You are on page 1of 4

Ambalat

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Ambalat adalah blok laut luas mencakup 15.235 kilometer persegi yang terletak di Laut
Sulawesi atau Selat Makassar dan berada di dekat perpanjangan perbatasan darat antara
Sabah, Malaysia, dan Kalimantan Timur, Indonesia. Penamaan blok laut ini didasarkan atas
kepentingan eksplorasi kekayaan laut dan bawah laut, khususnya dalam bidang pertambangan
minyak. Blok laut ini tidak semuanya kaya akan minyak mentah.

Daftar isi
 1 Awal persengketaan
 2 Aksi-aksi sepihak
 3 Lihat pula
 4 Catatan kaki
 5 Pranala luar

Awal persengketaan
Persoalan klaim diketahui setelah pada tahun 1967 dilakukan pertemuan teknis pertama kali
mengenai hukum laut antara Indonesia dan Malaysia. Kedua belah pihak bersepakat (kecuali
Sipadan dan Ligitan diberlakukan sebagai keadaan status quo lihat: Sengketa Sipadan dan
Ligitan). Pada tanggal 27 Oktober 1969 dilakukan penandatanganan perjanjian antara
Indonesia dan Malaysia, yang disebut sebagai Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia
- Malaysia, [1] kedua negara masing2 melakukan ratifikasi pada 7 November 1969, tak lama
berselang masih pada tahun 1969 Malaysia membuat peta baru yang memasukan pulau
Sipadan, Ligitan dan Batu Puteh (Pedra blanca) tentunya hal ini membingungkan Indonesia
dan Singapura dan pada akhirnya Indonesia maupun Singapura tidak mengakui peta baru
Malaysia tersebut. Kemudian pada tanggal 17 Maret 1970 kembali ditanda tangani
Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia. [2] Akan tetapi pada tahun 1979 pihak
Malaysia membuat peta baru mengenai tapal batas kontinental dan maritim dengan yang
secara sepihak membuat perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukan blok maritim
Ambalat ke dalam wilayahnya yaitu dengan memajukan koordinat 4° 10' arah utara melewati
Pulau Sebatik. [3] Indonesia memprotes dan menyatakan tidak mengakui klaim itu, merujuk
pada Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia - Malaysia tahun 1969 dan Persetujuan
Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia tahun 1970. Indonesia melihatnya sebagai usaha
secara terus-menerus dari pihak Malaysia untuk melakukan ekspansi terhadap wilayah
Indonesia. Kasus ini meningkat profilnya setelah Pulau Sipadan dan Ligitan, juga berada di
blok Ambalat, dinyatakan sebagai bagian dari Malaysia oleh Mahkamah Internasional.

