You are on page 1of 27

RINGKASAN MATERI AJAR

Program Studi : S2 Pendidikan IPA


Mata Kuliah/Semester : Pengembangan Kurikulum
SKS/JS : 2 SKS/2 JS
Kompetensi Dasar : 1. Menguasai teori pengembangan kurikulum
Alokasi waktu : 6 x 50 menit

Indikator kompetensi dasar ini adalah (1) menganalisis cakupan bebera variasi definisi
kurikulum; (2) menjelaskan peranan kurikulum dalam pendidikan; (3) menjelaskan tiga
orientasi dasar kurukulum; (4) menjelaskan perspektif, paradigma, dan posibilitas dalam
kajian kurikulum; (5) mendeskripsi kan komponen-komponen utama kurikulum secara
umum; (6) menjelaskan bidang-bidang yang berkontribusi dalam pengembangan
kurikulum; dan (7) menjelaskan perlunya penyempurnaan/ pengembangan kurikulum.

1. Pengertian Kurikulum
Banyak pihak yang berkepentingan dalam dunia pendidikan yang memusatkan
perhatian pada aspek-aspek yang berbeda seperti dalam dimensi ide, rencana, proses,
dan/atau hasil. Hal ini memunculkan pada variasi pengertian kurikulum yang ditemukan
dalam berbagai literatur. Secara umum definisi-definisi kurikulum ada yang mencakup
satu atau beberapa dimensi (sempit/teknis) dan ada dengan cakupan dimensi lengkap (ide,
rencana, proses, dan hasil). Definisi kurikulum yang dianut akan menuntun kegiatan-
kegiatan yang dilakukan oleh para pengembang kurikulum yang menganutnya. Beberapa
contoh definisi kurikulum yang dikemukakan dalam beberapa pustaka sebagai berikut.
 Kurikulum sesbagai satu seri pengalaman yang terjadi pada pebelajar di sekolah
(Oliva, 1992) --- cendrung (dominan) kurikulum dalam dimensi proses.
 Kurikulum diintepretasikan melingkupi materi pelajaran, aktivitas, dan pengalaman
yang dimiliki siswa di bawah pengarahan sekolah baik di kelas maupun di luar kelas
(Romine, dalam Hamalik, 2001) --- dominan kurikulum dalam dimensi proses.
 Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan
bahan pelajaran serta cara untuk mencapainya, yang digunakan sebagai pedoman
penyelnggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu
(UU RI No.20 tahun 2003 pasal 1 ayat 19)---kurikulum mencakup semua dimensi (luas).
 Kurikulum itu sendiri adalah sebuah konstruk/konsepsi yang merupakan verbalisasi
dari sebuah atau satu set ide yang sangat kompleks (Oliva, dalam Hasan, 2004) ---
dominan kurikulum dalam dimensi ide.

2. Peranan Kurikulum dalam Pendidikan


Kurikulum juga berperan dalam konteks proses interaksi dalam pendidikan,
akuntabilitas akademik, dan pedoman evalauasi penyelenggaraan sistem pendidikan.
Kurikulum biasanya mengendalikan dan mengatur proses pendidikan. Kegitan evaluasi

I.B.N. Sudria, 2009 1


pembelajaran cendrung dihubungkan dengan efktivitas dan efisiensi pencapaian tujuan
yang dihrapkan dalam kurikulum. Dalam konteks demikian kurikulum merupakan dasar
dan sekaligus pengontrol terhadap aktivitas pendidikan. Tanpa kurikulum yang jelas maka
proses pendidikan disuatu lembaga menjadi tanpa arah yang jelas dan efektivitas dalam
mengembangkan secara maksimal potensi peserta didik menjadi individu yang berkualitas
dipertanyakan.
Pendidikan bertujuan untuk menyiapkan masyarakat, khususnya generasi muda,
dapat memenuhi kebutuhan untuk hidup dalam masyarakat yang senantiasa berubah.
Dengan demikian sistem penyelenggaraan pendidikan harus selalu dapat dipertanggung
jawabkan terutama kepada masyarakat. Perubahan kebutuhan masyarakat akan cendrung
selalu berubah dengan cepat. Sebagai dasar dan pedoman penyelenggaraan pendidikan,
dituntut senantiasa selalu menyesuaikan kurikulumnya agar selalu relevan dengan
kebutuhan masyarakat. Kurikulum sering dirujuk sebagai indicator akuntabilitas
penyelenggaraan program pendidikan.
Secara formal, tuntutan masyarakat terhadap pendidikan dapat dijabarkan dalam
bentuk tujuan pendidikan (nasional, jenjang, dan lembaga pendidikan) dan rencana
pembangunan daerah (Hasan, 2004). Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional pasal 36 ayat (3) menyatakan bahwa “kurikulum disusun
sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikan dalam rangka kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia dengan memperhatikan: (a) peningkatan iman dan takua; (b)
peningkatan ahklak mulia; (c) peningkatan potensi, kecerdasan, dan mibat peserta didik;
(d) keragaman potensi daerah dan lingkungan; (e) tuntutan pembangunan daerah dan
lingkungan; (f) tuntutan dunia kerja; (g) perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan
seni; (h) agama; (i) dinamika perkembangan global; dan (j) persatuan nasional dan nilai-
nilai kebangsaan.
Rencana besar pemerintah untuk kehidupan bangsa ke depan seperti mewujudkan
masyarakat melek sains dan teknologi; sitem otonomi daerah; mengembangkan berbagai
kualitas bangsa seperti sikap dan tindakan demokratis, produktif, toleran, cinta damai,
semangat kebangsaan yang tinggi; memiliki daya saing; memiliki kebiasaan membaca,
sikap senang dan mengembangkan iptek dan seni; hidup sehat; dan sebagainya. Tujuan
formal pendidikan dan rencana pembangunan harus disinkronkan dan diterjemahkan
menjadi tujuan setiap jenjang pendidikan, lembaga pendidikan, dan pada gilirannya
menjadi tujuan kurikulum.
Untuk mencapai tujuan pendidikan nasionalnya, banyak negara termasuk Indonesia
mengembangkan standar-standar untuk penyelenggagaraan sistem pendidikan. Hubungan
fungasi, tujuan, standar pendidikan nasional dan kurikulum sebagai berikut.

I.B.N. Sudria, 2009 2


Keterkaitan Fungsi, Tujuan, Standar Pendidikan Nasional
dan Kurikulum

Fungsi dan Tujuan Pendidikan Nasional

Standar nasional

Standar Standar Standar Standar Standar Standa Standar Standar


Isi Proses Kompe Tenaga Sarana & r Pembia Penilaia
tensi Kepend Prasaran Penge -yaan n
Lulusan idikan a -lolaa

Kurikulum
(Depdiknas, 2004 :)

Komponen-komponen utama pendidikan


-------------------------------------- Lingkungan -----------------------------------------
Pendidik/Sumber Belajar

Kurikulum
Isi
Proses Tujuan pendidikan
Evaluasi

Peserta didik
------------------------ Alam-sosial-budaya-politik-ekonomi-agama -----------------
(Sukmadinata, 1997)
Pemberian perhatian dan biaya penyelenggaraan pendidikan yang dikeluarkan oleh
masyarakat dan pemerintah sangat besar. Pihak penyelenggara pendidikan dituntut untuk
mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan. Lassinger ( dalam Hasan, 1988)
berpendapat bahwa akuntabilitas didasarkan pada tiga landasan yaitu hasil belajar siswa,
telaah pihak independen terhadap hasil belajar siswa, dan laporan kepada masyarakat
tentang efektivitas dan efisiensi biaya yang telah dikeluarkan terhadap hasil belajar yang
dicapai siswa. Konsep akuntabilitas berkembang lebih jauh meliputi pertanggungjawaban
keseluruhan kegiatan pendidikan. Rossi & Freeman (dalam Hasan, 1988) mengemukakan
enam jenis informasi yang dikumpulkan untuk menilai akuntabilitas yaitu (1)
akuntabilitas dampak (informasi untuk pengambilan keputusan), (2) akuntabilitas
efeisiensi (informasi untuk perhitungan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan program
pendidikan), (3) akuntabilitas target (jumlar karakteristik sasaran yang akan dicapai,
jumlah putus program, dsb.), (4) akuntabilitas pemberian jasa (informasi tentang
efektivitas, efisiensi, dan kualitas pemberian jasa layanan pendidikan), (5) akuntabilitas

I.B.N. Sudria, 2009 3


keuangan (efektivitas dan efisiensi penggunaan biaya penyelenggaraan, dan (6)
akuntabilitas legal (tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku). McCormick (dalam
Hasan, 1988) juga menggolongkan atas akuntabilitas moral (terutama terhadap siswa dan
orangtua siswa), profesional (terutama kepada masyarakat seprofesi), dan kontrak
(perjanjian kerja). Penilaian akuntabilitas didasarkan pada hasil evaluasi kurikulum

3. Posisi Kurkikulum: Transmisi, transaksi, dan transformasi


Miller and Seller (1985) mengidentifikasi tiga posisi kurikulum yaitu transmisi,
transaksi, dan transformasi. Posisi transmisi menempatkan kurikulum sebagai konstruk
untuk mentransfer apa yang sudah terjadi di masa lalu kepada generasi berikutnya untuk
dilestarikan, diteruskan atau dikembangkan. Posisi ini sangat didukung oleh pengertian
kurikulum berdasarkan pandangan perenialisme dan esensialisme. Posisi transaksi
menempatkan kurikulum sebagai jawaban untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial
yang berkenaan dengan pendidikan. Posisi ini didukung oleh pengertian kurikulum yang
didasarkan pada pandangan filsafat progresivisme. Posisi transformasi menempatkan
kurikulum untuk membangun kehidupan masa depan yang menggunakan kehidupan masa
lalu, masa sekarang, dan berbagai rencana pengembangan dan pembangunan bangsa
sebagai dasar mengembangkan kehidupan masa depan.
Miller dan Seller (1985) lebih jauh menguraikan masing-masing posisi mencakup
konteks dan praktek pendidikan. Konteks meliputi konteks filsafat, psikologi, dan
ekonomi/sosial dan praktek pendidikan dari latar sejarah dan masing-masing posisi dalam
pendidikan kontemporer).

