You are on page 1of 4

ACARA IX

KADAR KAPUR SETARA TANAH


ABSTRAK
Praktikum Dasar-Dasar Ilmu Tanah Acara IX mengenai Kadar Kapur Setara Tanah dilaksanakan pada
tanggal 21 Maret 2019 bertempat di Laboratorium Tanah Umum, Departemen Tanah, Fakultas
Pertanian, Universitas Gadjah Mada. Kapur tanah dalam pertanian biasanya berfungsi untuk
mengurangi keasaman tanah dan menambah Ca sebagai unsur hara tanaman. Kadar kapur setara
tanah dapat ditentukan menggunakan metode gravimetri atau calsimeter dan metode titrasi atau
cotteni. Metode gravimetri dilakukan dengan menggunakan alat calsimeter dan khemikalia HCl.
Sedangkan metode cotteni menggunakan H2SO4 yang dititrasi dengan NaOH yang sebelumnya
ditetesi terlebih dahulu menggunakan indikator phenolpphthalein. Pada metode gravimetri, dengan
mengukur gas CO2 yang dihasilkan maka akan diketahui kadar kapur di dalam tanah. Sedangkan pada
metode cotteni, volume NaOh yang dibutuhkan dalam titrasi digunakan untuk mengukur kadar kapur
di dalam tanah. Praktikum ini bertujuan untuk mennetukan kadar kapur pada tanah Vertisols,
Mollisols, Ultisols, Alfisols, dan Entisols. Hasil yang diperoleh dari praktikum ini untuk penentuan kadar
kapur menggunakan metode gravimetri adalah vertisol mempunyai kadar kapur sebesar 6,906%,
kadar kapur tanah mollisol sebesar 2,196%, kadar kapur tanah ultisol sebesar 0,330%, kadar kapur
tanah alfisols sebesar 0,973%, dan kadar kapur tanah entisol sebesar 0,603%. penentuan kadar kapur
menggunakan metode cotteni diperoleh hasil sebagai berikut vertisol mempunyai kadar kapur sebesar
2,154%, kadar kapur tanah mollisol sebesar 8,825%, kadar kapur tanah ultisol sebesar 1,0045%, kadar
kapur tanah alfisols sebesar 1,273%, dan kadar kapur tanah entisol sebesar 1,315%.
Kata kunci: Cotteni, Gravimetri, Kapur Tanah
I. PENGANTAR
Kapur tanah dalam pertanian biasanya berfungsi untuk mengurangi keasaman tanah dan
menambah Ca sebagai unsur hara tanaman (Kuswandi, 1994) Kapur pertanian biasanya dibuat dari
bahan dasar batu kapur kalsit yang sangat sedikit mengandung Mg (magnesium) dan mempunyai
rumus kimia CaCO3, sedangkan kapur pertanian yang mengandung Mg dikenal sebagai dolomit. Kapur
pertanian tanpa Mg biasanya digunakan hanya untuk meningkatkan reaksi tanah dari sangat masam
menjadi agak masam agar pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik. Sedangkan dolomit digunakan
pada tanah-tanah masam dan juga mengalami kekurangan Mg, sehingga selain menurunkan
keasaman juga mampu menambah hara Mg (Dariah et. al., 2015).
Dekalsifikasi adalah proses pemindahan CaCo3 dari satu atau lebih horizon tanah (eluviasi
CaCO3); di daerah beriklim basah (humid) proses ini dapat menghasilkan pencucian CaCO3 dari
seluruh profil, sedang di daerah beriklim kering (arid), CaCO3 akan berakumulasi di lapisan bawah di
proses kalsifikasi (Haryanto, 2013). Reaksi kapur-tanah bisa dijelaskan oleh tiga fenomena umum yaitu
pertukaran kation, reaksi pozzolanic dan karbonasi. Pertukaran kation terjadi segera setelah kapur
ditambahkan ke tanah dengan adanya air. Reaksi ini menghasilkan Ca ++ gratis dan meningkat ke pH
dari campuran tanah-kapur. Karbonasi adalah reaksi tanah kapur lain yang terjadi ketika kapur
bereaksi dengan karbon dioksida yang ada di udara, sebagian besar terkait dengan iklim panas-kering
di mana pengendalian curing sulit dilakukan (Ciancioa et. al., 2014).
Kapur tanah biasanya dimasukkan ke dalam tanah untuk mengatasi keasaman. Namun,
bahan organik pada permukaan tanah lebih menyukai transportasi kalsium karbonat (kapur) ke lapisan
tanah yang lebih dalam setelah aplikasi permukaan. Residu tanaman melepaskan asam organik yang
menyebabkan kapur menembus lebih dalam ke dalam profil jauh lebih cepat daripada ketika
diterapkan pada tanah kosong. Dengan demikian, tidak perlu lagi mencampurkan jeruk nipis ke dalam
tanah, yang sesuai untuk sistem pertanian yang didasarkan pada pengurangan atau tanpa olah
tanah(FAO, 2015).
Jjika kapur ditambahkan ke semua jenis sistem air tanah dalam bentuk Kalsium Oksida (CaO)
akan menyebabkan peningkatan kemampuan kerja tanah sebagai akibat dari pengeringan air karena
reaksi hidrasi dari kapur api (sangat eksotermik) membentuk kapur terhidrasi, Ca (OH) 2 (Sante et. al.,
2014). Di bidang pertanian, kapur tanah berperan penting dalam memperbaiki tanah asam,
mengurangi saturasi Al dan karenanya mendukung nutrisi tanaman. Penerapan kapur dalam
keasaman tanah yaitu mengurangi toksisitas Al, meningkatkan pH, Ca, Mg dan meningkatkan kedua
serapan P di tanah yang memperbaiki P tinggi dan sistem rooting tanaman (Nduwumuremyi et.al.,
2014). Namun kapur CaCO3 yang berlebihan dapat mengikat hara P sehingga tidak tersedia bagi
tanaman. Kapur melepaskan Ca yang selanjutnya dapat membentuk ikatan dengan P sehingga
ketersediaan P semakin rendah (Damanik et. al., 2014)

