You are on page 1of 39

CRITICAL JOURNAL REPORT

MK. FILSAFAT PENDIDIKAN

PRODI S1 PENDIDIKAN
MATEMATIKA

SKOR NILAI :

NILAI-NILAI PEMBENTUK KARAKTER DALAM FILSAFAT


SOSROKARTONO
(Pendidikan Karakter , Mulyono , 2016 )

NAMA MAHASISWA : HAMIM YA ‘AIN SIN KAF D.EGON


NIM : 4183111101
DOSEN PENGAMPU : SANTA MURNI SITUMORANG
MATA KULIAH : FILSAFAT PENDIDIKAN

PROGRAM STUDI MATEMATIKA DIK REG D


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
OKTOBER 2018
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha


Pengasih lagi Maha Penyayang, Saya panjatkan puji
syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya kepada saya, sehingga saya
dapat menyelesaikan tugas Critical Journal Report
tentang Filsafat Pendidikan

Terlepas dari semua itu, Saya menyadari


sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh
karena itu dengan tangan terbuka saya menerima
segala saran dan kritik dari pembaca agar saya dapat
memperbaiki ini.

Akhir kata saya berharap semoga tugas Critical


Journal Report tentang Filsafat Pendidikan ini dapat
memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap
pembaca.

Medan , Oktober 2018

Hamim Ya ‘Ain Sin Kaf D.Egon

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………………….….. i


DAFTAR ISI ………………………………………………………………….………. ii

2
BAB I PENDAHULUAN ….………………………………………………………..… 1
1.1 Rasionalisasi Pentingnya CJR ……………………………………………………….. 1
1.2 Tujuan Penulisan CJR ……………………………………………………………….…1
1.3 Manfaat CJR …………………………………………………………………………... 1
1.4 Identitas Artikel dan Journal yang direview ……………………………………... 2

BAB II RINGKASAN ISI MATERI …………………………………………………..… 3


2.1 Pendahuluan…………………………………………………….……………………. 3
2.2 Deskripsi Isi …………………………………………………………….…………… 5

A. BAB III PEMBAHASAN/ANALISIS ……………………………………………..…. 8


3.1 Pembahasan Isi …………………………………………………...……….. 8
3.2 Kelebihan dan kekurangan isi artikel ……………………………………………. 9

BAB III PENUTUP ……………………………………………………………………….. 10


5.1 Kesimpulan ………………………………………………………….………….. 10
5.2 Rekomendasi ……………………………………………………………………. 10

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………..….. 11

3
BAB I

PENDAHULUAN
A. Rasionalisasi Pentingnya CJR ( Critical Journal Review)

Disaat kita membtuhkan sebuah referensi, yaitu journal sebagai sumber


bacaan kita selain buku dalam mempelajari mata kuliah Filsafat
Pendidikan , sebaiknya kita terlebih dahulu mengkritisi journal tersebut
agar kita mengetahui journal mana yang lebih relevan untuk dijadikan
sumber bacaan.

B. Tujuan Penulisan CJR ( Critical Journal Review)

1. Untuk memenuhi tugas pada mata kuliah kepemimpinan.


2. Meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam meringkas, menganalisa, dan
membandingkan serta memberi kritik pada jurnal.
3. Memperkuat pemahaman pembaca terhadap pentingnya Filsafat Pendidikan
dalam kehidupan.

C. Manfaat CJR ( Critical Journal Review)

1. Sebagai rujukan bagaimana untuk menyempurnakan sebuah jounal dan


mencari sumber bacaan yang relevan.
2. Membuat saya sebagai penulis dan mahasiswa lebih terasah dalam
mengkritisi sebuah journal
3. Untuk menambah pengetahuan tentang Filsafat Pendidikan

4
D. Identitas Artikel dan Journal yang direview

1. Judul artikel : Nilai -Nilai Pembentuk Karakter Dalam


Filsafat Sosrokartono
2. Nama journal : Jurnal Sejarah Fakultas Ilmu Budaya
Unversitas Diponegoro
3. Edisi terbit :-
4. Pengarang artikel : Mulyono
5. Penerbit : Unversitas Diponegoro
6. Kota terbit : Semarang
7. Nomor ISSN : 1410–7910
8. Alamat Situs :
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/sabda/article/view/16042

5
BAB II
RINGKASAN ISI MATERI

A. Pendahuluan

Dewasa ini bangsa Indonesia menghadapi berbagai krisis. Salah satu krisis
adalah demoralisasi dengan fenomena yang menonjol yaitu merebaknya tindakan
koruptif yang dilakukan oleh para oknum penyelenggara negara dari berbagai
bidang kekuasaan,baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Di dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari pun banyak terjadi tindak kekerasan, intoleran, dan
ketidakjujuran. Banyak faktor yang menjadi penyebab maraknya tindakan koruptif
dan tidak bermoral yang dilakukan oleh para oknum pejabat dan penyelenggara
negara, serta warga masyarakat pada umumnya. Rendahnya kepatuhan terhadap
hukum, lemahnya sistem pengawasan, serta sikap hidup yang individualistis-
materialistis-hedonistis-sekularistis menjadi faktor penyebab yang utama. Namun
akar dari segala sebab maraknya tindakan koruptif adalah lemahnya moral para
oknum pejabat dan penyelenggara negara serta warga masyarakat, sehingga
mereka tidak lagi mempunyai kemampuan mengendalikan diri dalam menjalankan
kewajibannya sebagai pejabat dan penyelenggara negara, maupun sebagai warga
masyarakat dan bangsa. Dalam perspektif kehidupan bermasyarakat dan
bernegara, sumber segala krisis adalah belum mampunya bangsa Indonesia
mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila ke dalam praktik hidup sehari-hari
dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Padahal Pancasila sudah
disepakati sebagai pedoman hidup dan dasar bernegara ketika negara Indonesia
didirikan. Untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut, maka program nation and
character building, yang pernah dicanangkan oleh Bung Karno, perlu digalakkan
kembali. Pemerintah dan masyarakat selayaknya peduli terhadap pendidikan etika
dan karakter.

Untuk mengatasi berbagai krisis tersebut banyak alternatif ditawarkan oleh


para cendekiawan dan pemikir. Ada yang mengajukan tawaran restorasi
Pancasila, dengan alasan bahwa kondisi dan posisi Pancasila sekarang
terpinggirkan. Pancasila telah diabaikan dan tidak lagi selalu dijadikan rujukan di

6
dalam setiap perencanaan dan pelaksanaan program, dan rujukan dalam
menyelesaikan masalah. Untuk itu Pancasila harus dipulihkan dan diletakkan
kembali pada posisi awalnya yaitu sebagai dasar dan ideologi negara, yang
seharusnya selalu dijadikan pedoman dan rujukan di dalam setiap pengambilan
kebijakan dan pemecahan masalah dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Tawaran berikutnya adalah revitalisasi dan reaktualisasi
Pancasila. Tawaran ini mengasumsikan bahwa Pancasila adalah ideologi yang
terbuka (living ideology), sehingga nilai-nilainya harus selalu diperbaharui (self-
renewal) agar mampu hidup dan mengikuti perkembangan masyarakat, baik
nasional maupun internasional, yang berubah dengan cepat.

