You are on page 1of 29

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat sering kali mendefinisikan kesehatan dan kebugaran fisik
mereka berdasarkan aktivitas mereka karena kesejahteraan mental dan
efektivitas fungsi tubuh sangat bergantung pada status mobilitas mereka.
Misalnya, saat seseorang berdiri tegak, paru lebih muda untuk mengembang,
aktivitas usus (peristaltik) menjadi lebih efektif, dan ginjal mampu
mengosongkan kemih secara komplet. Selain itu, pergerakan sangat penting
agar tulang dan otot befungsi sebagaimana mestinya.
Mobilitas, kemampuan untuk bergerak dengan bebas, mudah , berirama,
dan terarah di lingkungan adalah bagian yang sangat penting dalam kehidupan.
Individu harus bergerak untuk melindungi diri dari trauma dan untuk
memenuhi kebutuhan dasar mereka. Mobilitas amat penting bagi kemandirian
individu yang tidak mampu bergerak secara total sama rentan dan
bergantungnya dengan seorang bayi.
Kemampuan untuk bergerak juga mempengaruhi harga diri dan citra
tubuh. Bagi sebagian besar orang, harga diri bergantung pada rasa kemandirian
atau perasaan berguna atau merasa dibutuhkan. Orang yang mengalami
gangguan mobilitas dapat merasa tidak berdaya dan membebani orang lain.
Citra tubuh dapat terganggu akibat paralisis, amputasi, atau kerusakan motorik
lain. Reaksi orang lain terhadap gangguan mobilitas dapat juga mengubah atau
mengganggu harga diri dan citra tubuh secara bermakna. Ambulais adalah
salah satu cara untuk mencegah terjadinya gangguan mobilitas karena dengan
ambulasi dapat memperbaiki sirkulasi, mencegah flebotrombosis (thrombosis
vena profunda/DVT). Mengurangi komplikasi immobilisasi pasca operasi,
mempercepat pemulihan peristaltic usus, mempercepat pasien pasca operasi.
(kozier, 2010).
2

B. Rumusan Masalah
1. Apa konsep dasar ambulasi?
2. Apa saja tindakan-tindakan ambulasi?
3. Apa alat-alat yang digunakan dalam pelaksanaan ambulasi?
4. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi ambulasi?
5. Apa konsep dasar mobilisasi dan imobilisasi?
6. Bagaimana etiologi imobilisasi?
7. Bagaimana patofisiologi imobilisasi?
8. Bagaimana tanda dan gejala imobilisasi?
9. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi mobilisasi?
10. Bagaimana askep dan dokumentasi gangguan pemenuhan kebutuhan
ambulasi dan mobilisasi?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk memahami konsep dasar ambulasi
2. Untuk memahami tindakan-tindakan ambulasi
3. Untuk memahami alat-alat yang digunakan dalam pelaksanaan ambulasi
4. Untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi ambulasi
5. Untuk memahami konsep dasar mobilisasi dan imobilisasi
6. Untuk memahami etiologi imobilisasi
7. Untuk memahami patofisiologi imobilisasi
8. Untuk memahami tanda dan gejala imobilisasi
9. Untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi mobilisasi
10. Untuk memahami askep dan dokumentasi gangguan pemenuhan kebutuhan
ambulasi dan mobilisasi
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Konsep Ambulasi dan Mobilisasi


1. Konsep Dasar Ambulasi
Definisi Ambulasi
Ambulasi dini adalah tahapan kegiatan yang dilakukan segera pada pasien
pasca operasi dimulai dari bangun dan duduk sampai pasien turun dari tempat
tidur dan mulai berjalan dengan bantuan alat sesuai dengan kondisi pasien
(Asmadi, 2008).
Hal ini harusnya menjadi bagian dalam perencanaan latihan untuk semua
pasien. Ambulasi mendukung kekuatan, daya tahan dan fleksibelitas. Keuntungan
dari latihan berangsur-angsur dapat di tingkatkan seiring dengan pengkajian data
pasien menunjukkan tanda peningkatan toleransi aktivitas. Menurut Kozier 2005
ambulasi adalah aktivitas berjalan.
Tujuan Ambulasi
Sedangkan Menurut Asmadi (2008) manfaat Ambulasi adalah:
1) Mencegah dampak Immobilisasi pasca operasi meliputi :
a) Sistem Integumen : kerusakan integritas kulit seperti Abrasi, sirkulasi yang
terlambat yang menyebabkan terjadinya Atropi akut dan perubahan turgor
kulit.
b) Sistem Kardiovaskuler : Penurunan Kardiak reserve, peningkatan beban
kerja jantung, hipotensi ortostatic, phlebotrombosis.
c) Sistem Respirasi : Penurunan kapasitas vital, Penurunan ventilasi volunter
maksimal, penurunan ventilasi/perfusi setempat, mekanisme batuk yang
menurun.
d) Sistem Pencernaan : Anoreksi-Konstipasi, Penurunan Metabolisme.
e) Sistem Perkemihan : Menyebabkan perubahan pada Eliminasi Urine,
infeksi saluran kemih, hiperkalsiuria
f) Sistem Muskulo Skeletal : Penurunan masa otot, osteoporosis,
pemendekan serat otot
4

g) Sistem Neurosensoris : Kerusakan jaringan, menimbulkan gangguan syaraf


pada bagian distal, nyeri yang hebat.