4. Perspektif, paradigma, dan posibelitas kurikulum


It is through good education that all the good in the world arises
(Immanuel Kant, 1803)
True education ... is at once a fulfillment and a spur; always at the goal
and never stopping to rest, it is journey in infinite, a participation in the
movement of universe, a living in timelessness. Its purpose is not to
enhance particular abilities; rather, it helps us to give meaning to our live,
to interpret the past, to be fearless and open toward the future.
(Heemann Hesse, dalam Schubet, 1974)

Tiga pertanyaan mendasar dalam kurikulum. Pengetahuan apa yang paling berguna
(worthwhile)? Mengapa itu berguna? Bagaimana itu diperoleh atau dibangun? Ketiganya
adalah dasar dari semua aktivitas secara umum dikaitkan dengan teori dan praktik
pendidikan. Pengetahuan tersebut tidak pernah secara penuh didapat, tetapi selalu dalam
proses pencarian atau rekonstruksi untuk memenuhi kebutuhan dari situasi yang berubah
(Schubert, 191974). Pengetahuan tentang perspektif, paradigma, dan posibilitas
pendidikan sangat penting dalam pengetahuan kurikulum. Perspektif dari konteks atau
latarbelakang yang mengarahkan perkembangan perangkat keyakinan dan asumsi
menyediakan gambaran yang lebih lengkap dan lebih kaya dalam pengembangan
kurikulum. Paradigma merupakan lensa-lensa konseptual melalui mana masalah-masalah

I.B.N. Sudria, 2009 4


kurikulum dikaji (are perceived). Paradigma memberi tuntunan dalam mengelola
pertanyaan dan cara-cara melihat konsekuensi dari upaya-upaya yang diperlukan.
Posibelitas memberikan gambaran rentangan respon untuk memenuhi kebutuhan dan
merumuskan masalah-masalah yang kiranya dapat dipecahkan.

Perspektif
Perspektif pada kurikulum sebagai bidang ilmu dan aktivitas kurikulum
mendiskusikan karakterisasi alternatif kurikulum dan kekuatan serta kelemahannya.
Kurikulum merupakan bagian dari sebuah interdependent network dari bidang-bidang
pendidikan seperti administrasi, supervisi, pembelajaran dan metodelogi penelitian
pendidikan yang ditandai dengan adanya spesialisasi dalam bidang kurikulum. panorama
(relevant contexts), philosophy (the realm of assumptions), policy (curriculum creation).
Historical antecedent menuntut inovator pendidikan mampu menggunakan sukses dan
kegagalan di masa lalu untuk memperbaharui kurikulum, seperti kesuksesan dan
kegagalan kurikulum 1975, 1984, dan 1994.
Konteks relevan mengingatkan bahwa pengembangan kurikulum dipengaruhi oleh
konteks politik, ekonomi, dan nilai yang mengelilinginya dan saling menginterpenetarsi.
Konteks masyarakat luas berinteraksi dengan guru, subjek didik, pengembang kurikulum,
dan budaya kelas. Schubert menyatakan tiga kategori umum kekuatan yang
mempengaruhi kurikulum yang muncul pada siswa dalam semua jenjang. Pertama,
kekuatan politik, ekonomi dan nilai yang mempengaruhi pendidikan dari luar sekolah.
Kedua, budaya yang hidup dalam lingkungan sekolah mencakup faktor-faktor yang
terencana dan tidak terencana yang mengubah pengalaman-pengalaman belajar siswa
seperti struktur fisik dan organisasi sekolah, peer culture, hidden curriculum, dan
aktivitas-aktivitas ekstrakurikuler. Ketiga, faktor yang berkaitan dengan nonschool
experiences dari siswa (seperti media, keluarga, pekerjaan, hobby) dan klaim yang harus
diperhitungkan.
Filsafat mempertimbangkan asumsi yang mendasari aktivitas belajar. Beberapa
filsapat pendidikan telah dikenal seperti perenialism, essensialism, existensialism,
progresivism. Pembuatan kurikulum pendidikan melibatkan usaha integratif dan
interdisiplin dalam bidang kajian kebijakan.
Policy sciences (kajian kebijakan) semestinya membawa studi probelamatik dan
(bidang dan pengetahuan) yang potensial mempunyai impak nyata terhadap kehidupan
publik (masyarakat) --- insurance policies.

Paradigma
Paradigma merupakan kerangka konseptual (conceptual framework). Schubert
(1974) mengidentifikasi beberapa paradigma dari curriculum inquiry yaitu perennial or
empirical/analytical, practical or interpretative, dan critical or emancipatory (Schubert,
1974), Paradigma perenial dominan dikaitkan dengan paradigma Taylor (1949) yang
mengidentifikasi empat pertanyaan mengarah pada parameter untuk curriculum study

I.B.N. Sudria, 2009 5


yaitu (1) apa tujuan (purpose) akan sekolah capai, (2) bagaimana pengalaman belajar
dapat dipilih untuk mencapai tujuan, (3) bagaimana pengalaman belajar dapat
diorganisasikan untuk pengajaran yang efektif, dan (4) bagaimana keefektifan
pengalaman belajar dapat dievaluasi. Paradigma kategori analitik perenial meliputi tujuan
(purpose), konten atau pengalaman belajar, organisasi, dan evaluasi.
a. Paradigma Perenial
1) Paradigma analitik perenial kategori tujuan
Perenial dalam dimensi tujuan mengidentifikasi empat orientasi tujuan kurikulum
yakni global, behavioral, evolving, dan expresive. Tujuan global seperti ultimate gool
dari Plato dan visi happines dari Aristotle. Contoh perenial global purpose of education
yang dikembangkan oleh Commission on the Recognization of Secondary Education
appointed by National Education Association (dalam schubert, 1974) adalah (1) health,
(2) command of fundamental process, (3) worthy home, (4) vocation, (5) citizenship, (6)
worthy use of laisure time, and (7) ethical characte. Sementara behavioral objectives
adalah pernyataan purpose yang spesifik, seperti “siswa mendemonstrasikan dengan
benar lima penggunaan koma.
Evolving purposes (tujuan yang berkembang) mengakui bahwa tujuan (objectives)
bukanlah prespesifikasi-presifikasi dari pengalaman edukatif (John Dewey, 1902, 1916,
dan 1938), tetapi outcome-outcame pengalaman. Pengalaman adalah mendidik jika
memfasilitasi peningkatan kapasitas untuk tumbuh. Pertumbuhan dapat dinyatakan dalam
berbagai cara, tetapi salah satunya melalui dialog antara guru dan pebelajar yang
bersama-sama menciptakan dan mengejar sebuah makna perubahan. Pebelajar sebagai
human beings ingin terlibat dalam pengalaman yang memuaskan kebutuhannya (Hopkins,
1954).
Expressive objectives mengasumsikan bahwa sekali waktu dibenarkan
mempersiapkan aktivitas untuk subjek didik tanpa prespesificasi atau tanpa kejelasan ide
outcome yang diharapkan (Elliot Eisner, 1969). Siswa mungkin tidak tertantang oleh
predetermined goals. Guru dan siswa mungkin dapat menemukan pengalaman apa dari
suatu peristiwa yang berguna baginya.
Kriteria mendasar (prinsip) untuk pemilihan tujuan berkaitan dengan validasi
tujuan-tujuan kurikulum. Smith, Stanley, dan Shores (1957) mengembangkan lima prinsip
(kriteria) velidasi tujuan yang dibedakan atas tiga kriteria substantif (kebutuhan manusia
dasar, relevansi/adequacy sosial, dan moral/etika demokratif) dan dua kriteria prosedural
(konsistensi/nonkontradiksi dan interpretasi tingkah laku). Tylor (1949) mengidentifikasi
sumbersumber tujuan yaitu penelitian subjek didik, penelitian kehidupan kontemporer di
luar sekolah, dan masukan-masukan dari ahli bidang studi. Kedua teks rujukan di atas
mengkui pentingnya argumen (assertions) pendukung dan paling berpengaruh dalam
literatur kurikulum abad keduapuluh. Kebutuhan dasar manusia seperti makanan, rumah,
pakaian, air, oksigen, dan kebutuhan sosial-budaya-biologis (affektif, cinta, pengakuan,
dsb.). Kebutuhan sosial meliputi masyarakat berkehidupan lebih baik dan nilai-nilai

I.B.N. Sudria, 2009 6


dalam masyarakat. Meskipun menekankan pada esensi kebutuhan sosial, peranan bidang
pengetahuan yang mendukung pertumbuhan individu juga perlu diperhatian.
Kriteria prosedural untuk pemilihan tujuan berhubungan dengan proses
pengambilan keputusan apa tujuan substantif semestinya. Kriteria prosedural
menyediakan cara untuk pengimplementasian kriteria substantif bagi seseorang berusaha
membuat dan menemukan tujuan substantif aktual yang menuntun kurikulum. Kriteria
prosedural meliputi representasi, kejelasan, kelogisan (defensibelity), konsistensi, dan
posibelitas (feasibility). Sebagai kriteria substantif, sebauah pendekatan keseimbangan
yang memperhatikan semua kriteria diperlukan, bukan sebuah pilihan dan bukan
pengabaian (exclusion) yang lain. Representasi melibatkan dimensi orang-orang yang
membuat kriteria substantif (siapa-siapa yang semestinya dilibatkan sebagai
subjek/partisipan (stakeholders) dalam asesmen kebutuhan) dan dimensi penyeimbangan
semua kriteria substantif (bagaimana penyeimbangan proporsi keterwakilan pihak-pihak
stakeholders). Berbagai keterbatas (termasuk biaya, kesempatan, dan keterbatasan
resources, kebutuhan khas suatu pihak/perorangan) biasanya membatasi pelibatan semua
anggota stakeholders, keterwakilan semua pihak stakeholders angat penting. Tidak semua
kebutuhan yang terungkap dapat diakomodasi untuk dikembangkan oleh sekolah,
sehingga penggunaan prioritas tidak dapat dihindari. Penetuan prioritas hendaknya
melibatkan pertimbangan perwakilan masyarakat dan profesional guna menghasilakn
urutan kebutuhan dengan prioritas tinggi yang akan diwujudkan oleh sistem sekolah
untuk siswanya dan untuk generasi muda. Daftar kebutuhan diterjemahkan ke dalam
bentuk rumusan tujuan.
Tujuan pendidikan hendaknya dinyatakan secara jelas (klariti). Antara tujuan
nasional, lembaga, kurikuler, dan pembelajar seharusnya saling bersesuaian (sinkron).
Reliabelitas tinggi diperlukan dalam penjabaran tujuan nasional ke tujuan lembaga,
kurikuler, dan pembelajaran, sehingga sinkronisasi antar tujuan-tujuan di atas terwujud.
Kejelasan istilah-istilah mendasar yang digunakan seperti keterampilan dasar, berpikir
kritis, berpikir kreatif sangat diperlukan. Sementara kelogisan (defensibelitas) terkait
dengan tingkat asumsi filofis yang menuntut argumen pemilihan tujuan harus logis.
Ketidak logisan dapat mengindikasikan kesalahan deduksi, induksi yang tidak
terverifikasi, dialetika yang tidak cocok, dan harus direvisi. Konsistensi terkait dengan
ketidakreliabelan atau ketidak konsistenan prosedural dengan satu aspek atau aspek-aspek
lain dari kurikulum. Pengembang kurikulum harus berhati-hati mengelola keseluruhan
aspek kurikulum. Fisibelitas terkait dengan dukungan finansial, sumber-sumber, sikap,
personalia, kumunitas, dan dukungan institusi.
Kekuatan pendorong/tantangan secara substantif sebagai implikasi dari tujuan
kurikulum meliputi sosialisasi, pencapaian, pertumbuhan personal, dan perubahan sosial
(rekonstruksi sosial).
2) Paradigma analitik perenial kategori konten/pengalaman belajar

