You are on page 1of 21

TUGAS EKOLOGI TUMBUHAN

“SPESIES DALAM LINGKUNGAN KOMPLEKS”

DISUSUN OLEH KELOMPOK I :

BAIQ WINDA AULIA (E1A014009)

CAHYA HIMAWAN (E1A014007)

DINA AKALILI (E1A014012)

MASAYU DISKA PRILLIZA (E1A014027)

MIFTAHUL HUSNIATI KIA (E1A014029)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MATARAM

2017
BAB II. SPESIES DALAM LINGKUNGAN KOMPLEKS

II. 1 Spesies sebagai Unit Ekologi


 Spesies Ekologis
Sifat-sifat individu spesies akan banyak berpengaruh pada sifat komunitas, karena
akhirnya sebagai unit terkecil terakhir yang menyusun vegetasi atau komunitas adalah
tingkatan spesies.
berbicara tentang ekologi spesies/autoekologi, otomatis akan muncul ke permukaan
pertanyaan umum autoekologi. Sebagai misalnya :
1) Bagaimana anggota komunitas tumbuhan yang hanya satu spesies dalam komunitas
dapat “survive” dalam menghadapi lingkungan mereka?
2) Kemudian, pertanyaan berikutnya secara kebetulan juga dapat diajukan : Apakah
yang disebut spesies ekologis?
Spesies taksonomi tersusun oleh individu dan populasi yang kemungkinan secara
genetis bersifat heterogen.
Sedangkan spesies ekologis, secara genetic merupakan koleksi tumbuhan lebih
homogeny yang beradaptasi terhadap seperangkat kondisi lingkungan

 Interaksi
Bagian lingkungan organisme tersusun oleh tumbuhan dan hewan yang berdekatan,
dan tumbuhan tersebut dapat merupakan anggota spesies sama atau bukan anggota spesies
sama. Oleh karenanya, interaksi sepasang organisme dapat terjadi disetiap bagian
continuum vegetasi.
Mereka mungkin secra kebetulan dalam bentuk obligat, atau dalam bentuk mutualis
yang menguntungkan dan mutualis yang merugikan.
Interaksi dapat dihubungkan oleh factor kimia, atau factor fisik, dan akhirnya akan
mempengaruhi dan menentukan distribusi ruang (spatial) individu.
Pola distribusi suatu spesies, yang hanya terbatas pada suatu tempat dapat
merupangan perlambangan (Clue) pertama bagi ekologiwan tentang adanya suatu bentuk
interaksi.

II. 2 Faktor Lingkungan Dan Distribusi Tumbuhan

1
Permukaan bumi pada hakikatnya merupakan system jaringan factor lingkungan yang
berubah menurut ruang dan waktu.
Kita dapat memperhatikan berbagai bentuk ekstrem lingkungan dan bentuk gradient
lingkungan yang berpengaruh kepada tumbuhan, dan menghubungkannya dengan sifat
toleransi fisiologi spesies, dan juga dihubungkan dengan evolusi tumbuhan yang
mencerminkan variasi lingkungan kompleks.
Kita memperhatikan hal-hal tersebut tidak hanya pada level organ individu, seperti daun,
mialnya yang semuanya bereaksi secara fisiologis dan secara perkembangan terhadap
lingkungan mereka.
Beberapa prinsip umum perlu di diskusikan dalam bab ini, yaitu : Hukum Minimum,
Teori Toleransi, dan Konsep Holocoetric.

2.1 Hukum Minimum


Dalam tahun 1840, Justus von Liebig menulis tentang hasil sembarang panenan
tergantung pada zat makanan atau nutrient tanah yang paling terbatas dalam jumlahnya.
Kemudian masalah tersebut diperluas, sehingga didefinisi bebas hokum minimum
menjadi :
“Pertumbuhan dan atau distribusi spesies bergantung pada satu factor lingkungan
yang paling kritis dalam kebutuhannya.”
Validitas hokum tersebut telah diperlihatkan di banyak tempat diseluruh dunia.
Sebagai misal :
1) Pertumbuhan jelek beberapa padang Clover (Trifolium) di Australia, jelas sebagai
hasil kondisi tanah yang kekurangan atau didefisiensi dalam mirko-nutrient Cu, Zn,
atau Mo (Molybdenum). Dengan penambahan Cu-sulfat atau Zn-sulfat yang hanya
6-8 Kg per hektar setiap 4-10 tahun ternyata dapat menaikkan pertumbuhan vegetasi
daerah tersebut sebesar 300%. Sehingga pada gilirannya, menaikkan hasil wool dari
biri-biri yang merumput dan dipelihara pada vegetasi padang Clover tersebut.
2) Dengan hanya pemberian sejumlah kecil, yaitu 140 g per hektar sodium molybdate,
ang diberikan setap 5-10 tahun, ternyata dapat meniakkan hasil padang rumput 6
sampai 7 kali (Moore 1970).

2
3) Di Inggris, kisaran golongan calsicole tertentu (tumbuhan pada tanah yang kaya
kalsium dengan pH basa) akan berakhir secara mendadak, manakala pH tanah turun
di bawah 5 (Grubb et al. 1969 ; Rorison 1969).
4) Di Kalifornia, kelimpahan semak chaparral menyusut (sering menjadi nol) kalua
substrat tanah berubah menjadi serpentinite, yang mempunyai level calcium rendah
luar biasa (Walker, 1954).

 Keterbatasan Hukum Minimum


Ada dua pembatas terhadap Hukum Minimum :
1) Organisme mempunyai toleransi limit atas dan bawah terhadap setiap factor.
2) Kebanyakan factor lebih bekerja secara bersama seperti halnya sebuah konser
daripada bekerja secara tersendiri atau secara isolasi.