II. HASIL DAN PEMBAHASAN


Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, diperoleh data sebagai berikut.
Tabel 9.1 Kadar Kapur Setara Tanah dari Berbagai Jenis Tanah
Metode Rata-rata
Jenis Tanah
Calsimetri (%) Cottenie (%) Cottenie (%)
1,723
Vertisol 6,096 2,154
2,584
8,680
Mollisol 2,196 8,825
8,970
1,435
Ultisol 0,330 1,0045
0,574
1,4143
Alfisol 0,973 1,273
1,1314
1,315
Entisol 0,603 1,315
1,315

PEMBAHASAN (2+5-8) IR INI MASIH KURANG YA


Pada tanah Vertisol diperoleh kadar kapur dengan metode calsimetri sebesar 6,096%
dan dengan metode titrasi sebesar 2,154%, sedangkan menurut Prasetyo (2007) Vertisol
mengandung kation Ca 57,31cmol/kg dan Mg 8,92 cmol/kg dan KPK tanah 55,64 cmol/kg.
Hasil tanah ini bersifat Alkali dengan kandungan hara yang tinggi. Kapur berada didalam bahan
induk dengan jumlah kapur yang besar terdapat pada horizon paling atas. Vertisol juga
mengandung lempung yang tinggi pada semua lapisan horizon.
Tanah Mollisol memiliki kadar kapur sebesar 2,196% metode calcimetri dan 8,825%
metode titrasi, dan hasil penelitian Ozsoy (2012) menyataka nilai KPK Mollisol 42,43 cmol/kg
terhitung pada horizon teratas. Berdasarkan data tersebut bahwa tanah ini memiliki kandungan
kapur yang cukup tinggi karena bahan induk Mollisol adalah batuan kapur sehingga tidak dapat
dipungkiri bahwa tanah mollisol memiliki kandungan kapur yang cukup tinggi.
Tanah Ultisol memiliki kandungan kapur sebesar 0,330% dan 1,0045% , didukung
penelitian Amelia (2018) yang menyatakan nilai KPK tanah Ultisols hanya 15,60 cmol/kg.
Tanah Ultisol memiliki horizon argilik dan kejenuhan basa rendah , berdasaran tinjauan
lingkungan tanah ini banyak dijumpai pada daerah yang bercurah hujan yang lebih besar
dibanding dengan evapotranspirasi yang menyebabkan tanah ini mengalami pelindian berat
sehingga meningkatkan keasaman tanah. Oleh karena itu tanah Ultisol memiliki kandungan
kapur yang cukup rendah.
Tanah Alfisol, kandungan kapur pada jenis tanah ini sebesar 0,973% dan 1,273%,
menurut penelitian Choiruna (2013) nilai KPK tanah Alfisol adalah 10,36 me/100 g. Tanah ini
berbahan induk tanah yang kaya akan kandungan kapur dan mengandung konkresi kapur dan
besi, diperkirakan kandungan basanya lebih rendah dibandingkan dengan mollisol, karena basa
yang dilepas tanah akibat pelapukan hampir sama dengan proses pelindian, kandungan pH yang
relative lebih rendah menyebabkan tanah ini memiliki kandungan kapur yang rendah pula.
Tanah Entisol memiliki kandungan kapur sebesar 0,603% dan 1,315% , diperkuat
dengan hasil penelitian Choiruna (2013) nilai KPK Entisols hanya 8,24 me/100g. Kandungan
kapur pada tanah ini relative lebih rendah dibandingkan dengan tanah lainnya karena tanah ini
didominasi oleh fraksi pasir. Tanah yang memiliki kadar pasir yang relative tinggi cenderung
memilki kandungan kapur dalam tanah rendah.
