You are on page 1of 11

AWAKE INTUBATION

Jalan napas merupakan hal penting yang harus dipertahankan dan paten
dalam anestesi. Dimulai dengan penilaian jalan napas rinci untuk mengidentifikasi
kesulitan jalan nafas, dan cara-cara untuk menanganinya. Difficult airway atau
kesulitan jalan nafas didefinisikan sebagai situasi klinis di mana anestesiologis
terlatih mengalami kesulitan dengan ventilasi masker di saluran napas bagian atas,
kesulitan intubasi trakea, atau keduanya. Kesulitan jalan napas merupakan
interaksi kompleks dari faktor pasien, klinis, dan kemampuan dokter. Kesulitan
jalan napas ini, apa bila tidak ditanggulangi dapat berujung pada kematian, brain
injury, cardiopulmonary arrest, pembuatan saluran napas secara operasi yang
tidak perlu, trauma airway dan kerusakan pada gigi.1
Intubasi terjaga adalah standar perawatan untuk pengelolaan jalan nafas
yang sulit diantisipasi.2 Anestesiologis akhir-akhir ini menekankan underuse dari
awake fibreoptic intubation (AFOI) dalam manajemen difficult airway dan
mengidentifikasi sejumlah faktor yang menyebabkan kegagalannya seperti sedasi
yang tidak sesuai, ketidakmampuan untuk mengidentifikasi landmark, dan
tubrukan tracheal tube saat railroading.3 Kurangnya pengalaman dengan AFOI
cenderung secara signifikan menyebabkan kurangnya penggunaan intubasi ini.4
Awake intubation diindisikasikan jika diketahui atau dicurigai adanya
kesulitan dengan ventilasi masker dan intubasi trakea (Tabel 1). Dalam kasus
dimana laringoskopi direk sulit dilakukan, apabila ventilasi masker
memungkinkan maka teknik asleep dapat dilakukan. Dalam keadaan ini, video
laryngoscopy menjadi pilihan anestesiologis dalam manajemen difficult airway.4
Tabel 1. Prediktor Keadaan dimana Laringoskopi Direk dan Ventilasi
Masker Sulit Dilakukan4

Kontraindikasi absolut dari awake intubation hanya sebatas penolakan


pasien dan non-compliance. Kontraindikasi relatif termasuk ketidaklihaian
operator, alergi terhadap anestesi lokal, dan perdarahan saluran nafas. AFOI pada
pasien dengan tumor saluran nafas atas, terutama pasien dengan stridor, masih
menjadi kontroversial karena AFOI berpotensi membuat obstruksi total saluran
nafas. Akan tetapi AFOI berhasil digunakan oleh para ahli dengan kasus tertentu.
Pengambilan keputusan dalam keadaan-keadaan ini dapat dibantu dengan
nasendoskopi dan pemeriksaan radiologis pra-operatif. AFOI menjadi pilihan
pertama untuk awake intubation, namun terdapat sejumlah alternatif lainnya,
seperti laringoskopi direk, blind nasal intubation, intubating laryngeal mask,
tracheostomy, dan yang terbaru video laryngoscopy. Awake tracheostomy dapat
menjadi pilihan untuk kasus dimana AFOI dapat menyebabkan obstruksi saluran
nafas total.4
Video laryngoscopy menjadi teknik yang sangat bermanfaat dalam
manajemen laringoskopi direk yang sulit dilakukan. Sejak teknik ini
diperkenalkan, awake video laryngoscopy menjadi semakin sering digunakan
untuk memfasilitasi awake intubation. Karena kemiripanya dengan laringkoskopi
konvensional, dan tingkat skill psikomotor yang lebih familiar atau bahkan lebih
mudah, awake video laryngoscopy diusulkan menjadi teknik yang lebih mudah,
cepat, dan aman dilakukan dibandingkan AFOI pada pasien dengan anatomi jalan
nafas yang sulit, meski bukti yang mendukung masih minim.4,5