Level rendah satu factor sering dapat dikompensasi sebagian oleh level factor lain
yang sesuai, atau pengaruh suatu factor dapat diperkuat oleh factor lain sehingga dapat
mencapai batas maksimum atau minimum.

2.2 Teori Toleransi


Victor Shelford (1913) mencatat adanya kelemahan pada konsep hokum minimum
Liebig, dan kemudian mengusulkan perubahan atau modifikasi menjadi Teori Toleransi.
Ronald Good, ahli geografi tumbuhan, kemudian mengembangkannya (1931, 1953),
sebagai berikut :
“Masing-masing spesies tumbuhan mampu hidup baik dan berhasil memperbanyak
diri hanya kalua tumbuhan dalam kisaran tertentu pH, kelembaban tanah, intensitas
cahaya, dan lain sebagainya.”
Secara umum, Good memberi nila factor iklim lebh tinggi di atas factor fisik, dan
keduanya di atas factor biotik (Kompetisi dll).
Tetapi, beberapa ekologiwan sangat tidak setuju dengan kesimpulan Good, dan
percaya bahwa factor edafik atau biotik justru lebih penting daripada factor klimatik dan
hal ini tergantung pada spesies yang dibicarakan.

3
Kisaran toleransi bergantung pada factor lingkungan, stadia fenologis, dan masa evolusi.
Kisaran toleransi tak dapat ditentukan dari sifat fisiologis yang harus diukur secara
eksperimental.

 Kompetisi memodifikasi toleransi


Beberapa percobaan yang secara dramatis menunjukkan bagaimana kisaran
toleransi atau optimum untuk factor fisik dimodifikasikan oleh kompetisi (Harper
1964 ; Ellenberrg 1958).
1) Misalnya, bila gulma annual umum Raphanus raphanistrum dan Spergula
arvensis diumbuhkan dalam pot terpisah dan dalam kondisi terkendali, kurve
pertumbuhan menunjukkan persamaan kisaran toleransi pH dan optima.
Raphanus memperlihatkan pertumbuhan optimum pada pH 5, dan Spergula
menunjukkan optimum pada pH 6.
Tetapi bila ditumbuhkan bersama, optimum Spergula bergeser ke pH 4 dan
kisarannya untuk pertumbuhan bagus menjadi sempit, sedangkan optimum
Raphanus bergeser sedikit ke arah pH 6 dan kisaran toleransi masih seperti bila
tumbuh sendiri.

 Kisaran fisiologi dan kisaran ekologi


Kondisi di mana spesies dapat hidup dan tumbuh terbagus dalam isolasi adalah
merupakan kisaran potensial (fisiologis) dan optimum potensial (fisiologi).
Keadaan tersebut dapat berbeda dari kisaran ekologi dan optimum ekologi yang
teramatitumbuh di alam, di mana spesies tumbuh bersama dalam kompetisi dengan
spesies lain.
Peranan kompetisi dalam distrubusi tumbuhan adalah sangat penting. Tak
diragukan, bahwa bentuk interaksi biotik lain, seperti herbivori dan polinasi juga
berpengaruh pada distribusi spesies.

2.3 Konsep Holocoentric Lingkungan

Kira-kira 100 tahun lalu sesudah Humboldt menulis bahwa sembarang yang nampak
hidup bersama saling terkait dan saling tergantung satu sama lain (sifat ekosistem), Karl

4
Friederich memberi nama sifat ekosistem dengan nama : Holosenotik (Holoceoenotic).
(Holocoen adalah sinonim dengan ekosistem).

Konsep holosenotik adalah suatu klimaks alami terhadap modifikasi lain pada hokum
minimum Liebig.

Konsep holosenotik menyatakan bahwa tidak mungkin untuk mengisoler arti penting
faktor lingkungan tunggal yang berpengaruh terhadap distribusi atau kelimpahan suatu
spesies, karena faktor-faktor tersebut bersifat saling bergantung satu sama lain atau
interdependen, dan dapat bekerja secara sinergitik.

Karenanya, faktor-tunggal ekologi, yaitu suatu faktor lingkungan penting yang paling
menentukan distribusi tumbuhan, adalah tak terpikirkan dalam kasus tersebut, dan ini
dianggap sangat naïve menurut jalan pikiran konsep holosenotik.

 Faktor pemicu

Konsep holosenotik tidak berarti bahwa semua faktor harus setara atau
mempunyai bobot sama. Faktor tertentu dalam suatu ekosistem dapat mendominer
yang lainnya. Billings (1970) menanamkan faktor tersebut sebagai faktor pemicu
(trigger).

II. 3 Spesies Taksonomis.


Ternyata belum ada kesepakatan dalam definisi kerja spesies. Definisi spesies tersebut
disintesakan dari beberapa sumber :
“Suatu spesies terdiri atas grup populasi alami yang secara morfologis dan ekologis serpa,
dan yang dapat atau tidak dapat ber-interbreeding, tetapi yang secara reproduktif
(keturunannya) terpisah dari grup lain serupa.”

Tiga aspek klasifikasi digabungkan dalam definisi ini :

1) Kenampakan luar (morfologi),


2) perilaku breeding, dan
3) habitat yang jelas berbeda.

5
Aspek habitat, bagi kebanyakan taksonomiwan adalah jelas berbobot terendah, dan aspek
morfologi atau isolasi reproduktif menerima bobot paling besar dalam penentuan tentang apa
yang disebut spesies.

Taksonomiwan tradisional memberi bobot morfologi tertinggi, sedangkan


biosistematiwan memberi bobot lebih tinggi pada isolasi reproduktif.