Manfaat ambulasi adalah untuk memperbaiki sirkulasi, mencegah


flebotrombosis (thrombosis vena profunda/DVT). Mengurangi komplikasi
immobilisasi pasca operasi, mempercepat pemulihan peristaltic usus,
mempercepat pasien pasca operasi.
Ambulasi sangat penting dilakukan pada pasien pasca operasi karena jika
pasien membatasi pergerakannya di tempat tidur dan sama sekali tidak melakukan
ambulasi pasien akan semakin sulit untuk memulai berjalan (Kozier, 2010).
2. Tindakan-tindakan Ambulasi
a. Duduk diatas tempat tidur
1) Jelaskan pada pasien prosedur yang akan dilakukan
2) Tempatkan klien pada posisi terlentang
3) Pindahkan semua bantal
4) Posisi menghadap kepala tempat tidur
5) Regangkan kedua kaki perawat dengan kaki paling dekat ke kepala
tempat tidur di belakang kaki yang lain.
6) Tempatkan tangan yang lebih jauh dari klien di bawah bahu klien,
sokong kepalanya dan vetebra servikal.
7) Tempatkan tangan perawat yang lain pada permukaan tempat tidur.
8) Angkat klien ke posisi duduk dengan memindahkan berat badan perawat
dari depan kaki ke belakang kaki.
9) Dorong melawan tempat tidur dengan tangan di permukaan tempat tidur.
b. Duduk di tepi tempat tidur
1) Jelaskan pada pasien prosedur yang akan dilakukan
2) Tempatkan pasien pada posisi miring, menghadap perawat di sisi tempat
tidur tempat ia akan duduk.
3) Pasang pagar tempat tidur pada sisi 2. yang berlawanan.
4) Tinggikan kepala tempat tidur pada ketinggian yang dapat ditoleransi
pasien.
5) Berdiri pada sisi panggul klien yang berlawanan.
5

6) Balikkan secara diagonal sehingga perawat berhadapan dengan pasien


dan menjauh dari sudut tempat tidur.
7) Regangkan kaki perawat dengan kaki palingdekat ke kepala tempat tidur
di depan kaki yang lain
8) Tempatkan lengan yang lebih dekat ke kepala tempat tidur di bawah bahu
pasien, sokong kepala dan lehernya
9) Tempat tangan perawat yang lain di atas paha pasien.
10) Pindahkan tungkai bawah klien dan kaki ke tepi tempat tidur.
11) Tempatkan poros ke arah belakang kaki, yang memungkinkan tungkai
atas pasien memutar ke bawah.
12) Pada saat bersamaan, pindahkan berat badan perawat ke belakang
tungkai dan angkat pasien.
13) Tetap didepan pasien sampai mencapai keseimbangan.
14) Turunkan tinggi tempat tidur sampai kaki menyentuh lantai
c. Memindahkan Pasien dari Tempat Tidur ke Kursi
1) Bantu pasien ke posisi duduk di tepi tempat tidur. Buat posisi kursi pada
sudut 45 derajat terhadap tempat tidur. Jika menggunakan kursi roda,
yakinkan bahwa kusi roda dalam posisi terkunci.
2) Pasang sabuk pemindahan bila perlu, sesuai kebijakan lembaga.
3) Yakinkan bahwa klien menggunakan sepatu yang stabil dan antislip.
4) Regangkan kedua kaki perawat.
5) Fleksikan panggul dan lutut perawat, sejajarkan lutut perawat dengan
pasien
6) Pegang sabuk pemindahan dari bawah atau gapai melalui aksila pasien
dan tempatkan tangan pada skapula pasien.
7) Angkat pasien sampai berdiri pada hitungan 3 sambil meluruskan
panggul dan kaki, pertahankan lutut agak fleksi.
8) Pertahankan stabilitas kaki yang lemah atau sejajarkan dengan lutut
perawat.
9) Berporos pada kaki yang lebih jauh dari kursi, pindahkan pasien secara
langsung ke depan kursi
6

10) Instruksikan pasien untuk menggunakan penyangga tangan pada kursi


untuk menyokong.
11) Fleksikan panggul perawat dan lutut saat menurunkan pasien ke kursi.
12) Kaji klien untuk kesejajaran yang tepat.
13) Stabilkan tungkai dengan selimut mandi
14) Ucapkan terima kasih atas upaya pasien dan puji pasien untuk kemajuan
dan penampilannya.
d. Membantu Berjalan
1) Anjurkan pasien untuk meletakkan tangan di samping badan atau
memegang telapak tangan perawat.
2) Berdiri di samping pasien dan pegang telapak dan lengan bahu pasien.
3) Bantu pasien berjalan
e. Memindahkan Pasien dari Tempat Tidur ke Brancard
Merupakan tindakan keperawatan dengan cara memindahkan pasien yang
tidak dapat atau tidak boleh berjalan sendiri dari tempat tidur ke branchard.
1) Atur posisi branchard dalam posisi terkunci
2) Bantu pasien dengan 2 – 3 perawat
3) Berdiri menghadap pasien
4) Silangkan tangan di depan dada
5) Tekuk lutut anda, kemudian masukkan tangan ke bawah tubuh pasien.
6) Perawat pertama meletakkan tangan di bawah leher/bahu dan bawah
pinggang, perawat kedua meletakkan tangan di bawah pinggang dan
pinggul pasien, sedangkan perawat ketiga meletakkan tangan di bawah
pinggul dan kaki.
7) Angkat bersama-sama dan pindahkan ke branchard
f. Melatih Berjalan dengan menggunakan Alat Bantu Jalan
Kruk dan tongkat sering diperlukan untuk meningkatkan mobilitas pasien.
Melatih berjalan dengan menggunakan alat bantu jalan merupakan kewenangan
team fioterapi. Namun perawat tetap bertanggungjawab untuk menindaklanjuti
dalam menjamin bahwa perawatan yang tepat dan dokumentasi yang lengkap
dilakukan.
7

