You are on page 1of 13

ACARA 1

SALINITAS SEBAGAI FAKTOR PEMBATAS ABIOTIK

I. TUJUAN
1. Mengetahui dampak salinitas terhadap pertumbuhan tanaman
2. Mengetahui tanggapan beberapa macam tanaman terhadap tingkat salinitas yang
berbeda
II. TINJAUAN PUSTAKA

Ekologi adalah suatu ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara
organisme dan beberapa faktor lingkungannya. Ekologi akan menjadi satu sistem
dan saling mempengaruhi dengan tingkatan-tingkatan makhluk hidup, yaitu
populasi, komunitas dan ekosistem. Ekologi dan ekositem dengan berbagai
komponen penyusunnya seperti faktor abiotik dan biotik merupakan suatu bagian
yang tidak dapat dipisahkan. Faktor biotik adalah makhluk hidup yang meliputi
manusia, hewan, tumbuhan, dan mikroba sedangkan faktor abiotik meliputi suhu,
kelembaban, cahaya, topografi, dan air (Hewajuli dan Dharmayanti, 2014).

Air adalah substansi yang memungkinkan terjadinya kehidupan seperti yang ada
di bumi. Seluruh organisme sebagian besar tersusun dari air dan hidup dalam
lingkungan yang didominasi oleh air. (Campbell et al, 2012). Air merupakan bahan
alam yang diperlukan untuk kehidupan manusia, hewan dan tanaman yaitu sebagai
media pengangkutan zat-zat makanan, juga merupakan sumber energi serta berbagai
keperluan lainnya (Sasongko dkk, 2014).

Air dalam tanah dapat dibedakan atas empat golongan diantaranya: air mengalir,
air kapiler, air senyawa dan mata air. Air mengalir, terdapat di tanah setelah turun
hujan atau genangan dari serokan atau sungai. Air ini kemudian akan turun ke
lapisan bawah oleh gaya gravitasi sampai pada lapisan batuan yang tak tembus air.
Aliran air ini akan dipercepat jika tanah longgar, berpasir atau di lereng. Air kapiler,
melekat ke butiran tanah dan inilah yang dipergunakan tanaman. Air senyawa, ialah
air yang berada dalam senyawa mineral. Air jenis ini tak dapat dipergunakan
langsung oleh tanaman (Yatim, 1987).
Air merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi proses
kehidupan dan kegiatan makhluk hidup. Terdapat dua hukum yang membahas
tentang faktor lingkungan sebagai faktor pembatas bagi suatu organisme, yaitu
Hukum Minimum Liebig dan Hukum Toleransi Shelford. "Hukum Minimum"
menyatakan bahwa pertumbuhan dikendalikan oleh sumber daya yang paling langka
(faktor pembatas) (Salisbury, 1992).

Suatu organisme di dalam perkembangan dan pertumbuhannya akan ditentukan


oleh bahan atau faktor penting yang dalam keadaan minimum, faktor inilah yang
disebut faktor pembatas. Berdasarkan tingkat ekstrem dari toleransi lingkungan
suatu spesies, tingkat reaksi biokimia pada individu mungkin akan terpengaruh, dan
penurunan kerja individu dapat diamati seiring dengan penurunan kondisi fisiologis
(Reddin et al, 2016).

Sebagai contoh, pada tanaman tertentu, faktor lingkungan seperti kadar garam
atau salinitas yang terlalu rendah maupun terlalu tinggi dapat mempengaruhi
berbagai proses fisiologisnya. Salinitas merupakan kandungan seluruh garam yang
berada di tanah. Salinitas merupakan salah satu cekaman abiotic yang berpengaruh
buruk terhadap pertumbuhan dan hasil produksi hampir semua tanaman pangan.
Salinitas menyebabkan ketidakseimbangan ion dan konsentrasi hara, serta efek
osmotik yang menurunkan produktivitas tanaman.

