Professional Documents
Culture Documents
Disusun Oleh:
SURAKARTA
2017
ADITYA K.P - PENCEGAHAN KECURANGAN
1. Mempekerjakan orang yang jujur dan menyediakan pelatihan kesadaran akan adanya
kecurangan.
2. Menciptakan lingkungan kerja yang positif.
3. Memberikan program dukungan pegawai (employee assistance program – EAP).
Mempekerjakan orang yang jujur dan menyediakan pelatihan kesadaran akan adanya
kecurangan.
Melakukan penyaringan terhadap pelamar kerja secara efektif, sehingga calon pegawai
“jujur” yang akan dipekerjakan. Dengan cara verifikasi dan sertifikasi resume untuk
mencegah kecurangan dalam resume. Jika pegawai yang tidak jujur dan tidak kompeten maka
jika dia melakukan kesalahan baik dalam atau luar lingkup pekerjaan maka perusahaan wajib
melakukan pertanggung jawaban ke pihak yang dirugikan. Dalam buku ini
merekomendasikan praktik perekrutan dan pengelolaan sumberdaya manusia sebagai berikut
:
Menciptakan lingkungan kerja yang positif tidak bisa terjadi secara otomatis mereka
harus dipupuk. Tiga element yang mendukung terciptanya lingkungan kerja yang positif :
Dalam hal ini perusahaan memberikan fasilitas yang akan diterima oleh pegawai dengan
tujuan untuk mengurangi biaya fiansial dan mengoptimalkan sumber daya manusia agar
dapat berfungsi secara penuh. Fasilitas ini dapat berupa kesehatan, pembentukan tim,
pelatihan, penyelesaian konflik, respon insiden yang penting, penilaian dan konseling.
Pemisahan tugas, Menugaskan dua orang untuk melakukan tugas bersama atau
membagi tugas menjadi beberapa bagian, sehingga tidak ada satu orang yang
menangani suatu penugasan yang lengkap.
Memiliki sistem otoritas yang sesuai. Sehingga hanya individu yang ter otorisasi atau
yang ditunjuk yang memiliki izin untuk menyelesaikan tugas tertentu.
mengimplementasikan perlindungan fisik seperti gembok, kunci, pagar dan lain-lain
untuk mencegah akses ke aset dan catatan.
Implementasikan sistem pengecekan independen seperti rotasi pekerjaan, liburan
wajib, audit, dan lain-lain.
Memiliki sistem dokumentasi dan pencatatan yang memberikan jejak audit yang dapat
diikuti untuk memeriksa aktivitas yang mencurigakan dan untuk mendokumentasikan
sejumlah transaksi.
Mengurangi Kerja Sama Antara Pegawai dan Pihak Lain dan memberitahu pemasok dan
Kontraktor terkait Kebijakan Perusahaan
Penelitian empiris telah menunjukkan bahwa sekitar 71 persen dari semua kecurangan
dilakukan oleh individu yang bertindak sendiri, sisanya yaitu 29 persen kecurangan
melibatkan kerja sama, biasanya kecurangan yang saling menjalin kerja sama melibatkan
jumlah yang sangat besar.
Kecurangan kerja sama/kolusi sering kali lebih lambat berkembang (membutuhkan waktu
untuk tahu bahwa ada pihak lain yang berkolusi dan percaya bahwa mereka akan bekerja
sama dan tidak akan pernah membocorkan rahasia) dibandingkan kecurangan yang dilakukan
oleh suatu individu.
Dua tren terbaru dalam bisnis telah meningkatkan jumlah kecurangan secara kolusif. Tren
pertama adalah meningkatnya kompleksitas bisnis. Dalam lingkungan yang kompleks
pegawai yang dipercaya mungkin akan melakukan kegiatan operasional dilingkungan khusus
atau terpisah di mana mereka terpisah dari individu. Kedua yaitu meningkatnya frekuensi
aliansi pemasok, di mana perjanjian lisan menggantikan dokumentasi secara tertulis dan
terjalin hubungan yang lebih dekat antara pembeli dan pemasok. Ada peningkatan
penyimpanan biaya dan peningkatan produktivitas dari penggunaan aliansi pemasok.