Banyak biologiwan percaya bahwa organisme hidup akan tetap dan tidak berubah secara
kontinu selama dalam seluruh kisarannya, sehingga kurang lebih termasuk ke dalam grup yang
tegas sekali, yang kemudian, umum disebut spesies.

3.1 Taksonomiwan Tradisional

Taksonomiwan tradisional memegang teguh filosofi spesies yang tegas (discrete).


Taksonomiwan tradisional mengamati terutama morfologi tumbuhan, dan mencari
beberapa sifat konservatif yang secara genetis menentukan sifat tersebut yang secara
konsisten memungkinkan pemisahan tumbuhan ke dalam grup yang berbeda tegas.

Karakter yang dipilih adalah yang menunjukkan diskontinuitas dan yang paling
berguna dalam memisahkan spesies. Namun, harus diakui bahwa proses seleksi karakter
tersebut sesungguhnya agak bersifat subyektif.

3.2 Biosistematiwan
Biosistematiwan, tertarik dalam penentuan unit biotik alami: yaitu, populasi
tumbuhan yang mempertahankan perbedaannya karena adanya barier biologis yang
secara genetis memisahkan mereka dari populasi lain.
Barier isolasi ini dapat disebabkan karena perilaku breeding, isolasi habitat dan
geografis, atau tak mampu untuk membentuk hibrid fertile dengan grup sejenis yang erat.
Konflik timbul antara biosistematiwan dan taksonomiwan tradisional karena unit
biotik alami tidak selalu sesuai dengan grup yang sangat tegas.
Sebagai missal, dua populasi spesies tradisional yang sama dapat dibuktikan dengan
penyilangkan di rumah kaca akan menghasilkan buah tanpa biji atau keturunan infertil;
sehingga menurut ahli biosistematik, mereka bukan dua spesies sama, tetapi merupakan
dua spesies biosistematik berbeda.

6
Kaum taksonomi tradisional berdalih bahwa sifat yang tak terlihat sedemikian
sebagai kemampuan persialangan, secara teoritis tidak penting dan tidak mempunyai nilai
praktis. Juga, silangan rumah kaca dapat merupakan tiruan penyilangan yang tidak valid
di alam.
Satu kesulitan lebih lanjut pada pendekatan biosistematik adalah bahwa
kemampuan persilangan adalah sangat jarang atau tak ada, sehingga keputusan subyektif
masih tetap ada. Misalnya, jika populasi A dan B adalah 78% “infertile”. Apakah A dan
B dalam spesies sama?

3.3 Kesimpulan tentang persoalan spesies.


1) Pertama, proses penentuan dan pembatasan spesies berbeda dari taksonomiwan ke
taksonomiwan lain, tetapi ada satu faset di mana semua pendekatan yang berbeda
sama-sama berbagi pada tingkat tertentu. Sehingga hasilnya bersifat
arbitrary/sekehendak hati. Jadi, spesies yang ditentukan dengan berbagai pendekatan
tersebut sebagian bersifat alami, dan sebagian bersifat artifact.
2) Kedua, karakteristik habitat belum atau jarang dianggap penting sebagai kriteria
taksonomis. Akibatnya, beberapa spesies yang mempunyai kisaran luas, dan ini
diragukan bahwa mereka secara genetis merupakan satuan homogen.
Dapatkah secara umum, walaupun agak arbitrary, spesies taksonomis diberi batasan
kembali atau dibagi lagi untuk membuat mereka sebagai alat ekologi yang lebih baik?
Jawabnya adalah ya menurut teori, dan sering dapat dijawab tidak dalam praktek.

II. 4 Spesies Ekologis


Tujuan akhir suatu ilmu adalah supaya dapat membuat prediksi akurat atau kesimpulan
tertentu tentang suatu sistem, apakah itu kimia, fisika atau biologi.
Ekologiwan tumbuhan ingin memakai spesies sebagai alat deduktif untuk dapat
memahami ekosistem. Jika persyaratkan ekologi spesies A diketahui, dan pola alokasi
sumberdaya dipahami, kemudian kehadiran dan tingkat kesuburan spesies A di sembarang
tempat memungkinkan kita untuk membuat banyak kesimpulan tentang lingkungan, seperti
kedalaman tanah, level nutrient tanah, kekerapan/frekuensi terjadinya beku, intensitas cahaya,

7
lamanya musim pertumbuhan, frekuensi gangguan, dan ada atau tak adanya tumbuhan dan
hewan lain yang mungkin berinteraksi dengan spesies tersebut.
Tipe analisis sedemikian adalah tujuan kita. Dalam bagian ini kita bertanya : Mungkinkah
spesies tumbuhan secara teoritis dapat dipakai sebagai alat deduktif?

II. 5 Ekotipe

Spesies taksonomis sesungguhnya tidak homogen : Tumbuhan yang termasuk dalam


anggotanya bervariasi dalam tinggi, ukuran daun, waktu berbunga, atau sifat lain, karena
adanya perubahan dalam intensitas cahaya, garis lintang/latitude, elevasi, atau karakteristik
situs lain.

a) Ekotipe menurut Kerner :

Menurut Kerner, adanya variasi pada spesies tersebut diatas dianggap sebagai
tanggapan yang sifatnya plastis, dan bukan sebagai tanggapan genetis yang dapat
diturunkan (heritable).

b) Ekotipe menurut Turesson :


Kesimpulan Kerner tersebut ditentang oleh percobaan Turesson pada awal abad 19.
Dia membuat hipotesis bahwa banyak variasi dalam spesies adalah dapat diturunkan dan
merupakan adaptasi terhadap habitat khusus dalam kisaran spesies.
Pertama-tama dia mengamati tumbuhan hanya dari Sweden, tetapi kemudian dia
mengkaji spesies yang berkisar di seluruh Eropa. Untuk masing-masing spesies (biasanya
perennial), dibawa pulang material vegetatif atau biji dari berbagai habitat atau wilayah,
dan menumbuhkannya dalam kebun uji dekat rumahnya di Akarp, Sweden.
Dia mempunyai alasan bahwa catatan perbedaan morfologi dan fenologi di
lapangan tetap bertahan di kebun uji.