I.B.N. Sudria, 2009 7


Konten atau pengalaman belajar dapat berorientasi penekanan bidang studi (subject
matters emphasis), penekanan aktivitas belajar (learning activities emphasis), dan
penekanan pengalaman belajar (learning experiences emphasis). Untuk mengidentifikasi
orientasi mana yang mendapat penekanan, perlu menganalisis sumber-sumber/kriteria
diturunkan seperti 1) kebutuhan sosial, (2) kebertahanan hidup (survival), (3) struktur
bidang ilmu, (4) kegunaan, (5) keputusan pemublikasi, (6) politik, (7) keinginan subjek
didik, dan (8) aksi demokratik (schubert, 1974).
Konten sebagai subject matter secara tradisional berupa informasi, konsep-konsep,
prinsip, idea, dan sebagainya. Konten menekankan pada pengetahuan untuk
didisiminasikan dari guru ke pada siswa. Konten sebagai aktivitas belajar mengisyaratkan
kurikulum untuk merespon kebutuhan masyarakat kontemporer. Pengembang kurikulum
hendaknya mengidentifikasi kebutuhan dengan mempelajari apa yang orang dewasa
produktif kerjakan, dengan menerjemahkan tujuan (objectives) ke dalam aktivitas belajar
untuk siswa (Bobbit, 1918 dan 1924). Analisis aktivitas yang dilakukan Bobbit dianggap
ilmiah, dan dirancang untuk menghasilkan teknologi efisien pengkonstruksian kurikulum.
Sebagai pengganti ceramah tentang suatu kejadian seperti air mendidih, maka siswa
diajak mengamati dan mengukur titik didih. Konten sebagai pengalaman belajar mirip
dengan pandangan Dewey. Pengalaman belajar merujuk pada interaksi antara pebelajar
dan kondisi eksternal di lingkungan pada mana siswa dapat bereaksi (Tylor, 1949). Siswa
dan guru terlibat dalam dialog. Guru biasanya mempunyai pengalaman lebih luas relatif
terhadap tujuan umum kurikulum, tetapi siswa memiliki keahlian lebih besar tentang
pengalaman hidupnya. Siswa bersama guru mewujudkan outcomes belajar dalam suasana
minat belajar tertinggi pada siswa untuk memilki pengalaman apa yang akan
meningkatkan perkembangan siswa. Kriteria pemilihan konten menggunakan kedelapan
kriteria yang telah di sebutkan di atas yaitu 1) kebutuhan sosial, (2) kebertahanan hidup
(tes survival), (3) struktur bidang studi, (4) kegunaan, (5) keputusan penerbit/penulis
(buku teks yang digunakan), (6) tekanan politik, (7) keinginan subjek didik, dan (8) aksi
demokratik (schubert, 1974).

3) Paradigma analitik perenial kategori organisasi


Organisasi adalah yang paling multi aspek diantara kategori perenial dari analisis
kurikulum. Organisasi mencakup masalah cakupan (scope) atau rentangan dan kedalaman
penawaran kurikulum dan isu tentang sequence (cara mengurutkan konten). Tidak
memandang penekanan konten sebagai subject matter, aktivitas, atau pengalaman,
cakupan dan urutan adalah keputusan organisasi yang krusial. Di samping itu,
pengelolaan lingkungan belajar juga diakomodasi dalam organisasi kurikulum.
Sejumlah pendekatan terhadap cakupan telah muncul seperti pemisahan mata
pelajaran (separate subjects), broad fields, projects, core, dan integrasi. Pemisahan
matapelajaran berhasil dilakukan oleh pendidik dengan secara hati-hati memilih
matapelajaran-matapelajaran yang paling bermanfaat (most wortwhile) dan
menawarkannya dalam kurikulum, sementara menolak area lain yang kurang mendasar.

I.B.N. Sudria, 2009 8


Braod field seperti MIPA, bahasa, dan IPS. Metode project (dikembangkan oleh
Kilpatrick, 1918) melibatkan siswa dalam merencanakan project sesuai minatnya dan
melaksanakannya. Kurikulum inti *Alberty, 1947; Faunse & Bossing, 1951) membawa
disiplin-displin dibawah pusat masalah-masalah sosial. Masalah perang, perdamaian, dan
kerusakan ekologi dapat dipelajaridengan melibatkan siswa dalam penelitian yang
memungkinkan mereka menarik makna dari banyak disiplin dan sekaligus
daripengalaman praktis. Integrasi melibatkan siswa individual atau kelompok sebagai
pusat organisasi yang menentukan cakupan. Bersama dan/atau individual, siswa mencari
makna sesuai rah mereka sendiri dalam sebuah proses yang terbimbing oleh tujuan
keseluruhan dari pertumbuhan personal maupun sosial.
Sequence (urutan) dalam kurikulum menyatakan urutan konten diajarkan. Enam
kriteria yang digunakan untuk menentukan urutan yaitu (1) presentasi tekstual (urutan
sesuai buku teks yang digunakan), (2) sesuai keinginan pendidik yang membawa varisi
kurikulum sesuai dengan mood atau pertimbangan guru (guru aktif sebagai pengambil
keputusan sering mengubah urutan yang telah dicanangkan/prescribe biasanya
berdasarkan kebutuhan siswa dilapangan), (3) struktur disiplin ( bodi pengetahuan yang
sedang berlaku diasumsikan untuk memiliki struktur inherent (seperti Matematika dimana
penjumlahan dan perkalian sebagai algoritma prasyarat untuk pembagian, (4) minat
pebelajar (ketika siswa tertarik pada masalah, mereka akan mempelajarinya), (5) Hirarki
belajar dari Gagne (urutan semestinya sesuai dengan dengan teori belajar, secara gradual
membangun konstruk dan prinsip dari data dan konsep), dan (6) kesesuaian dengan
perkembangan (misalnya dengan perkembangan kognitif Peaget yakni tahapan sensori
motor, preoperasional, opresional konkrit, dan operasional formal).
Schubert (1977) mengungkap sejumlah dimensi lingkungan belajar yaitu fisik,
material, institusional, psikososial, Dimensi fisik merentang dari karakteristik lingkungan
fisik dalam sebuah sekolah yang meluas dari ruang kelas (bangku, meja, kursi yang dapat
dipindahkan) ke lingkungan sekolah lebih luas luas. (bangunan yang misalnya berisi,
kantin, fasilitas bimbingan, dan CD room). Dimensi material instruksional (buku, LKS,
peralatan lab, paket sistem instruksional, dsb.). Dimensi interpersonal tentang cara-cara
pengorganisasisan human being (misalnya pengelompokan siswa secara homogen atau
heterogen). Dimensi institusional adalah gaya/pola institusi mempengaruhi keseluruhan
lingkungan belajar. seperti pengorganisasian. Dimensi psykologis adalah intangible aspek
dari lingkungan (seperti ambience/atmospheric yang bukan konkrit dan mudah diamati).
Contoh lingkungan belajar kelas seperti self-contained classroom (jumlah siswa di kelas
dan guru bertanggungjawab untuk semua bidang area), departementalization (guru
ditempatkan dalam jurusan didasarkan pada subject matter credentials dan mengajar dua
sampai lima matapelajaran didalam bidang keahliannya). open space, open education,
tutorial, community-based currikula, alternative schooling, non-school education (tidak
bertindak sebagai sebuah institusi sekolah.
Pengajaran dapat berupa pengajaran sebagai ilmu (mengikuti metode ilmiah) dan
pengajaran sebagai seni. Model pengajaran dapat berupa model pemerosesan informasi,
model interaksi sosial,model personal, dan model prilaku. Pengaturan pembelajaran dapat
dalam bentuk kelompok besar, kelompok kecil, individualized instruction, dan tim
mengajar.

I.B.N. Sudria, 2009 9


4) Paradigma analitik perenial kategori evaluasi
Pemunculan evaluasi kurikulum berkaitan dengan gerakan pengukuran, kemajuan
program dan kurikulum, perspektif dan kecendrungan skala-besar (nasional), evaluasi
untuk akuntabilitas,evaluasi untuk pengambilan keputusan dan tindakan, Evaluasi
menekankan pada grading, marking, dan judging secara sistematis.
Orientasi kontemporer pada evaluasi khususnya terhadap aspek evaluasi untuk
perkembangan matapelajara atau kursus, studi skala besar (nasional), dan pengambilan
keputusan dan tindakan. Terdapat sejumlah pendekatan terhadap evalusi yaitu goal-based
evaluation oleh Tylor (1949), goal-free evaluation (tidak menginginkan mengetahui
tujuan sebelum site visit untuk melakukan evaluasi), evaluasi naturalistik (menggunakan
metode dari antrofologi, ethnology, dan ethnografi, penelitian naturalistik), hguru sebagai
peneliti (seperti PTK), penteorian (memungkinkan guru atau siswa melihat dara sudut
pandang baru terhadap tantangan dalam hidupnya, dan merkonseptualisasi pandanganya
dan interaksinya terhadap dunia luar, evaluasi responsif (menukar beberapa presisi
pengukuran untuk meningkatkan kegunaan dari temuan terhadap orang-orang di dalam
dan disekitar program.