Tawaran lain yang akan menjadi bahasan utama tulisan ini adalah
pendidikan kebangsaan dan pendidikan karakter. Tawaran ini mengasumsikan
bahwa generasi pasca generasi 1945 perlu dididik untuk menghayati bagaimana
proses kita berbangsa dan karakter yang semestinya terbentuk bagi bangsa
Indonesia. Salah satu metode pendidikan karakter kepada generasi muda adalah
menggali kembali kearifan-kearifan lokal, mempublikasikannya dan
mentransformasikannya menjadi nilai-nilai yang dibutuhkan untuk pembentukan
karakter bangsa Indonesia. Sedangkan kearifan lokal bisa bersumber dari adat
kebiasaan masyarakat dan pemikiran-pemikiran orang bijak yang bersifat
piwulang.

Salah satu pemikiran yang bisa menjadi sumber kearifan lokal yaitu pemikiran
filosofis R.M.P. Sosrokartono, salah satu putra terbaik bangsa Indonesia dan
cendekiawan Indonesia generasi pertama. Ia adalah sarjana Indonesia pertama
lulusan Universitas Leiden, Belanda. Pemikiran Sosrokartono inilah yang akan
menjadi bahasan utama dalam tulisan ini. Pemikiran Sosrokartono dipilih untuk
dijadikan bahan kajian dan solusi pemecahan masalah yang dihadapi bangsa
Indonesia, karena pemikiran Sosrokartono sarat piwulang atau ajaran moral yang
relevan untuk memecahkan problem krisis karakter dan demoralisasi yang
dihadapi bangsa Indonesia saat ini

B. Deskripsi Isi

1. Perlunya Pendidikan Karakter

7
Derasnya arus globalisasi yang melanda masyarakat kita menimbulkan
perbenturan nilai-nilai dan tererosinya nilai-nilai tradisional yang selama ini
dianggap luhur. Akibatnya upaya mempertahankan kepribadian dan jati diri
bangsa Indonesia merupakan perjuangan yang luar biasa beratnya dalam
menghadapi arus globalisasi yang demikian dahsyat. Maraknya fenomena
sikap hidup yang materialistis dan individulistis, serta tergerusnya nilai-nilai
luhur kepribadian bangsa menjadi bukti bahwa kita belum berhasil
mempertahankan, bahkan mengembangkan kepribadian atau jati diri bangsa
Indonesia.

Modernisasi dan globalisasi memang memberikan peluang pada setiap


bangsa untuk menjadi bangsa yang maju dan unggul, tetapi apabila suatu
bangsa tidak mempunyai karakter yang kuat dan tangguh maka modernisasi
dan globalisasi akan mendatangkan ancaman dan ekses (Sastrapratedja,
1996: 1). Modernisasi dan perkembangan iptek menghadirkan ekses
merebaknya sikap hidup yang materialistis, individualistis, sekularistis, bahkan
hedonistis. Keadaan ini tentu menggerus nilai-nilai tradisi bangsa Indonesia
yang dianggap luhur, seperti kerukunan dan kepedulian sosial. Akibatnya
masalah demoralisasi dan krisis jati diri melanda bangsa ini. Kurangnya
penekanan pada pembangunan pendidikan karakter mengakibatkan moralitas
masyarakat rapuh sehingga mudah tergoda untuk melakukan perbuatan-
perbuatan tercela. Pendidikan karakter bukan hanya menjangkau ranah
cognitif, melainkan juga ranah afektif dan psiko motorik. Pendidikan karakter
tidak cukup hanya diajarkan di kelas, melainkan juga dikembangkan melalui
budaya di sekolah, masyarakat, dan keluarga.

Pendidikan karakter memerlukan pendekatan yang holistik, pendidikan manusia


seutuhnya dan seumur hidup (Wibawa, 2013: 6).

2. Pemahaman tentang Karakter


Pengertian “karakter” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diberi arti sebagai
sifat-sifat kejiwaan , akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang
dengan yang lain, tabiat, watak. Berkarakter berarti mempunyai tabiat, mempunyai

8
kepribadian, berwatak (Depdikbud, 1998: 389). Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan dalam buku Desain Induk Pendidikan Karakter (2011: 7)
merumuskan pengertian karakter sebagai nilai-nilai yang unik, baik yang terpatri
dalam diri maupun terwujudkan dalam perilaku. Karakter secara koheren
memancar dari hasil olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olah raga
seseorang atau kelompok orang.

Menurut Ignas Kleden (KOMPAS, 25 September 2014), istilah “karakter”


tidak begitu popular dalam bahasa Indonesia dibandingkan dengan istilah
“kepribadian” atau personality. Orang Indonesia mengenal istilah “kepribadian
bangsa”, misalnya dalam konsep Trisakti Bung Karno, tetapi orang Indonesia tidak
mempunyai istilah karakter nasional. Kleden menyatakan bahwa istilah karakter
lebih banyak digunakan oleh para psikolog Eropa, sedangkan istilah personality
atau kepribadian lebih popular di kalangan psikolog Amerika. Istilah karakter
berasal dari kata Yunani charassein yang berarti menggurat, mengukir, atau
memahat. Sementara istilah personality berasal dari kata Latin persona yang
berarti topeng. Dalam pemakaian sekarang, istilah personality lebih menunjukkan
tampilan atau tingkah laku yang kelihatan, sedangkan istilah karakter menunjuk
pada struktur nilai dalam diri seseorang. Misalnya, pernyataan “dia seorang yang
berkarakter”, yang ditonjolkan adalah adanya nilai etis yang ditegakkan dalam diri
seseorang. Sebaliknya, kalau ada pernyataan “dia mempunyai kepribadian yang
baik”, maknanya adalah orang yang bersangkutan tidak banyak menimbulkan
kesulitan dalam komunikasi dan interaksi sosial.

Lickona (2013: 72) menegaskan bahwa karakter terbentuk dari tiga macam
bagian yang saling berkaitan, yaitu pengetahuan moral, perasaan moral, dan
perilaku moral. Karakter yang baik terdiri atas mengetahui kebaikan,
menginginkan kebaikan, dan melakukan kebaikan. Kebiasaan pikiran, kebiasaan
hati, dan kebiasaan perbuatan. Ketiganya penting untuk menjalani hidup yang
bermoral. Ketiganya pun merupakan pembentuk kematangan moral, dan
ketiganya juga tidak terpisahkan namun saling mempengaruhi dengan beragam
cara Seseorang baru disebut orang yang berkarakter apabila tingkah lakunya
sesuai dengan kaidah moral .

9
BAB III
PEMBAHASAN/ANALISIS

B. Pembahasan Isi

Karakter menurut jurnal ini yang mengambil Pengertian Karakter dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia arti sebagai sifat-sifat kejiwaan , akhlak dalam perilaku. Karakter
secara koheren memancar dari hasil olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta
olah raga seseorang atau kelompok orang.

