You are on page 1of 13

ACARA V: UJI ANAGONIS JAMUR

BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Agen hayati merupakan setiap organisme yang meliputi spesies, varietas,
semua jenis serangga, nematoda, protozoa, cendawan (fungi), bakteri, virus,
mikoplasma, serta organisme lainnya dalam semua tahap perkembangannya dapat
di pergunakan untuk keperluan pengendalian hama dan penyakit atau organisme
pengganggu dalam proses produksi, pengolahan hasil pertanian, dan berbagai
keperluan lainnya (Harman, 2000).
Trichoderma sp. adalah cendawan saprofit tanah yang secara alami dapat
dimanfaatkan sebagai agens hayati, karena memiliki sifat antagonisme terhadap
patogen berupa kompetisi ruang dan nutrisi, mikoparasit dan antibiosis. Selain itu
cendawan Trichoderma sp. juga memiliki beberapa kelebihan seperti mudah
diisolasi, daya adaptasi luas, mudah ditemukan di tanah areal pertanaman, dapat
tumbuh dengan cepat pada berbagai substrat, memiliki kisaran mikroparasitisme
yang luas dan tidak bersifat patogen pada tanaman (Howell, dkk. 1997).
Cendawan Colletotrichum sp. jenis patogen tanaman yang seringkali
menimbulkan permasalahan dalam berbagai usaha budidaya tanaman, luasnya
kisaran inang kedua jenis patogen ini menyebabkan besarnya peluang dalam
menimbulkan penyakit pada berbagai jenis tanaman, terlebih lagi patogen tersebut
merupakan patogen tular tanah, sehingga penyebarannya sangat mudah di lahan
petani (Nurbailis, dkk. 2005).
Cendawan Colletotrichum sp. merupakan patogen penyebab penyakit
antraknosa pada berbagai jenis komoditas, mulai dari komoditas hortikultura
sampai dengan komoditas perkebunan. Berdasarkan beberapa hasil penelitian
melaporkan bahwa cendawan Colletotrichum sp. dapat mengakibatkan
kehilangan hasil pada tanaman cabai sampai dengan 75%, menginfeksi buah
mangga dihampir semua negara penghasil mangga, dan juga menginfeksi tanaman
kakao (Nurbailis, 2008).
1.2Tujuan Praktikum
Adapun tujuan dari praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui Bioekologi dari jamur Trichoderma sp.
2. Mengetahui manfaat dari jamur Trichoderma sp.
3. Mengetahui metabolisme pengendalian patogen
BAB II. LANDASAN TEORI

Biologi Penyebab Penyakit Fusarium oxysporium f.sp cubens Di alam


jamur membentuk konidium pada suatu badan yang disebut sporodokium, yang
dibentuk pada permukaan tangkai atau daun sakit pada tingkat yang telah lanjut.
Sporodokium jamur keluar dari mulut kulit. Konidiofor bercabang-cabang, rata-
rata mempunyai panjang 70 µm. Cabang-cabang samping biasanya bersel satu,
panjangnya sampai 14 µm. Konidium terbentuk pada ujung utama atau cabang
samping. Mikrokonodium bersel 1 atau bersel 2, hialin, jorong atau agak
memanjang, berukuran 5-7 x 2,5-3 µm. Mikrokonodium berbentuk sabit,
bertangkai kecil, kebanyakan bersel 4, hialin, berukuran 22-36 x 4-5 µm.
Klamidospora bersel 1, jorong atau bulat, berukuran 7-13 x 7-8 µm, terbentuk
ditengah hifa atau pada makrokonidium (Semangun, 1994).

Fusarium oxysporium.sp licopersici Semua Fusarium yang menyebabkan


penyakit layu dan berada dalam pembuluh (vascular disease) dikelompokkan
dalam satu jenis (spesies), yaitu Fusarium oxysporium Schlecht. Jenis ini
mempunyai banyak bentuk (forma) yang mengkhususkan diri pada jenis (spesies)
tumbuhan tertentu. Jamur F.oxysporium f.sp lycopersici diketahui mempunyai
banyak ras fisiologi. Menurut Suhardi dan Bustaman (1979), yang paling banyak
terdapat dibanyak negara adalah ras 1, sedang meskipun agak sedikit ras 2 juga
terdapat. Seterusnya menurut Suhardi, ras 1 terdiri dari 2 galur. Galur putih
mempunyai virulensi yang lebih tinggi daripada galur ungu. Adanya ras-ras dan
galur-galur ini akan mempersulit usaha untuk memperoleh varietas tomat yang
tahan ( Semangun, 1996).