b. Paradigma Inkuiri Praktis


Paradigma inkuiri praktis membawa empat asumsi predominant. Pertama, sumber
maslah ditemukan dalam praktek (a state of affairs), tidak dalam ilusi abstrak dari peneliti
yang berusaha untu membayangkan kesamaan antar situasi yang tidak dapat
dikelompokkan bersama. Kedua, metode inkuiri kurkulum praktik adalah interaksi
dengan situasi (state of affairs) yang dipelajari, dibanding dengan induksi yang dan
deduksi tentang hal itu. Ketiga, subject matter yang dikaji (sought) dalam proses inkuiri
kurikulum praktik adalah makna dan pemahaman situasional, pengganti dari generalisasi
lawlike yang meluas pada sebuah rentangan luas dari situasi. Kempat, akhir dari inkuiri
kurikulum praktik adalah kapasitas yang meningkat untuk bertindak secara moral dan
efektif dalam situasi pedagogik, tidak secara primer pembentukan pengetahuan yang
digeralisasi.
Sering dikatakan bahwa guru adalah kurikulum. Guru yang baik telah
menginstrumenkan inkuiri kurikulum praktek di dalam situasi pembelajaran. Guru-guru
secara imajinatif adalah persepektif dari jenis-jenis interaksi yang diperankan. Schubert
mengidentifikasi beberapa asumsi praktik yaitu asumsi praktik dan guru (guru secara
dalam dibenamkan dalam situasi/state of affairs yang disebut kelas), asumsi praktik dan
pebelajar (pebelajar biasanya terlibat dalam proses terbuka/dapat diamati dan penerimaan
kurikulum), asumsi pratek subject matter (biasanya statik, tetapi relatif dinamik jika di
lihat dari paradigma praktek), asumsi praktek dan lingkungan/setting/milieu (lingkungan
aspek fisik, sosial, budaya, dan psikologis dari situasi belajar juga berperan dalan
interaksi pendidikan).
Pengembangan kurikulum adalah ilmiah dan seni meramu (eclictic arts). Tiga
eclictic arts dari Schwab (1971): (1) kapasitas untuk mecocokkan pengetahuan dan

I.B.N. Sudria, 2009 10


persepektif teoritis kepada kebutuhan dan minat lapangan (situasional), (2) kapasitas
untuk merajut dan mengadaptasikan pengetahuan dan persepektif teoritis kepada
kebutuhan dan minat lapangan, dan (3) kapasitas untuk membuat courses of action
alternatif dan mengantisifasi aksi seperti itu untuk kebaikan moral.

c. Paradigma Praksis Kritis


Praksis kritis (critical praxis) merujuk pada sebuah kesatuan inkuiri/pengetahuan
dan tindakan. Bebera pertanyaan ahli pengetahuan/teori kritis yang konsen dengan
pendidikan: (1) bagaimana pengetahuan direproduksi oleh sekolah, (2) apa sumber-
sumber pengetahuan yang siswa peroleh di sekolah, (3) bagaimana siswa dan guru
bertahan atau dapat bertahan atau berkompetisi melalui pengalaman tinggal disekolah,
(4) apa yang siswa dan guru rasakan/dapatkan dari pengalaman sekolah mereka, (5)
kepentingan siapa yang dilayani dengan pandangan dan keterampilan yang dipromosikan
oleh sekolah, (6) ketika dilayani apakah kepentingan tersebut membaik dalam arah
emansipasi, keadilan sosial, atau sebaliknya, dan (7) bagaimana siswa dapat diperkuat
untuk memperoleh kebebasan, kesamaan, dan keadilan sosial lebih besar melalui sekolah.
Jawaban-jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini dapat mengarah pada keputusan
rekonstruksi dan rekonseptualisasi.

Posibilitas
Terdapat tiga domain perpotongan dan ketergantungan yang memberikan posibilitas
terhadap masa depan teori dan praktek kurikulum. Ketiganya adalah berkaitan dengan
masalah-masalah dan proposals/rancangan kurikulum; keterkaitan antara perbaikan
kurikulum dan pendidikan guru pada tingkat inservis dan preservis; dan ideal dan praktis
yang memberikan makna dan arah pada kurikulum, dan bantuan dalam resolusi masalah
yang menghadang bidang kurikulum.
Merujuk pada Goolad dan Richter (1966), Schubert (1974) mengidentifikasi dua set
area problem kurikulum. Set pertama masalah terkait pada tingkatan instrucsional dan
institusional yang meliputi (1) apaty (masa bodoh yang mengarah pada absenteeism), (2)
bidang disiplin (hanya bidang yang disukai/diminati diinternalisasi menjadi self-initiated),
(3) perbedaan individual (penawaran luas variasi konten), (4) sains dan teknologi tinggi
(prioritas penguasaan dan penggunaan sains dan teknologi), (5) handicapped learners
(penyediaan kesempatan dan fasilitas), (6) dasar (apa yang dibutuhkan mendasar untuk
hidup sesuai jaman dan berguna bagi masa depan), (7) standar (perumusan standar), (8)
pekerjaan (penyediaan vocational training), (8) paket instruksional, (9) matery, (10)
keefektifan guru, (11) life skills, (12) pendidikan penyalahgunaan narkoba, (13)
pendidikan kematian, (14) kehidupan keluarga dan pendidikan sex, (15) pendidikan
konsumen, (16) akuntabilitas, (17) skor tes yang disatandarisasi, (18) pendidikan
multicultural-bilingual, (19) pendidikan global, (20) mind-body studies, dan (21) studi
feminis.

I.B.N. Sudria, 2009 11


Set kedua berkaitan dengan tingkat kemasyarakatan dan ideologi Problem set kedua:
(1) kemiskinan, (2) kediktatoran/autocracy, (3) indoktrinasi, (4) kesehatan, (5) hambata
terhadap inkuiri dan ekpresi, (6) nasionalisme, (7) perceraian keluarga, (8)
ketidakseimbangan ekologi, (9) prasangka/prejudice, (10) permusuhan, (11) kelemahan,
(12) ketakutan, (13) kontrol dan kewajiban, (14) kematian, (15) perang dan kepunahan.

5. Komponen-komponen Kurikulum
Meskipun kurikulum dapat didefinisikan secara luas (makro) untuk suatu lembaga
dan sempit (mikro) seperti program pengajaran untuk beberapa kali pertemuan,
komponen utama (umum) dari kurikulum masa kini terdiri dari sejumlah komponen yaitu
tujuan, isi/materi, proses/sistem penyampaian dan media, serta evaluasi
(Sukmadinata, 2001). Miller and Seller (1985) menyatakan komponen-komponen
kurikulum terdiri atas aims and objectives, content, teaching strategies’learning
experiences, and organisation of content and teaching strategies. Kombinasi kedua
pendapat di atas, maka komponen-komponen utama kurikulum dalam kajian ini
disederhanakan atas tujuan, isi/materi (meliputi konsep/produk, proses, dan nilai),
organisasi, dan evaluasi.
Istilah-istilah yang digunakan untuk melingkupi kompnen-komponen kurikulum
sering bervariasi sesuai dengan pengembang dan daerah. Sebagai contoh tujuan dalam
Kurikulum 1994 dirumuskan dalam bentuk tujuan pendidikan nasional, tujuan institusi,
tujuan kurikuler untuk mata pelajaran, tujuan umum, dan tujuan khusus. Sementara dalam
KTSP terdapat rumusan tujuan pendidikan nasional dan tujuan Mata Pelajaran, standar
kompetensi, kompetensi dasar, indikator kencapaian kompetensi..
Tujuan mengarahkan segala kegiatan pendidikan dan mengarahkan komponen-
komponen kurikulum lainnya. Tujuan dirumuskan berdasarkan perkembangan lapangan
(kebutuhan/tuntutan dan kondisi masyarakat) dan pemikiran-pemikiran yang terarah pada
pencapaian nilai-nilai filosofis terutama falsafah negara. Beberapa jenis tujuan yang
pernah dikenal yaitu tujuan pendidikan nasional; tujuan kurikuler; tujuan umum dan
khusus; tujuan jangka panjang, menengah, dan pendek. Brady (1990) menyarankan
perumusan tujuan pembelajaran (objective) memperhatikan cakupan (termasuk materi
dan aspek-aspek domain); kecocokan/relevansi terhadap siswa dalam kelas terutama
sesuai dengan jejang kelas dan konteks sosial; validitas; fisibelitas (ketersediaan smber
dan waktu); kopetibelitas (konsisten dengan rumusan-rumusan tujuan/objectves lain
untuk jenjang kelas, mata pelajaran, dan sekolah; spesifik (dapat diukur), dan
interpretibilitas (tidak menimbulkan salah tafsir jika orang lain melaksanakannya). Dalam
KTSP, istilah tujuan pembelajaran (umum dan khusus) secara inflisit dapat
diintepretasikan dari rumusan standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator-
indikatar pencapaian kompetensi. Bandingkanlah rumusan dan penjabaran tujuan
pendidikan antara KTSP dan kurikulum1994!

I.B.N. Sudria, 2009 12


Isi/materi kuriklum mencakup konsep, proses, dan nilai. Miller (1985) memerinci isi
kurikulum berupa fakta, data, persepsi, discernment (nilai tertentu), sensibilitas, desains,
pemecahan masalah yang dirumuskan dari apa yang otak telah pahami dari pengalaman
dan konstruksi. Pemilihan isi mempertimbangkan aspek psikologi, sosial/politik, minat
siswa, kesiapan siswa, kegunaan, dan filsafat. Pemilihan isi memperhatikan validitas
(sesuai dengan outcome dalam tujuan), signifikansi (mendasar untuk subyek atau bidang),
minat siswa (meskipun tidak semua harus sesuai minat, tetapi untuk mengurangi
kebosanan), keterjangkauan/learnability (sesuai kemampuan siswa), konsisten dengan
kenyataan sosial (kegunaan pada dunia sekitar), dan utility (berguna bagi siswa untuk
masa sekarang dan ke depan). (Brady (1990).
Organisasi isi (termasuk strategi) meliputi cakupan dan sekuens (content and
sequence). Brady (1990) menganujurkan tiga aspek utama memperlakukan &
mengornaisasikan isi yaitu 1) imparting content in teaching (eksposision, behavioral,
perkembangan kognitif, interaksi, transaksi, atau gabungan), 2) pengorganisasian isi
untuk pembelajaran (feksibelitas untuk integrasi, urutan, fokus, & perkembangan konsep),
3) organisasi kurikulum yang digunakan (subyek akademik, spiral, atau tuntas
kurikulum). Sekuens melibatkan pemotongan isi dan pengalaman-pengalaman belajar
kedalam tahapan-tahapan yang rasional untuk memfasilitasi belajar. Smith & Shores
(1950) menganjurkan empat tipe sekuens isi yaitu 1) sedermahan menuju rumit, 2) belajar-
belajar prasyarat (prequisite learning), 3) keseluruhan menuju bagian-bagian, dan 4) kronologis.
Sementara Sukmadinata (2001) mengidentifikasi sejumlah jenis sekuens berdasarkan
beberapa aspek urutan yaitu kronologis, kausal, struktural, logis & psikologis, spiral, dan
hirarki belajar. Organisasi isi pembelajaran juga dipengaruhi oleh orientasi kurikulum
(transmisi, transaksi, atau transformasi).
Evaluasi melibatkan pemberian pertimbangan atas performan siswa (pembelajaran)
dan kurikulum (program) sendiri.
Salah satu model evaluasi kurikulum berdasarkan fungsi (Scriven, dalam Hasan,
1988; dalam Arikunto, 1988) adalah evaluasi formatif dan sumatif. Evaluasi formatif
dilakukan untuk tujuan perbaikan/penyempurnaan program. Sementara evaluasi sumatif
dilakukan untuk menentukan program dapat terus dilanjutkan atau dihentukan/diganti.
Evaluasi formatif dan sumatif dapat diterapkan untuk evaluasi kurikulum/program dalam
dimensi luas maupun sempit (seperti pembelajaran). Brady (1990) menganjurkan cakupan
evalusi yaitu 1) memperoleh informasi melalui ujian dan/atau proses (nonujian), 2)
membuat intepresi tentang siswa, penyempurnaan kurikulum dan pembelajaran,
klarifikasi tujuan dan tingkah laku dibutuhkan, dan menentukan efektivitas relatif dari isi
dan metode yang berbeda didalam pencapaian outcomes.
Beberapa hal penting terkait dengan pemahaman evaluasi: 1) mendefinisikan
evaluasi dan konsep terkait, 2) mendiskusikan kriteria evaluasi (mencakup kontinuitas,
cakupan, competibelitas, validitas, reliabelitas, obyektifitas, dan diagnostik), 3) menguji
berbagai tipe evaluasi, dan 4) masalah-masalah umum yang dihadapi evaluator.