3. Alat-alat yang digunakan dalam pelaksanaan ambulasi


a. Kruk adalah alat yang terbuat dari logam atau kayu dan digunakan
permanen untuk meningkatkan mobilisasi serta untuk menopang tubuh
dalam keseimbangan pasien. Misalnya: Conventional, Adjustable dan
lofstrand
b. Canes (tongkat) yaitu alat yang terbuat dari kayu atau logam setinggi
pinggang yang digunakan pada pasien dengan lengan yang mampu dan
sehat. Meliputi tongkat berkaki panjang lurus (single stight-legged) dan
tongkat berkaki segi empat (quad cane).
c. Walkers yaitu alat yang terbuat dari logam mempunyai empat penyangga
yang kokoh digunakan pada pasien yang mengalami kelemahan umum,
lengan yang kuat dan mampu menopang tubuh.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Pelaksanaan Ambulasi
a. Kesehatan Umum
Penyakit, kelemahan, penurunan aktivitas, kurangnya latihan fisik dan lelah
kronik menimbulkan efek yang tidak nyaman pada fungsi musculoskeletal.
b. Tingkat Kesadaran
Pasien dengan kondisi disorienrtasi, bingung atau mengalami perubahan
tingkat kesadaran tidak mampu melakukan ambulasi dini pasca operasi.
c. Nutrisi
Pasien yang kurang nutrisi sering mengalami atropi otot, penurunan jaringan
subkutan yang serius, dan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Pasien juga akan mengalami defisisensi protein, keseimbangan nitrogen dan
tidak ada kuatnya asupan vitamin C.
d. Emosi
Perasaan nyaman, kebahagiaan, kepercayaan dan penghargaan pada diri
sendiri akan mempengaruhi pasien untuk melaksanakan prosedur ambulasi.
e. Tingkat Pendidikan
Pendidikan menyebabkan perubahan pada kemampuan intelektual,
mengarahkan pada ketrampilan yang lebih baik dalam mengevaluasi
8

informasi. Pendidikan dapat meningkatkan kemampuan seseorang untuk


mengatur kesehatan mereka, untuk mematuhi saran-saran kesehatan.
f. Pengetahuan
Hasil penelitian mengatakan bahwa perilaku yang di dasari oleh
pengetahuan akan bertahan lama dari pada yang tidak didasari oleh
pengetahuan.(Kozier, 2010)
5. Konsep Dasar Mobilisasi
Definisi Mobilisasi
1) Mobilisasi adalah suatu kondisi dimana tubuh dapat melakukan keegiatan
dengan bebas (Kosier, 2010)
2) Mobilisasi adalah kemampuan seseorang untuk bergerak secara bebas, mudah
dan teratur yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehat.
Mobilisasi diperlukan untuk meninngkatkan kesehatan, memperlambat proses
penyakit khususnya penyakit degeneratif dan untuk aktualisasi. Mobilisasi
menyebabkan perbaikan sirkulasi, membuat napas dalam dan menstimulasi
kembali fungsi gastrointestinal normal, dorong untuk menggerakkan kaki dan
tungkai bawah sesegera mungkin, biasanya dalam waktu 12 jam (Asmadi,
2008)
Definisi Imobilisasi
Gangguan mobilitas fisik (immobilisasi) didefinisikan oleh North American
Nursing Diagnosis Association (NANDA) sebagai suatu kedaaan dimana
individu yangmengalami atau beresiko mengalami keterbatsan gerakan fisik.
Individu yang mengalami atau beresiko mengalami keterbatasan gerakan fisik
antara lain : lansia, individu dengan penyakit yang mengalami penurunan
kesadaran lebih dari 3 hari atau lebih, individu yang kehilangan fungsi anatomic
akibat perubahan fisiologik (kehilangan fungsi motorik,klien dengan stroke, klien
penggunaa kursi roda), penggunaan alat eksternal (seperti gipsatau traksi), dan
pembatasan gerakan volunteer (Potter, 2005).
Tujuan Mobilisasi
a. Memenuhi kebutuhan dasar manusia
b. Mencegah terjadinya trauma
9

c. Mempertahankan derajat kesehatan


d. Mempertahankan interaksi sosial dan peran sehari - hari
e. Mencegah hilangnya kemampuan fungsi tubuh
Batasan karakteristik
a. Penurunan waktu reaksi
b. Kesulitan membolak-balik posisi
c. Melakukan aktivitas lain sebagai pengganti pergerakan (mis., meningkatkan
perhatian pada aktivitas orang lain, mengendalikan perilaku, fokus pada
ketunadayaan/aktivitas sebelum sakit)
d. Dispnea setelah beraktifitas
e. Perubahan cara berjalan
f. Gerakan bergetar
g. Keterbatasan kemampuan melakukan keterampilan motorik halus
h. Keterbatasan kemampuan melakukan keterampilan motorik kasar
i. Keterbatasan rentang pergerakan sendi
j. Tremor akibat pergerakan
k. Ketidakstabilan postur
l. Pergerakan lambat
m. Pergerakan tidak terkoordinasi
(NANDA, 2012)
Jenis Mobilitas dan Imobilitas
a. Jenis Mobilitas
1) Mobilitas penuh, merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara
penuh dan bebas sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan
menjalankan peran sehari-hari. Mobilitas penuh ini merupakan fungsi saraf
motorik volunteer dan sensorik untuk dapat mengontrol seluruh area tubuh
seseorang
2) Mobilitas sebagian, merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak
dengan batasan jelas dan tidak mam.pu bergerak secara bebas karena
dipengaruhi oleh gangguan saraf motorik dan sesnsorik pada area
tubuhnya. Hal ini dapat dijumpai pada kasus cedera atau patah tulang
10

dengan pemasangan traksi. Pada pasien paraplegi dapat mengalami


mobilitas sebagian pada ekstremitas bawah karena kehilangan kontrol
motorik dan sensorik. Mobilitas sebagian ini dibagi menjadi dua jenis,
yaitu:
a) Mobilitas sebagian temporer, merupakan kemampuan individu untuk
bergerak dengan batasan yang sifatnya sementara. Hal tersebut dapat
disebabkan oleh trauma reversibel pada system musculoskeletal,
contohnya adalah adanya dislokasi sendi dan tulang
b) Mobilitas permanen, merupakan kemampuan individu untuk bergerak
dengan batasan yang sifatnya menetap. Hal tersebut disebabkan oleh
rusaknya system saraf yang reversibel, contohnya terjadinya hemiplegia
karena stroke, paraplegi karena cedera tulang belakang, poliomilitis karena
terganggunya system saraf motorik dan sensorik. (Potter, 2010)
b. Jenis Imobilitas
1) Imobilisasi fisik
Imobilisasi fisik merupakan pembatasan untuk bergerak secara fisik
dengan tujuan mencegah terjadinya gangguan komplikasi pergerakan
2) Imobilisasi intelektual
Imobilisasi intelektual merupakan keadaan ketika seseorang
mengalami keterbatasan daya pikir
3) Imobilitas emosional
Imobilitas emosional merupakan keadaan ketika seseorang
mengalami pembatasan secara emosional karena adanya perubahan
secara tiba-tiba dalam menyesuaikan diri
4) Imobilitas sosial
Imobilitas sosial merupakan keadaan individu yang mengalami
hambatan dalam melakukan interaksi sosial karena keadaan penyakitnya,
sehingga dapat mempengaruhi perannya dalam kehidupan sosial. (Potter,
2010)
11