Pengaruh salinitas terhadap pertumbuhan tanaman dapat dilihat pada tanggapan


varietas kacang hijau terhadap cekaman salinitas. Pada percobaan tersebut, air laut
diambil dari Pantai Balekambang, Malang. Namun biasanya, sebagian besar peneliti
menggunakan NaCl untuk mendapatkan keragaman salinitas, tetapi ada juga yang
menggunakan air laut seperti Aldesuquy et al. (2012) pada kacang hijau.

Dari hasil percobaan tersebut, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa


peningkatan salinitas menghambat pertumbuhan tanaman, menurunkan indeks
kandungan klorofil daun, menurunkan komponen hasil dan hasil biji kacang hijau
(Taufiq dan Purwaningrahayu, 2013).
III. METODE PELAKSANAAN PRAKTIKUM

Praktikum acara 1 dengan judul Salinitas sebagai Faktor Pembatas Abiotik


dilaksanakan di Laboratorium Manajemen Produksi Tanaman, Sub Laboratorium
Ekologi Tanaman pada tanggal 22 Februari 2018. Alat-alat yang digunakan pada
praktikum ini antara lain yaitu timbangan analitik sebagai alat untuk menimbang
bobot segar dan bobot kering tanaman, gelas ukur sebagai alat ukur dalam
pembuatan larutan NaCl, erlenmeyer sebagai tempat membuat larutan NaCl, alat
pengaduk sebagai alat untuk mencampur air dan garam, peralatan tanam sebagai alat
saat memulai penanaman di polybag, penggaris sebagai alat ukur dalam
pengamatan, polibag sebagai media penanaman, kertas label sebagai penanda dari
berbagai perlakuan. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan pada praktikum antara
lain benih tanaman, yaitu padi, kacang tanah, dan timun, NaCl teknis sebagai syarat
pemberian perlakuan, dan pupuk kandang sebagai campuran media tanam.

Langkah kerja praktikum ini dimulai dengan pembuatan larutan NaCl. Langkah
pertama, larutan NaCl teknis disiapkan sebanyak 4 gram untuk perlakuan 4000 ppm
dan 8 gram untuk perlakuan 8000 ppm. Kemudian, 4 gram garam dilarutkan
kedalam 1000ml aquades dan diaduk (untuk perlakuan 4000 ppm). Langkah yang
sama dilakukan untuk membuat larutan garam 8000 ppm.

Selanjutnya persiapan bahan tanam dan penanaman. Langkah pertama, polibag


yang diisi tanah sebanyak kurang lebih 3kg disiapkan. Kerikil, sisa-sisa tanaman,
dan kotoran yang berada di dalam tanah harus dihilangkan agar tidak mengganggu
pertumbuhan tanaman. Lalu, biji yang sehat dipilih untuk ditanam ke dalam polibag
dan ditanam sebanyak lima benih di dalam polibag. Untuk satu minggu pertama,
benih dikecambahkan terlebih dahulu dan disiram dengan air biasa. Setelah satu
minggu, bibit dijarangkan menjadi dua tanaman untuk setiap polibag. Kemudian
bibit disiram dengan larutan NaCl sesuai dengan perlakuan (0 ppm, 4000 ppm, dan
8000 ppm). Untuk perlakuan 0 ppm, penyiraman dilakukan dengan air biasa.
Penyiraman dilakukan sebanyak 7 kali dengan selang waktu dua hari sekali, hingga
umur tanaman mencapai 21 hari. Pengamatan dilakukan setiap pemberian/aplikasi
penyiraman larutan garam meliputi Tinggi Tanaman dan Jumlah Daun. Setelah 21
hari, tanaman dipanen dan diamati Panjang Akar, Bobot Segar, Bobot Kering
Tanaman, dan Luas Daun. Pada akhir percobaan, dari seluruh data yang terkumpul,
rerata dari setiap ulangan pada tiap perlakuan diukur, dan selanjutnya dibuat grafik
dan histogram antara lain grafik tinggi tanaman pada masing-masing konsentrasi
garam tiap komoditas vs hari pengamatan, grafik jumlah daun pada masing-masing
konsentrasi garam tiap komoditas vs hari pengamatan, histogram panjang akar pada
masing-masing konsentrasi garam tiap komoditas, histogram bobot segar dan bobot
kering pada masing-masing konsentrasi garam tiap komoditas, dan histogram luas
daun pada masing-masing konsentrasi tiap komoditas.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. HASIL