HALAMAN 30-35

Sehingga sifat tersebut bersifat heritable dan berdasarkan ginetis.

Table. Beberapa sifat marfologis dan fenologis ekotipe hawkweed (Hieraceum


umbellatum), seperti yang diungkapkan dalam kebun turesson.

8
Ekotipe
Sifat Lahan belukar Ladang Dune
Habitus Tegak Merayap Intermediet
Daun Lebar Intermediet Sempit
Rambut Tak ada Ada Tak ada
Dormansi autumn Ada Ada Tak ada

Tabel diatas adalah ringkasan penelitian ekotipe hawkweed herbalpernnial


(hieracetum umbellatum), yang di swedeen selatan tumbuh pada san dune pantai, pada
lahan depan berbatu, dan pada lading pedalaman dan padang belukar. Perbedaan sifat
pada lepangan tetap ada pada kebun uji.

Apakah tipe perbedaan ginetis ini karena berada pada tumbuhan yang berasal dari
tumbuhan yang berbeda species? Turesson membuat semua silangan dan semua hasil
silanagan bersifat interfetile.

Kesimpulannya, tipe-tipe tersebut secara teknik merupakan bagian suatu species


tunggal dan bukan dari dua species yang berbeda. Turesson menyebut satuan ini sebagai
ekotipe. Suatu ekotipe adalah sebagai produk tanggapan ginetik dalam suatu populasi
terhadap habitat.

Ini adalah suatu populasi atau group populasi yang dibedakan oleh karakter
morfologi dan atau fisiologi, dan bersifat interfetile dengan ekotipe lain dari species sama
tetapi biasanya mereka terhalangan dari proses interbreeding alami oleh karena adanya
barier ekologis.

Trasson juga menciptakan terem ekospesies (hampir sama dengan unit alaminya
biosistemtaik) Dan coenos spesies ( setra genus dengan bebrapa spsesies atau satu seksi
dari genus yang besar ).

 Elemen ekotipe.
Elemen- elemen yang merupakan bagian konsep ekotipe menurut Tarasoon adalah
sbb :
1) Ekotipe harus berdasarakan pada sifat genetic,

9
2) Perbedaanya dapat berupa morfologi, fisiologi, fenolog atau ketiga tiganya,
3) Mereka hadir dalam tipee habitat yang jelas berbeda,
4) Perbedan genetic adalah sebgai adaptasi terhadapat perbedaan habitat,
5) Mereka berpotensi interfetile ( saling subur , sama-sama subur ) dengan ekotipe
lain dari spesies sama, dan
6) Mereka merupakan satuan yang tegas , dengan perbedaan nyata yang
memisahkan satu ekotipe dengan lainnya.

Konsep modern kita tentang ekotipe ternyata tidak harus selamanya sesuai dengan
semua elemen yang dipersyaratkan oleh turesson.

c) Kajian Clausen dkk. :


Pada waktu sama diamana turesson memberikan (describe) ekotipe dalam 50 spesies
umum di eropa, tiga biologiwan lain melaporkan hasil yang sama dengan tumbuhan
parinneal dari amerika utara.
Dalam tahun 1992, jens klausen, ahli genetika dan sitologi, david keck,
taksonomiawan, dan William hiesey, ahli ekologi fisiologi membuat transek kajian
panjang 323 km di California.
Walaupun keanekaragam lingkungan besar disepanjang transek, klausen, keck,
hiesey mampu menemukan kira-kira 180 spesies yang tumbuh berkisar meluas pada
transek tersebut.
Setiap spesies dikumpulkan diberbagai lokasi sepanjang transek, dibawa pulang
ditempatkan didalam rumah kaca di Stanfort, dibuat klone, ditumbuhkan selama 6 bulan,
kemudian ditanam di kebun uji sepanjang transek.
Mula-mula ada 11 kebun, tetapi kemudian jumlahnya segera dikurangi menjadi 3,
stanfort, dengan permukaan laut, mather, dipertengahan elevasi sierra Nevada, dan
timberline.
Kira-kira 60 spesies cukup terputus-putus untuk dapat survive pada penanganan
pertama, pertumbuhannya, fenologi dan mortalitas di ikuti selama 16 tahun.
Herba perennial potenntila glandulosa dapat dipakai sebagai contoh hasilnya.

10
Berdasarkan morfologi, fenologi, fisiologi, dan habitat, terdapat empat ekotipe dalam
spesies ini (klausen, keck dan hiesey memilih term taksonomi lebih konserfstif :
subspecies, tetapi ekotipe adalah sinonim dalam kasus ini).
 Ekotipe typika adalah bentuk lahan bawah
 Ekotipe reflexa dan hanseni adalah bentuk elevasi tengah
 Ekotipe nevadensis, timberline pada lahan teratas.

d) Kesimpulan Clausen dkk. :


Clausen, keck, dan hiesey berkesimpulan bahwa kebanyakan spesies terdiri atas
sekumpulan ekotipe. Masing berkisar dalam ukuran populasi tunggal sampai group
regional dari populasi banyak, makin luas kisaran spesies, makin banyak ekotipe dalam
spesies tersebut.
e) Sinonim ekotipe
Term ras (race), genotipe (genotype) dan ras ekologis (ecological race) sering
dipakai sinonim untuk ekotipe
Varian genetic secara acak (individu atau group individu) dalam ekotipe disebut
biotipe (biotype).
Populasi yang keunikannya dialam disebabkan karena plastisitas dan genetic disebut
ekofen (ecophene) atau fenokotipe (phenekotype), untuk membedakan mereka dari
ekotipe.