Seberapa banyak kompleksitas dan aliansi pemasok akan mengakibatkan peningkatan
kecurangan masih belum diketahui, walaupun banyak penelitian terkait kecurangan
menunjukkan bahwa kecurangan meningkat setiap tahunnya. Secara umum, orang yang
dipercayalah yang melakukan sebagian besar kecurangan. Reaksi dari suatu manajer
mengenai kecurangan saat ini melibatkan pemasok dipercaya adalah “ saya tidak percaya ia
melakukannya. Itu seperti menyadari bahwa saudara Anda adalah pembunuh”.
Permasalahan yang timbul apabila terlalu mempercayai orang melalui aliansi pemasok
dan sebagainya adalah meningkatnya kesempatan dan godaan. Analogi yang membantu
adalah kondisi perusahaan satu abad yang lalu yang sedang mencari seseorang untuk
mengendarai wagonnya melewati jalan pegunungan yang terjal.
Kecurangan sama dengan mengemudikan wagon melalui jalan yang berbahaya. Ketika
risikonya tinggi, akan ada lebih banyak permasalahan. Ketika pegawai bertanggungjawab
untuk memperoleh kontrak besar dengan pemasok, penyuapan dan kickback sering kali
terjadi. Pada beberapa kasus, pegawai bagian pembelian dapat menggandakan atau membuat
gaji mereka tiga kali lipat dengan memungkinkan sedikit penambahan dalam harga pokok
pembelian. Kecurangan pembelian dan penjualan adalah jenis kecurangan kolusif yang paling
umum terjadi. Ketika kesempatan terlalu tinggi, bahkan individu yang kehidupan
profesionalnya diarahkan oleh standar perilaku profesional terkadang melakukan kecurangan.
Perhatikan contoh kasus ESM.
Dalam kasus kecurangan ESM, rekanan KAP menerima suap dari kliennya, sebagai
imbalan untuk tetap diam terkait transaksi kecurangan keuangan. Kecurangan yang dilakukan
oleh klien tersebut bernilai lebih dari $300 juta. KAP tersebut telah menjadi rekanan selama
lebih dari delapan tahun. Untuk tidak mengungkapkan kecurangannya, klien membayarnya
$150.000. Jika KAP tidak bersedia menjadi rekanan untuk pengelolaan pekerjaan dalam
waktu selama itu, ia tidak mungkin terlibat dalam kecurangan dan integritasnya tidak
mungkin menurun.
Terkadang pemasok dan pelanggan yang tidak tahu apa-apa dilibatkan ke dalam
kecurangan oleh pegawai perusahaan karena mereka takut jika mereka tidak berpartisipasi,
hubungan bisnis akan berakhir. Dalam sebagian besar kasus, pelanggan dan pemasok hanya
memiliki satu atau dua kontak dengan perusahaan. Mereka seringkai terintimidasi oleh orang
yang meminta gratifikasi ilegal atau mendorong dilakukannya perilaku yang tidak sesuai
lainnya. Surat yang secara berkala diberikan kepada pemasok menjelaskan bahwa kebijakan
organisasi tidak mengizinkan pegawai menerima pemberian atau gratifikasi, membantu
pemasok memahami apakah pembeli dan penjual bertindak sesuai dengan aturan organisasi.
Surat tersebut mengklarifikasi ekspektasi, yang merupakan bagian yang sangat penting dalam
mencegah kecurangan. Banyak kecurangan terungkap sesaat setelah surat tersebut dikirim,
pemasok menghawatirkan hubungan pembelian atau penjualan mereka.
