilk, dan No Odor yang menggunakan teknologi dari Lenkote
Paint Australia.
Visi PT. Avia Avian adalah menjadi pemimpin pasar di industri cat yang dicintai semua
orang. Visi ini didukung dengan misi PT. Avia Avian, yaitu dengan selalu meningkatkan
kualitas layanan dan inovasi yang berbasis kepada kepuasan pelanggan. Komitmen PT. Avia
Avian telah dibuktikan dengan beraneka ragam penghargaan yang telah kami raih selama ini,
diantaranya: Superbrands (periode 2010 - 2012) dan Top Brands (periode 2005 - 2012).
Saat ini PT. Avia Avian memiliki tiga pabrik cat di Sidoarjo, Serang, dan Medan
dengan kapasitas total produksi sebesar 150.000.000 kg per tahun. PT. Avia Avian memiliki
berbagai merk kuat yang didukung oleh pengembangan jaringan distribusi melalui lebih 55
kantor cabang dan distributor yang tersebar di seluruh Indonesia. Dengan strategi marketing
yang cerdas dan jitu, setiap tahun PT. Avia Avian selalu mendapatkan pertumbuhan market
share di industri cat di Indonesia.
PT Indaco berdiri pada awalnya di Jakarta kemudian berpindah ke Solo pada tahun
2005 dan mampu memproduksi lebih dari 1000 metrik ton cat per bulan. PT Indaco berawal
pada bisnis di bidang otomotif dan cat sintetik alkid serta cat anti-karat untuk industri logam
berat. Dalam perkembangan selanjutnya, PT Indaco mencoba berproduksi cat dekoratif
berbahan dasar air yang sedang populer di Indonesia. Saat ini PT Indaco hanya berfokus
pada usaha untuk mengembangkan cat dekoratif berbahan dasar air dan pelarut organik.
Produk yang dipasarkan oleh PT Indaco adalah cat dekoratif dengan merek Belazo dan
Envitex dan Cat Sintetik dengan merek Envilux. Sedangkan keunggulan yang ditawarkan
oleh PT Indaco atas produknya adalah penggunaan bahan-bahan yang ramah lingkungan dan
tidak menggunakan bahan yang mengandung logam berat serta menjaga mutu sesuai standar
internasional dengan sistem manajemen mutu yang konsisten, terarah, terpadu dan
berkesinambungan.
SENGKETA MEREK
Sengketa merek Avitex dan Envitex berawal karena kedua merek tersebut memiliki
persamaan suara yang membingungkan dan menyesatkan pembeli sehingga produsen cat
Avitex melayangkan gugatan terhadap cat merek Envitex. Avitex menilai Envitex
mendompleng reputasi Avitex yang telah terdaftar di Direktorat Hak dan Kekayaan
Intelektual (HKI) sejak 23 Februari 1984 dengan Sertifikat Merek No. Pendaftaran 1802777
atas nama Soetikno Tanoko untuk kelas barang 02 dengan uraian barang: cat-cat emulsi
(emulsion paint) yang diperpanjang beberapa kali dengan nomor pendaftaran terakhir
bernomor IDM 000257349 pada tanggal 5 Januari 2011. Avitex menganggap merek Envitex
memiliki itikad tidak baik dalam memasarkan produk cat mereka. Yaitu dengan cara
memasarkan merek Envitex yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan Avitex
tanpa mengeluarkan biaya, tenaga dan pikiran untuk membangun mereknya sendiri.
Di sisi lain, PT. Indaco selaku tergugat I mendaftarkan cat bermerek Envitex pada 4
Oktober 2007 dengan Sertifikat merek No. pendaftaran IDM 000120630 yang memiliki
persamaan merek dengan Avitex. Avitex selaku Penggugat meminta majelis hakim untuk
membatalkan merek Envitex yang terdaftar sejak tahun 1984 di Ditjen HKI. Selain Envitex,
Avitex juga menggugat Kementerian Hukum dan HAM cq Direktorat Jenderal Kekayaan
Intelektual cq Direktorat Merek.