I.B.N. Sudria, 2009 13


Evaluasi kurikulum idealnya mencakup dimensi ide, rencana (dokumen), proses
(termasuk faslitas dan suasana implementasi program), dan hasil, seperti halnya model
CIPP (contex, input, process, and product). Namun evaluasi/asesmen performan siswa
(pembelajaran) yang meliputi evaluasi proses dan hasil pembelajaran merupakan aspek
utama untuk menilai efektifitas program. Brady (1990) menyatakan evaluasi mencakup
asesmen sebagai prerequisite dari evaluasi. Asesmen dinyatakan sebagai cara bagaimana
performan atau karakteristik dari siswa atau kelompok ditentukan. Asesmen menyediakan
informasi untuk evaluasi.
Beberapa hal juga perlu diperhatikan pengembangan komponen-komponen
kurikulum seperti keterlibatan aktif siswa dalam belajar, pemahaman siswa terhadap
tujuan pembelajaran, perbedaan potensi individu dalam belajar, motif dan nilai pada
siswa, belajar melibatkan multi aspek dan terjadi simultan, respon dipengaruhi situasi,
dan transfer belajar terjadi jika terdapat kemiripan dari situasi.

6. Pengembangan kurikulum
Bidang-bidang yang berkontribusi dalam pengembangan kurikulum diilustrasi
dalam bagan berikut.

1 2
Kriteria filosofis Pertimbangan sosial
 Tujuan  Perubahan sosial
 Manfaat  Perubahan teknologi
 Struktur pengetahuan  Perubahan ideologi

4
3 Teori-teori psikologis
Pilihan dari  Perkembangan
budaya  Belajar
 Pengajaran
 Motivasi

5
Kurikulum
diorganisasi dalam
urutan dan tahapan-
tahapan

Gambar ... Foundation disciplines in curriculum planning


(Brady, 1990)

I.B.N. Sudria, 2009 14


Pendidikan merupakan proses yang kompleks. King & Browel dalam Brady (1990)
mengidentifikasi bahwa teori yang berkontribusi terhadap perencanaan kurikulum
mencakup empat hal yakni : 1) mempromosikan urutan informasi yang sistematik ---
menyediakan kerangka kerja untuk membedakan antara sebab dan akibat atau antara
penting dan trivial; 2) membantu pemahaman dengan mempromosikan pernyataan asumsi
yang jelas; 3) meminta/merumuskan kriteria untuk menentukan signifikansi; dan 4)
mengijinkan membuat generalisasi lebih lanjut. Cakupan teori yang terkait dengan
kepentingan tersebut terdapat dalam disiplin-disiplin dasar filsafat, psikologi, dan sosial
(ekononi, budaya, dan politik) ( Brady, 1990; Miller & Seller, 1985; dan Print, 1993).
Ketiga disiplin harus berkontribusi secara integratif seperti diilustrasikan dalam gambar di
atas.

Asesmen kebutuhan
Pengembangan kurikulum secara umum melibatkan asesmen kebutuhan,
pengembangan kurikulum sesuai dengan model pengembangan yang diikuti (termasuk
implementasinya), dan evaluasi kurikulum. Asesmen kebutuhan dan evaluasi kurikulum
sering disesuaikan dengan model pengembangan kurikulum yang diikuti. Asesmen
kebutuhan disajikan di awal dan evaluasi kurikulum disajikan di akhir dimaksudkan untuk
mengikuti rasional pengembangan kurikulum didasarkan pada hasil asesmen kebutuhan
dan evaluasi kurikulum dilakukan terhadap efektivitas kurikulum yang dikembangkan.
Kurikulum pendidikan semestinya sesuai dengan kebutuhan masyarakat saat ini dan
ke depan. Walaupun demikian suatu kurikulum biasanya relevan hanya untuk beberapa
tahun, karena kebutuhan masyarakat terus berkembang terutama mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang cepat dan terus terjadi. Perubahan
kebutuhan masyarakat menuntut pengembangan kurikulum agar sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Identifikasi kebutuhan masyarkat dan analisis kesenjangan (asesmen
kebutuhan) antara kebutuhan nyata (yang diharapkan masyarakat) dengan pemenuhan
kebutuhan melalui implementasi kurikulum semestinya menjadi dasar pengembangan
kurikulum.
Hancock (2003) menekankan sejumlah fungsi asesmen kebutuhan. Fungsi-fungsi
tersebut antara lain mengungkap kesenjangan; mengungkap (examins) their nature and
causes; mengeset prioritas untuk tindakan ke depan dan menentukan kriteria untuk solusi
masalah; dan mengarahkan pada tindakan yang akan menyempurnakan program, layanan,
struktur pengorganisasian, dan pengoperasian.
Asesmen kebutuhan melibatkan 1) identivikasi sumber-sumber utama isi kurikulum
(siswa, masyarakat, sumber belajar), 2) penentuan jenis kebutuhan masyarakat sesuai
jenjang (kemanusiaan, internasional, nasional, propinsi/daerah, masyarakat, dan tetangga)
dan sesuai jenis (politik, sosial, ekonomi, pendidikan, lingkungan, pertahanan, kesehatan,
moral & spiritual), 3) penentuan kebutuhan siswa sesuai jenjang (kemanusiaan, national,
propinsi/daerah, masyarakat, sekolah, dan individu) dan jenis kebutuhan siswa (fisik,

I.B.N. Sudria, 2009 15


sosialpsikologik, pendidikan, dan perkembangan), 4) konstruksi instrumen untuk asesmen
keutuhan, 5) pelaksanaan pengumpulan data menggunakan instrumen, 6) pengolahan
data, dan 6) analisis kesenjangan anatara kebutuhan yang diharapkan dan pemenuhan
kebutuhan melalui implementasikurikulum yang sedang berlaku.
Prosedur asesmen kebutuhan bergantung pada model pengembangan kurikulum
yang digunakan. Kufman & Harsh (Kaufman 1972) menawarkan paling tidak ada tiga
prosedur asesmen kebutuhan atau model yang mungkin diidentifikasi yaitu 1) model
induktif, 2) model deduktif, dan 3) model klasik. Setiap model melibatkan beberapa
tahapan. Perbedaan ketiga model ini terutama dalam konteks starting point untuk
penentuan sasaran dan tujuan pendidikan. Dalam model induktif, sasaran, harapan-
harapan, dan outcomes pertama diungkap/dirumuskan berdasarkan kebutuhan masyarakat
dimana program akan dikembangkan. Kemudian kebutuhan yang diharapkan tersebut
dibandingkan dengan sasaran-sasaran (pemenuhan kebutuhan) pendidikan yang sedang
diprogramkan (kurikulum 1994) untuk menganalisis kesenjangan antara kebutuhan yang
diharapkan dan realitas pemenuhan kebutuhan. Dalam upaya mengatasi atau
memperkecil kesenjangan yang ditemukan, set tujuan-tujuan pembelajaran dan sebuah
proram pembelajaran yang kondusip dikembangkan, diimplementasikan, dan dievaluasi.
Model deduktif di mulai dari identifikasi dan pemilihan sasaran-saran pendidikan
yang sedang diberlakukan (ada dalam kurikulum), kemudian pengembangan ukuran-
ukuran kriteria (indikator-indikator). Langkah selanjutnya adalah mendapatkan data
untuk change requiremants dari berbagai stakeholders. Dari data aktual, kriteria yang
dapat dan tidak dapat terealisasi diketahui. Kemudian untuk mengatasi/ meminimalkan
kesenjangan, set tujuan-tujuan pembelajaran dan sebuah proram pembe-lajaran yang
kondusip dikembangkan. Terakhir, model klasik dimulai dari sasaran umum (generic
goals), kemudian langsung masuk ke dalam pengembangan program.
Prosedur asesmen kebutuhan diadaptasikan dari prosedur umum yang
dikembangkan oleh Oliva (1992) dan Print (1993) sebagai berikut.
 Merencanakan persiapan-persiapan asesmen kebutuhan yang mencakup penetapan
waktu, sumber yang tersedia, partisipan, dan hal penting lainnya.
 Mengidentifikasi dan merumuskan sasaran (goal) pendidikan sains yang berwawasan
Science for All untuk jenjang SMP (wajib belajar 9 tahun).
 Menerjemahkan sasaran (goal) atau kebutuhan kemampuan-kemampuan aspek kimia
tersebut ke dalam bentuk outcomes (rumusan kemampuan sebagai hasil belajar atau
tujuan pembelajaran) yang diharapkan dapat dimiliki oleh masyarakat melalui
pembelajaran sains pada siswa SMP dalam rangka Science for All sesuai dengan
tingkat perkembangan kognitif siswa. Rumusan dan organisasi atau pemrograman
tujuan mencakup perkembangan konsepsi aspek kimia secara keseluruhan untuk
jenjang SMP, dan disusun dengan memperhatikan perkembangan kognitif siswa yang
berada pada fase awal penumbuhan dan pengembangan belajar abstraksi. Dalam
perumusan kemampuan-kemampuan ini dilakukan konsultasi kepada pembimbing.
 Memvalidasi tujuan pembelajaran tersebut dengan pengumpulan tanggapan atau
masukan dari pihak terkait melalui angket dan wawancara. Analisis validitas
dilakukan melalui uji statistik terhadap kesamaan tanggapan dari kelompok-kelompok

I.B.N. Sudria, 2009 16


pihak terkait dan signifikansi proporsi total responden dari berbagai pihak yang
memilih bahwa kemampuan yg ditawarkan perlu diajarkan pada siswa SMP.
 Menyajikan tujuan/kemampuan yang disetujui dalam bentuk tabel sehingga mudah
dicocokkan atau dibandingkan dengan keberadaan pembelajaran aspek kimia dalam
kurikulum SMP 1994 untuk pembelajaran IPA.
 Menginventaris kesenjangan outcomes pembelajaran aspek kimia yang diharapkan
dan realitas yang dapat dipenuhi oleh kurikulum 1994.
 Memperioritaskan pemenuhan kebutuhan (outcomes) dalam pengembangan program
pembelajaran didasarkan pada analisis kritis kemampuan-kemampuan dasar aspek
kimia tersebut sebagai konsep dasar dan prasyarat minimal untuk belajar konsep
kimia lebih lanjut, digunakan secara luas di masyarakat, dan kondusip untuk
mengembangkan keterampilan-keterampilan aspek-aspek sains sebagai proses
(inkuiri).