A. Persiapan Jalan Nafas


1. Anti-sialogogues
Glycopyrrolate 4 μg/kg diberika secara intramuskular satu jam sebelum
intubasi dapat mengeringkan membran mukus sehingga meningkatkan
efikasi dari anestesi topikal dan meningkatkan kondisi intubasi dengan
cara menurunkan sekresi. Alternatif yang lain adalah dengan
menginjeksikan glycopyrrolate secara intravena di ruang anestesi, namun
efek samping yang tidak diinginkan seperti takikardi dapat terjadi. Pilihan
lain antara lain adalah atropin danhyoscine. Takikardia akibat
antimuskarinik terkadang dapat membuat awake intubation menjadi sulit
karena peningkatan ansietas pasien sebagai akibat sekunder takikardia.4
2. Anestesi lokal
Lidokain merupakan agen yang paling sering digunakan untuk anestesi
saluran nafas topikal. Lidokain tersedia dalam beragam konsentrasi, dan
dengan kombinasi dengan vasokonstriktor seperti epinefrin dan fenilefrin.
Dosis maksimum untuk pemberian topikal adalah 9 mg/kg.6 Meskipun
demikian, dengan kemampuan skill fibreoptic yang baik, biasanya tidak
perlu mencapai dosis sedemikian tinggi. Penggunaan dosis tinggi dari
anestesi lokal harus digunakan secara hati-hati, terutama pada pasien
dengan penyakit hati. Kokain mempunyai kelebihan berupa aktivitas
vasokonstriktor intrinsik, namun terkait dengan toksisitasnya maka
penggunaan obat ini mengalami penurunan. Anestesi lokal dapat diberikan
dengan cara nebul, dengan teknik ‘spray-as-you-go’ dengan menggunakan
beragam jenis alat, atau melalui sejumlah ‘airway blocks’.7
Punksi cricothyroid dan injeksi lokal transtrakeal dapat
memfasilitasi anestesi saluran nafas yang baik. Selain itu, apabila
dilakukan dengan kannula yang sesuai, teknik ini dapat menolong
oksigenasi dan menjadi conduit (saluran) sebagai jalan guidewire yang
memfasilitasi trakeostom Seldinger dalam kasus-kasus fibreoptic
intubation yang gagal atau obstruksi saluran nafas.4