II. 6 Ekoklin (Ecocline)


Konsep ekotipe turesson nampaknya sepintas selalu dapat member kepada kita, bahwa
spesies ekologi sebagai alat dedukasi lingkungan yang kita cari dapat ditemukan. Namun,
ternyata banyak riset pada waktu sekarang yang menunjukan bahwa hal tersebut hanya
mempunyai penggunaan atau aplikasi yang terbatas.
a) Penelitian Gregor
Gregor 1946 mengamati dengan seksama apa yang pertama tama tampak sebagaia
merupakan dua ekotipe tumbuhan pelantain pantai, Pelatago maritima.

11
Satu ekotipemenempati di rawa garaman yang teratur tergenang oleh pasang tinggi
dengan salinitas tanah mendekati 2,5%. Tumbuhan ini mempeunyai daun pende, biji
kecil, dan tebal, pendek, tangkai bunga berbaring (decumbent).
Ekotipe lain mnempati padang non saline jauh di pedalaman, dan ini mempunyai
daun lebih panjang, biji besar, lebih kurus, tinggi, tangkai bunga lebih tegak.
Gregor mengumpulkan biji tiap ekotipe dan menebarnya di kebun uji. Lagipula, dia
juga mengumpulkan dan enebar biji dari tumbuhan yang tumbuh di daerah perbatasa
(ekotone), suatu habitat intermediate.
Tumbuhan yang di hasilkan menujukan bahwa perbedaan lapangan secara genetic
adalah tetap, tetapi yang lebih penting adalah, mereka menunjukan bentuk gradasi
continue daris satu bentuk ektrem satu ekotipe, atau bentuk lainya.
Tak ada batas tegas anatara dua ekotipe, atau bahakan antra satu ekotipe dngan
tumbuhan yang berasal dari daerah ecotone.

b) Penelitian Langlet
Langlet (1959) , teman senegara Turesson membawa biji pinus (Pinus syilveltris) dari
580 situs selurus Sweden di tanam di kebun uji. Ketika dia mengamati pohon remaja
(sapling) untuk laju pertumbuhan dan sifat morfologi, dia tidak menimbulkan bentuk-
bentuk ekstrem sangat berbeda, tetapi merupakan suatu bentuk cline, yaitu suatu variasi
kontinuum, menghubungakn bentuk-bentuk ekstrem.
Tidak ada pemutusan tajam dalam kisaran variasi bentuk, sehingga orang bias sangat
mudah mengatakan ekotipe A berakhir dan ekotipe B mulai.

c) Penelitian Cavers dan Harper.


Cavers dan Harper (1967) juga menemukan variasi yang nyata dalam apa yang di
sebut ekotipe yang jelas dari gulma annual Rumex crispus.
Mereka memakai tanggapan perkecambahan sebagai indikator Heterogenitas
genetik. Pertama-tama mengumpulkan biji yang berasal dari :
1. Populasi berbeda (biji Dipool dari banyak tumbuhan dari tiap populasi)
2. Kemudian dari tumbuhan terpisah dalam populasi sama
3. Kemudian dari inflorencence tumbuhan sama

12
4. Dan akhirnya dari bagian atas dan bawah inflorencence sama

Pada setiap kasus, member hasil bahwa kisaran tanggapan perkecambahan adalah
sangat besar dari populasi ke populasi, dari umbuhan ke tumbuhan, dan seterusnya.
Implikasi penelitian tersebut adalah bahwa sifat genetik, adaptif, dapat berfluktuasi
sama luasnya.
Disini, sekali lagi, suatu ekotipe dalam sifatnya sama heterogennya dengan spesies
yang mempunyai kisaran luas.

d) Konsep ekotipe masih tetap berguna.


Namun, konsep ekotipe dalam batas tertentu masih tetap berguna, karena tekanannya
pada heterogenitas spesies taksonomi dan pengaruh lingkungan local terhadap morfologi,
fisiologi, dan kepada ke tingkat yang lebih tidak nyata, yaitu pada prilaku tumbuhan.
Konsep ekotipe mempunyai arti praktis terhadap penghutanan kembali atau proyek
revegetasi secara umum.
Namun konsep ekotipe secara tipikal tidak memungkinkan orang mengenal populasi
homogeny atau group. Populasi di alam untuk dapat digunakan sebagai sarana ekologi
secara umum. Ekotipe pada hakikatnya tidak lebih tegas dan terpisah dari yang lain
dariada spesies sendiri.
e) Konsep Stairstep dan Konsep Ekolin Ekotipe.
Konsep Undakan/ Stairstep Ekotipe Turesson harus diganti dengan suatu konsep
ekolin (Ecocline).
Suatu ekolin adalah suatu gradasi atau tingkatan dalam sifat suatu spesies (atau sering
juga untuk komunitas atau ekosistem) yang berhubungan dengan gradient lingkungan.
Turesson dan pada beberapa keadaan juga clausen, keck, dan hiesey, menganggap
ekotipe sebagai bentuk tegas karena disebabkan metode sampling yang dupakai agak
menyangsikan hasilnya : material tumbuhan dipilih dari tempat terpisah jauh, dan daerah
ekotone (perbatasan) dilupakan.
Ekotipe, kemudian, hanya sekedar segmen arbitrary sebuah ekoklin, yang hanya
lebih cocok untuk pengenalan acuan saja.\

13
II. 7 Genoecoclinodeme
Semenjak karya Turesson dan Clausen, Keck, dan Hiesey, ekotipe dan ekoklin telah
banyak diterapkan dalam banyak spesies, tetapi ketegaran definisi ekotipe telah hilang.