Model pengembangan
Pengembangan kurikulum merupakan proses untuk membuat keputusan secara
programatis dan untuk merivisi produk keputusan tersebut berdasarkan evaluasi yang
sistematis. Mengingat banyak pandangan dan pijakan dalam pengembangan kurikulum,
telah muncul banyak model pengembangan kurikulum. Model pengembangan penting
karena akan menjadi pola yang berfungsi pengarah (guideline) tindakan.
Model pengembangan kurikulum menyatakan hubungan antara bagian-bagian
dalam proses pengembangan kurikulum. Bagian-bagian itu dikenal dengan elements
(komponen) kurikulum yang biasanya terdiri dari tujuan, isi, organisasi, dan evaluasi.
Berbagai model pengembangan kurikulum yang telah dikenal dapat di golongkan
mengikuti satu kontinum merentang dari model rasional - siklik - sampai dengan yang
dinamik/interaksi (Print, 1993). Sementara Brady (1990) hanya mengelompokkan
kedalam dua jenis model pengembangan kurikulum yakni model rasional dan model
interaksi. Model rasional memproses elemen-elemen kurikulum sesuai dengan urutan
(fixed), sementra model interaksi (dinamik) dapat memulai merumuskan kurikulum mulai
dari elemen mana saja (fleksibel). Para penulis kurikulum cendrung mempromosikan
model rasional atau siklik, karena strukturnya yang jelas. Akantetapi guru-guru
tampaknya lebih menyukai suatu bentuk model dinamik atau model interaksi dan sering
mengadaptasi dari model yang sudah dikenal.
Model rasional sering dirujuk sebagai model objectives. Pendekatan pengembangan
kurikulum ini menekankan pada urutan elemen-elemen kurikulum yang sudah pasti,
dimulai dari tujuan dan diikuti secara berurutan oleh isi, metode, dan terakhir evaluasi.
Dalam pola ini, tujuan berfungsi mengarahkan perumusan/pemilihan elemen-lemen yang
mengikuti, dengan evaluasi yang menunjukkan tingkat pencapaian tujuan-tujuan tersebut.
Ada sejumlah model yang berkembang dalam pola rasional. Perbedaan diantara model-
model dalam pola ini biasanya terdapat pada jumlah tahapan dan pertimabangan-
pertimbangan dalam perumusan elemen-elemen. Bentuk dasar dari model ini
dikembangkan oleh Tyler (1949). Dalam model rasional Tylor, pertimbangan sumber-
sumber dari mana perumusan tujuan kurang dijelaskan secara memuaskan (Skilbeck,

I.B.N. Sudria, 2009 17


1976 dalam Print, 1993). Kliebard (1970) mengatakan bahwa model Tylor memadukan
tiga sumber perumusan tujuan (pebelajar, masyarakat, dan matapelajaran) dengan
menempelkan sumber luar pada dinding (outside by side) dan itu hanya bersifat eklektik
dan bukan integratif ( dalam Miller & Seller, 1985). Sejumlah model rational kemudian
berkembang dan hanya model Taba dikaji di sini.
Taba memodifikasi model dasar Tylor menjadi model lebih representatif pada
pengembangan kurikulum di sekolah. Pendekatan proses pengembangan tetap linier
(mengikuti urutan yang pasti), tetapi lebih banyak mengakomodasi masukan-masukan
pada setiap tahap perumusan setiap elemen kurikulum. Taba secara khusus menganjurkan
pertimabangan ganda dari isi kurikulum (organisasi logis dari kurikulum) dan pebelajar
pribadi (organisasi psikologis dari kurikulum). Penekanan diberikan bahwa kurikulum
terdiri dari elemen-elemen dasar. Sebuah kurikulum biasanya mengandung beberapa
pilihan dan organisasi isi, mungkin menggambarkan atau memanifestasikan pola-pola
tertentu seperti belajar dan mengajar. Taba (dalam Print, 1993) mengikuti urutan
pengembangan kurikuilum: 1) pendiagnosisan kebutuhan-kebutuhan, 2) perumusan
tujuan, 3) pemilihan isi, 4) pengorganisasian isi, 5) pemilihan pengalaman belajar, 6)
pengorganisasian pengalaman belajar, dan 7) penentuan apa yang dievaluasi, metode
(ways) dan teknik (means) melaksanakan evaluasi.
Brady (1990) menggolongkan model taba kedalam model dinamik, sementara Print
(1993) menggolongkan model Taba ke dalam model rasional. Menyimak dari urutan
perumusan element-elemen kurikulum Model Taba termasuk model rasional. Taba
mengikuti tahapan-tahapan rasional (pendekatan urutan) dalam pengembangan
kurikulum, dan bukan dengan prosedur role-of-thumb (asal disetujui). Keputusan pada
elemen-elemen dasar hendaknya diambil berdasarkan kriteria yang sahih. Kriteria dapat
berasal dari berbagai sumber seperti dari tradisi, tekanan sosial, dan kebiasaan-kebiasaan
yang telah mantap (established). Akantetapi menyimak dari prosedur dalam
mempertimbangkan sumber-sumber dalam merumuskan elemen-elemen kurikulum,
model taba cendrung merupakan model dinamik. Taba menyatakan pengembangan
kurikulum yang ilmiah butuh melakukan analisis masyarakat dan budaya, studi subyek
belajar dan proses belajar, dan analisi karakteristik pengetahuan dalam rangka penentuan
sasaran sekolah dan karakteristik kurikulumnya. Dengan demikian model Taba dapat
dikatakan termasuk model rasional yang mengakomodasi model dinamik.
Kekuatan model rasional, struktur yang logis dan terurut. Dengan penyediaan
sebuah pendekatan terurut, model ini menyederhanakan sebuah ketidak pastian tugas
yang memusingkan dan menjengkelkan pada banyak para pengembang dalam model
dinamik. Model rasional menyediakan pendekatan langsung dan efisiensi waktu dalam
menyelesaikan tugas kurikulum. Dengan menekankan peranan dan nilai dari tujuan-
tujuan, model ini mendorong para pengembang berfikir secara serius terhadap tugas-tugas
mereka. Dorongan untuk mengkonseptualisasi dan kemudian merumuskan tujuan
mendorong orang berpikir rasional dan menyediakan bimbingan yang jelas dalam
perencanaan lebih lanjut. Walaupun sesungguhnya semua pengembang kurikulum model

I.B.N. Sudria, 2009 18


lain juga memiliki tujuan dalam benaknya, tetapi mungkin tidak berpikir atau
menyatakannya secara sistematis dan logis.
Kesulitan dan kekurangefisienan waktu yang dialami oleh pengembang model
interaksi (dinamik) sedikit terjadi pada pengembangan kurikulum dengan model rasional.
Pengembangan model mulai dari sembarang elemen kurikulum seperti dari evaluasi
(selain dari elemen tujuan) dalam model interaksi, hal ini kurang memiliki arah atau
sasaran dalam perencanaan kurikulum dan berpeluang besar membingungkan
pengembang. Di samping itu, para pengembang yang memulai dari sembarang elemen
kurikulum juga dituntut memikirkan apa yang ingin dicapai melalui kurikulum tersebut,
tetapi mereka tidak tujuan-tujuan mereka secara terbuka (terinventaris). Hal ini sering
menjadi masalah ketika pengkomunikasian tujuan perlu dilakukan kepada subyek didik.
Kesadaran tentang perlunya keterlibatan guru-guru dalam pengembangan kurikulum
merupakan kritik terhadap model rasional yang biasanya lebih banyak melibatkan ahli
kurikulum dari luar lingkungan sekolah. Meskipun guru-guru pada umumnya kurang
memiliki latar belakang pengalaman, cara-cara berfikir dan pendekatan dalam
pengembangan kurikulum, kelemahan ini tidak akan berarti besar, jika guru-guru dilatih
dan diberi pengalaman dalam pendekatan tujuan (objectives), mereka menemukan
kelogisan, kesederhanaan keruntunan pendekatan, dan dapat mengikuti cara kerja
langsung dalam model rasional. Guru-guru yang tidak memiliki pengetahuan dan
pengalaman dalam pengembangan kurikulum rasional pada umumnya lebih tidak
menyukai pengembangan secara logis dan sistematik atau mereka lebih menyukai model
interaksi.
Selain itu, suasana belajar-mengajar sering tidak dapat diramalkan. Sering terjadi
pembelajaran berlangsung tidak sesuai dengan tujuan yang telah dicanangkan dalam
kurikulum karena faktor yang tidak dapat diramalkan tersebut. Perkembangan kebutuhan
atau pengetahuan baru sering muncul setelah tujuan kurikulum dirumuskan. Penekanan
yang berlebihan pada perumusan outcomes yang dapat terukur (seperti tujuan-tujuan
tingkah laku) pada model rasional telah menimbulkan masalah pada guru-guru, karena
keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh guru (waktu, menghabiskan jumlah
kesempatan berlebihan dalam menulis tujuan-tujuan tingkahlaku secara teliti). Hal ini
biasanya dirasakan oleh guru-guru yang belum berpengalaman dan masalah ini akan
menjadi berkurang setelah guru tersebut berpengalaman dan menyadari manfaat kelogisan
dan keruntunan kegiatan secara sistematis.
Walaupun model interaktif lebih fleksibel dalam pengemabangan kurikulum
dilapangan, model interaktif kurang memberikan jaminan terhadap kelogisan dan
kesistematikan pengembangan kurikulum. Kelebihan yang dimiliki model rasional
merupakan kelemahan bagi model interaktif.