6. Etiologi Imobilisasi
Penyebab utama imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah, kekakuan
otot, ketidakseimbangan, dan masalah psikologis. Osteoartritis merupakan
penyebab utama kekakuan pada usia lanjut. Gangguan fungsi kognitif berat seperti
pada demensia dan gangguan fungsi mental seperti pada depresi juga
menyebabkan imobilisasi. Kekhawatiran keluarga yang berlebihan dapat
menyebabkan orangusia lanjut terus menerus berbaring di tempat tidur baik di
rumah maupun dirumah sakit (Kozier, 2010).
Penyebab secara umum:
a. Kelainan postur
b. Gangguan perkembangan otot
c. Kerusakan system saraf pusat
d. Trauma lanngsung pada system mukuloskeletal dan neuromuscular
e. Kekakuan otot
7. Tanda Dan Gejala
a. Dampak fisiologis dari imobilitas, antara lain:
EFEK HASIL

Penurunan konsumsi oksigen Intoleransi ortostatik


maksimum
a. Penurunan fungsi ventrikel kiri Peningkatan denyut jantung, sinkop
b. Penurunan volume sekuncup Penurunan kapasitas kebugaran
c. Perlambatan fungsi usus Konstipasi
d. Pengurangan miksi Penurunan evakuasi kandung kemih
e. Gangguan tidur Bermimpi pada siang hari, halusinasi

b. Efek Imobilisasi pada Berbagai Sistem Organ


PERUBAHAN YANG TERJADI AKIBAT
ORGAN / SISTEM
IMOBILISASI
Osteoporosis, penurunan massa tulang, hilangnya kekuatan
Muskuloskeletal
otot, penurunan area potong lintang otot, kontraktor,
12

degenerasi rawan sendi, ankilosis, peningkatan tekanan


intraartikular, berkurangnya volume sendi
Peningkatan denyut nadi istirahat, penurunan perfusi
miokard, intoleran terhadap ortostatik, penurunan ambilan
Kardiopulmonal dan oksigen maksimal (VO2 max), deconditioning jantung,
pembuluh darah penurunan volume plasma, perubahan uji fungsi paru,
atelektasis paru, pneumonia, peningkatan stasis vena,
peningkatan agresi trombosit, dan hiperkoagulasi
Integumen Peningkatan risiko ulkus dekubitus dan laserasi kulit
Keseimbangan nitrogen negatif, hiperkalsiuria, natriuresis
Metabolik dan dan deplesi natrium, resistensi insulin (intoleransi glukosa),
endokrin hiperlipidemia, serta penurunan absorpsi dan metabolisme
vitamin/mineral
(Potter, 2010)
5) Faktor-faktor yang mempengaruhi mobilisasi
a. Gaya hidup
Gaya hidup sesorang sangat tergantung dari tingkat pendidikannya.
Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan di ikuti oleh perilaku yang
dapat meningkatkan kesehatannya. Demikian halnya dengan pengetahuan
kesehatan tetang mobilitas seseorang akan senantiasa melakukan mobilisasi
dengan cara yang sehat misalnya; seorang ABRI akan berjalan dengan gaya
berbeda dengan seorang pramugari atau seorang pemambuk.
b. Proses penyakit dan injuri
Adanya penyakit tertentu yang di derita seseorang akan mempengaruhi
mobilitasnya misalnya; seorang yang patah tulang akan kesulitan
untukobilisasi secara bebas. Demikian pula orang yang baru menjalani
operasi. Karena adanya nyeri mereka cenderung untuk bergerak lebih lamban.
Ada kalanya klien harus istirahat di tempat tidurkarena mederita penyakit
tertentu misallya; CVA yang berakibat kelumpuhan, typoid dan penyakit
kardiovaskuler.
13

c. Kebudayaan
Kebudayaan dapat mempengarumi poa dan sikap dalam melakukan
aktifitas misalnya; seorang anak desa yang biasa jalan kaki setiap hari akan
berebda mobilitasnya dengan anak kota yang biasa pakai mobil dalam segala
keperluannya. Wanita kraton akan berbeda mobilitasnya dibandingkan
dengan seorang wanita madura dan sebagainya.
d. Tingkat energi
Setiap orang mobilisasi jelas memerlukan tenaga atau energi, orang yang
lagi sakit akan berbeda mobilitasnya di bandingkan dengan orang sehat
apalagi dengan seorang pelari.
e. Usia dan status perkembangan
Seorang anak akan berbeda tingkat kemampuan mobilitasny
dibandingkan dengan seorang remaja. Anak yang selalu sakit dalam masa
pertumbuhannya akan berbeda pula tingkat kelincahannya dibandingkan
dengan anak yang sering sakit.
f. Faktor resiko
Berbagai faktor fisik, psikologis, dan lingkungan dapat menyebabkan
imobilisasi pada usia lanjut. (Kozier, 2010)

Kategori tingkat kemampuan aktivitas


TINGKAT
KATEGORI
AKTIVITAS/ MOBILITAS

0 Mampu merawat sendiri secara penuh


1 Memerlukan penggunaan alat
Memerlukan bantuan atau pengawasan orang
2
lain
Memerlukan bantuan, pengawasan orang lain,
3
dan peralatan
Sangat tergantung dan tidak dapat melakukan
4
atau berpartisipasi dalam perawatan
14

Rentang gerak (range of motion-ROM)