Sclerotium roftsii Daur Hidup F. oxysporium f.sp lycopersici dapat


bertahan lama dalam tanah dalam bentuk klamidospora. Jmaur ini adalah jamur
tanah, atau yang lazim disebut sebagai soil inhabitant. Jamur mengadakan
infeksinya pada akar, terutama melalui luka-luka, atau melalui luka pada akar
yang terjadi akibat munculnya akar lateral. Meskipun demikian jamur dapat juga
mengadakan infeksi pada akar yang tidak mempunyai luka, khususnya pada ujung
akar. Jamur berkembang sebentar dalam jaringan parenkim, lalu menetap dan
berkembang dalam berkas pembuluh (Semangun, 1996).

Jamur mengadakan infeksi melalui akar-akar. Jamur tidak dapat


menginfeksi batang atau akar-rimpang meskipun bagian ini dilukai. Setelah
masuk kedalam akar jamur berkembang sepanjang akar menuju ke batang, dan di
sini jamur berkembang secara meluas dalam jaringan pembuluh sebelum masuk
ke dalam batang palsu. Tingkat infeksi selanjutnya, miselium dapat meluas dari
jaringan pembuluh ke parenkim. Jamur membentuk banyak spora dalam jaringan
tanaman, dan mikrokonodium dapat terangkut dalam arus transpirasi (Semangun,
1994).

Gejala Serangan Gejala awal dari penyakit F. oxysporium f.sp lycopersici


adalah menjadi pucatnya tulang-tulang daun, terutama daun-daun atas, kemudian
diikuti dengan menggulungnya daun yang lebih tua (epinasti) karena
merunduknya tangkai daun, dan akhirnya tanaman menjadi layu secara
keseluruhan. Pada batang kadang-kadang terbentuk akar adventif. Tanaman kerdil
dan merana tumbuhnya (Semangun, 1996).

Tepi daun-daun bawah berwarna kuning tua, yang lalu menjadi coklat dan
mengering. Tangkai daun paah disekeliling batang palsu. Kadang-kadang lapisan
luar batang palsu terbelah dari permukaan tanah. Jika pangkal batang dibelah
membujur, terlihat garis-garis coklat atau hitam menuju ke semua arah, dari
bonggol ke atas melalui jaringan pembuluh ke pangkal daun dan tangkai. Berkas
pembuluh akar biasanya tidak berubah warnanya, namun sering kali akar tanaman
sakit berwarna hitam dan membusuk (Semangun, 1994).

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyakit layu Fusarium berkembang pada


suhu tanah 21-33 oC, dengan suhu optimumnya adalah 28 oC. Sedangkan
kelembapan tanah yang membantu tanaman, ternyata juga membantu
perkembangan penyakit. Seperti kebanyakan Fusarium, penyebab penyakit ini
dapat hidup pada pH tanah yang luas variasinya (Semangun, 1996).
Penyakit layu Fusarium lebih merugikan di tanah aluvial yang asam. Pada
umumnya di tanah geluh yang bertekstur ringan atau di tanah geluh berpasir,
penyakit dapat meluas dengan lebih cepat (Semangun, 1994).

Pengendalian Adapun pengendalian yang dilakukan dalam mengendalikan


Fusarium, yaitu dengan 1) Penanaman varietas tahan, 2) Pemakaian fungisida, 3)
Mencegah infestasi tanah, 4) Perlakuan tanah, 5) Mengendalikan populasi media
(Semangun, 1996).
Jika kelak kerugian karena penyakit ini meningkat, usaha-usaha berikut dapat
dilakukan. 1) tidak menanam jenis pisang yang rentan di lahan yang terinfestasi
patogen, 2) hanya menanam bahan tanaman (anakan) yang sehat, 3) tanaman yang
sakit beserta dengan tanah disekelilingnya dibongkar dan dikeluarkan dari kebun,
4) memelihara tanaman dengan hati-hati untuk mengurangi terjadinya luka-luka
pada akar 5) mengendalikan cacing-cacing akar (Nematoda) dengan nematisida
(Semangun, 1994).