Term Gilmour tentang Ekotipe

Gilmour memikirkan keseluruhan system nomenklatur yang menghilangkan perlunya


memakai Term Ekotipe dan yang member presisi hasil riset Autekologi dan Biosistematik.

Semua Term adalah merupakan awal terhadap akhiran netral, -demeh, yang tidak pernah
berdiri sendiri tetapi dapat ditentukan sebagai group individu sejenis yang dekat. Misalnya :
Topodeme adalah group individu Ko-Eksis dalam local tertentu.

Gamodeme adalah group individu yang ber-interbreeding alam (setara terhadap Term
populasi)

Ecodeme adalah group dalam suatu habitat spesifik dan unik.

Genodeme adalah suatu group yang secara genetic berbeda satu sama lain

Phenodeme adalah group yang perbedaannya belum diketahui berupa genetic.

Plastodeme adalah group yang perbedaannya diketaui bukan genetik.

Genoekodeme adalah group perbedaannya adalah secara genetis tetap dan yang hadir dalam
habitat unik, dan yang merupakan bagian suatu cline gradasi kontinu.

Pendeknya, genoecocline adalah secara ekotipe.

Tidak mengherankan, system akhiran ganda ini mengalami hambatan dalam penerimaan
pemakaian, walaupun objektifitas dan presisi dapat dianjurkannya.

Kita akan tetap akan memakai Term ekotipe dalam buku ini, tetapi ini sinonim dengan
Genoecocline, mengingatkan arti sesungguhnya Ekotipe.

14
II. 8 Riset Ekotipe pada Level Fisiologi

Satu aspek riset Ekotipe sekarang telah mengungkapkan persoalan rumit tentang fisiologi,
dasar metabolis, adaptasi tumbuhan terhadap habitas lokal. Aspek ini akan digambarkan
dengan suatu seri penyelidikan yang membawa pengertian kita lebih dekat kepada dasar
pokok yang mengendalikan adaptasi, yaitu Gene sendiri.

1) Ekotipe Oxyria digyna

Harold Mooney dan Dwight Dillings (1961) menerbitkan kajian klasik pada herbal
Perenial Oxyria Digyna.

Oxyria mempunyai distribusi di keliling-boreal ditundra arktik tanpa pohon dan


meluas keselatan ditundra alpina dibeberapa pegunungan. Sebaliknya di Amerika Serikat
tumbuhan itu ditemukan pada elepasi tinggi di Siera Nevada dan Rocky Montain.

Karena adanya dua ekstrim ligkungan, maka ada duaekstrim ekotipe Oxyria. Mooned
dan Billings menunjukan bahwa ekotipe arktik dan alpine berbeda secara morfologi dan
fenologi dan bahkan bila ditumbuhkan bersama yang berasal dari biji dalam ruang
terkendali tiruan alam, lingkungan seragam (kebun uji modern). Mooney dan Billings
juga menunjukan bahwa metabolism dua ekotipe berbeda.

Perbedaan fisiologi ini sangat boleh jadi berkolerasi dengan factor enzimatik dan
factor biokim lain, tetapi Mooney dan Billings tidak melanjutkan penelitian sampai pada
level tersebut.

2) Ekotipe Typha fatifolia

Spesies Cattail, Typha latifolia, adalah tersebar luas dihemisphere utara. Mcmughton
(1966) mengumpulkan rimpang dorman dari habitat berbeda seperti, dingin, maritime,
pantai fasifik berkabut padat pada point reyes, kalifornia dan tempat yang relative panas,
lembah sacramento kering dekat Ret Bluff, kalifornia, lebih daripada 100 Km di
pedalaman.

Dia menempatkan rimpang di pot dan menempatkan di rumah kaca dengan suhu
diatur 30/25oC siang atau malam, dimana mereka mematahkan dormancy, menghasilkan
tunas dan tumbuh selama 3 bulan. Dia kemudian mengambil sampel jaringan daun,

15
enzimnya diekstrak, dan ekstrak mendapat tekanan panas 50oC untukk waktu sampai 30
menit. Ini memacu suhu daun dimana tumbuhan Red Bluff berpengalaman di alam.

Tumbuhan point reyes mungkin tidak berpengalaman suhu dauun di alam lebih tinggi
daripada 30oC.

Setelah tiap periode tekanan panas, dia menguji aktivitas 3 enzim pernapasan
penting: maltae dehydrogenase, glumate oxalnacetate, dan aldolase.

Dia menganggapbahwa ekotipe Red Bluff yang toleran panas harus terletak dalam
stabilitas panas dari beberapa atau semua enzimya.

Malate dehydrogenase jelas lebih stabil panas pada ekotipe Red Bluff daripada
ekotipe Point Reyes : 2 enzim lain menunjukkan tak ada perbedaan.

Malate dehydrogenase dapat berbeda pada 2 ekotipe dalam banyak cara yang
mungkin menaikkan stabilitas dan aktivitas.