DERAJAT
GERAK SENDI RENTANG
NORMAL
Adduksi: gerakan lengan ke lateral dari
posisi samping ke atas kepala, telapak
Bahu 180
tangan menghadap ke posisi yang
paling jauh.
Fleksi: angkat lengan bawah ke arah
Siku 150
depan dan ke arah atas menuju bahu.
Fleksi: tekuk jari-jari tangan ke arah
80-90
bagian dalam lengan bawah.
Ekstensi: luruskan pergelangan tangan
80-90
dari posisi fleksi
Hiperekstensi: tekuk jari-jari tangan ke
70-90
Pergelangan arah belakang sejauh mungkin
tangan Abduksi: tekuk pergelangan tangan ke
sisi ibu jari ketika telapak tangan 0-20
menghadap ke atas.
Adduksi: tekuk pergelangan tangan ke
arah kelingking telapak tangan 30-50
menghadap ke atas.
Fleksi: buat kepalan tangan 90
Ekstensi: luruskan jari 90
Hiperekstensi: tekuk jari-jari tangan ke
Tangan dan 30
belakang sejauh mungkin
jari
Abduksi: kembangkan jari tangan 20
Adduksi: rapatkan jari-jari tangan dari
20
posisi abduksi
15

Derajat kekuatan otot


PERSENTASE
SKALA KEKUATAN NORMAL KARAKTERISTIK
(%)
0 0 Paralisis sempurna
Tidak ada gerakan, kontraksi otot dapat
1 10
di palpasi atau dilihat
Gerakan otot penuh melawan gravitasi
2 25
dengan topangan
3 50 Gerakan yang normal melawan gravitasi
Gerakan penuh yang normal melawan
4 75
gravitasi dan melawan tahanan minimal
Kekuatan normal, gerakan penuh yang
5 100 normal melawan gravitasi dan tahanan
penuh

KATZ INDEX
KEMANDIRIAN KETERGANTUNGAN
AKTIVITAS (1 poin) (0 poin)
TIDAK ADA pemantauan, Dengan pemantauan,
perintah ataupun perintah, pendampingan
didampingi personal atau perawatan total
(1 poin)
(0 poin)
Sanggup mandi sendiri
Mandi dengan bantuan lebih
MANDI tanpa bantuan, atau hanya
dari satu bagian tuguh,
memerlukan bantuan pada
masuk dan keluar kamar
bagian tubuh tertentu
mandi. Dimandikan dengan
(punggung, genital, atau
bantuan total
ekstermitas lumpuh)

BERPAKAIAN (1 poin) (0 poin)


16

Berpakaian lengkap Membutuhkan bantuan


mandiri. Bisa jadi dalam berpakaian, atau
membutuhkan bantuan dipakaikan baju secara
unutk memakai sepatu keseluruhan
(1 poin) (0 poin)
TOILETING Mampu ke kamar kecil Butuh bantuan menuju dan
(toilet), mengganti pakaian, keluar toilet, membersihkan
membersihkan genital tanpa sendiri atau menggunakan
bantuan telepon
(1 poin)
PINDAH Masuk dan bangun dari (0 poin)
POSISI tempat tidur / kursi tanpa Butuh bantuan dalam
bantuan. Alat bantu berpindah dari tempat tidur
berpindah posisi bisa ke kursi, atau dibantu total
diterima
(1 poin) (0 poin)
KONTINENSIA
Mampu mengontrol secara Sebagian atau total
baik perkemihan dan buang inkontinensia bowel dan
air besar bladder
(1 poin)
(0 poin)
Mampu memasukkan
MAKAN Membutuhkan bantuan
makanan ke mulut tanpa
sebagian atau total dalam
bantuan. Persiapan makan
makan, atau memerlukan
bisa jadi dilakukan oleh
makanan parenteral
orang lain.

Total Poin :
6 = Tinggi (Mandiri); 4 = Sedang; <2 = Ganggaun fungsi berat; 0 = Rendah
(Sangat tergantung)
17

Indeks ADL BARTHEL (BAI)


NO FUNGSI SKOR KETERANGAN
0 Tak terkendali/ tak teratur (perlu
Mengendalikan pencahar).
1 rangsang pembuangan 1 Kadang-kadang tak terkendali (1x
tinja seminggu).
2 Terkendali teratur.
0 Tak terkendali atau pakai kateter
Mengendalikan 1 Kadang-kadang tak terkendali (hanya
2
rangsang berkemih 1x/24 jam)
2 Mandiri
Membersihkan diri
0 Butuh pertolongan orang lain
3 (seka muka, sisir
1 Mandiri
rambut, sikat gigi)
Penggunaan jamban, 0 Tergantung pertolongan orang lain
masuk dan keluar 1 Perlu pertolongan pada beberapa
4
(melepaskan, memakai kegiatan tetapi dapat mengerjakan
celana, membersihkan, sendiri beberapa kegiatan yang lain.
menyiram) 2 Mandiri
0 Tidak mampu
5 Makan 1 Perlu ditolong memotong makanan
2 Mandiri
Tidak mampu
0
Perlu banyak bantuan untuk bias
Berubah sikap dari 1
6 duduk
berbaring ke duduk 2
Bantuan minimal 1 orang.
3
Mandiri
0 Tidak mampu
7 Berpindah/ berjalan 1 Bisa (pindah) dengan kursi roda.
2 Berjalan dengan bantuan 1 orang.
18

3 Mandiri
Tergantung orang lain
0
Sebagian dibantu (mis: memakai
8 Memakai baju 1
baju)
2
Mandiri.
0 Tidak mampu
9 Naik turun tangga 1 Butuh pertolongan
2 Mandiri
0 Tergantung orang lain
10 Mandi
1 Mandiri

Skor BAI :
20 : Mandiri
12 - 19 : Ketergantungan ringan
9 - 11 : Ketergantungan sedang
5-8 : Ketergantungan berat
0-4 : Ketergantungan total

6) Konsep Dasar Resiko Jatuh


Definisi Jatuh
Menurut Tinetti, et al. (1997, dalam Feder, 2000) “ Jatuh adalah tiba-tiba,
tidak disengaja yang menyebabkan perubahan posisi seseorang berada di area
yang lebih rendah, pada suatu objek, di lantai atau di rumput atau di tanah, selain
akibat dari serangan paralisis, epilepsi atau kekuatan di luar batas”.
Reuben (1996, dalam Darmojo, 2004) mengartikan jatuh sebagai suatu
kejadian yang dilaporkan oleh penderita atau saksi mata yang melihat kejadian
dan mengakibatkan seseorang mendadak terbaring atau terduduk di lantai dengan
atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka.
19

“ Jatuh adalah kejadian yang tidak disengaja yang mengakibatkan lansia


terbaring di lantai atau berada pada tingkat yang lebih rendah” (Kellogg
International Work Group, 1987 dalam Newton, 2003).
Berdasarkan beberapa pengertian jatuh di atas, dapat disimpulkan bahwa jatuh
adalah kejadian tiba-tiba dan tidak disengaja yang mengakibatkan seseorang
terbaring atau terduduk di lantai.