Menurut penggugat, dengan adanya itikad tidak baik, tergugat telah melanggar UU No
15 Tahun 2001 tentang Merek terutama pasal 4 jo Pasal 68 ayat (1). Itikad tidak baik ini
didukung dengan beredarnya brosur di masyarakat yang membandingkan merek Envitex
dengan Avitex serta memberikan data perhitungan penggunaan cat tembok yang menyesatkan
masyarakat dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, penggugat juga menyebutkan
bahwa merek Envitex memiliki kesamaan suara dengan merek Avitex. Pengucapan kata
Envitex memiliki persamaan dengan pengucapan kata Avitex. Terutama tentang penyebutan
“vitex” sebagai unsur menonjol antara merek Avitex dan Envitex sehingga telah
mengaburkan, membingungkan, serta menyesatkan masyarakat pemakai.
Kemasan
saat ini
Keunggulan Daya tutup yang terbaik Daya sebar luas (lebih luas dibanding
Tidak mudah pudar dg Cat Tembok dg harga selevel)
Mudah diaplikasikan Dapat dicuci
Cepat kering Dilengkapi anti jamur
Tanpa merkuri dan timbal Dengan aroma segar (Tanpa bahan
Anti jamur dan lumut kimia yg berbahaya - tidak menganggu
Tahan lama janin)
ENVITEX Cat Tembok RAMAH
LINGKUNGAN, tanpa bahan kimia yg
berbahaya sama sekali, sehingga aman
bagi manusia dan lingkungan.
Kemasan 1 kg, 5 kg dan 25 kg 1 kg, 5 kg dan 25 kg
Pendaftaran Didaftarkan pertama kali apda tahun Setfikat Merek No. Pendaftaran IDM
Merek 1984 dan diperpanjang beberapa kali 000120630 tanggal 4 oktober 2007
untuk yang terakhir kali dengan untuk merek ENVITEX uraian warna:
nomor pendaftaran merek dengan hitam putih kelas barang 02 cat air
nomor IDM 000257349 tanggal 5 dan cat minyak, dempul, plamur,
Januari 2011 dengan uaraian warna thiner.
hijau, hijau muda, putih kelas barang
02 dengan uraian barang segala
macam jenis cat dan hasil-hasil cat.
Perbandinga
n Kemasan
dan Katalog
Bab II
PERMASALAHAN
Peraturan perundang-undangan di bidang HKI di Indonesia telah ada sejak tahun 1840
yang diperkenalkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Pada saat itu, Pemerintah Belanda
mengeluarkan UU Merek (1885), UU Paten (1910), dan UU Hak Cipta (1912). Indonesia
juga telah menjadi anggota Paris Convention for the Protection of Industrial Property sejak
tahun 1888 dan anggota Berne Convention for the Protection of Literary and Aristic Works
sejak tahun 1914.1
Pasca kemerdekaan, peraturan di atas ikut dirombak berdasarkan ketentuan peralihan
UUD 1945. Perubahan yang terjadi antara lain UU Hak Cipta dan UU peningggalan Belanda
tetap berlaku, namun tidak demikian halnya dengan UU Paten yang dianggap bertentangan
dengan pemerintah Indonesia. Pada tanggal 28 Agustus 1992 Pemerintah RI mengesahkan
UU No. 19 tahun 1992 tentang Merek (UU Merek 1992), yang mulai berlaku tanggal 1 April
1993. UU Merek 1992 menggantikan UU Merek 1961.
Setelah Indonesia bergabung ke dalam WTO, Indonesia memiliki kewajiban untuk
mematuhi segala bentuk perjanjian yang telah disepakati. Sebagai bentuk kepatuhan negara
anggota terhadap perjanjian TRIPS, Indonesia juga melakukan pembentukan regulasi dalam
Undang-Undangnya.Pada tanggal 15 April 1994 Pemerintah RI menandatangani Final Act
Embodying the Result of the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations, yang
mencakup Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (Persetujuan
TRIPS) melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994.