Dalam makalah lain, McNaughton (1967) menunjukkan bahwa ekotipe Cattail dari
Point Reyes pada permukaan laut dan Wyoming apa elevassi 1980 M berbeda dalam
efesiensi fotosintesisnya. Elevasi tinggi, ekotipe musim pertumbuhan pendek
memperlihatkan kira-kira 2 kali lanjut fotosintesis dari ekotipe Point Reyes.

3) Ekotipe Sintanion hystrix


Respirasi juga cocok terhadap perbedaan elevasi pada level enzimatis sepert Klikoff
(1966) memperlihatkan bahwa populasi rumput Sitanion Hystrix dari elevasi yang
berbeda di Siera Nevada.
Mitochondria yang terisoler yang menunjukkan laju oksidatif tinggi pada suhu
rendah dengan penambahan elevasi pada tumbuhan induk.
4) Ekotipe Salidago vigaurea
Beberapa spesies dibedakan ke dalam ekotipe matahari (yang berkecambah dan
tumbuh pada tempat terbuka) dan ekotipe naungan (yang berkembang di bawah kanopi
atau tumbuhan lain).
Suatu spesies Eropa Salidago vigaurea, suatu herba perennial, juga mempunyai
ekotipe tersebut.

16
Olle Bjorkman, dalam serangkaian makalah yang berakhir 1968, mengamati
perbedaan dua ekotipe Salidago pada level yang lebih kurang nyata.
Perbedaan lain, dia menunjukkan bahwa kurve saturasi cahaya ekotipe matahari
berbeda dari kurve saturasi cahaya ekotipe naungan. Ekotipe matahari mempunyai titik
saturasi cahaya lebih tinggi dan memperlihatkan laju fotosintesis lebih tinggi pada titik
saturasi tersebut.
Untuk mendapatkan alasan tentang perbedaan tersebut, dia pertama mencari pada
level morfologi, menanyakan kalau-kalau daun ekotipe matahari mungkin menyerap
lebih bayak cahaya; jawabannya tidak. Kemudian dia mencari pada level selular,
menanyakan apakah konsentrasi klorofil lebih tinggi pada daun matahari, jawabannya
juga tidak.
Akhirnya dia mengamati pada level enzim. Enzim yang bertanggung jawab terhadap
fiksasi CO2 dalam jalan reaksi gelap fotosintesis adalah ribulose biphosphate carboxylase
(juga disebut carboxydismutase). Ketika dia mengukur konsentrasi (aktifitas) enzim
penting ini, dia menemukan bahwa terdapat dua sampai lima kali lebih besar dalam
ekotipe matahari, yang cukup untuk mengerjakan laju fotosintesis lima kali lebih tinggi
dari ekotipe matahari pada intensitas cahaya tinggi.
Bila kita meneliti sampai pada titik tersebut, informasi akan mempunyaiarti praktis
yang besar untuk breeding ekotipe, untuk dipakai reklamasi/perbaikan medan seperti
yang terpotong jalan yang miskin nutrisi, tempat rusak karena racun tambang, tempat
bergaram atau tempat penggalian, area jalur tambang, dune yang bergerak dan
mempunyai kandungan nitrogen rendah, daerah erosi, dan lain sebagainya.

II. 9 Aklimasi.
Aklimasi (juga disebut aklimatisasi) adalah perubahan plastis, temporer dalam organisme
disebabkan oleh suatu lingkungan di mana lingkungan tersebut sudah ada pada masa lampau.
Matthaei (1905) mungkin adalah orang pertama yang mendokumentasikan fenomena
tersebut dalam tumbuhan, dan pengaruh suhu pada masa lalu pada laju fotosintesis dan
respirasi.
Billings et al. (1971) mengadakan percobaan yang menyajikan contoh bagus aklimasi,
dan sekali lagi sorrel alpin membuktikan sebagai kajian bagus. Biji sorrel alpin (Oxyria

17
digyna) dikumpulkan dari kisaran habitat, dikecambahkan dan ditumbuhkan dalam rumah
kaca yang seragam selama 4 bulan, kemudian dibagi ke dalam tiga lingkungan ruang
pertumbuhan: hangat (32/21°C siang/malam), medium (21/10°C), dan dingin (12/4°C).
Setelah 5 sampi 6 bulan dalam ruang, ulangan tiap koleksi diukur untuk fotosintesis bersih
pada kisaran suhu, dari 10 sampai 43°C, dan suhu optimum untuk fotosintesis dicatat.
Hasil menunjukkan bahwa wakil ekotipe arktik dan alpin yang memiliki kapasitas
aklimasi berbeda. Suhu optimum untuk tumbuhan alpin bergeser sebanyak 11°C, tergantung
pada suhu yng diterima pada waktu pertumbuhan sebelum pengukuran fotosintesis, tetapi
suhu optimum untuk tumbuhan arktis hanya bergeser 1°C.
Pengaruh “preconditioning” serupa, atau aklimasi, telah diperlihatkan bagi tumbhan
dalam sejumlah perbedaan pohon pinus dan semak gurun.
Hubungan antara tumbuhan dan lingkungan kemudian dapat ditulis:

fenotipe = genotipe + lingkungan dominan + lingkungan lampau


Sebaran jauh lingkungan lampau dapat mempengaruhi fenotipe? Pengaruh lingkungan
lampau tak dapat diukur pada masa lalu, karena hal ini harus kembali pada generasi tetua
mereka.
Biji groundsel (Senesio vulgaris) ditumbuhkan pada beberapa suhu. Semai segera
dipindah ke lingkungan umum dan dibiarkan tumbuh selama 80 hari, kemudian tunas yang
tumbuh ditimbang. Hasil percobaan adalah sukar untuk dijelaskan kecuali sebagai hasil
perbedaan suhu pada waktu kecambah, 80 hari sebelumnya.
Tumbuhan annual Lactuca scariola, mendapat perlakuan dengan dikenai panjang hari
yang berbeda atau aplikasi pengatur tumbuh, menghasilkan anakan yang berbeda dalam
berkecambah, pertumbuhan semai, dan waktu berbunga (Gutterman et al, 1975).
Tabel. Pengaruh suhu perkecambahan pada pertumbuhan yang berturutan pada groundsel
(Senecio vulgaris).
Kondisi pertumbuhan 80
Suhu perkecambahn (°C) Berat tumbuhan (mg)
hari
10 Semuanya tumbuh bersama 147
14 pada 17°C foto-period 16 775
23 hari 1078