Faktor Resiko Jatuh


Faktor risiko jatuh pada lansia terdiri dari faktor intrinsik (host dan
aktivitas) dan faktor ekstrinsik (lingkungan dan obat-obatan): (Kane, 1994;
Runge, 2000; Shobha, 2005; Probosuseno, 2006)
a) Faktor host (diri lansia)
Faktor-faktor yang menyebabkan jatuh sangat kompleks dan tergantung
kondisi lansia. Di antaranya ada disability, penyakit yang sedang diderita
(vertigo dan dizzines sebesar 13 %, hipotensi ortostatik sebesar 3 %, syncope
sebesar 0,3 %); perubahan-perubahan akibat proses penuaan (penurunan
pendengaran, penurunan visus sebesar 2 %, penurunan status mental (bingung)
sebesar 5 %, penurunan fungsi indera yang lain, lambatnya pergerakan, hidup
sendiri (faktor gaya hidup), gangguan muskuloskeletal seperti kelemahan otot
ekstremitas bawah, gangguan keseimbangan dan gaya berjalan sebesar 17 %
serta serangan tiba-tiba sebesar 9 % (Shobha, 2005).
Gangguan muskuloskeletal menyebabkan gangguan gaya berjalan dan
keseimbangan. Hal ini berhubungan dengan proses menua yang fisiologis.
Perubahan tersebut mengakibatkan kelambanan gerak, langkah yang pendek,
penurunan irama, dan pelebaran bantuan basal. Kaki tidak dapat menapak
dengan kuat dan cenderung mudah goyah. Keterlambatan mengantisipasi bila
terpeleset, tersandung, dan kejadian tiba-tiba dikarenakan terjadi perpanjangan
waktu reaksi sehingga memudahkan jatuh (Reuben, 1996; Kane, 1994; Tinetti,
1992; Campbell & Brocklehurst, 1987 dalam Darmojo, 2004).
20

b) Faktor aktivitas
Laki-laki dengan mobilitas tinggi, postur yang tidak stabil, mempunyai
risiko jatuh sebesar 4,5 kali dibandingkan dengan yang tidak aktif atau aktif
tetapi dengan postur yang stabil. Penelitian selama setahun terhadap 4.862
penderita yang dirawat di rumah sakit atau panti jompo, didapatkan penderita
dengan risiko jatuh paling tinggi adalah penderita aktif, dengan sedikit
gangguan keseimbangan (Probosuseno, 2006). Hal ini didukung oleh penelitian
yang dilakukan Barnedh (2006) terhadap 300 lansia di Puskesmas Tebet bahwa
lansia dengan aktivitas rendah (tidak teratur berolahraga) berisiko 7,63 kali
menderita gangguan keseimbangan dibandingkan lansia dengan aktivitas
tinggi.
Oleh karena itu, prinsip dari manajemen pada lansia dengan keluhan
instabilitas dan jatuh antara lain melakukan terapi aktivitas berupa penguatan
otot dan pengulangan latihan gaya berjalan serta alat-alat bantu untuk berjalan
(Kane, Ouslander & Abrass, 1989).
c) Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan terutama yang belum dikenal mempunyai risiko


terhadap jatuh sebesar 31 % (Shobha, 2005). Faktor lingkungan terdiri dari
penerangan yang kurang, benda-benda di lantai (seperti tersandung karpet),
peralatan rumah yang tidak stabil, tangga tanpa pagar, tempat tidur atau tempat
buang air yang terlalu rendah, lantai yang tidak rata, licin atau menurun serta
alat bantu jalan yang tidak tepat.

d) Faktor obat-obatan

Jumlah obat yang diminum merupakan faktor yang bermakna terhadap


penderita. Empat obat atau lebih meningkatkan risiko jatuh. Jatuh akibat terapi
obat dinamakan jatuh iatrogenik. Obat-obatan yang meningkatkan risiko jatuh
di antaranya obat golongan sedatif dan hipnotik yang dapat mengganggu
stabilitas postur tubuh, yang mengakibatkan efek samping menyerupai
sindroma parkinson seperti diuretik/ anti hipertensi, antidepresan, antipsikotik,
obat-obatan hipoglikemik dan alkohol.
21

Obat-obatan lain yang menyebabkan hipotensi, hipoglikemi, mengganggu


vestibular, neuropati hipotermi dan menyebabkan kebingungan seperti
phenothiazine, barbiturat dan benzodiazepin kerja panjang juga meningkatkan
risiko jatuh. Hal ini sesuai dengan pendapat Robbins, et al. (1989, dalam
Newton, 2003) bahwa lansia yang memiliki tiga faktor risiko seperti
kelemahan otot paha, ketidakseimbangan, dan mendapat lebih dari empat
pengobatan berisiko jatuh sebesar 100 % setiap tahunnya.

Pencegahan Jatuh

1. Mengindentifikasi faktor risiko, penilaian keseimbangan dan gaya berjalan.


Untuk mengkaji apakah lansia beresiko jatuh atau tidak, dapat menggunakan
pengkajian skala jatuh dari Morse (Morse Fall Scale) berikut ini.

NO PENGKAJIAN SKALA NILAI KET.