Selain itu, Indonesia juga meratifikasi Berne Convention for the Protection of
Artisticand Literary Works (Konvensi Berne tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra)
melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 dan World Intellectual Property
OrganizationCopyrights Treaty (Perjanjian Hak Cipta WIPO), selanjutnya disebut WCT,
melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997. Saat ini, Indonesia telah memiliki
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 yang disebut Undang-undang Hak Cipta.
1
Sejarah Trips di Indonesia. Dalam <http://www.dgip.go.id/tentang-kami/sekilas-sejarah>. Diakses tanggal 28
April 2013.
Walaupun perubahan itu telah memuat beberapa penyesuaian pasal yang sesuai
dengan TRIPs, namun masih terdapat beberapa hal yang perlu disempurnakan untuk memberi
perlindungan bagi karya-karya intelektual di bidang Hak Cipta, termasuk upaya untuk
memajukan perkembangan karya intelektual yang berasal dari keanekaragaman seni dan
budaya tersebut di atas. Dari beberapa konvensi di bidang Hak Kekayaan Intelektual yang
disebut di atas, masih terdapat beberapa ketentuan yang sudah sepatutnya dimanfaatkan.
Selain itu, pemerintah Indonesia perlu menegaskan dan memilah kedudukan Hak
Cipta di satu pihak dan Hak Terkait di lain pihak dalam rangka memberikan perlindungan
bagi karya intelektual yang bersangkutan secara lebih jelas. Hal ini penting karena kekayaan
seni dan budaya, serta pengembangan kemampuan intelektual masyarakat Indonesia
memerlukan perlindungan hukum yang memadai agar terdapat iklim persaingan usaha yang
sehat yang diperlukan dalam melaksanakan pembangunan nasional.
Hak Cipta
Hak Cipta terdiri atas hak ekonomi (economic rights) dan hak moral (moral rights).
Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan serta produk Hak
Terkait. Sedangkan hak moral adalah hak yang melekat pada diri Pencipta atau Pelaku yang
tidak dapat dihilangkan atau dihapus tanpa alasan apa pun, walaupun Hak Cipta atau Hak
Terkait telah dialihkan.
Perlindungan Hak Cipta tidak diberikan kepada ide atau gagasan karena karya cipta
harus memiliki bentuk yang khas, bersifat pribadi dan menunjukkan keaslian sebagai Ciptaan
yang lahir berdasarkan kemampuan, kreativitas, atau keahlian sehingga Ciptaan itu dapat
dilihat, dibaca, atau didengar. Undang-undang ini memuat beberapa ketentuan baru, antara
lain, mengenai:
1. Database merupakan salah satu Ciptaan yang dilindungi;
2. Penggunaan alat apa pun baik melalui kabel maupun tanpa kabel, termasuk media
internet, untuk pemutaran produk-produk cakram optik (optical disc) melalui media
audio, media audio visual dan/atau sarana telekomunikasi;
3. Penyelesaian sengketa oleh Pengadilan Niaga, arbitrase, atau alternatif penyelesaian
sengketa;
4. Penetapan sementara pengadilan untuk mencegah kerugian lebih besar bagi
Pemegang hak;
5. Batas waktu proses perkara perdata di bidang Hak Cipta dan Hak Terkait, baik di
Pengadilan Niaga maupun di Mahkamah Agung;
6. Pencantuman hak informasi manajemen elektronik dan sarana kontrol teknologi;
7. Pencantuman mekanisme pengawasan dan perlindungan terhadap produk-produk
yang menggunakan sarana produksi berteknologi tinggi;
8. Ancaman pidana atas pelanggaran Hak Terkait;
9. Ancaman pidana dan denda minimal;
10. Ancaman pidana terhadap perbanyakan penggunaan Program Komputer untuk
kepentingan komersial secara tidak sah dan melawan hukum.