18
30 390

Penjelasan genetik untuk aklimasi adalah mungkin, tetapi tujuan tujuan kita hanya untuk
menunjukkan bahwa aklimasi dapat terjadi; dan dasar genetis di sini bukan menjadi
kepentingan kita. Arti penting lingkungan masa lalu pada perilaku tumbuhan tidak cukup
(insufficient) dikenal oleh autekologi tumbuhan, walaupun ini jelas bahwa aklimasi adalah
penting bagi pengertian dan pemahaman distribusi tumbuhan.

II. 10 Pendekatan Terpadu terhadap Riset Ekotipe: Suatu Kajian Kasus


Suatu contoh bagus riset ekotipe sekarang yang memakai pilihan teknik luas, termasuk
biologi populasi dan ekologi fisiologi, adalah kajian ekotipe Dryas octopetala dari tundra
Alaska (McGraw dan Antonovics 1083, McGraw 1985).
Penulis menggabungkan teknik tersebut sepertu kajian ruang tumbuh dalam fitotron,
transplant lapangan, percobaan kompetisi, ekologi polinasi, pengamatan demografik,
manipulasi lingkungan in situ, pengukuran fotosintesis, dan penentuan pola alokasi
“photosynthate” terhadap berbagai organ tumbuhan.
Berbagai gabungan atau campuran yang banyak tersebut membuat kesimpulan ekologis
kuat dan penting.

II. 11 Ringkasan
1) Ekologiwan tumbuhan ingin memakai spesies sebagai alat deduktif, sebagai indikator
yang agak presisi dari level tertentu faktor lingkungan. Tetapi saying, ini dapat
merupakan tujuan yang tidak realistic, menurut dua alasan:
Pertama, tumbuhan bertanggap terhadap faktor klimatik, edafik yang kompleks
dan faktor biotic kompleks, dan pengaruh faktor tunggal adalah sulit untuk
dipisahkannya. Kisaran toleransi suatu spesies terhadap faktor x dapat dimodifikasikan
oleh faktor Y dan Z. versi yang bagus teori toleransi mengenal efek special kompetisi
yang dapat mencampurbaurkan pada kisaran toleransi.
Kedua, spesies taksonomi, apakah dikenal secara morfologis, biologis, atau dasar
statistic, sebagian adalah artifact keinginan manusia untuk klasifikasi. Spesies kisaran

19
luas, yang terdapat dalam banyak habitat berbeda, adalah secara genetis tidak homogen
dan dengan demikian tidak menyajikan sebagai indikator ekologi.
2) Turesson mencari dan mendapatkan “pengertian ekologis spesies Linnean”. Dia
menemukan bahwa spesies taksonomi terdiri atas subunit ekologi penting, yang
kemudian disebut sebagai ekotipe. Dia menentukan ekotipe sebagai tanggapan genetik
suatu populasi (atau group populasi) terhadap habitat, dibedakan oleh karakter
morfologis dan fisiologis, masih bersifat interfertile kalau disilangkan dengan ekotipe
lain spesies sama.
3) Kebanyakan spesies kisaranluas sekarang diketahui terbentuk oleh banyak ekotipe,
tetapi pemakaian konsep secara praktis menjadi cair bila diketemukan bahwa ekotipe
adalah masih heterogen, dengan batas masih samar-samar, seperti spesies. Konsep
stairstep Turesson tentang ekotipe harus diganti dengan konsep “ecocline”, dan
ekuivalen term ekotipe dalam terminology Glimour, adalah genoecoclinodeme, yang
secara benar menekankan fakta tersebut.
4) Konsep ekotipe adalah masih penting ditinjau dari titik pandang ilmu dasar, karena ini
akan menjurus ke riset yang menunjukkan pengaruh luas lingkungan pada semua level
perilaku tumbuhan, dari level morfologi, fenologi sampai level yang halus (subtle) dari
fisiologi, metabolisme dan genetik.
5) Riset ekologi sekarang telah menekankan level yang halus tersebut, tetapi ini belum
mencapai titik di mana kita mengetahui enzim yang mana yang paling penting untuk
tipe dasar ekotipe klimatik atau edafik. Juga belum diketahui bagaimana enzim ini
berbeda dari ekotipe, juga berapa banyak gene yang terlibat, juga bagaimana caranya
dapat mengawinkan untuk mendapatkan sifat ekotipe tertentu seperti yang sekarang
dikerjakan dalam seleksi jenis dengan mengawinkan tumbuhan biji yang dipanen atau
untuk mendapat tumbuhan yang tahan penyakit.
6) Faktor yang mencampurbaurkan dalam riset ekotipe adalah aklimasi: Suatu lingkungan
yang telah diderita oleh organisme dalam masa lalu (sering satu generasi atau lebih
dalam masa lalu) dapat menyebabkan perubahan fisiologis dalam organisme tersebut.
Nampaknya, kapasitas untuk aklimasi sendiri dapat merupakan sifat ekotipe.

20

You might also like