Tabel 1. Tinggi tanaman padi (Oryza sativa), kacang tanah (Arachis hypogea L.), dan
timun (Curcuma sativus) pada beberapa perlakuan.

Perlakuan Tinggi tanaman padi ( cm ) pada pengamatan ke- n


1 2 3 4 5 6 7 8
0 ppm 3,74 4,38 5,40 6,04 6,94 7,51 7,89 8,58
4000 ppm 3,43 3,83 4,21 4,84 5,48 6,00 6,28 6,96
8000 ppm 3,60 3,93 4,41 4,99 5,77 6,36 6,65 7,26
Perlakuan Tinggi tanaman kacang tanah ( cm ) pada pengamatan ke- n
1 2 3 4 5 6 7 8
0 ppm 2,47 5,38 7,31 9,55 11,90 13,23 14,58 16,33
4000 ppm 2,50 5,16 7,68 9,93 11,23 12,63 13,73 15,12
8000 ppm 3,78 6,62 9,01 12,39 14,03 14,70 15,89 16,54
Perlakuan Tinggi tanaman mentimun ( cm ) pada pengamatan ke- n
1 2 3 4 5 6 7 8
0 ppm 7,28 8,66 9,83 10,47 10,99 12,95 14,68 16,35
4000 ppm 8,18 9,54 10,32 10,97 11,55 12,92 14,03 14,95
8000 ppm 7,77 8,94 9,97 10,48 10,81 12,61 13,73 14,29
Tabel 2. Jumlah daun padi (Oryza sativa), kacang tanah (Arachis hypogea L.), dan
timun (Curcuma sativus) pada beberapa perlakuan.

Perlakuan Jumlah daun tanaman padi pada pengamatan ke- n


1 2 3 4 5 6 7 8
0 ppm 1 2 3 3 3 3 4 4
4000 ppm 1 2 2 3 3 3 3 4
8000 ppm 1 2 2 3 3 3 3 3
Perlakuan Jumlah daun tanaman kacang tanah pada pengamatan ke- n
1 2 3 4 5 6 7 8
0 ppm 11 15 17 22 27 32 36 40
4000 ppm 11 13 18 22 26 30 34 34
8000 ppm 11 15 21 23 26 28 29 31
Perlakuan Jumlah daun tanaman mentimun pada pengamatan ke- n
1 2 3 4 5 6 7 8
0 ppm 3 3 3 4 4 4 3 6
4000 ppm 3 3 4 4 4 4 5 6
8000 ppm 3 3 4 4 4 5 5 5

Tabel 3. bobot segar, bobot kering, panjang akar, dan luas daun padi (Oryza sativa),
kacang tanah (Arachis hypogea L.), dan timun (Curcuma sativus) pada beberapa
perlakuan.