Fungsi dari mempelajari kadar kapur tanah adalah dapat ditentukan kesuburan tanah
yang sangat berpengaruh pada pengolahan lahan, sehingga dapat mengoptimalkan potensi
lahan untuk budidaya pertanian. Itu karena dengan mengetahui kandungan kapur dalam tanah
maka dapat ditentukan kesuburan tanah yang dapat berpengaruh terhadap pengolahan lahan.
Termasuk juga dengan mengetahui kapur tanah, maka dapat ditentukan pH tanah dan dapat
ditentukan jenis tanaman yang cocok dibudidayakan pada lahan tertentu. Apabila pH tanah
dalam keadaan terlalu asam maka proses penguraian bahan organik menjadi tidak sempurna.
Guna memperbaiki kondisi tersebut, upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kualitas
tanah adalah dengan pengapuran (Arini, 2011). Selain manfaat tersebut, kapur juga dapat
dimanfaatkan dalam menstabilkan tanah. Penggunaan zat aditif untuk stabilisasi tanah
ekspansif dapat berupa bahan industrial seperti kapur, semen, dan gypsum (Prasetyo, 2018).
Praktikum kadar kapur setara tanah dilakukan dengan dua metode yaitu metode
calcimetri dan metode kolorimetri-titrasi. Kedua metode tersebut merupakan metode yang
memilki kesamaan yaitu menyetarakan berat CaCO3 dengan CO2 yang hilang. Dalam metode
calcimetri digunakan alat calcimeter dan bahan khemikalia HCl, proses yang terjadi yaitu
apabila tanah ditetesi dengan HCl akan terjadi reaksi yang akan menghasilkan gas CO2. Metode
calsimetri digunakan karena dapat menghasilkan data yang akurat, namun membutuhkan
ketelitian karena pada saat pemanasan jika terlalu lama maka H O ikut menguap sehingga
2

menyebabkan ketidakakuratan data. Untuk lebih jelasnya dapat ditulis reaksi kimia sebagai
berikut:
CaCO3+2HCl→CaCl2+H2O+CO2
Pada proses reaksi CaCO3 dengan HCl dibantu dengan proses pemanasan, namun proses
pemanasan hanya dilakukan sebentar karena apabila terlalu lama nantinya H2O juga akan ikut
menguap.
Metode kolorimetri-titrasi menggunakan dua khemikalia yaitu H SO dan Indikator
2 4

phenolptalein. H SO yang ditambahkan pada sampel yang dititrasi akan mengubah CaCO
2 4 3

menjadi CaSO dengan mengikat kandungan Ca dalam sampel. Kolorimetri dilakukan dengan
4

mentitrasi H2SO4 0,5 N dengan NaOH 0,5 N, proses pentitrasian ini dilakukan dengan
menyamakan warna hasil titrasi tanah yang telah tercampur H2SO4 0,5 N dengan hasil
pentritasian H2SO4 0,5 N tanpa tanah (blangko). Pada titrasi ini pengukurannya berdasarkan
sisa H2SO4 0,5 N yang dihasilkan yang dititrasi dengan basa NaOH, caranya dengan
menselisihkan volume NaOH 0,5 N yang digunakan untuk mentitrasi blangko dengan volume
NaOH yang digunakan untuk mentitrasi tanah. Dari hasil tersebut akan diperoleh gram
ekivalennya yang merupakan gram ekivalen CaCO3 tanah. Adapun secara kimia dapat ditulis
sebagai berikut:
CaCO + H SO → CaSO + H O + CO
3 2 4 4 2 2