Evaluasi kurikulum
Evaluasi kurikulum (program) merupakan proses penentuan batasan (delineating),
pemerolehan, dan penyiapan informasi yang berguna untuk membuat pertimbangan dan

I.B.N. Sudria, 2009 19


keputusan tentang kurikulum/program (Davis dalam Print 1993; Brady, 1990). Menurut
Scriven (dalam Hasan, 1988; Arikunto, 1988), evaluasi program berdasarkan fungsinya
dapat dibedakan menjadi evaluasi formatif dan sumatif. Evaluasi formatif dilakukan
selama kegiatan masih berlangsung dalam rangka penyempurnaan program. Sementara
evaluasi sumatif dilakukan setelah kegiatan program betul-betul selesai, guna
pengambilan keputusan tentang tindak lanjut program (apakah akan dihentikan atau
dilanjutkan secara bersyarat atau tidak bersyarat). Pengembangan program cendrung
melakukan evaluasi formatif untuk penyempurnaan program.
Evaluator sering melalukan evaluasi dengan penekanan dalam ruang lingkup yang
berbeda. Menurut Hasan (1988) evaluasi dapat dilakukan pada kurikulum dalam dimensi
ide, rencana, proses, dan hasil. Dimensi kurikulum (ide, rencana, proses, dan hasil) akan
menentukan apa yang menjadi perhatian dalam pengembangan kurrikulum, serta tolak
ukur keberhasilan kurikulum. Arikunto (1998), menekankan ruang lingkup evaluasi
program pembelajaran meliputi tersedianya dan kelengkapan komponen-komponen
program (dimensi rencana), pemahaman terhadap komponen-komponen program
(dimensi rencana), pelaksanaan program dan pemanfaatan sarana penunjang (dimensi
proses).
Evaluasi program dilakukan dengan kriteria yang jelas. Kriteria yang digunakan
dalam evaluasi bergantung pada pendekatan yang digunakan. Masing-masing pendekatan
mempunyai kelebihan dan kekurangan. Dalam praktek eveluasi kurikulum dengan
pendekatan gabungan sering digunakan sebagai langkah kompromi untuk memenuhi
tuntutan banyak pihak. Pendekatan gabungan menggunakan baik kriteria dari luar
kurikulum yang dievaluasi (seperti dalam pendekatan pre-ordinate), kriteria yang
dikembangkan dari karakteristik kurikulum (dari dalam) yang dijadikan evaluan (seperti
dalam pendekatan fidality), dan kriteria yang berkembangan akbibat interaksi antara
evaluator dengan lapangan (seperti dalam pendekatan proses). Kriteria dari luar
kurikulum dapat berasal dari suatu pandangan teoritis dan juga dapat pula berasal dari
lapangan, terutama dari para pelaksana dan pemakai kurikulum (Hasan, 1988).
Beberapa kriteria evaluasi dalam Phi Delta Kappa National Study Committee on
Evaluation (dalam Brady, 1992) yang dapat diterapkan pada pengembangan program
pada tahap eksplorasi meliputi kriteria ilmiah, praktek, dan prudensial. Kriteria ilmiah
menekankan validitas internal (keterkaitan informasi dengan fenomena yang dijelaskan)
dan objektivitas (kesesuaian hasil penilaian program oleh para penilai). Kriteria praktek
menekankan relevansi (kesesuaian dengan sasaran), importance (informasi penting),
cakupan ( informasi berada dalam cakupan yang direncanakan), kredibilitas (temuan-
temuan evaluasi dan rekomendasi dipercaya), dan terjadwal/timeliness (evaluasi di jadwal
secara wajar). Kriteria prudential menekankan bahwa setelah evaluasi yang dilaksanakan
memenuhi semua kriteria di atas, evaluasi semestinya membantu adopsi alternatif-
alternatif tindakan yang cocok.
Teknik pengumpulan data selama evaluasi program dapat menggunakan metode
angket, wawancara, observasi, dokumentasi, dan tes (Arikunto, 1988). Adanya variasi
aspek-aspek yang ditekankan dalam evaluasi program seperti jenis pendekatan, metode,

I.B.N. Sudria, 2009 20


prosedur, dan jenis data, memunculkan berbagai model evaluasi kurikulum. Hanya
beberapa model evaluasi diuraikan secara ringkas disajikan disini. Model Taylor dan
CIPP mewakili model evaluasi kuantitatif; model studi kasus iluminatif, dan responsip
mewakili evaluasi kualitatif. Evaluasi kuantitatif mempunyai ciri yang menonjol dalam
penggunaan data kuantitatif dan didasarkan pada pandangan postifisme (sesuatu yang
harus ada). Evaluasi kuantitatif biasanya memberi penekanan pada kurikulum sebagai
demensi hasil belajar, bahkan hasil belajar dijadikan kriteria pokok keberhaslan
kurikulum. Sementara evaluasi kualitatif didasarkan pada pandangan fenomenologi
(sesuatu yang ada), dimana peranan pengukuran kuantitatif seperti tes tidak menjadi suatu
keharusan. Metode kualitatif memberikan perhatian utama pada proses pelaksanaan
kurikulum.
Model Taylor (1949) cendrung tergolong model kuantitatif. Model ini memusatkan
bagaimana kefektifan pengalaman belajar dapat dievaluasi. Model dibangun atas dua
dasar yaitu evaluasi tingkah laku dan dan keberadaan tingkah laku siswa sesbelum dan
setelah melakukan kegiatan kurikulum. Model ini menekankan penggunaan tes hasil
belajar yang melibatkan pretes dan postes. Taylor mempersyarakat validati dari tes. Apa
yang terjadi selama proses implementasi kurikulum kurang mendapat perhatian.
Dalam pelaksanaan evaluasi, Taylor mengemukakan tiga prosedur utama yang harus
dilakukan. Ketiaga prosedur tersebut : 1) menentukan tujuan kurikulum yang akan
dievaluasi, 2) menentukan situasi di mana siswa mendapat kesempatan untuk
memperlihatkan tingkah laku yang berhubungan dengan tujuan (tes tulis, tes lisan, tes
performan, dsb.), dan 3) menentukan alat evaluasi yang akan diperguakan untuk
mengukur tingkah laku tersebut. Konsekuensi dari persyaratan ini seringkali evaluator
yang menggunakan model ini mengharapkan agar pengembang kurikulum/program
merumuskan tujuan kurikulum dalam bentuk behavioral objectives. Sering evalator
berkonsultasi terlebih dahulu pada pengembang kurikulum mengenai tujuan dan tingkat
pencapaian yang diharapkan. Model ini menstimulasi prosedur pengembangan sistem
instruksional (PPSI) yang diperkenalkan di Indonesia mulai kurikulum 1975. Model ini
juga mengilhami Bloom dan kawan-kawan mengembangkan ide taksonomi tujuan
pendidikan yang terkenal.
Seperti umumnya, model model Taylor mempunyai keunggulan dan kelemahan.
Keunggulan model taylor adalah kesederhanaannya. Evaluator hanya perlu
memperhatikan pada pengukuran hasil belajar siswa yang belajar dengan kurikulum yang
dinilai. Sementara kelemahannya, model ini tidak cukup luas dipakai sebagai model
evaluasi yang komprehensip (meliputi dimensi kurikulum sebagi ide, rencana, proses, dan
hasil).
Model CIPP (conteks, input, proses, dan produk) ini dikembangkan oleh sebuah tim
yang diketuai oleh Stufblebeam (1971). Model evaluasi ini juga menekankan penggunaan
metode kuantitatif. Pada tahun 1983, Stufblebeam menyederhanakan model ini untuk
lebih mengena pada ide pokok model ini. Sesuai dengan namanya model ini terbentuk
dari empat jenis evaluasi yaitu konteks, masukan, proses, dan hasil. Keempat evaluasi ini
merupakan satu rangkaian keutuhan. Namun seperti yang telah disampaikan oleh
Stufblebeam sendiri, dalam pelaksanaannya evaluator dapat saja hanya melaksanakan

I.B.N. Sudria, 2009 21


satu atau kombinasi dari dua atau lebih jenis evaluasi itu. Walaupun demikian
pelaksanaan keempat jenis evalusi diharapkan untuk dilakukan sebagai suatu keutuhan.
Evaluasi konteks bertujuan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan yang dimili
evaluan (yang dinilai). Dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan, evaluator dapat
memberikan arah perbaikan yang dperlukan. Evaluator harus dapat menemukan
kebutuhan yang diperlukan evaluan. Sebagian tugas evaluasi konteks adalah melakukan
asesmen kebutuhan. Selanjutnya evaluator memberikan pertimbangan apakah tujuan yang
dicapai sudah sesuai dengan kebutuhan yang diidentifikasi.
Evaluasi masukan (dimensi kurikulum sebagai rencana) terkait dengan suatu
program dapat mencapai apa yang diinginkan. Program yang dimaksud adalah program
yang membawa perubahan. Evalusai masukan meliputi material, persoal, dan
kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapi di waktu mendatang ketika suatu inovasi
kurikulum dilaksanakan.
Evaluasi proses (dimensi kurikulum sebagai proses) adalah evaluasi mengenai
pelaksanaan dari satu inovasi kurikulum. Evaluasi proses bertujuan untuk memperbaiki
keadaan yang ada. Evaluator diminta untuk menentukan sampai sejauh mana rencana
inovasi kurikulum dilaksanakan di lapangan, hambatan-hambatan yang ditemukan,
perubahan-perubahan apa yang harus dilakukan. Informasi yang berhasil dikumpulkan
disajikan sebagai umpan balik bagi pengelola dan juga staf, sehingga keputusan-
keputusan yang diperlukan dalam usaha memperbaiki proses yang sedang berlangsung
dapat dilaksanakan.
Ealuasi hasil terutama bertujuan untuk menentukan sampai sejauh mana kurikulum
yang diimplementasikan tersebut telah dapat memenuhi kebutuhan kelompok yang
menggunakannya. Evaluasi hasil juga memperlihatkan pengaruh program yang langsung
maupun tidak langsung baik yang positif maupun negatif
Model-model kualitatif evaluasi kurikulum juga dikenal seperti model studi kasus,
model iluminatif, dan model resposif. Model studi kasus memusatkan perhatian hanya
pada kegiatan kurikulum di satu unit kegiatan pendidikan seperti satu unit sekolah, satu
kelas, dan bahkan hanya terhadap seorang guru. Konsekuaesi terhadap hasil evaluasi
hanya sahih untuk tempat dimana evaluasi itu dilakukan. Studi kasus seperti halnya model
kualittif yang lain sering lebih bermakna dari evaluasi kuantitatif. Karena banyak data di
lapangan yang yang sulit dikuantitatifkan seperti persepsi orang-orang yang terlibat
(siswa, guru, kepala sekolah, dsb.). Model evaluasi kualitaif juga dapat menggunakan
data kuantitif deskriptif. Evaluator harus mengenal dan memahami dengan baik ide dan
rencana kurikulum yang akan dievaluasi. Evaluator harus mempelajarai dasar-dasar
pikiran yang melahirkan rencana kurikulum itu sebagai kerangka rujukan pertimbangan
pada waktu mengamati kurikulum di lapangan, namun dasar-dasar pikiran itu tidak
menjadi dasar membuat instrumen. Melalui pemahaman dasar-dasar pemikiran kurikulum
tersebut informasi atau isu-ise “gounded” dikumpulkan dan dianalisis. Berdasarkan isu-
isu atau pesoalan-persoalan pokok di lapangan evaluator dapat mengembangkan
instrumen (berupa pertanyaan open ended yakni pertanyaan dengan segala kemungkinan
jawaban) yang akan digunakan. Instrumen tidak dikembangkan dari sesuatu yang
diperkiran sebelum penelitian di belakang meja. Instrumen tidak menuntut reliabelitas,
tetapi menuntut validitas. Teknik pengumpulan data terutama menggunakan observasi,
seperti melihat sendiri guru mengajar di kelas, satuan pelajaran yang dibuat guru, dan
sebagainya. Metode wawancara dan kusioner dapat juga digunakan. Instrumen harus