Perlakuan Bobot segar, bobot kering, panjang akar, dan luas daun padi
Luas Panjang Bobot Bobot Bobot Segar
-
Daun Akar Segar Kering Bobot
(cm2) (cm) (gram) (gram) Kering
0 ppm 101,23 16,49 4,7 0,38 4,31
4000 ppm 85,64 17,6 4,37 0,42 3,95
8000 ppm 97,72 14,2 4,08 0,28 3,8
Perlakuan Bobot segar, bobot kering, panjang akar, dan luas daun kacang tanah
Luas Panjang Bobot Bobot Bobot Segar
-
Daun Akar Segar Kering Bobot
(cm2) (cm) (gram) (gram) Kering
0 ppm 144,15 23,56 6,07 0,79 5,28
4000 ppm 129,78 20,87 6,55 0,86 5,69
8000 ppm 94,15 23,23 5,71 0,68 5,03
Perlakuan Bobot segar, bobot kering, panjang akar, dan luas daun mentimun
Luas Panjang Bobot Bobot Bobot Segar
-
Daun Akar Segar Kering Bobot
(cm2) (cm) (gram) (gram) Kering
0 ppm 101,23 16,49 4,70 0,38 4,31
4000 ppm 85,64 17,60 4,37 0,42 3,95
8000 ppm 97,72 14,20 4,08 0,28 3,80

B. PEMBAHASAN

Tinggi Tanaman Mentimun


18
Tinggi Tanaman (cm)

16

14

12 0 ppm

10 4000 ppm
8000 ppm
8

6
1 2 3 4 5 6 7 8
Pengamatan Hari ke-n

Gambar 1. Grafik tinggi tanaman mentimun

Berdasarkan grafik di atas, dapat diketahui bahwa pada awal pemberian


perlakuan, nilai tinggi tanaman yang paling tinggi terdapat pada mentimun dengan
perlakuan 4000 ppm, diikuti dengan 8000 ppm, dan yang terakhir 0 ppm. Dari grafik
tersebut dapat diketahui juga bahwa tinggi tanaman mentimun mengalami peningkatan
secara terus menerus pada semua perlakuan. Tinggi tanaman mentimun pada perlakuan
0 ppm mengalami peningkatan yang paling besar di antara yang lainnya. Hal ini dapat
terjadi karena tidak adanya ion-ion salin pada perlakuan 0 ppm yang mengganggu
kandungan air dalam tanaman sehingga pertumbuhan tanaman berjalan normal. Grafik
tersebut juga menunjukkan bahwa peningkatan tinggi tanaman mentimun pada
perlakuan 4000 ppm lebih besar dari pada perlakuan 8000 ppm. Hal tersebut sesuai
dengan teori yang ada karena jumlah ion-ion salin pada perlakuan 8000 pm lebih
banyak dari pada 4000 ppm.
Jumlah Daun Tanaman Mentimun
7

Jumlah Daun
5

4 0 ppm

3 4000 ppm
8000 ppm
2

1
1 2 3 4 5 6 7 8
Hari

Gambar 2. Grafik jumlah daun tanaman mentimun

Berdasarkan grafik di atas, jumlah daun mentimun terbanyak terdapat pada


perlakuan 0 ppm, diikuti dengan perlakuan 4000 ppm, dan yang terakhir pada perlakuan
8000 ppm. Hal tersebut terjadi karena pada perlakuan 0 ppm tidak terdapat ion-ion salin
yang mengganggu pertumbuhan tanaman. Jumlah daun mentimun pada perlakuan 4000
ppm dan 8000 ppm lebih rendah daripada perlakuan 0 ppm. Hal tersebut terjadi karena
pada kondisi salin, air dalam tanaman akan keluar melalui proses osmosis sehingga
tanaman kehilangan tekanan turgor. Berlimpahnya ion Na+ dan Cl- dapat mengakibatkan
ketidakseimbangan ion sehingga aktivitas metabolisme dalam tanaman menjadi
terganggu (Djukri, 2009). Pada grafik di atas, dapat dilihat pula grafik pertumbuhan
jumlah daun tanaman mentimun pada perlakuan 0 ppm mengalami penurunan pada hari
ke-7 dari yang semula berjumlah 4 daun menjadi 3 daun. Hal ini dapat terjadi karena
adanya faktor lain yang mempengaruhi seperti adanya daun mati yang tidak terhitung
atau ketidaksengajaan daun yang tercabut saat melakukan pengamatan.
Bobot Segar dan Bobot Kering Tanaman
Mentimun
7.00
6.00
5.00
Bobot (gram)