Biologi Agen Antagonis Sistematika Trichoderma harzianum menurut Semangun


(2000) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Fungi

Phylum : Ascomycota

Class : Ascomycetes

Subclass : Hypocreomycetidae

Ordo : Hypocreales

Family : Hypcreaceae

Genus : Trichoderma

Species : Trichoderma harzianumSistematika Trichoderma koningii menurut


Semangun (2000) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Fungi

Phylum : Ascomycota
Class : Ascomycetes

Subclass : Hypocreomycetidae

Ordo : Hypocreales

Family : Hypcreaceae

Genus : Trichoderma

Species : Trichoderma koningi.

Manfaat dan Keunggulan Mendapatkan strain unggul Trichoderma yang mampu


mengkolonisasi akar dan bersifat endofit pada tanaman pisang sehingga efektif
dalam pengendalian penyakit layu Fusarium. Kemampuan kolonisasi dan
keberadaan endofit Trichoderma pada akar bibit pisang belum relefan dengan
peningkatan jumlah daun bibit pisang, tetapi ada kecendrungan interaksi
Trichoderma spp dengan ketiga jenis pisang dapat meningkatkan jumlah daun
bibit pisang (http://lp.unand.ac.id, 2010).
BAB III. METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Waktu dan Tempat praktikum


Praktikum ini dilaksanakan pada hari selasa tanggal bulan desember
2015, pukul 07.30 - 09.15. yang bertempat di gedung Laboratorium Proteksi
Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Mataram.
3.2 Bahan dan Alat praktikum
Diantara bahan yang digunakan pada waktu praktikum antara lain : jamur
dan patogen, jamurnya adalah trichoderma sp. dan patogennya adalah :
schelerotium rolfsil.,. Sedangkan alat yang digunakan antara lain : alat tulis
menulis, preparats, cawan petri, gelas benda, pinset.
3.3 Cara kerja
1. Adapun prosedur kerja yang harus dilakukan yakni:
2. Siapkan alat dan bahan yang akan digunakan.
3. Cawan yang berisi media PDA tersebut dibagian belakangnya digaris
menjadi 4 bagian.
4. Pada 2 cm dari titik tengah diletakkan jamur Colletotrichum capsici dan 2
cm kearah yang berbeda letakkan jamur Trichoderma sp.
5. Amati perkembangan jamur mulai dari hari ke-2, ke-3, ke-5 dan ke-6 dan
ukur masing-masing perubahan yang terjadi.
6. Selanjutnya hasil pengukuran di catat dan di hitung % uji antagonis dari
jamur Trichoderma sp.
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil praktikum
No Gambar Tanggal Diameter Uji Antagonis
1 Rabu, 13 TK = 1,4 cm 14%
Desember P = 1,6
2015 CK = 0,4
P = 0,3
2 kamis, 14 TK = 2,4 cm 16%
Desember P = 2cm
2015 CK = 0,9cm
P = 1,1cm
3 Rabu, 15 Dominan 100%
Desember
2015