Sedangkan menurut Jurnal Pendidikan Karakter Melalui Sains ( Diana Chusnani , 2013
) Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga
sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan
untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri
sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan
kamil. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus
dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum,
proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan
mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler,
pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan
lingkungan sekolah.ilmu sains biasanya diklasifikasikan menjadi dua yaitu natural sains
( Kimia, Fisika dan Biologi) dan social sains.

Sedangkan menurut Jurnal Guru Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Dalam


Upaya Pembentukan Karakter Peserta Didik sains ( Fadil Yudia Fauzi, Ismail Arianto,
Etin Solihatin) , Pendidikan karakter berfungsi mengembangkan potensi dasar agar
berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik, memperkuat dan membangun
perilaku bangsa yang multikultur, meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif
dalam pergaulan dunia.

Dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Karakter adalah sifat-sifat atau penanaman nilai-
nilai karakter ,yang berfungsi mengembangkan potensi seseorang dan meningkatkan
peradaban manusia yang kompetitif dalam pergaulan .

C. Kelebihan dan kekurangan isi artikel

1. Dari aspek ruang lingkup isi artikel , pembahasan isi artikel lengkap dan memuat
teori dan penjelasan dari beberapa pihak seperti Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan , Kamus Besar Bahasa Indonesia , dll .
10
Memuat keterangan yang teratur dan terarah .

2. Dari aspek tata bahasa, artikel tersebut memiliki gaya bahasa yang membuat
pembaca paham mengenai Pendidikan Karakter .

11
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

Ajaran moral Sosrokartono mempunyai relevansi yang tinggi untuk menjawab


persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini, terutama terjadinya demoralisasi
kehidupan bersama. Kalau masyarakat dan bangsa Indonesia pada saat ini
menghadapi masalah demoralisasi, krisis jati diri dan kepribadian, sebagai ekses dari
derasnya arus perubahan dan globalisasi yang masuk ke Indonesia, maka aktualisasi
dan kontekstualisasi ajaran moral Sosrokartono diharapkan mampu menangkal ekses
globalisasi tersebut.

Ajaran moral Sosrokartono sarat kandungan nilai pembentuk karakter, sehingga


apabila ajaran moral tersebut benar-benar dilaksanakan oleh manusia Indonesia
maka sifat manusia yang individualistis, matarialistis dan sekularistis dapat
diminimalisir. Masyarakat Indonesia yang mempunyai kepedulian sosial tinggi
(caring society) dapat ditegakkan kembali. Peneliti yakin bahwa masyarakat dan
bangsa Indonesia bisa dibangun menjadi bangsa yang maju dan modern namun
tetap berkarakter dan berkepribadian. Apabila pengetahuan tentang ajaran moral
Sosrokartono mampu diinternalisasikan dan diaktualisasikan dalam praktik hidup
bangsa Indonesia, maka peneliti yakin bahwa kehidupan bangsa Indonesia lebih
tenteram dan damai, karena dapat terhindar dari sikap yang materialistis,
sekularistis dan individualistis. Bangsa Indonesia akan menjadi manusia-manusia
yang mempunyai kepedulian sosial yang tinggi sesuai dengan ajaran Pancasila.
Ajaran moral Sosrokartono memang kompatibel dengan ajaran ideologi Pancasila.

B. Rekomendasi

Jurnal ini secara struktur sudah cukup baik dan cocok di jadikan sebagai panduan
atau pun sumber informasi mengenai Pendidikan Karakter

12
DAFTAR PUSTAKA

Chusnani , Diana. 2013 . Pendidikan Karakter Melalui Sains . Gresik : Jurnal SMA
Negeri 1 Gresik
Fauzi F, Arianto I , dan Solihatin E . 2013 .Peran Guru Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan Dalam Upaya Pembentukan Karakter Peserta Didik. Jakarta :
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta
Mulyono .2016 . Nilai-Nilai Pembentukan Karakter Dalam Filsafat Sosrokartono .
Semarang : Jurnal Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro

13
Sabda Volume 11, Nomor 2, Desember 2016 ISSN 1410–7910 E-ISSN 2549-1628

NILAI-NILAI PEMBENTUK KARAKTER DALAM FILSAFAT SOSROKARTONO

Mulyono
Prodi S-1 Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, Unversitas Diponegoro

Mulisti55@yahoo.co.id

Abstract

Nowdays, the people of Indonesia face some crisis as a result of modernization and
globalization.. One most alarming crisis is the weak character that caused demoralization of
the social life of the Indonesian nation. This nation will be able to take advantage of
modernization and globalization for the progress and superiority, when she has strong
character and resilient. Character formation can be done through education from school,
community, and family. Character education materials can be sourced from religion, five
principles of Pancasila, and local wisdom. One local wisdom has come from the philosophy of
Sosrokartono, laden content of values forming the character of Indonesian nation. There are
seven values forming the character, as part of the eighteen values formulated by the Ministry
of National Education, which can be taken from the philosophy of Sosrokartono. These seven
values to forming character that can be taught and disseminated to the public include
religious values, honesty, friendly and communicative, love of peace, social care,
responsibility, and humanity.

Key Words: Modernization, globalization, crisis, demoralization, character education, local


wisdom

pejabat dan penyelenggara negara, serta


warga masyarakat pada umumnya.
1. Pendahuluan Rendahnya kepatuhan terhadap hukum,
lemahnya sistem pengawasan, serta
Dewasa ini bangsa Indonesia sikap hidup yang individualistis-
menghadapi berbagai krisis. Salah satu materialistis-hedonistis-sekularistis
krisis adalah demoralisasi dengan menjadi faktor penyebab yang utama.
Namun akar dari segala sebab maraknya
fenomena yang menonjol yaitu tindakan koruptif adalah lemahnya
merebaknya tindakan koruptif yang moral para oknum pejabat dan
dilakukan oleh para oknum penyelenggara penyelenggara negara serta warga
negara dari berbagai bidang kekuasaan, masyarakat, sehingga mereka tidak

baik eksekutif, legislatif, maupun


yudikatif. Di dalam kehidupan masyarakat
sehari-hari pun banyak terjadi tindak
kekerasan, intoleran, dan ketidakjujuran.
Banyak faktor yang menjadi penyebab
maraknya tindakan koruptif dan tidak
bermoral yang dilakukan oleh para oknum

14
lagi mempunyai kemampuan mengendalikan
diri dalam menjalankan kewajibannya sebagai
pejabat dan penyelenggara negara, maupun
sebagai warga masyarakat dan bangsa. Dalam
perspektif kehidupan bermasyarakat dan
bernegara, sumber segala krisis adalah belum
mampunya bangsa Indonesia
mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila ke
dalam praktik hidup sehari-hari dalam
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Padahal Pancasila sudah disepakati sebagai
pedoman hidup dan dasar bernegara ketika
negara Indonesia didirikan. Untuk mengatasi
berbagai persoalan tersebut, maka program
nation and character building, yang pernah
dicanangkan oleh Bung Karno, perlu
digalakkan kembali. Pemerintah dan
masyarakat selayaknya peduli terhadap
pendidikan etika dan karakter.