4.00
3.00 Bobot Segar

2.00 Bobot Kering

1.00
0.00
0 ppm 4000 ppm 8000 ppm
Perlakuan

Gambar 3. Histogram bobot segar dan bobot kering tanaman mentimun

Berdasarkan histogram di atas, diketahui bahwa bobot segar tanaman mentimun


paling tinggi terdapat pada perlakuan 0 ppm, diikuti dengan perlakuan 4000 ppm dan
yang paling rendah terdapat pada perlakuan 8000 ppm. Hal tersebut terjadi karena
kandungan air pada perlakuan 0 ppm tidak terganggu oleh adanya ion Na+ dan ion Cl-
sehingga jumlah air dalam tanaman tetap terjaga dan metabolisme dalam tubuh tanaman
tidak terganggu. Selain itu, bobot segar tanaman mentimun pada perlakuan 4000 ppm
lebih tinggi daripada bobot segar tanaman mentimun pada perlakuan 8000 ppm. Hal
tersebut sesuai dengan teori yang ada karena jumlah ion-ion salin pada perlakuan 8000
ppm lebih tinggi daripada perlakuan 4000 ppm sehingga jumlah air yang keluar dari
tanaman lebih banyak pada perlakuan 8000 ppm.

Berdasarkan histogram di atas, diketahui pula bahwa bobot kering tanaman


mentimun paling tinggi terdapat pada perlakuan 4000 ppm, diikuti dengan perlakuan 0
ppm dan paling rendah terdapat pada perlakuan 8000 ppm. Hal ini menunjukkan adanya
anomali antara hasil praktikum dengan teori karena seharusnya nilai bobot kering paling
tingg terdapat pada perlakuan 0 ppm dimana pada perlakuan tersebut tidak ada ion-ion
salin yang memicu keluarnya air dari dalam tanaman secara osmosis sehingga
kandungan air pada perlakuan tersebut lebih banyak daripada perlakuan 4000 ppm dan
8000 ppm. Adanya ketidaksesuaian antara hasil praktikum dengan teori dapat
disebabkan oleh adanya faktor-faktor lain yang mempengaruhi seperti pengovenan yang
kurang lama atau perbedaan ketelitian alat penimbangan yang digunakan

Panjang Akar Mentimun


20
Panjang Akar (cm )
15

10

0
0 ppm 4000 ppm 8000 ppm
Perlakuan

Gambar 4. Histogram panjang akar mentimun

Berdasarkan histogram di atas, dapat diketahui bahwa panjang akar tertinggi


mentimun terdapat pada perlakuan 4000 ppm, diikuti dengan perlakuan 0 ppm, dan
yang paling rendah terdapat pada perlakuan 8000 ppm. Data tersebut menunjukkan
adanya anomali antara hasil praktikum dengan teori karena seharusnya panjang akar
mentimun pada perlakuan 0 ppm lebih tinggi daripada perlakuan 4000 ppm dan 8000
ppm karena tidak adanya ion-ion salin yang menghambat pertumbuhan akar. Adanya
ketidaksesuaian antara hasil praktikum dengan teori ini dapat terjadi karena faktor-
faktor lain yang mempengaruhi seperti perbedaan kualitas benih yang digunakan pada
setiap perlakuan. Benih dengan kualitas bagus dapat tetap tumbuh secara optimal
meskipun pada keadaan salin. Faktor lain yang dapat mempengaruhi juga seperti
misalnya ketidaktelitian dalam melakukan panen yang menyebabkan adanya bagian
akar yang tidak ikut tercabut dan terpisah sehingga menjadi lebih pendek daripada yang
seharusnya.
Luas Daun Tanaman Mentimun
105

Luas Daun (cm^2)