4.2 pembahasan hasil praktikum


Uji antagonis adalah suatu cara untuk mengukur kemampuan bakteri atau
jamur antagonis terhadap pathogen pada skala invitro (skala laboratorium).
Tujuanya untuk mengetahui kemampuan jamur tersebut dalam menekan
petumbuhan dan perkembngan pathogen. Pada praktikum ini menggunakan jamur
Tricoderma sebagai jamur antagonis dan jamur C.capsici sebagai jamur pathogen.
Praktikum ini dilakukan dengan membiakan kedua jamur yang berlawanan
tersebut dalam satu wadah cawan petri yang diberi jarak, dengan demikian
keduanya akan saling menekan sehingga dapat dilihat seberapa jauh keampuan
jamur Tricoderma yang dominan dalam menekan pertumbuhan jamur C.capsici
(Harman, 2000).
Dari Praktikum yang telah dilaksanakan didapatkan data pengukuran jamur
Trichoderma dan jamur Colletorichum sebagai berikut, pada hari pertama jamur
Trichoderma sudah menampakkan dominasinya yaitu dengan luas kontrol 1,4 cm
dan luas perlakuan sedikit lebih lebar yaitu 1,6 cm sedangkan pada C.capsici
memiliki luas selebar kontrol 0,4 dan perlakuan 0,3, pada hari kedua Trichoderma
memiliki luas kontrol sebesar 2,4 cm dan perlakuan 2 cm (sudah mencapai
dinding cawan) sedangkan pada C.Capsici adalah kontrol 0,9 cm dan perlakuan
1,1 cm, pada hari ketiga dominasi Trichoderma sudah menampakkan
dominasinya, yaitu telah memenuhi cawan yang berisi media tumbuh. Jamur
Trichoderma sp. merupakan salah satu agen antagonis yang bersifat saprofit dan
bersifat parasit terhadap jamur lain. Jamur ini termasuk Eukariota. Klasifikasi
jamur Trichoderma sp. adalah sebagai berikut:
Divisi : Deuteromycota
Kelas : Deuteromycetes
Ordo : Moniliales
Famili : Moniliaceae
Genus : Trichoderma
Spesies : Trichoderma sp. (Howell, dkk. 1997).
Pada umumnya jamur Trichoderma sp. hidup ditanah yang lembab, asam
dan peka terhadap cahaya secara langsung. Pertumbuhan Trichoderma sp. yang
optimum membutuhkan media dengan Ph 4-5. Kemampuan jamur ini dalam
menekan jamur patogen lebih berhasil pada tanah masam daripada tanah alkalis.
Kelembaban yang dibutuhkan berkisar antara 80-90%. Mekanisme kerja jamur
Trichoderma sp. sebagai agen pengendalian hayati adalah antagonis terhadap
jamur lain. Penekanan patogen berlangsung dengan proses antibiosis parasitisme,
kompetisi O2 dan ruang yang dapat mematikan patogen tersebut (Nurbailis,
2008).
Jamur Trichoderma sp. memiliki banyak manfaat diantaranya adalah
sebagai berikut sebagai organisme pengurai, membantu proses dekomposer dalam
pembuatan pupuk bokashi dan kompos. Pengomposan secara alami akan
memakan waktu 2-3 bulan akan tetapi jika menggunakan jamur sebagai
dekomposer memakan waktu 14- 21 hari. Selain itu jamur Trichoderma sp.
sebagai agensia hayati, sebagai aktifator bagi mikroorganisme lain di dalam tanah,
stimulator pertumbuhan tanaman. Biakan jamur trichoderma dalam media
aplikatif dedak bertindak sebagai biodekomposer yaitu mendekomposisi limbah
organik menjadi kompos yang bermutu, serta dapat juga berlaku sebagai
biofungisida yaitu menghambat pertumbuhan beberapa jamur penyebab penyakit
pada tanaman (Nurbailis, dkk. 2005).
Mikoparasitisme dari Trichoderma sp. merupakan suatu proses yang
kompleks dan terdiri dari beberapa tahap dalam menyerang inangnya. Interaksi
awal dari Trichoderma sp. yaitu dengan cara hifanya membelok ke arah cendawan
inang yang diserangnya. Ini menunjukkan adanya fenomena respons kemotropik
pada Trichoderma sp. Karena adanya rangsangan dari hifa inang ataupun senyawa
kimia yang dikeluarkan oleh cendawan inang. Ketika mikoparasit itu mencapai
inangnya, hifanya kemudian membelit atau menghimpit hifa inang tersebut
dengan membentuk struktur seperti kait (hook-like structure), mikoparasit ini juga
terkadang memenetrasi miselium inang dengan mendegradasi sebagian dinding
sel inang. Trichoderma sp. Menghasilkan enzim dan senyawa antibiosis yang
mampu menghambat bahkan membunuh patogen. Senyawa antibiosis tersebut
yaitu gliotoxin, glyoviridin dan Trichodermin yang sangat berat menghambat
pertumbuhan patogen. Banyak juga dilaporkan Trichoderma sp. Mampu
memproduksi senyawa volatil dan non-volatil antibiotik. Senyawa ini
mempengaruhi dan menghambat banyak sistem fungsional dan membuat patogen
rentan (Harman, 2000).
Konidifor dari Trichoderma sp. dapat bercabang menyerupai piramida,