UU mengenai Merek
Undang-undang mengenai hak cipta diatur pada Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta.
Beberapa UU yang membahas tentang Hak Cipta :
Pasal 6 ayat (1) Permohonan harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila merek tersebut:
Pasal 29
(1) Permohonan banding dapat diajukan terhadap penolakan Permohonan yang berkaitan
dengan alasan dan dasar pertimbangan mengenai hal-hal yang bersifat substantif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, atau Pasal 6.
(2) Permohonan banding diajukan secara tertulis oleh Pemohon atau Kuasanya kepada
Komisi Banding merek dengan tembusan yang disampaikan kepada Direktorat Jenderal
dengan dikenai biaya.
(3) Permohonan banding diajukan dengan menguraikan secara lengkap keberatan serta
alasan terhadap penolakan Permohonan sebagai hasil pemeriksaan substantif.
(4) Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus tidak merupakan perbaikan atau
penyempurnaan atas Permohonan yang ditolak.
Pasal 30
(1) Permohonan banding diajukan paling lama dalam waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak
tanggal surat pemberitahuan penolakan Permohonan.
(2) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat tanpa adanya
permohonan banding, penolakan Permohonan dianggap diterima oleh Pemohon.
(3) Dalam hal penolakan Permohonan telah dianggap diterima sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Direktorat Jenderal mencatat dan mengumumkan penolakan itu.
Pasal 31
(1) Keputusan Komisi Banding merek diberikan dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan
terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan banding.
(2) Dalam hal Komisi Banding merek mengabulkan permohonan banding, Direktorat
Jenderal melaksanakan pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, kecuali
terhadap Permohonan yang telah diumumkan dalam Berita Resmi Merek.
(3) Dalam hal Komisi Banding merek menolak permohonan banding, Pemohon atau
Kuasanya dapat mengajukan gugatan atas putusan penolakan permohonan banding
kepada Pengadilan Niaga dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal
diterimanya keputusan penolakan tersebut.
(4) Terhadap putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3), hanya
dapat diajukan kasasi.
Pasal 64
(1) Terhadap putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 hanya dapat
diajukan kasasi.
(2) Isi putusan badan peradilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) segera disampaikan oleh
panitera pengadilan yang bersangkutan kepada Direktorat Jenderal setelah tanggal putusan
diucapkan.
(3) Direktorat Jenderal melaksanakan penghapusan merek yang bersangkutan dari Daftar
Umum merek dan mengumumkannya dalam Berita Resmi merek apabila putusan badan
peradilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah diterima dan mempunyai kekuatan
hukum tetap.
Pasal 68
(1) Gugatan pembatalan pendaftaran merek dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan
berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, atau Pasal 6.
(2) Pemilik merek yang tidak terdaftar dapat mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) setelah mengajukan Permohonan kepada Direktorat Jenderal.
(3) Gugatan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Pengadilan
Niaga.
(4) Dalam hal penggugat atau tergugat bertempat tinggal di luar wilayah Negara Republik
Indonesia, gugatan diajukan kepada Pengadilan Niaga di Jakarta.
Pasal 76
(1) Pemilik merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa
hak menggunakan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya
untuk barang atau jasa yang sejenis berupa:
(2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Pengadilan Niaga.
Pasal 77
Gugatan atas pelanggaran merek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 dapat diajukan oleh
penerima Lisensi Merek terdaftar baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan pemilik
merek yang bersangkutan.
Pasal 78
(1) Selama masih dalam pemeriksaan dan untuk mencegah kerugian yang lebih besar, atas
permohonan pemilik merek atau penerima Lisensi selaku penggugat, hakim dapat
memerintahkan tergugat untuk menghentikan produksi, peredaran dan/atau perdagangan
barang atau jasa yang menggunakan merek tersebut secara tanpa hak.