100
95
90
85
80
75
0 ppm 4000 ppm 8000 ppm
Perlakuan

Gambar 5. Histogram luas daun tanaman mentimun

Berdasarkan histogram di atas, dapat diketahui bahwa luas daun tanaman


mentimun paling tinggi terdapat pada perlakuan 0 ppm, diikuti dengan perlakuan 8000
ppm, dan yang paling rendah terdapat pada perlakuan 4000 ppm. Hal tersebut terjadi
karena pada perlakuan 0 ppm tidak terdapat ion-ion salin yang mengganggu
pertumbuhan tanaman. Data tersebut juga menunjukkan adanya anomali antara hasil
praktikum dengan teori karena seharusnya luas daun tanaman mentimun pada perlakuan
4000 ppm lebih tinggi daripada perlakuan 8000 ppm karena jumlah ion salin pada
perlakuan 8000 ppm lebih banyak daripada perlakuan 4000 ppm. Adanya
ketidaksesuaian antara hasil praktikum dengan teori tersebut dapat disebabkan oleh
adanya faktor-faktor lain yang mempengaruhi seperti intensitas cahaya matahari yang
diterima dan kualitas benih.
V. KESIMPULAN

Dari praktikum yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan bahwa:

1. Salinitas dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman yang meliputi di dalamnya


peningkatan panjang akar, tinggi tanaman, jumlah daun dan luas daun serta
menyebabkan berkurangnya kandungan air dalam tanaman sehingga akan
mengurangi bobot segar dan bobot kering suatu tanaman.
2. Tanggapan tanaman terhadap salinitas berbeda-beda, tergantung batas
toleransinya. Mentimun termasuk dalam kategori tanaman yang moderat toleran
terhadap salinitas. Apabila tingkat salinitas sudah melewati batas toleransinya,
maka pertumbuhan tanaman dapat terganggu.

VI. SARAN

Pada praktikum ini ada baiknya metode pelaksanaan praktikum dipahami terlebih
dahulu sehingga tidak terjadi dalam praktikum yang mengakibatkan pengulangan
pengamatan.
DAFTAR PUSTAKA

Aldesuquy, H.S., Z.A. Baka, O.A. El-Shehaty, and H.E. Ghanem. 2012. Varietal
differences in growth vigor, water relations, protein and nucleic acids content of
two wheat varieties grown under seawater stress. J. of stress Physiol & Biochem
8(1): 24-47.
Campbell, N.A., J.B. Reece, L.G. Mitchell. 2002. Biologi Edisi Kelima-jilid 1. Jakarta:
Erlangga. h.40
Djukri. 2009. Cekaman salinitas terhadap pertumbuhan tanaman. Prosiding Seminar
Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA. Yogyakarta.
Hewajuli, D.A., Dharmayanti. 2014. Pengaruh faktor-faktor ekologi terhadap
penyebaran dan stabilitas virus avian influenza di lingkungan. Wartazoa 24(3):
119-130.

Reddin, C. J., N. E. O’Connor, C. Harrod. 2016. Living to the range limit: consumer
isotopic variation increases with environmental stress [online].
https://peerj.com/articles/2034/. diakses pada 26 Maret 2018 pukul 00:16.
Salisbury, F. (1992). Plant physiology (4th ed.). Belmont: Wadsworth.
Sasongko, E.B., E. Widyastuti, R. E. Priyono. 2014. Kajian kualitas air dan penggunaan
sumur gali oleh masyarakat di sekitar sungai kaliyasa kabupaten Cilacap. Jurnal
Ilmu Lingkungan 12(2): 72-82.
Taufiq, A., dan R.D. Purwaningrahayu. 2013. Tanggap varietas kacang hijau terhadap
cekaman salinitas. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 32(3): 159-169.
Yatim, Wildan. 1987. Biologi Modern. Bandung: Penerbit Tarsito. h. 194.
LAMPIRAN

Tanaman timun (Curcuma Tanaman kacang tanah (Arachis

Sativus) hypogea L.)

Tanaman padi (Oryza Hasil panen tanaman padi,

sativa) kacang tanah, dan mentimun

You might also like