Dalam proses ini yang paling menetukan adalah prosen pengambilan sampel air sisa
endapan dan proses pergantian warna hasil titrasi yang disamakan dengan blangko. Setelah
terikat menjadi CaSO kemudian ditambahkan indikator pp yang akan mengubah warna larutan
4

menjadi ungu kemerahan jika pH sudah melewati 10. Lalu dititrasi dengan NaOH 0.5N agar
terjadi reaksi yang setara. Reaksi setara terlihat jika warna larutan menjadi warna ungu
kemerahan secara sempurna. Jika warna sudah berubah, dapat diketahui kadar kapurnya
dengan perhitungan NaOH yang terpakai. Reaksi yang terjadi saat titrasi:
CaSO + 2H O + 2NaOH → Na SO + Ca(OH) + 2H O
4 2 2 4 2 2

Fungsi khemikalia pada penambahan HCl pada metode calsimetri yaitu untuk
menjenuhkan larutan. Selain itu, HCl 2N juga berfungsi sebagai reaktan kapur tanah agar
menghasilkan CO yang berupa uap dan kemudian dihitung banyaknya uap CO dan dihitung
2 2

banyaknya uap tersebut dalam persen (%). Sedangkan pada metode titrasi, khemikalia yang
digunakan yaitu H SO 0,5N, NaOH 0,5N, dan indikator phenolptalin (pp). Untuk H SO 0,5N
2 4 2 4

berfungsi sebagai reaktan tanah sehingga menghasilkan CO , sedangkan dari reaksi tersebut
2

akan menyisakan H SO karena jumlah CO yang dihasilkan tidak sama dengan H SO . Sisa
2 4
2
2 4

H SO itulah yang akan dititrasi oleh NaOH 0,5N. Maka fungsi NaOH 0,5N adalah sebagai
2 4

titran untuk reaksi asam-basa sehingga digunakan indikator pp untuk menentukan titik
ekuivalennya yang berupa perubahan warna dari bening menjadi kemerahan.
Dampak toksisitas kapur yaitu dapat berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan,
perkembangan, dan produksi tanaman. Tanah yang kaya akan kapur akan menambah jumlah
Ca dan Mg sebagai hara tanaman. Tetapi, jika kandungan Ca2+ dalam tanah terlalu tinggi, maka
akan mempengaruhi ketersediaan unsur hara dalam tanah terutama P karena Ca akan mengikat
P menjadi Ca-P. Dampak tingginya kandungan kapur juga mengakibatkan tanah bersifat racun.
Kapur dalam tanah mengandung basa yang tinggi sehingga tidak baik pada kandungan bahan
organik tanah yang mengandung asam yang tinggi. Selain itu, tanaman yang hidup di tanah
yang memiliki kadar kapur yang tinggi akan mengalami kekurangan kadar Fe, Mn, Zn, Cu
sampai Boron.

DAPUS
Arini, E., 2011. PEMBERIAN KAPUR (CACO3) UNTUK PERBAIKAN KUALITAS TANAH TAMBAK DAN
PERTUMBUHAN RUMPUT LAUT Gracillaria SP. Jurnal Saintek Perikanan. Vol. 6 (2): 23 – 30
Prasetyo, Y.E., Y. Zaika, dan A. Rachmansyah. 2018. PENGARUH PENAMBAHAN ABU AMPAS TEBU DAN
KAPUR TERHADAP KARAKTERISTIK TANAH LEMPUNG EKSPANSIF (STUDI KASUS : TANAH DI
BOJONEGORO). REKAYASA SIPIL.VOL 12 (2): 1978 – 5658
Choirina, Y., Sudadi, dan H. Widijanto. 2013. PENGARUH PUPUK ALAMI BERMIKROBA (BIO-NATURAL
FERTILIZER) TERHADAP SERAPAN FOSFOR DAN PERTUMBUHAN KACANG TANAH PADA
TANAH ALFISOL, ENTISOL, DAN VERTISOL. Jurnal Ilmu Tanah dan Agroklimatologi. Vol 10 (2)
Amelia, D., M. Khalil, dan Muyassir. 2018. Analisis Metode Kebutuhan Kapur pada Ultisol dan
Hubungannya dengan Sifat Kimia Tanah dan Pertumbuhan Jagung (Zea mays L.). Jurnal
Ilmiah Mahasiswa Pertanian. Vol 3 (1)
Ozsoy, G., dan E. Aksoy. 2012. Genesis and Classification of some Mollisols Developed under forest
vegetation in Bursa, Turkey. INTERNATIONAL JOURNAL OF AGRICULTURE & BIOLOGY. Vol 14
: 75-80
Prasetyo, B.H. 2007. PERBEDAAN SIFAT-SIFAT TANAH VERTISOL DARI BERBAGAI BAHAN INDUK. Jurnal
Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. Vol 9 (1): 20 - 31

You might also like