(2) Dalam hal tergugat dituntut juga menyerahkan barang yang menggunakan merek secara
tanpa hak, hakim dapat memerintahkan bahwa penyerahan barang atau nilai barang tersebut
dilaksanakan setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Merek adalah suatu tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka,
susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda
dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa. (Pasal 1 ayat [1] UU
Merek)
Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada
pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis
yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00. (Pasal
91 UU Merek )
Secara yuridis, kriteria merek terkenal diatur dalam pasal 6 ayat (1) huruf b, yaitu :
(1) Permohonan harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila merek tersebut:
pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan jasa sejenis
Pemakaian Merek berfungsi untuk :
1. Tanda pengenal untuk membedakan hasil produksi yang dihasilkan seseorang
atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum dengan produksi orang
lain atau badan hukum lainnya;
2. Sebagai alat promosi, sehingga mempromosikan hasil produksinya cukup dengan
menyebut mereknya;
3. Sebagai jaminan atas mutu barangnya;
4. Menunjukan asal barang/jasa dihasilkan.
PEMBAHASAN
Dalam kasus gugatan merek cat AVITEX dan ENVITEX, dapat dilihat bahwa AVITEX
menklaim bahwa ENVITEX dengan dilandasi itikad tidak baik (bad faith) membonceng
reputasi merek AVITEX guna memperoleh keuntungan yang lebih besar secara pribadi
dengan cara memasarkan merek ENVITEX yang nota bene mempunyai persamaan pada
pokoknya dengan merek AVITEX seperti:
Pendaftaran pada 2005 merek Envitex tidak untuk meniru merek Avitex.
Envitex merupakan singkatan dari ‘Enviromentaly Friendly Latex Paint’ yaitu pro
pada kesehatan masyarakat karena ramah lingkungan dan mempunyai segment harga
yang lebih mahal
Akhiran “tex” merupakan hal yang sangat umum digunakan pada nama produk cat di
Indonesia. Sehingga, adalah hal yang tidak relevan jika alasan ini dijadikan poin
gugatan
Dasar Hukum
Gugatan yang diajukan oleh AVITEX (Penggugat) kepada ENVITEX (Tergugat I) dan
Direktorat Jenderal Merek (Tergugat II) merujuk pada UU No.15 Tahun 2001 tentang merek
yang berhubungan dengan pasal-pasal diantaranya:
1. Pasal 3
Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada pemilik Merek
yang lain untuk menggunakanya
Dalam hal ini pihak AVITEX merasa bahwa hak-hak eksklusif yang dimiliki telah
ditunggangi oleh pihak ENVITEX dengan membuat produk cat yang menyerupai.
2. Pasal 4
Merek tidak dapat didaftar atas dasar Permohonan yang diajukan oleh Pemohon yang
beritikad tidak baik.
3. Pasal 5
Merek tidak dapat didaftar apabila Merek tersebut mengandung salah satu unsur di bawah
ini:
Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa produk cat ENVITEX dengan berbagai
kemiripanya dengan AVITEX akan menimbulkan kesan adanya persamaan baik bentuk
maupun persamaan bunyi.
Menaggapi gugatan yang diajukan oleh AVITEX maka, pihak ENVITEX pun mengajukan
eksepsi antara lain:
2. Bahwa dengan dimasukkannya Bukti P-27 pada gugatan, yaitu Pendaftaran Ciptaan No.
015391 untuk seni lukis kemasan kaleng cat AVITEX sebagai salah satu dasar dalam
suatu perkara merek bukan hanya tidak relevan, namun jelas menunjukkan bahwa
Penggugat kebingungan dan tidak jelas dalam mengajukan gugatannya
Kemudian, Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akhirnya telah
menjatuhkan putusan, yaitu putusan No. 103/Merek/2011/PN. Niaga. Jkt. Pst., tanggal 24
April 2012 yaitu menolak eksepsi pihak ENVITEX, dalam pokok perkara :