Riwayat jatuh: apakah lansia TIDAK 0
1. pernah jatuh dalam 3 bulan YA
25
terakhir?
Diagnose sekunder: apakah TIDAK 0
2. lansia memiliki lebih dari satu YA
15
penyakit?
Alat bantu jalan:
3. 0
- Bed rest/ dibantu perawat
- Kruk/ tongkat/ walker 15
- Berpegangan pada benda-
benda di sekitar (kursi, 30
lemari, meja)
Terapi intravena: apakah saat ini TIDAK 0
4.
lansia terpasang infus? YA 20
Gaya berjalan/ cara berpindah:
5. 0
- Normal/ Bed rest/ Immobile
22

(tidak dapat bergerak sendiri)


- Lemah (tidak bertenaga) 10
- Gangguan/ tidak normal
20
(pincang/ diseret)
Status mental
- Lansia menyadari kondisi 0
6. dirinya
- Lansia mengalami
15
keterbatasan daya ingat

TOTAL NILAI

Keterangan:

Nilai 0-24 = tidak beresiko jatuh

25-50 = risiko rendah

≥ 51 = risiko tinggi untuk jatuh

2. Diberikan latihan fleksibilitas gerakan, latihan keseimbangan fisik dan


koordinasi keseimbangan. Latihan keseimbangan berguna untuk meningkatkan
fleksibilitas, menguatkan otot-otot tungkai dan meningkatkan respon
keseimbangan bila tidak dikombinasi dengan intervensi lain hanya menurunkan
risiko jatuh sebesar 11 %. Sedangkan strategi manajemen yang meliputi
kombinasi latihan keseimbangan yang terstruktur, modifikasi lingkungan,
penghentian atau pengurangan obat-obatan psikotropik serta perbaikan visus
dapat menurunkan risiko jatuh sampai 25-39 % (Robbins, 1989 dalam
Barnedh, 2006). Hal ini sesuai dengan pendapat Colon-Emeric (2002) yang
menyatakan bahwa latihan fisik adalah salah satu bentuk intervensi tunggal
yang dapat dilakukan pada lansia karena kekuatan kedua ekstremitas bawah
23

dan keseimbangan dapat terlihat peningkatannya secara nyata dengan program


latihan yang sederhana dan terukur.
Penelitian lain oleh Barnett, et al. (2003, dalam Anonim, 2007)
menyatakan bahwa program latihan fisik yang terdiri dari pemanasan diikuti
dengan keseimbangan, koordinasi, dan latihan kekuatan otot serta pendinginan
yang dilakukan 1 jam per minggu selama satu tahun dapat menurunkan angka
kejadian jatuh sebesar 40 %.
Menurut Skelton (2001) “Aktivitas fisik mempunyai efek positif terhadap
keseimbangan tubuh atau faktor risiko jatuh, yaitu meningkatkan
keseimbangan, kemampuan fungsional, mobilitas, kekuatan dan tenaga,
koordinasi dan gaya berjalan serta menurunkan depresi dan ketakutan terhadap
jatuh”. Hal ini menandakan bahwa aktivitas fisik pada lansia perlu dilakukan
karena banyak keuntungan yang dapat dirasakan oleh lansia itu sendiri.
3. Melakukan evaluasi bagaimana keseimbangan badannya dalam melakukan
gerakan pindah tempat dan pindah posisi. Penilaian goyangan badan sangat
diperlukan untuk mencegah terjadinya jatuh, begitu pula dengan penilaian
apakah kekuatan otot ekstremitas bawah cukup untuk berjalan tanpa bantuan,
apakah lansia menapakkan kakinya dengan baik, tidak mudah goyah, dan
mengangkat kaki dengan benar saat berjalan. Kesemuanya itu harus diperbaiki
bila terdapat penurunan (Reuben, 1996; Tinetti, 1992; Van-der-Cammen, 1991
dalam Darmojo, 2004). Hal ini diperkuat oleh pendapat Brandt, et al. (1986,
dalam Rogers, 2001) bahwa program latihan yang dibarengi dengan perbaikan
input sensori sangat bermakna dalam meningkatkan keseimbangan tubuh.
4. Anggota keluarga atau petugas panti dianjurkan agar mengunjungi/ menengok
lansia secara rutin (karena selain kebutuhan fisik yang diperlukan, kebutuhan
psikologis dan sosial juga sangat penting), mengamati kemampuan dan
keseimbangan dalam berjalan, berjalan bersama, dan membantu stabilitas
tubuh.
5. Memperbaiki kondisi lingkungan yang dianggap tidak aman, misalnya dengan
memindahkan benda berbahaya, peralatan rumah dibuat yang aman (stabil,
24

ketinggian disesuaikan, dibuat pegangan pada meja dan tangga) serta lantai
yang tidak licin dan penerangan yang cukup.

Berikut contoh pengkajian keamanan di rumah:

LEMBAR PENGKAJIAN KEAMANAN RUMAH


(Home-Safety Assessment)

SITUASI DAN KONDISI YA TIDAK


NO KETERANGAN
RUMAH (1) (0)
Apakah penerangan rumah cukup
1.
(tidak gelap)?
Apakah sinar matahari dapat
2.
masuk ke dalam rumah?
3. Apakah lantai rumah licin?
Apakah penataan barang-barang di
4. dalam rumah rapi (tidak
berantakan)?
Apakah di dalam rumah ada
5.
tangga atau lantai yang tidak rata?
6. Apakah lantai kamar mandi licin?
Apakah tempat buang air besar
7.
memakai kloset duduk?
Apakah tempat tidur lansia terlalu
8.
tinggi?
Apakah WC dekat dengan kamar
9.
lansia?
Apakah tempat duduk terlalu
10.
tinggi bagi lansia?
25