Untuk mengatasi berbagai krisis


tersebut banyak alternatif ditawarkan oleh
para cendekiawan dan pemikir. Ada yang
mengajukan tawaran restorasi Pancasila,
dengan alasan bahwa kondisi dan posisi

NILAI-NILAI PEMBENTUK KARAKTER DALAM FILSAFAT SOSROKARTONO 7

15
Sabda Volume 11, Nomor 2, Desember 2016 Belanda. Pemikiran Sosrokartono
inilah yang akan menjadi bahasan
utama dalam

Pancasila sekarang terpinggirkan.


Pancasila telah diabaikan dan tidak lagi
selalu dijadikan rujukan di dalam setiap
perencanaan dan pelaksanaan program, dan
rujukan dalam menyelesaikan masalah.
Untuk itu Pancasila harus dipulihkan dan
diletakkan kembali pada posisi awalnya
yaitu sebagai dasar dan ideologi negara,
yang seharusnya selalu dijadikan pedoman
dan rujukan di dalam setiap pengambilan
kebijakan dan pemecahan masalah dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Tawaran berikutnya adalah
revitalisasi dan reaktualisasi Pancasila.
Tawaran ini mengasumsikan bahwa
Pancasila adalah ideologi yang terbuka
(living ideology), sehingga nilai-nilainya
harus selalu diperbaharui (self-renewal)
agar mampu hidup dan mengikuti
perkembangan masyarakat, baik nasional
maupun internasional, yang berubah
dengan cepat.

Tawaran lain yang akan menjadi


bahasan utama tulisan ini adalah
pendidikan kebangsaan dan pendidikan
karakter. Tawaran ini mengasumsikan
bahwa generasi pasca generasi 1945 perlu
dididik untuk menghayati bagaimana
proses kita berbangsa dan karakter yang
semestinya terbentuk bagi bangsa
Indonesia. Salah satu metode pendidikan
karakter kepada generasi muda adalah
menggali kembali kearifan-kearifan lokal,

mempublikasikannya dan
mentransformasikannya menjadi nilai-nilai
yang dibutuhkan untuk pembentukan
karakter bangsa Indonesia. Sedangkan
kearifan lokal bisa bersumber dari adat
kebiasaan masyarakat dan pemikiran-
pemikiran orang bijak yang bersifat
piwulang.

Salah satu pemikiran yang bisa


menjadi sumber kearifan lokal yaitu
pemikiran filosofis R.M.P. Sosrokartono,
salah satu putra terbaik bangsa Indonesia
dan cendekiawan Indonesia generasi
pertama. Ia adalah sarjana Indonesia
pertama lulusan Universitas Leiden,
16
ISSN 1410–7910 E-ISSN 2549-1628 fenomena sikap hidup yang materialistis
dan individulistis, serta tergerusnya nilai-
nilai luhur kepribadian bangsa menjadi
bukti
tulisan ini. Pemikiran Sosrokartono dipilih
untuk dijadikan bahan kajian dan solusi
pemecahan masalah yang dihadapi bangsa
Indonesia, karena pemikiran Sosrokartono
sarat piwulang atau ajaran moral yang relevan
untuk memecahkan problem krisis karakter
dan demoralisasi yang dihadapi bangsa
Indonesia saat ini.

2. Metode

Penelitian ini adalah penelitian pustaka,


oleh karenanya metode penelitian yang
digunakan adalah metode penelitian kualitatif.
Unsur metodis yang digunakan oleh peneliti
yakni, pertama adalah interpretasi: cara ini
digunakan penulis untuk menerangkan dan
mengungkapkan makna dari ajaran moral
Sosrokartono, yang terpapar dalam mutiara-
mutiara sabdanya, sebagai nilai pembentuk
karakter. Kedua adalah cara analisis abstraksi,
yang digunakan penulis untuk menemukan
unsur-unsur penting dan hakiki dari ajaran
moral Sosrokartono sebagai sesuatu yang
bernilai sebagai pembentuk karakter bangsa
Indonesia. Ketiga adalah verstehen: cara ini
digunakan oleh penulis untuk mencari
pemahaman mendalam dari ajaran moral
Sosrokartono, yang terpapar dalam mutiara-
mutiara sabdanya, dalam konteks

menemukan relevansinya terhadap


permasalahan yang berkembang dalam
kehidupan masyarakat masa kini.

3. Pendidikan Karakter
3.1. Perlunya Pendidikan Karakter

Derasnya arus globalisasi yang melanda


masyarakat kita menimbulkan perbenturan
nilai-nilai dan tererosinya nilai-nilai tradisional
yang selama ini

dianggap luhur. Akibatnya upaya


mempertahankan kepribadian dan jati diri
bangsa Indonesia merupakan perjuangan yang
luar biasa beratnya dalam menghadapi arus
globalisasi yang demikian dahsyat. Maraknya
17
NILAI-NILAI PEMBENTUK KARAKTER DALAM FILSAFAT SOSROKARTONO 8

18
Sabda Volume 11, Nomor 2, Desember 2016 mempunyai kepribadian, berwatak
(Depdikbud, 1998: 389). Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan dalam
buku Desain Induk Pendidikan
bahwa kita belum berhasil Karakter (2011: 7) merumuskan
mempertahankan, bahkan mengembangkan pengertian karakter sebagai nilai-nilai
kepribadian atau jati diri bangsa Indonesia. yang unik, baik yang terpatri dalam
diri maupun terwujudkan
Modernisasi dan globalisasi memang
memberikan peluang pada setiap bangsa
untuk menjadi bangsa yang maju dan
unggul, tetapi apabila suatu bangsa tidak
mempunyai karakter yang kuat dan
tangguh maka modernisasi dan globalisasi
akan mendatangkan ancaman dan ekses
(Sastrapratedja, 1996: 1). Modernisasi dan
perkembangan iptek menghadirkan ekses
merebaknya sikap hidup yang materialistis,

individualistis, sekularistis, bahkan


hedonistis. Keadaan ini tentu menggerus
nilai-nilai tradisi bangsa Indonesia yang
dianggap luhur, seperti kerukunan dan
kepedulian sosial. Akibatnya masalah
demoralisasi dan krisis jati diri melanda
bangsa ini.

Kurangnya penekanan pada

pembangunan pendidikan karakter


mengakibatkan moralitas masyarakat rapuh
sehingga mudah tergoda untuk melakukan
perbuatan-perbuatan tercela. Pendidikan
karakter bukan hanya menjangkau ranah
cognitif, melainkan juga ranah afektif dan
psiko motorik. Pendidikan karakter tidak
cukup hanya diajarkan di kelas, melainkan
juga dikembangkan melalui budaya di
sekolah, masyarakat, dan keluarga.