B. Sedasi
Meski awake intubation dapat dilakukan dengan anestesi lokal saja, seringkali
sedasi diperlukan untuk meningkatkan toleransi pasien. Obat-obatan seringkali
digunakan untuk sedasi saat awake intubation umumnya cenderung berupa
ansiolitik atau analgesik, meski beberapa agen yang lebih baru menunjukkan
kedua sifat obat tersebut. Keamanan awake intubation bergantung pada
maintenance pernafasan spntan, dan kemampuan untuk berhenti dan
melakukan teknik yang berbeda, seperti awake tracheostomy, jika intubasi
tidak berhasil.4
Sedasi berlebih (oversedation) dapat mengakibatkan obstruksi saluran
nafas, depresi pernafasan, atau apnea, dan berakibat pada morbiditas atau
mortalitas yang signifikan. Oleh karena itu, dapat direkomendaskan agar ahli
anestesi kedua, atau seorang ‘sedationist’ bertanggung jawab dalam
memberikan dan memantau efek sedasi. Sejumlah obat dan regimen tersedia
untuk sedasi awake intubation, namun saja sedikit penelitian randomised
controlled trial dengan desain yang baik untuk membandingkan kedua
regimen ini.4
1. Midazolam
Midazolam adalah obat golongan benzodiazepin yang dapat diinjeksikan
secara bolus dengan dosis 0,5 – 1 mg, yang biasanya tidak mencapai 0,05
mg/kg. Akibat lemahnya sifat analgesik obat ini, midazolam biasanya
digunakan bersamaan dengan bolus fentanil dengan dosis ≤ 1,5 μg/kg.
Kelebihan utama dari teknik ini adalah kesederhanaannya dan
penggunaannya yang telah dikenal secara luas. Kelebihan yang lain adalah
efek amnesia yang bermanfaat dalam aspek pengalaman pasiaen dan dapat
meningkatkan ketaatan pasien pada awake intubation selanjutnya, meski
tidak ada bukti yang mendukung pernyataan ini. injeksi bolus dapat
menyebabkan oversedation, dan perlu diingat bahwa efek obat ini dapat
bersifat antagonis dengan flumazenil.4
2. Remifentanil
Saat ini remifentanil digunakan secara luas untuk AFOI. Remifentanil
adalah agonis reseptor opioid μ poten, yang mempunyai kelebihan
dibandingkan opioid lain yaitu onset kerja yang sangat cepat. Hal ini
diakibatkan hidrolisis plasa non-spesifik dan esterase jaringan, yang
bersifat independen dari funsi renal dan hepar. Remifentanil juga
mempunyai sifat anti-tussid dan analgesik yang baik, dan telah digunakan
sebagai agen tunggal untuk AFOI, meski tanpa topikalisasi saluran
pernafasan. Obat ini secara umum digunakan bersamaan dengan agen lain,
seperti midazolam atau propofol, untuk mengurangi tingginya insidensi
ingatan kembali. Namun menariknya, pasien yang mampu mengingat
kembali ketika penggunaan remifentanil biasanya tidak menggambarkan
pengalamannya sebagai pengalaman yang tidak menyenangkan.8
Remifentanil mempunyai sejumlah efek samping yang dapat
berpotensi bermasalah saat AFOI. Hal ini seperti bradikardia, hipotensi,
apnea, hipoksia, dan rigiditas dinding dada. Remifentanil sering
disarankan untuk tidak dikombinasikan dengan sedatif lain, untuk
meminimalisasi efek samping efek samping ini. injeksi dengan
menggunakan targeet-controlled infusion (TCI) dilaporkan menunjukkan
penurunan insidensi komplikasi, dan menghasilkan kondisi intubasi yang
lebih baik. Pada kombinasi penggunaannya dengan midazolam atau
propofol, konsentrasi effect-site sebesar 3-5 ng/ml dilaporkan merupakan
konsentrasi yang tepat.8 Namun ada juga yang mengusulkan konsentrasi
effect-site 1-2 ng/ml merupakan konsentrasi yang secara sempurna
memadai.4
3. Propofol
Propofol merupakan derivat alkilfenol yang sangat larut dalam lemak yang
dapat diinjeksikan secara bolus, diberikan dengan infus sederhana, ataupun
sebagai TCI. Sebagian besar penelitian mencari kegunaannya sebagai
sedasi saat awake intubation dengan TCI. Mencapai keseimbangan yang
baik di antara undersedation dan oversedation dapat menjadi tantangan
yang sangat besar ketika menggunakan propofol sebagai agen sedatif
tunggu, dengan konsentrasi effect-site > 3 μg/ml. Pemberian opioid atau
benzodiazepin secara bersamaan dapat meningkatkan efikasi. Hasil-hasil
penelitian mengusulkan bahwa propofol paling baik digunakan sebagai
TCI dengan konsentrasi effect-site ≤ 1 μg/ml yang diberikan bersamaan
dengan remifentanil.8
4. Dexmedetomidine
Dexmedetomidine merupakan komponen imidazole yang secara spesifik
mempunyai aktivitas agonis α-2-adrenoseptor. Dexmedetomidine menjadi
semakin dikenal penggunaannya sebagai agen sedatif untuk AFOI karena
sejumlah kelebihannya. Selain sebagai sedasi, obat ini juga memberikan
efek amnesia anterograde, ansiolisis, dan analgesia. Kelebihannya yang
dianggap paling menonjol adalah mempunyai efek minimal terhadap
pernafasan. Agen ini dapat diinjeksikan secara bolus dengan dosis 0,7 – 1
μg/kg selama 10 – 20 menit diikuti dengan infus 0,3 – 0,7 μg/kg/jam.
Meski mempunyai sejumlah karakteristik yang sangat disukai, masih
sedikit sekali penelitian randomisasi terkontrol dengan desain yang baik
mengenai kelebihan dexmedetomidine dibandingkan agen lain.8