Aksi-aksi sepihak
 Tgl 21 Februari 2005 di Takat Unarang (nama resmi Karang Unarang) Sebanyak 17
pekerja Indonesia ditangkap oleh awak kapal perang Malaysia KD Sri Malaka,
 Angkatan laut Malaysia mengejar nelayan Indonesia keluar Ambalat.
 Malaysia dan Indonesia memberikan hak menambang ke Shell, Unocal dan ENI. [3]
 Berkaitan dengan itu pula surat kabar Kompas mengeluarkan berita bahwa Menteri
Pertahanan Malaysia telah memohon maaf berkaitan perkara tersebut [4]. Berita
tersebut segera disanggah oleh Menteri Pertahanan Malaysia yang menyatakan bahwa
kawasan tersebut adalah dalam kawasan yang dituntut oleh Malaysia, dengan itu
Malaysia tidak mempunyai sebab untuk memohon maaf karena berada dalam perairan
sendiri. Sejajar dengan itu, Malaysia menimbang untuk mengambil tindakan undang-
undang terhadap surat kabar KOMPAS yang dianggap menyiarkan informasi yang
tidak benar dengan sengaja.
o Pemimpin Redaksi Kompas, Suryopratomo kemudian membuat permohonan
maaf dalam sebuah berita yang dilaporkan di halaman depan harian tersebut
pada 4 Mei 2005, di bawah judul Kompas dan Deputi Perdana Menteri
Malaysia Sepakat Berdamai.[5]
 Pada koordinat: 4°6′3,59″LU 118°37′43,52″BT terjadi ketegangan yang melibatkan
kapal perang pihak Malaysia KD Sri Johor, KD Buang dan Kota Baharu berikut dua
kapal patroli sedangkan kapal perang dari pihak Indonesia melibatkan KRI Wiratno,
KRI Tongkol, KRI Tedong Naga KRI K.S. Tubun, KRI Nuku dan KRI Singa [6] yang
kemudian terjadi Insiden Penyerempetan Kapal RI dan Malaysia 2005, yaitu peristiwa
pada tgl. 8 April 2005 Kapal Republik Indonesia Tedong Naga (Indonesia) yang
menyerempet Kapal Diraja Rencong (Malaysia) sebanyak tiga kali, akan tetapi tidak
pernah terjadi tembak-menembak karena adanya Surat Keputusan Panglima TNI
Nomor: Skep/158/IV/2005 tanggal 21 April 2005 bahwa pada masa damai, unsur TNI
AL di wilayah perbatasan RI-Malaysia harus bersikap kedepankan perdamaian dan
TNI AL hanya diperbolehkan melepaskan tembakan bilamana setelah diawali adanya
tembakan dari pihak Malaysia terlebih dahulu.
 Shamsudin Bardan, Ketua Eksekutif Persekutuan Majikan-majikan Malaysia (MEF)
menganjurkan agar warga Malaysia mengurangi pemakaian tenaga kerja berasal dari
Indonesia
 Pihak Indonesia mengklaim adanya 35 kali pelanggaran perbatasan oleh Malaysia.[7]
 Tgl 24 Februari 2007 pukul 10.00 WITA, yakni kapal perang Malaysia KD Budiman
dengan kecepatan 10 knot memasuki wilayah Republik Indonesia sejauh satu mil laut,
pada sore harinya, pukul 15.00 WITA, kapal perang KD Sri Perlis melintas dengan
kecepatan 10 knot memasuki wilayah Republik Indonesia sejauh dua mil laut yang
setelah itu dibayang-bayangi KRI Welang, kedua kapal berhasil diusir keluar wilayah
Republik Indonesia.
 Tgl 25 Februari 2007 pukul 09.00 WITA KD Sri Perli memasuki wilayah RI sejauh
3.000 yard yang akhirnya diusir keluar oleh KRI Untung Suropati, kembali sekitar
pukul 11.00, satu pesawat udara patroli maritim Malaysia jenis Beech Craft B 200 T
Superking melintas memasuki wilayah RI sejauh 3.000 yard, kemudian empat kapal
perang yakni KRI Ki Hadjar Dewantara, KRI Keris, KRI Untung Suropati dan KRI
Welang disiagakan. [8]
Sengketa Sipadan dan Ligitan
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Sengketa Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas pemilikan
terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu pulau Sipadan (luas: 50.000
meter²) dengan koordinat: 4°6′52,86″LU 118°37′43,52″BT dan pulau Ligitan (luas: 18.000
meter²) dengan koordinat: 4°9′LU 118°53′BT. Sikap Indonesia semula ingin membawa
masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN namun akhirnya sepakat untuk menyelesaikan
sengketa ini melalui jalur hukum Mahkamah Internasional

Daftar isi
 1 Kronologi sengketa
 2 Keputusan Mahkamah Internasional
 3 Lihat pula
 4 Referensi
 5 Pranala luar

Kronologi sengketa
Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam
pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata
memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua
negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo
akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata
baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai
tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia
mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh
ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai. Sedangkan
Malaysia malah membangun resort di sana SIPADAN dan Ligitan tiba-tiba menjadi berita,
awal bulan lalu. Ini, gara-gara di dua pulau kecil yang terletak di Laut Sulawesi itu dibangun
cottage. Di atas Sipadan, pulau yang luasnya hanya 4 km2 itu, kini, siap menanti wisatawan.
Pengusaha Malaysia telah menambah jumlah penginapan menjadi hampir 20 buah. Dari
jumlahnya, fasilitas pariwisata itu memang belum bisa disebut memadai. Tapi pemerintah
Indonesia, yang juga merasa memiliki pulau-pulau itu, segera mengirim protes ke Kuala
Lumpur, minta agar pembangunan di sana disetop dahulu. Alasannya, Sipadan dan Ligitan itu
masih dalam sengketa, belum diputus siapa pemiliknya.Pada tahun 1969 pihak Malaysia
secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya

Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty
of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini
antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk
menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak
Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim
pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa kepulauan
Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan
Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara
Brimob) melakukan pengusiran semua warga negara Indonesia serta meminta pihak
Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau.

Sikap pihak Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN dan
selalu menolak membawa masalah ini ke ICJ kemudian melunak. Dalam kunjungannya ke
Kuala Lumpur pada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto akhirnya menyetujui usulan
PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM
Anwar Ibrahim, dibuatkan kesepakatan "Final and Binding," pada tanggal 31 Mei 1997,
kedua negara menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada tanggal 29
Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula Malaysia meratifikasi
pada 19 November 1997.

Keputusan Mahkamah Internasional


Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ,[1][2] kemudian pada
hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa
kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting
di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang
berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara
satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan
Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada
pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris
(penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan
ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu
sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata
yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of
title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di
perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.[3]

You might also like