Pendidikan karakter memerlukan


pendekatan yang holistik, pendidikan
manusia seutuhnya dan seumur hidup
(Wibawa, 2013: 6).

3.2. Pemahaman tentang Karakter


Pengertian “karakter” dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia diberi arti sebagai


sifat-sifat kejiwaan , akhlak atau budi
pekerti yang membedakan seseorang
dengan yang lain, tabiat, watak.
Berkarakter berarti mempunyai tabiat,

19
ISSN 1410–7910 E-ISSN 2549-1628

dalam perilaku. Karakter secara koheren


memancar dari hasil olah pikir, olah hati, olah
rasa dan karsa, serta olah raga seseorang atau
kelompok orang.

Menurut Ignas Kleden (KOMPAS, 25


September 2014), istilah “karakter” tidak
begitu popular dalam bahasa Indonesia
dibandingkan dengan istilah “kepribadian”
atau personality. Orang Indonesia mengenal
istilah “kepribadian bangsa”, misalnya dalam
konsep Trisakti Bung Karno, tetapi orang
Indonesia tidak mempunyai istilah karakter
nasional. Kleden menyatakan bahwa istilah
karakter lebih banyak digunakan oleh para
psikolog Eropa, sedangkan istilah personality
atau kepribadian lebih popular di kalangan
psikolog Amerika. Istilah karakter berasal dari
kata Yunani charassein yang berarti
menggurat, mengukir, atau memahat.
Sementara istilah personality berasal dari kata
Latin persona yang berarti topeng. Dalam
pemakaian sekarang, istilah personality lebih
menunjukkan tampilan atau tingkah laku yang
kelihatan, sedangkan istilah karakter menunjuk
pada struktur nilai dalam diri seseorang.
Misalnya, pernyataan “dia seorang yang
berkarakter”, yang ditonjolkan adalah adanya
nilai etis yang ditegakkan dalam diri
seseorang. Sebaliknya, kalau ada pernyataan
“dia mempunyai kepribadian yang baik”,
maknanya adalah orang yang bersangkutan
tidak banyak menimbulkan kesulitan dalam
komunikasi dan interaksi sosial.

Lickona (2013: 72) menegaskan bahwa


karakter terbentuk dari tiga macam bagian
yang saling berkaitan, yaitu pengetahuan
moral, perasaan moral, dan perilaku moral.
Karakter yang baik terdiri atas mengetahui
kebaikan, menginginkan kebaikan, dan
melakukan kebaikan. Kebiasaan pikiran,
kebiasaan hati, dan kebiasaan perbuatan.
Ketiganya penting untuk menjalani hidup yang
bermoral. Ketiganya pun merupakan
pembentuk kematangan moral, dan ketiganya
juga

tidak terpisahkan namun saling mempengaruhi


dengan beragam cara.

20
NILAI-NILAI PEMBENTUK KARAKTER DALAM FILSAFAT SOSROKARTONO 9

21
Sabda Volume 11, Nomor 2, Desember 2016 pemberian informasi mengenai
kepahlawanan Pangeran Diponegoro
(yang nama besarnya digunakan
sebagai nama universitas itu). Nilai
Seseorang baru disebut orang yang karakter yang diungkapkan dalam
berkarakter apabila tingkah lakunya sesuai kejuangan Pangeran Diponegoro
dengan kaidah moral. adalah jujur, berani, dan peduli.

3.3. Nilai-nilai Pembentuk Karakter

Menurut Magnis-Suseno (1987: 141-


150), beberapa keutamaan moral yang
mendasari kepribadian yang mantap adalah
kejujuran, kesediaan untuk bertanggung
jawab, kemandirian moral, keberanian
moral, dan rendah hati. Disebut pula
keutamaan moral yang lain, dalam buku
Etika Jawa dalam Tantangan (Magnis-
Suseno, 1983: 21-22), yaitu kesetiaan,
kemurahan hati, dan keadilan. Sejalan
dengan pandangan tersebut Rachels (2004:
306-322) menyebut adanya empat
keutamaan moral, yang terdiri atas (1)
keberanian, (2) kemurahan hati, (3)
kejujuran, dan (4) kesetiaan.

Pada sisi lain, Sutrisna Wibawa


(2013: 244), dengan merujuk pada Pusat

Kurikulum dan Perbukuan,Balitbang


Kemendiknas “Pembangunan Karakter
Bangsa”, mengidentifikasikan adanya 18
nilai-nilai pembentuk karakter yang
bersumber dari ajaran agama, Pancasila,
budaya, dan tujuan pendidikan nasional.
Kedelapan belas nilai tersebut adalah : (1)
religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin,

(5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8)


demokratis, (9) rasa ingin tahu), (10)
semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air,
(12) menghargai prestasi, (13)
bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai,
(15) gemar membaca, (16) peduli
lingkungan, (17) peduli sosial, (18)
tanggung jawab.

Universitas Diponegoro, tempat di


mana peneliti bekerja, memberikan
pendidikan karakter bagi mahasiswa
barunya ketika kegiatan OSPEK berupa

22
ISSN 1410–7910 E-ISSN 2549-1628

Menurut Doni Koesoema (2012: 56),


karakter bukanlah produk yang sudah jadi atau
final melainkan suatu proses, sekaligus hasil,
yang terus menerus berlangsung menuju ke
kesempurnaan. Karakter adalah sebuah kondisi
dinamis struktur antropologis individu, yang
tidak mau sekedar berhenti atas determinasi
kodratinya, melainkan juga sebuah usaha untuk
hidup semakin integral mengatasi
determinisme alam dalam dirinya demi proses
penyempurnaan dirinya terus menerus. Oleh
karenanya, pendidikan karakter semestinya
menekankan pada habit atau kebiasaan yang
terus menerus dipraktikkan dan dilakukan.

Pendidikan karakter yang baik harus


melibatkan bukan saja aspek pengetahuan yang
baik (moral knowing), tetapi juga merasakan
dengan baik (moral feeling), dan perilaku yang
baik (moral action). Pendidikan karakter
bertujuan untuk mengembangkan kemampuan
peserta didik untuk memberikan keputusan
baik-buruk, memelihara apa yang baik dan

mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan


sehari-hari dengan sepenuh hati. Pendidikan
karakter tidak hanya sekedar mengajarkan
mana yang benar dan mana yang salah, lebih
dari itu pendidikan

karakter menanamkan kebiasaan (habituation),


tentang hal yang baik sehingga peserta didik
menjadi paham (domain kognitif) tentang
mana yang baik dan yang buruk, mampu
merasakan (domain afektif), dan biasa
melakukan

kebaikan (domain psikomotorik) (Kementerian


Pendidikan Nasional, 2011: 10).

3.4. Kandungan Nilai Pembentuk

Karakter dari Ajaran Moral Sosrokartono

Beberapa ajaran moral dan perilaku


Sosrokartono yang memenuhi kriteria sebagai
nilai pembentuk karakter, seperti disebut dalam
Pusat Kurikulum dan Perbukuan (2010; 9 –
10), adalah sebagai berikut.