yaitu pada bagian bawah cabang lateral yang berulang-ulang, sedangkan kearah
ujung percabangan menjadi bertambah pendek. Fialid tampak langsing dan
panjang terutama apeks dari cabang, dan berukuran (2,8-3,2) μm x (2,5-2,8) μm,
dan berdinding halus. Klamidospora umumnya ditemukan dalam miselia dari
koloni yang sudah tua, terletak interkalar kadang terminal, umumnya bulat,
berwarna hialin, dan berdinding halus (Sinaga, 1989).
Mikroorganisme antagonis adalah mikroorganisme yang mempunyai
pengaruh yang merugikan terhadap mikroorganisme lain yang tumbuh dan
berasosiasi dengannya. Jamur antagonis meliputi :
(a) Kompetisi nutrisi atau sesuatu yang lain dalam jumlah terbatas tetapi tidak
diperlukan oleh OPT
(b) Antibiosis sebagai hasil dari pelepasan antibiotika atau senyawa kimia yang
lain oleh mikroorganisme dan berbahaya bagi OPT
(c) Predasi, hiperparasitisme, dan mikroparasitisme atau bentuk yang lain dari
eksploitasi langsung terhadap OPT oleh mikroorganisme yang lain
(Nurbailis, dkk. 2005).
Inokulasi Trichoderma sp. ke dalam tanah dapat menekan serangan
penyakit layu yang menyerang di persemaian, hal ini disebabkan oleh adanya
pengaruh toksin yang dihasilkan cendawan ini. Selain itu Trichoderma sp.
mempunyai kemampuan berkompetisi dengan patogen tanah terutama dalam
mendapatkan Nitrogen dan Karbon. Mekanisme utama pengendalian patogen
tanaman yang bersifat tular tanah dengan menggunakan cendawan Trichoderma
sp. dapat terjadi melalui :
a. Mikoparasit (memarasit miselium cendawan lain dengan menembus dinding
sel dan masuk kedalam sel untuk mengambil zat makanan dari dalam sel sehingga
cendawan akan mati).
b. Menghasilkan antibiotik seperti alametichin, paracelsin, trichotoxin yang dapat
menghancurkan sel cendawan melalui pengrusakan terhadap permeabilitas
membran sel, dan enzim chitinase, laminarinase yang dapat menyebabkan lisis
dinding sel.
c. Mempunyai kemampuan berkompetisi memperebutkan tempat hidup dan
sumber makanan.
d. Mempunyai kemampuan melakukan interfensi hifa. Hifa Trichoderma sp.
Akan mengakibatkan perubahan permeabilitas dinding sel (Howell, dkk. 1997).
Diketahui bahwa beberapa spesies Trichoderma mampu menghasilkan metabolit
gliotoksin dan viridin sebagai antibiotik dan beberapa spesies juga diketahui dapat
mengeluarkan enzim b1,3-glukanase dan kitinase yang menyebabkan eksolisis
pada hifa inangnya, namun proses yang terpenting yaitu kemampuan mikoparasit
dan persaingannya yang kuat dengan patogen. Beberapa penelitian yang telah
dilakukan, Trichoderma Sp memiliki peran antagonisme terhdap beberapa
patogen tular tanah yang berperan sebagai mikoparasit terhadap beberapa tanaman
inang. Chet (1987), berpendapat bahwa bahwa mikoparasitisme dari Trichoderma
Sp. merupakan suatu proses yang kompleks dan terdiri dari beberapa tahap dalam
menyerang inangnya. Interaksi awal dari Trichoderma Sp. yaitu dengan cara
hifanya membelok ke arah jamur inang yang diserangnya, Ini menunjukkan
adanya fenomena respon kemotropik pada Trichoderma Sp. karena adanya
rangsangan dari hyfa inang ataupun senyawa kimia yang dikeluarkan oleh jamur
inang. Ketika mikoparasit itu mencapai inangnya, hifanya kemudian membelit
atau menghimpit hifa inang tersebut dengan membentuk struktur seperti kait
(hook-like structure), mikoparasit ini juka terkadang mempenetrasi miselium
inang dengan mendegradasi sebagian dinding sel inang (Sinaga, 1989)
BAB V. KESIMPULAN

Adapun kesimpulan dari praktikum ini adalah sebagai berikut:


1. Pada umumnya jamur Trichoderma sp. hidup ditanah yang lembab, asam
dan peka terhadap cahaya secara langsung. Pertumbuhan Trichoderma sp.
yang optimum membutuhkan media dengan Ph 4-5. Kemampuan jamur ini
dalam menekan jamur patogen lebih berhasil pada tanah masam daripada
tanah alkalis.
2. Jamur Trichoderma sp. memiliki banyak manfaat diantaranya adalah
sebagai berikut sebagai organisme pengurai, membantu proses
dekomposer dalam pembuatan pupuk bokashi dan kompos.
3. Mekanisme utama pengendalian patogen tanaman yang bersifat tular tanah
dengan menggunakan cendawan Trichoderma sp. dapat terjadi melalui
mikoparasit, menghasilkan antibiotik, mempunyai kemampuan
berkompetisi memperebutkan tempat hidup dan sumber makanan, serta
mempunyai kemampuan melakukan interfensi hifa.

You might also like