Kesimpulan:
Skor lebih dari 5 : beresiko jatuh

Berikut beberapa cara memodifikasi lingkungan:

a. Atur suhu ruangan supaya tidak terlalu panas atau dingin untuk menghindari
pusing akibat suhu.
b. Taruhlah barang-barang yang diperlukan berada dalam jangkauan tanpa
harus berjalan terlebih dahulu.
c. Gunakan karpet antislip di kamar mandi.
d. Perhatikan kualitas penerangan dan pencahayaan di rumah.
e. Jangan sampai ada kabel listrik pada lantai yang biasa untuk melintas.
f. Pasang pegangan tangan pada tangga dan pasang anti slip pada pegangan
tangga, dan bila perlu pasang lampu tambahan untuk daerah tangga.
g. Singkirkan barang-barang yang bisa membuat terpeleset dari jalan yang
biasa untuk melintas. Misalnya karpet, sajadah, mainan-mainan cucu, pensil
warna, gelas plastik dll.
b. Gunakan lantai yang tidak licin atau memakai alas kaki yang tidak licin.
a. Atur letak barang-barang perabotan agar jalan untuk melintas mudah dan
menghindari tersandung.
b. Pasang pegangan tangan ditempat yang diperlukan seperti di kamar mandi.
c. Pasang stiker cahaya yang akan menyala apabila lampu mendadak padam
sehingga memudahkan untuk berjalan atau keluar.
d. Hindari penggunaan perabotan yang beroda.
e. Pasang alarm dan alat komunikasi yang tinggal menekan tombol apabila
lansia meminta bantuan.
6. Menanggapi adanya keluhan pusing, lemas atau penyakit yang baru. Apabila
keadaan lansia lemah atau lemas tunda kegiatan sampai kondisi
memungkinkan dan usahakan pelan-pelan jika akan merubah posisi.
7. Menggunakan alat bantu jalan seperti cane (tongkat), crutch (tongkat ketiak)
dan walker. Jika hanya 1 ekstremitas atas yang digunakan, pasien dianjurkan
26

pakai tongkat. Pemilihan tipe tongkat yang digunakan, ditentukan oleh


kebutuhan dan frekuensi menunjang berat badan. Jika kedua ekstremitas atas
diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan dan tidak perlu menunjang
berat badan, alat yang paling cocok adalah four-wheeled walker. Jika kedua
ekstremitas atas diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan dan
menunjang berat badan, maka pemilihan alat ditentukan oleh frekuensi yang
diperlukan dalam menunjang berat badan.
27

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mobilitas, kemampuan untuk bergerak dengan bebas, mudah , berirama,
dan terarah di lingkungan adalah bagian yang sangat penting dalam kehidupan.
Individu harus bergerak untuk melindungi diri dari trauma dan untuk
memenuhi kebutuhan dasar mereka. Mobilitas amat penting bagi kemandirian
individu yang tidak mampu bergerak secara total sama rentan dan
bergantungnya dengan seorang bayi.
Kemampuan untuk bergerak juga mempengaruhi harga diri dan citra
tubuh. Bagi sebagian besar orang, harga diri bergantung pada rasa kemandirian
atau perasaan berguna atau merasa dibutuhkan.
Ambulasi adalah salah satu cara untuk mencegah terjadinya gangguan
mobilitas karena dengan ambulasi dapat memperbaiki sirkulasi, mencegah
flebotrombosis (thrombosis vena profunda/DVT). Mengurangi komplikasi
immobilisasi pasca operasi, mempercepat pemulihan peristaltic usus,
mempercepat pasien pasca operasi. (kozier, 2010).

B. Saran
Segala usaha telah kami lakukan. Namun dalam pembuatan makalah ini
terdapat kekurangan . Oleh karena itu, kami sangat memerlukan kritik dan
saran saudara(i) demi kesempurnaan kedepannya.
28

DAFTAR PUSTAKA

Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawaran. Edisi 4. Jakarta:
EGC

Potter& Perry. 2006. Buku ajar fundal mental keperawatan konsep, proses dan
praktik. Edisi 4. Jakarta : EGC.

Potter & Perry. 2010. Fundamental keperawatan. Edisis 7. Jakarta: Elsevier

Kozier, dkk. 2010. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Edisi 7. Jakarta: EGC

Asmadi. 2008. Konsep dan aplikasi kebutuhan dasar klien. Jakarta : Salemba
Medika.

Herdman, T.H. 2012. Diagnosis Keperawatan NANDA. Jakarta: EGC

Wilkinson, M. Judith, Ahern, R. Nanchy. 2011. Buku Saku Diagnosis --------------


------Keperawatan Diagnosis NANDA Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC. ---
------Edisi 9. Jakarta: EGC

Iyer, P.W, Camp, N.H. 2004. Dokumentasi Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC

Barnedh, H., Sitorus, F., & Ali, W. (2006). Penilaian Keseimbangan


menggunakan Skala Keseimbangan Berg pada Lansia di Kelompok lansia
Puskesmas Tebet. Tesis. Jakarta:FKUI.

Colon-Emeric, C.S. (2002). Falls in older adults: assessment and intervention in


primary care. Journal Hospital Physician, 55-66

Darmojo, R.B.& Martono, H.H. (2004). Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut).
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Feder, G., Cryer, C., Donovan, S., & Carter, Y. (2000). Guideline for the
prevention of falls in people over 65. British Medical Journal, 321, 1007-1011.

Kane, R.L., Ouslander, J.G., & Abrass, I.B. (1989). Essentials of Clinical
Geriatrics. (2nd Edition). US: McGraw-Hill.
29

Newton, R.A.(2003). Balance and falls among older people. Journal The
American Society on Aging, 1, 27-31.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Upaya


Peningkatan Kesejahteraan Sosial bagi Lanjut Usia.

Probosuseno. (2006). Mengapa Lansia sering tiba-tiba Roboh?. Diakses dari


http://www.litbang.depkes.go.id/aktual/kliping/lansia280506.htm., tanggal 1
Desember 2008).

Richardson, J.K., Sandman, D., & Vela, S. (2001). A focused exercise regimen
improves clinical measures of balance in patients with Peripheral Neuropathy.
Arch Phys Med Rehabil, 82, 205-9.

Skelton, D.A. (2001). Effects of physical activity on postural stability. Journal


Age and Ageing, 30-S4, 33-39.

Shobha, S.R. (2005). Prevention of falls in older patients. American Academy of


Family Physicians, 72, 81-8, 93-4.

Turana, Y. (2012). Menghindari risiko jatuh pada lansia.


http://www.medikaholistik.com. Diakses pada tanggal 24 April 2012.

UU Republik Indonesia No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia.

You might also like