23
NILAI-NILAI PEMBENTUK KARAKTER DALAM FILSAFAT SOSROKARTONO 10

24
Sabda Volume 11, Nomor 2, Desember 2016 Sosrokartono ini dapat memantapkan
keyakinan manusia terhadap kuasa
Tuhan, yaitu bahwa Tuhan adalah
maha kuasa dan
3.4.1. Nilai Religius
Sikap dan perilaku yang patuh dalam

melaksanakan ajaran agama yang


dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan
ibadah agama lain, dan hidup rukun
dengan pemeluk agama lain.

Ajaran moral Sosrokartono


meletakkan motif dasar yang menggerakan
suatu perbuatan pada rasa wajib manusia
untuk bertaqwa dan menghambakan diri
kepada Tuhan sebagai Al Khalik.
Kewajiban bagi manusia adalah mencintai
dan mengabdi kepada Tuhan. Bentuk
kongkret dari kewajiban itu adalah
mencintai dan mengabdi pada sesama

makhluk Tuhan, yang seharusnya


dimanifestasikan pada berbuat leladi mring
sesami, menolong sesama manusia yang
membutuhkan. Sedangkan perbuatan atau
tindakan itu dilakukan tanpa pamrih
(suwung pamrih) dan semata-mata karena
rasa wajibnya untuk mencintai dan
mengabdi kepada Tuhan.

Menurut Aksan (1988: 21) ajaran


moral Sosrokartono juga memberikan
kesadaran kepada manusia, bahwa manusia
itu hidup dalam arus waktu yang dinamis,
yaitu masa lalu, masa sekarang, dan masa
yang akan datang. Agar manusia tenteram
dalam menjalani kehidupannya, maka ia
seharusnya mengembangkan sikap hidup;
terhadap apa yang terjadi pada masa lalu
manusia harus mengikhlaskan, tak perlu
menyesali. Terhadap apapun yang terjadi
pada saat sekarang manusia harus
menerimanya dengan sepenuh hati, tak
perlu kecewa. Sedangkan terhadap apa
yang akan terjadi di masa depan manusia
harus pasrah atau berserah diri, tak perlu
berkecil hati. Ajaran moral ini tercermin
dalam ungkapan: “Ikhlas marang apa sing
wis kelakon. Trimah marang apa kang
saiki dilakoni. Pasrah marang kang bakal
ana”. Sikap batin ikhlas, trimah, dan
pasrah inilah yang menjamin manusia
dapat menjalani dinamika hidup dengan
tenteram dan damai. Ajaran moral
25
ISSN 1410–7910 E-ISSN 2549-1628 Sosrokartono berada di Sumatra, atas
undangan Sultan Langkat,

penentu kehidupan manusia dan alam.


Kehidupan manusia sudah ditentukan dan
digariskan oleh Tuhan. Segala yang telah
terjadi, yang sekarang dihadapi dan yang akan
dihadapi, haruslah diikhlaskan, diterima dan
diserahkan saja kepada Tuhan Yang Kuasa.

3.4.2. Nilai Jujur

Perilaku yang didasarkan pada upaya


menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu
dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan,
dan pekerjaan.

Adisasmita (1968: 24) menunjukkan


adanya nilai kemanusiaan yang universal dari
ajaran moral Sosrokartono, yang diajarkan pula
oleh semua agama, yaitu prinsip kejujuran dan
menghindari kemunafikan atau hipokrit.
Ajaran moral itu tercermin dalam ajaran catur
murti, yaitu penyatuan terhadap empat hal:

pikiran, perkataan, perasaan, dan perbuatan.


Ajaran moral ini memberikaan dasar
pembentukan karakter jujur dan

konsisten. Menurut Sosrokartono, kebajikan


yang besar dan agung bagi manusia adalah
dapat menyatukan pikiran, perasaan,
perkataan, dan perbuatan.

3.4.3. Nilai Bersahabat dan Komunikatif


Tindakan yang memperlihatkan rasa senang
berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan
orang lain. Nilai bersahabat dan komunikatif
dari ajaran moral Sosrokartono tercermin pada
ajaran tata lakunya yang penuh persahabatan
dan senang berkomunikasi. Sosrokartono
menyampaikan mutiara sabdanya, yang
mengadung banyak ajaran moral, dengan
berkomunikasi secara bersahabat, yaitu
disampaikan dalam diskusi-diskusi dan
wejangan-wejangan pada saat wungon (lepas
tengah malam setelah selesai praktik melayani
pengobatan pasien) bersama keluarga
monosoeko. Ajaran-ajaran moral Sosrokartono
juga terdapat pada surat-suratnya yang
ditujukan kepada rekan-rekannya di
Paguyuban Monosoeko Bandung ketika
26
NILAI-NILAI PEMBENTUK KARAKTER DALAM FILSAFAT SOSROKARTONO 11

27
Sabda Volume 11, Nomor 2, Desember 2016 3.4.5. Nilai Peduli Sosial

Sikap dan tindakan yang selalu ingin


memberi bantuan kepada orang lain
pada periode bulan Mei sampai Nopember dan masyarakat yang membutuhkan.
tahun 1931. Selanjutnya mutiara-mutiara Ajaran moral Sosrokartono yang
sabda Sosrokartono tersebut disusun dan menekankan perlunya kepedulian
ditanggapi oleh para sahabat dan muridnya sosial tercermin pada
secara tertulis dalam bentuk buku.

3.4.4. Nilai Cinta Damai

Sikap, perkataan, dan tindakan yang


menyebabkan orang lain merasa senang
dan aman atas kehadiran dirinya. Ajaran
moral Sosrokartono yang menekankan
perlunya manusia hidup dengan cinta
damai dapat ditemukan pada surat yang
ditulisnya dari Tanjungpura, Langkat, pada
tanggal 11 Oktober 1931, yang antara lain
dituliskan: “para sedherek kaparingana
saget among rukun, among guyub. Ingkang
badhe grisak rukuning sadherekan, bade
ngrisak piyambak,” artinya “saudara

sekalian hendaknya bisa menjaga


kerukunan, menjaga kekompakan. Siapa

yang akan merusak kerukunan


persaudaraan, merusak dirinya sendiri.”
Ajaran moral ini sekarang amat relevan
ketika kehidupan bangsa Indonesia
dipenuhi gejala amuk massa, tawuran antar
kelompok, bentrok antar kampung atau

antar fakultas, tindak kekerasan,


pengrusakan dan pembunuhan karena
perbedaan keyakinan. Pada hal karakter

cinta kerukunan dan menghindari


kerusakan telah ada sebagai kearifan-
kearifan lokal sejak nenek moyang bangsa
Indonesia menempati kepulauan nusantara
dengan keragaman budayanya. Ajaran
moral Sosrokartono ini sesuai dengan hasil
penelitian Franz Magnis-Suseno (1983:
65–68) tentang Etika Jawa, bahwa inti
ajaran etika Jawa bertumpu pada dua
kaidah, yaitu prinsip kerukunan dan prinsip
hormat. Kedua prinsip itu merupakan
kerangka normatif yang menentukan
bentuk-bentuk kongkret semua interaksi.