I.B.N. Sudria, 2009 22


dikembangkan dari kasus yang diamati di lapangan dan pertanyaan bersifat terbuka. Data
diolah ketika evaluator masih ada dilapangan dan ketika evaluator masih mengumpulkan
data. Persoalan baru yang muncul segera ditelusuri dan hal yang kurang jelas
dikonfirmasi ulang kepada responden. Laporan sudah dapat dibuat bersamaan dengan
pengambilan data di lapangan. Untuk mencegah penumpukan data, evaluator membuat
memo (satu atau beberapa kalimat) mengenai konsep penting dari hasil klasifikasi data.
Melalui memo evaluator dapat mengarahkan pekerjaannya lebih baik dan membantu
dalama menulis laporan akhir.
Model Iluminatif berdasarkan paradigma antropologi sosial yang menekankankan
pada keberahasilan kurikulum sesuai dengan lingkungann sosial dimana kurikulum itu
diterapkan/diimplementasikan (tetapi bukan dieksperimenkan). Evaluasi didasarkan pada
sistem instruksional dan lingkungan belajar. Model evaluasi iluminatif bersifat adaptif
dan eklektik. Data dapat berupa data kualitatif maupun kuantitatif (saling melengkapi).
Evaluasi melibatkan tiga tahapan yang berhubungan yaitu observasi (dapat dengan
metode wawancara, kuesioner, dokumentasi, dan bahkan tes) untuk menemukan isi
pokok/kecendrungan dan masalah pokok lain dalam penerapan kurikulum, inkuiri lanjut
(berdasarkan temuan masalah pokok dalam tahap sebelumnya/observasi dan
mengadaptasikannya jika terjadi perubahan/ketidaksesuaian --- terjadi fokus baru) sampai
dapat menarik kesimpulan, dan penjelasan (menemukan/menjelaskan pola sebab-akibat.
Model responsip dikembangkan oleh Stake (1983) menekankan hubungan antara
evaluator dengan pelaksana kurikulum (dimensi proses). Evaluator melakukan 12
kegiatan diantaranya identifikasi data yang diperlukan, overview aktivitas program,
memilih pengamatan, dan terminasi dengan urutan kegiatan boleh dimulai dari kegiatan
mana saja.

Rujukan
American Association for the Advancement of Scinece. (1993). Benchmarks for Science Literacy:
Project 2061. NewYork : Oxford University Press.
Brady, L. (1990). Curriculum Development. Third Edition. Sydney : Prentice Hall.
Doll, R.C. 1992. Curriculum Improvement Decision Making and Process. 8th Edition. Boston: Allyn
and Bacon.
Hasan S. H. (2004). Kurikulum dan Tujuan Pendidikan. Makalah Disajaikan dalam Seminar
Pascasaarjana UPI 21-12-2004
Henson, K.T, 1995. Curriculum Development for Education Reform. New York: Longman.
Longstreet W.S. & Shane H.G. (1993). Curriculum for A New Millennium. Singapore: Allyn and
Bacon.
McNeil J. D. Kurikulum Sebuah Pengantar (diterjemahkan oleh Subandijah, 1988). Yogyakarta :
Wira sari.
Miller, J.P and Selle, W. 1985. Curriculum Perspectives and Practice. New York: Longman
Parkay, F.W. and Hass, G. 2000. Curriculum Planning a Contemporary Approach. 7th Edition.
Boston Allyn and Bacon.
Print, M. (1993). Curriculum Development. Second Edition. Malaysia : Allen dan Unwin Pty Ltd.
Schubert, W.H. 1086. Curriculum perspective, Paradigma, and Possibility. New York: Macmiillan
Publihing Company.
Sukmadinata N. S. (1997). Pengembangan kurikulum Teori dan Praktek. Bandung : PT Remaja
Rosda Karya
.

I.B.N. Sudria, 2009 23


Tugas perorangan (disarankan)
Identifikasi komponen-komponen kurikulum secara umum dalam perangkat-
perangkat KTSP 2006 seperti rangkuman identifikasi komponen-komponen kurikulum
dalam perangkat-perangkat kurikulum 1994 dalam dalam Tabel berikut.
Perangkat dan Komponen Kurikulum 1994 dan KTSP 2006
Kurikulum 1994 Kurikulum 2006
No Deskripsi Kompon Sumber Deskripsi Kompon Sumber
perangkat perangkat
1 Tujuan: Tujuan pendidikan Landasan, Tujuan pendidikan BSNP,
nasional, tujuan pendidikan pd Program nasional, tujuan tingkat SP, standar isi?,
jenjang pendidikan & Pengem tujuan kerangka
bangan kelompok/matapelajaran, dasar, .....,
(sejenis silabus,
kerangka Rumusan SKL, SK, KD, RPP
dasar), indikator
GBPP, PP,
PT
2 Isi/Konten: program pengajaran LPP,  Isi SK, KD, materi BSNP,
(hanya mata pelajaran umum & GBB, PP,  Life skill standar isi,
khusus), kegiatan ekstra Pt  Pengembangan diri kerangkan
kurikuler, uraian singkat ma-sing-  Muatan lokal dasar,
masing mata pelajaan, lama  Materi pokok silabus
pendidikan, & perpindahan 
sekolah

3 Organisasi LPP, Struktur kurikulum


Organisasi: susunan program GBPP, PP, Kalender pendidikan
(mata pelajaran dan SKS), PT Kenaikan kelas dan
pelaksanaan (waktu, sistem guru, penjurusan, kelulusan
perencanaan KBM, bahasa
pengantar, sistem pengajaran,
kegiatan perbaikan dan
pengayaan, tahap pelaksanaan
kurikulum
4 Evaluasi: Penilaian: kemajuan LPP, PP, Penilaian proses dan hasil Standar
dan hasil belajar PT belajar penilaian,
Standar
proses?

Komentar ?
Saran ?

I.B.N. Sudria, 2009 24


Kurikulum 1994 KTSP 2006
No
Perangkat Komponen Kurikulum Perangkat Komponen Kurikulum
1 Landasan, Kepmen Dikbud ... tentang
Program, Kurikulum Sekolah sesuai
& Pengem jenjang
bangan  Tujuan pendidikan nasional,
(sejenis tujuan pendidikan pd jenjang
kerangka pendidikan
dasar)

 Isi : program pengajaran


(hanya mata pelajaran umum &
khusus), kegiatan ekstra
kurikuler, uraian singkat ma-
sing-masing mata pelajaan,
lama pendidikan, &
perpindahan sekolah
 Organisasi: susunan program
(mata pelajaran dan SKS),
pelaksanaan (waktu, sistem
guru, perencanaan KBM,
bahasa pengantar, sistem
pengajaran, kegiatan perbaikan
dan pengayaan, tahap
pelaksanaan kurikulum
 Penilaian: kemajuan dan hasil
belajar

2 GBPP  Tujuan: pengertian, fungsi,


tujuan, dan ruang lingkup.

 Organisasi: urutan materi sesuai


dg tingkat kelas dan mata
pelajaran, sistem Cawu/kuartal
di SD &SMP dan semester
rambu-rambu

I.B.N. Sudria, 2009 25


Kurikulum 1994 KTSP 2006
No
Perangkat Komponen Kurikulum Perangkat Komponen Kurikulum
3 Petunjuk PBM
pelaksana  Tujuan: tujuan pembelajaran dan
an (PBM, ruang lingkup
penilaian,
adm.,
supervisi)  Isi: penguasaan materi, analisis
materi pelajaran,

 Organisasi: pengelolaan PBM


(pengertian, komponen yg
berpengeruh, kegiatan kurikuler
dan ekstra kurikuler, pendekatan,
dan metode), penyusunan
program (tahunan & caturwulan,
satuan pelajaran, rencana
pengajaran)
 Penilaian analisis hasil ulangan
harian

4 Petunjuk  Tujuan: tujuan pembelajaran


teknis sebagai komponen GBPP
mata (kognitif, afektif, & psikomotor)
pelajaran

 Isi: pengertian, komponen, dan


penjabaran GBPP

 Organisasi: pinsip-prinsip
pembelajaran (pendekatan,
metode, pengelolaan kelas);
rencana pembelajaran (kalender
akademik-persiapan mengajar);
model-model pembelajaran

 Penilaian hasil belajar

I.B.N. Sudria, 2009 26


BEBERAPA PERBEDAAN PENTING KURIKULUM 1994, KBK 2004, & KTSP 2006

Aspek Kur. 1994 + Kurikulum 2004 KTSP 2006


Suplemen

Doku Semua Pusat : hanya standar


men Dokumen kompetensi, hasil
ditetapkan oleh belajar, indikator, dan
pusat (termasuk materi pokok, serta
juknis) beberapa pedoman
pengembangan (silabus,
Organi Komponen Tujuan secara inflisit
sasi tujuan dalam kompetensi :
pembelajaran pengetahuan,
dinyatakan keterampilan, dan nilai-
secara ekplisit nilai dasar yg
direfleksikan dlm
kebiasaan berpikir
Standa Diterapkan Kesatuan dlm Kebijakan
r pend. seragam oleh dan keragaman dlm
t l k
Pembe Dominan Learning to know, to do,
lajaran kognitif to be, dan to live
t th
Penila Dominan pada Produk, proses, nilai, dan
ian kognitif melaui sikap melalui multi
tes bentuk asesmen kelas.

I.B.N. Sudria, 2009 27

You might also like