C. Oksigen
Menimbang keadaan dimana awake intubation dilakukan, pemberian oksigen
tambahan tetap saja diperlukan. Oksigen dapat diberikan melalui nasal kanul
untuk intubasi oral, ataupun upside-down fave mask yang diletakkan di mulut
untuk intubasi oral. Pemberian oksigen memberikan keamanan untuk keadaan
yang jarang dimana awake intubation menimbulkan obstruksi saluran nafas
komplit.4

D. Akupuntur dan Acupressure


Penggunaan akupuntur dan acupressure untuk penekanan refleks muntah telah
tercatat literatur dental dan orthodontik, tetapi masih belum dihubungkan
dengan awake intubation. Kedua titik akupuntur PC 6 dan CV 24 (Gambar 1)
telah menunjukkan dapat mengurangi keparahan muntah (gagging) pada
pasien yang menjalani prosedur dental. Meski masih belum terdapat bukti
yang mendukung penggunaan akupuntur ataupun acupressure untuk awake
intubation, bidang ini dapat menjadi ranah yang menarik untuk penelitian
selanjutnya, terutama pada pasien dengan refleks muntah yang terganggu atau
sensitivitas anestesi lokal.9

Gambar 1. Titik Akupuntur PC 6 (A) dan CV 24 (B).


E. Teknik

Terdapat dua orang anestesiologis yang berpengalaman. Pasien uduk dengan


posisi semirecumbent dengan monitor terpasang seperti rekomendasi dari
Association of Anaesthetists of Great Britain and Ireland (AAGBI), dan
dengan akses intravena. Tracheal tube cuff 6,0 dan kateter epidural yang
terpasang pada suction, telah disediakan. Operator, pasien, dan layar monitor
disejajarkan dengan posisi yang nyaman. Anestesi dan sedasi saluran nafas
dicapai sebagaimana yang ditampilakan pada Tabel 2. Intubasi kemudian
dilakukan dan posisi tracheal tube diperiksa dengan visualisasi dari karina
melalui tracheal tube dan kapnografi. Anestesia kemudian diinduksi
menggunakan sevoflurane, cuff dikembangkan, dan jika perlu, agen
neuromuscular blocking diinjeksikan. Posisi tracheal tube kemudian
dikonfirmasi lebih lanjut dengan auskultasi.4 Latihan intubasi fibreoptic
dengan pendekatan didaktik ditunjukkan pada Tabel 3.10