28
ISSN 1410–7910 E-ISSN 2549-1628

ajaran Ilmu Kantong Bolong, salah satu di


antara ilmu-ilmu yang tumbuh-muncul menjadi
wujud dari inti-hati nurani manusia sendiri,
tidak dari akal, perasaan dan kemauan
manusia. Ilmu kantong bolong harus menyatu
dengan laku, sebab tanpa laku ilmu kantong
bolong tidak ada artinya dan berubah menjadi
“ilmu” seperti ilmu ukur, ilmu bumi, dan
sebagainya (Ali, 1966: 15). Ilmu kantong
bolong dapatlah dirumuskan dalam bentuk
piwulang: “nulung pepadane, ora nganggo
mikir wayah, waduk, kantong. Yen ana isi,
lumuntur marang sesami” (Surat dari Binjei
tanggal 12 November 1931), artinya
“menolong sesama manusia, tanpa
memperhatikan waktu, perut (jasad, badan),
kantong. Bila (kantong) berisi dengan pasti dan
senantiasa mengalir kepada sesama manusia.”
Inti ajaran ilmu kantong bolong adalah
menolong sesama manusia tanpa reserve.
Segalanya dipertaruhkan untuk menolong
sesama manusia yang membutuhkan sebagai
wujud menunaikan kewajiban berbakti kepada
Tuhan. Bahkan setiap rejeki yang ada
disalurkan pada manusia lain yang
membutuhkan. Ilmu kantong bolong tidak
memberikan kemungkinan dan harapan bahwa
manusia dapat memperhatikan diri pribadi
secara berlebihan (egois), karena diri sendiri
dikesampingkan agar supaya sesama hidup
dapat ditempatkan pada pusat perhatian.
Manusia menjadi kosong seperti kantongnya,
yaitu kosong dari gairah dan hasrat-hasrat
menempatkan diri sendiri sebagai pusat-dunia
seraya bertenggelam dalam kepentingan
pribadi. Sesama manusia mendapat tempat
dalam hati-nuraninya. Kekosongan,
kehampaan itu berubah menjadi tempat
berteduh, berlindung bagi setiap makhluk ,
terutama sesama manusia.

3.4.6. Nilai Tanggung Jawab

Sikap dan perilaku seseorang untuk


melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang
seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri,
masyarakat lingkungan (alam, sosial, dan
budaya), negara, dan Tuhan

29
NILAI-NILAI PEMBENTUK KARAKTER DALAM FILSAFAT SOSROKARTONO 12

30
Sabda Volume 11, Nomor 2, Desember 2016 Sikap dan perilaku yang menghagai
sesama manusia sama harkat dan
martabatnya, serta selalu cinta kasih
terhadap sesama manusia. Banyak
Yang Maha Esa. Ajaran moral ajaran
Sosrokartono bersumber pada prinsip
bahwa kewajiban manusia dalam hidup ini
adalah berbakti dan mengabdikan diri pada

Tuhan. Penunaian kewajiban itu


diwujudkan dalam perilaku mencintai dan
mengabdikan diri atau melayani sesama
makhluk Tuhan, yaitu perilaku leladi
mring sesami. Manusia bertanggung jawab
dan berkewajiban berbuat karyenak tyasing
sesami (membuat orang lain senang dan
nyaman di hati). Ajaran ini terungkap pada
mutiara sabdanya: “ngupadosi: padang ing
peteng, seneng ing sengsara, tunggaling
sewu yuta, artinya mencari terang di dalam
gelap, senang di dalam sengsara, ribuan
juta contohnya. Ungkapan tersebut
merupakan niat dan tujuan praksis
kehidupan Sosrokartono yang berusaha
untuk mengubah suasana yang gelap
menjadi terang, merubah yang sengsara
menjadi senang. Sosrokartono seakan
mengikuti jejak para nabi dalam menerangi
kegelapan umat. Namun Sosrokartono

hanya berusaha mengentaskan


kesengsaraan masyarakat dari penyakit
medis dan penyakit hati menuju
kesembuhan dan kebahagiaan pada
umumnya (Khakim, 2008: 105).

Berdasarkan ungkapan tersebut


tersembunyi ajaran moral: “Jika anda
temukan kegelapan, maka terangilah. Jika
anda temukan kesengsaraan di manapun,
maka berikanlah kesenangan. Berjuta-juta
orang membutuhkan cahaya terang,
pertolongan, dan sinar kebahagiaan”.
Sosrokartono menunjukkan juga adanya
hikmah atau dimensi tersembunyi dari
setiap kejadian atau keadaan. Menurut
Sosrokartono, apa saja yang ada di dunia
ini adalah relatif, sehingga tidak ada
kesenangan, kesengsaraan, kegelapan,
maupun kecerahan yang abadi. Setelah
kesulitan pastilah ada kemudahan.

3.4.7. Nilai Manusiawi

31
ISSN 1410–7910 E-ISSN 2549-1628 individualistis, matarialistis dan

sekularistis dapat diminimalisir.


Masyarakat Indonesia yang mempunyai
moral Sosrokartono, yang berlandaskan

pada kewajiban menjaga nilai kemanusiaan,


terungkap dalam mutiara-mutiara sabdanya.
Kewajiban menjaga nilai-nilai kemanusiaan itu
merupakan bentuk kepedulian Sosrokartono
terhadap nasib sesama manusia. Ajaran moral
Sosrokartono yang humanistis ditunjukkan
pula oleh Aksan (1985: 24) dengan menyitir
salah satu ajarannya: “Sinau ambelani lan
ngraosaken susah lan sakitipun sesami. Inggih
punika sinau ngraosaken lan nyumurupi:
tungalipun manungsa, tunggalipun rasa,
tunggalipun asal lan maksudipun agesang,”
artinya “belajar membela dan merasakan susah
dan sakitnya orang lain, yaitu belajar
merasakan dan memahami: satunya manusia,
satunya rasa, satunya maksud dan tujuan
hidup.” Ajaran moral Sosrokartono ini
sungguh mencerminkan penghargaan,
penghormatan dan pengabdiannya kepada
sesama manusia. Ajaran moral ini sejajar
dengan prinsip semua manusia sama harkat

dan martabatnya, sehingga perlu


dikembangkan sikap “tepo saliro dan tenggang
rasa.”

4. Simpulan

Ajaran moral Sosrokartono mempunyai


relevansi yang tinggi untuk menjawab
persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia saat
ini, terutama terjadinya demoralisasi
kehidupan bersama. Kalau masyarakat dan
bangsa Indonesia pada saat ini menghadapi
masalah demoralisasi, krisis jati diri dan
kepribadian, sebagai ekses dari derasnya arus
perubahan dan globalisasi yang masuk ke
Indonesia, maka aktualisasi dan
kontekstualisasi ajaran moral Sosrokartono
diharapkan mampu menangkal ekses
globalisasi tersebut.

Ajaran moral Sosrokartono sarat kandungan


nilai pembentuk karakter, sehingga apabila
ajaran moral tersebut benar-benar dilaksanakan
oleh manusia Indonesia maka sifat manusia
yang

32
NILAI-NILAI PEMBENTUK KARAKTER DALAM FILSAFAT SOSROKARTONO 13

33
Sabda Volume 11, Nomor 2, Desember 2016 Endraswara, Suwardi. 2010. Falsafah
Hidup Jawa. Yogyakarta:
Cakrawala.
kepedulian sosial tinggi (caring society) Kaelan, Dr.,M.S. 2005. Metode Penelitian
dapat ditegakkan kembali. Peneliti yakin
bahwa masyarakat dan bangsa Indonesia Kualitatif Bidang Filsafat.
bisa dibangun menjadi bangsa yang maju
Yogyakarta: Penerbit Paradigma.
dan modern namun tetap berkarakter dan
berkepribadian. Apabila pengetahuan Kemko Kesra. 2010. Kebijakan Nasional
tentang ajaran moral Sosrokartono mampu
diinternalisasikan dan diaktualisasikan Pembangunan Karakter Bangsa.
dalam praktik hidup bangsa Indonesia, Jakarta: Kemdiknas.
maka peneliti yakin bahwa kehidupan
bangsa Indonesia lebih tenteram dan Kementerian Pendidikan Nasional. 2011.
damai, karena dapat terhindar dari sikap
Desain Induk Pendidikan Karakter
yang materialistis, sekularistis dan
individualistis. Bangsa Indonesia akan

menjadi manusia-manusia yang


mempunyai kepedulian sosial yang tinggi
sesuai dengan ajaran Pancasila. Ajaran
moral Sosrokartono memang kompatibel
dengan ajaran ideologi Pancasila.

Daftar Pustaka

Adisasmita, Sumidi. 1968. Ichtisar


Riwayat Hidup dan Perikehidupan Maha
Putra Indonesia Drs.R.M.P.

Sosrokartono 1877 – 1952.


Yogyakarta: Yayasan Sosrokartono
Yogyakarta.
Aksan. 1985. Ilmu dan Laku Drs.R.M.P.

Sosrokartono. Surabaya: Citra Jaya


Murti.

Ali, R.Mohammad. 1966. Ilmu Kantong


Bolong, Ilmu Kantong Kosong, Ilmu
Sunyi Drs. R.M.P.Sosrokartono
Suatu Tanggapan. Jakarta: Panitia
Penyusunan Buku Riwayat Drs.
R.M.P. Sosrokartono.
Depdikbud. 1998. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
34
ISSN 1410–7910 E-ISSN 2549-1628
Notonagoro. 1974 (Cet. Kelima). Beberapa
Hal Mengenai Falsafah Pancasila.
Jakarta: Universitas Pancasila.
Kementerian Pendidikan Nasional.
________. 1975. Pancasila Secara Ilmiah
Jakarta: Kemdiknas. Populer. Jakarta: Pantjuran Tudjuh.
Khakim, Indy G. 2008. Sugih Tanpa
Priyanto, Hadi. 2013. Sosrokatono De
Bandha (Tafsir Surat-Surat & Javasche Prins (Putra Indonesia
yang Besar). Semarang: Pustaka
Mutiara-Mutiara Jungpara.
Drs.R.M.P. Sosrokartono.
Pusat Kurikulum dan Perbukuan Balitbang
Blora: Pustaka Kaona. Kementerian Pendidikan Nasional.
Kleden, Ignas. 2014. Menerapkan Revolusi Pembangunan Karakter Bangsa.

Mental. Jakarta: Harian KOMPAS, 2011. Jakarta: Kementerian


Kamis 25 September 2014. Pendidikan Nasional. Ppt. Slide.

Koesoema, A Doni. 2012. Pendidikan


Karakter Utuh dan Menyeluruh.

Yogyakarta: Penerbit Kanius.


Lickona, Thomas. 2013. Pendidikan

Karakter- Panduan Lengkap Mendidik


Siswa Menjadi Pintar dan Baik
(terjemahan dari Educating for
Character, 2008 oleh Lita S.). Bandung:
Nusa Mesia.

Machfoeld, Musa al. 1976. Priagung Darus


–Us-Salam Almarhum Drs. Sosrokartono
di jalan Poengkoer no. 7 Bandung.
Yogyakarta: Yayasan Sosrokartono.

Magnis-Suseno, Franz ,dkk 1983. Etika


Jawa dalam Tantangan (Sebuah

Bunga Rampai). Yogyakarta:


Yayasan Kanisius.

________. 1987. Etika Dasar: Masalah-


masalah Pokok Filsafat Moral.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

________. 1999. Etika Jawa: Sebuah

Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan


Hidup Jawa. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
35
NILAI-NILAI PEMBENTUK KARAKTER DALAM FILSAFAT SOSROKARTONO 14

36
Sabda Volume 11, Nomor 2, Desember 2016 ISSN 1410–7910 E-ISSN 2549-1628

Roesno. 1954. Karena Panggilan Ibu


Sedjati, Riwayat Hidup dari
Drs.R.M.P.Sosrokartono. Jakarta:
Panitia Buku Peringatan R.M.P.
Sosrokartono.
Salam, Solichin. 1987. R.M.P.
Sosrokartono: Sebuah Biografi.
Jakarta: Yayasan Sosrokartono.
Sastrapratedja, M. 1992. "Pancasila
sebagai Ideologi dalam Kehidupan
Budaya," dalam Oetojo Oesman dan
Alfian (Ed). Pancasila Sebagai
Ideologi. hlm. 141-162. Jakarta: BP-
7 Pusat.
________. 1996. Pancasila dan
Globalisasi. Magelang: Panitia
Seminar Nasional Pendidikan
Pancasila, Universitas Tidar
Magelang, 29-31 Juli.
Sumardjo, Jakob. 2011. “Makna Kesatuan
Indonesia” Jakarta: Harian
KOMPAS, 12 Maret.
Syuropati, Mohammad A. 2011. Sugih
Tanpa Bandha VS Ilmu Kanthong

Bolong. Bantul-Yogyakarta: AzNa


Books.
________. 2015. Ajaran-ajaran Adiluhung
Raden Panji Sosrokartono.
Yogyakarta: Syura Media Utama.
Tilaar, H.A.R.. 2012. “Agama, Budaya
dan Pendidikan Karakter Bangsa,”
Jurnal Pendidikan Penabur No. 19
Tahun ke-11, Desember 2012.
Wibawa, Sutrisna. 2013. Filsafat Moral
37
Dalam Serat Centini Melalui Tokoh
Seh Amongraga Sumbangannya Bagi

Pendidikan Karakter. Yogyakarta:


Disertasi Program Doktor Ilmu
Filsafat UGM.

38
NILAI-NILAI PEMBENTUK KARAKTER DALAM FILSAFAT SOSROKARTONO
15

39

You might also like