Tabel 2. Ringkasan Teknik AFOI


Tabel 3. Latihan Intubasi Fibreoptic dengan Pendekatan Didaktik

F. Penelitian Terkait
Suatu penelitian retrospektif membahsa tentang keberhasilan, kegagalan, dan
waktu yang diperlukan untuk awake intubation. Seratus sepuluh anestesiologis
(89% angka respon) dan 84 dokter bedah (92% angka respon) menjawab
tentang waktu yang diperlukan untuk melakukan intubasi terjaga (tabel 5).
Keduanya (dokter bedah dan anestesiologis) mengharapkan waktu tambahan
pada intubasi terjaga, dengan dokter bedah mempunyai estimasi yang
berlebih : 76% dokter bedah percaya bahwa intubasi terjaga menambah waktu
lebih dari 10 menit, dan 48% percaya bahwa ini akan menambahkan waktu 20
menit, dibandingkan dengan 49% dan 11% anestesiologis (P<0.001).
Ketika dihadapkan dengan potensi kesuitan jalan nafas, anestesiolgis harus
merencanakan rencana yang mempunyai keamanan dan efikasi yang
maksimal.
Intubasi terjaga masih menjadi gold standard untuk kasus kesulitan jalan
napas, karena hal ini memperpanjang waktu pada pasien yang sadar karena
pasien bisa mengamankan jalan napasnya sendiri. Meskipun demikian,
intubasi terjaga bukan tidak memiliki kekurangan. Adapun kekurangan
tersebut seperti memakan waktu yang lama, membuat stress pasien, dan
potensial untuk tidak aman.
Kajian retrospektif lebih dari 1.000 intubasi terjaga tersebut menemukan
bahwa intubasi terjaga menambahkan sekitar 8 menit waktu di OR
dibandingkan dengan intubasi dilakukan setelah induksi anestesi umum. Tidak
seperti kekhawatiran yang dilaporkan oleh penulis lain, review tersebut
menemukan bahwa intubasi terjaga tidak menyebabkan gangguan
hemodinamik yang signifikan. Tidak ada perbedaan klinis yang signifikan
dalam MAP ketika membandingkan pasien yang menjalani intubasi terjaga
dibandingkan intubasi tertidur. Denyut jantung pasien diintubasi terjaga
sedikit lebih tinggi (sebesar 13 BPM), meskipun perbedaan ini dapat
dijelaskan oleh administrasi glikopirolat untuk sebagian besar kelompok
menjalani intubasi terjaga.
Kesimpulannya, awake intubation terjaga tetap menjadi andalan untuk
pengelolaan jalan nafas yang sulit diantisipasi, terutama untuk pasien pada
peningkatan risiko aspirasi dan pasien yang sulit dilakukan pemsangan
sungkup atau ventilasi supraglottic.
DAFTAR PUSTAKA

1. American Society of Anesthesiologists: Practice guidelines for management of


the difficult airway: An Updated Report by the American Society of
Anesthesiologists Task Force on Management of the Difficult Airway.
Anesthesiology. 2013; 118: 251–70.
2. Joseph TM, Gal JS, Demaria S, Lin HM, Levine A, Hyman JB. A
Retrospective Study of Success, Failure, and Time Needed to Perform Awake
Intubation. Anesthesiology. 2016; 125(1): 1.
3. Cook TM, Woodall N, Frerk C, eds. The NAP4 Report: Major Complications
of Airway Management in the United Kingdom. London: The Royal College
of Anaesthetists. 2011. Available from
http://www.rcoa.ac.uk/system/files/CSQ-NAP4-Full.pdf
4. Leslie D, Stacey M. Awake Intubation. Continuing Education in Anaesthesia,
Critical Care & Pain. 2015; 15(2): 64–67.
5. Rosenstock CV, Thøgersen B, Afshari A, Christensen AL, Eriksen C, Gatke
MR. Awake fibreoptic or awake video laryngoscopic tracheal intubation in
patients with anticipated difficult airway management—a randomized clinical
trial. Anesthesiology. 2012; 116: 1210–6.
6. Williams K, Barker G, Harwood R, Woodall N. Plasma lidocaine levels during
local anaesthesia of the airway. Anaesthesia. 2003; 58: 508–9.
7. Sudheer P, Stacey MR. Anaesthesia for awake intubation. BJA CEPD Rev.
2003; 3: 120–3.
8. Johnston KD, Rai MR. Conscious sedation for awake fibreoptic intubation: a
review of the literature. Can J Anaesth. 2013; 60: 584–99.
9. Sari E, Sari T. The role of acupuncture in the treatment of orthodontic patients
with a gagging reflex: a pilot study. Br Dent J. 2010; 228: E19.
10. Marsland C, Larsen P, Segal R, et al. Proficient manipulation of fibreoptic
bronchoscope to carina by novices on first clinical attempt after specialized
bench practice. Br J Anaesth. 2010; 104: 375–81.

You might also like