Tindakan pencegahan terkait yang sering kali efektif untuk mengurangi kecurangan
kolusi adalah dengan mencetak klausul “hak audit”. Klausul tersebut menginformasikan
kepada pemasok bahwa perusahaan memiliki hak untuk mengaudit pembukuan mereka kapan
pun. Pemasok yang mengetahui bahwa catatan mereka akan diaudit biasanya lebih enggan
untuk membuat pembayaran yang tidak sesuai dibandingkan mereka yang yakin bahwa
catatan mereka rahasia dan tidak akan pernah diperiksa. Klausul hak audit juga merupakan
alat yang penting ketika melakukan investigasi kecurangan.
Individu yang melakukan kecurangan dan menyimpan hasil curiannya hampir tidak ada
sering kali pelaku menggunakan uang curian mereka untuk menunjang kebiasaan,
meningkatkan gaya hidup mereka, atau membayar beban yang telah ada sebelumnya. Ketika
manajer dan kolega memperhatikan gaya hidup yang ditimbulkan dari pengeluaran ini,
kecurangan biasanya dapat terdeteksi lebih dini. Penggunaan dana curian biasanya terlihat
jelas. Pelaku kecurangan biasanya membeli mobil, pakaian yang mahal, rumah baru,
mengadakan liburan yang mewah, membeli peralatan hiburan yang mahal, seperti kapal,
kondominium, motor home, atau pesawat, melakukan hubungan di luar nikah atau
kepentingan di luar bisnis.
Pengawasan secara seksama mempermudah pendeteksian dini. Hal itu juga akan
mencegah kecurangan karena pelaku yang akan melakukannya menyadari bahwa “orang lain
melihat”. Karena pengawasan oleh kolega merupakan cara yang efektif untuk menangkap
tindakan yang tidak jujur, maka Section 307 dari Sarbanes-Oxley Act (SOA) 2002
mensyaratkan semua perusahaan publik memiliki sistem wistleblowing yang mempermudah
pegawai dan pihak lain melaporkan aktivitas yang mencurigakan.
Dalam sebagian besar kasus kecurangan, individu mencurigai atau mengetahui terjadinya
kecurangan, tetapi takut untuk memberikan informasi atau tidak tahu bagaimana cara
menangkap informasi. Hukum wistleblowing yang baru dapat membantu hal ini.
Bahkan, dengan kecanggihan teknologi, cara yang paling umum untuk mendeteksi
kecurangan adalah melalui informasi. Dalam satu penelitian empiris misalnya penulis
menemukan bahwa 33 persen dari semua kecurangan terdeteksi melalui informasi. Sementara
18 persen terdeteksi oleh auditor. Perusahaan yang mengalami lebih dari 1.000 kecurangan
dalam setahun menyatakan bahwa 42 persen kecurangan diketahui melalui informasi dan
pengaduan dari pegawai dan pelanggan. Program wistleblowing yang baik merupakan salah
satu alat pencegahan kecurangan yang paling efektif. Ketika pegawai mengetahui bahwa
koleganya dengan mudah melakukan pengawasan terhadap satu sama lain dan melaporkan
kecurigaan kecurangan, mereka tidak akan terlibat dalam tindakan tidak jujur.
Deloittle, salah satu KAP dari Big 4, dalam studi yang dilakukan di seluruh dunia,
menyimpulkan bahwa ada empat alasan mengapa beberapa sistem wistleblowing gagal untuk
mendeteksi adanya pelanggaran.
Berdasarkan temuan ini, penelitian telah menunjukkan bahwa supaya sistem wistle
blowing berfungsi secara efektif, harus ada elemen-elemen berikut:
1. Anonimitas
Pegawai harus diyakinkan bahwa mereka dapat melaporkan insiden mencurigakan
tanpa takut dikarenakan sanksi. Sistem yang efektif harus menyembunyikan identitas
wistleblower. Walaupun sistem ini mungkin menunjukkan proporsi laporan yang
kurang baik, sistem ini dapat dengan mudah diverifikasi melalui investigasi lanjutan
dari insiden yang dilaporkan.
2. Independen
Pegawai merasa lebih nyaman melaporkan pelanggaran terhadap pihak yang
independen yang tidak terkait dengan organisasi atau pihak yang terlibat dengan
pelanggaran tersebut.
3. Akses
Pegawai harus memiliki beberapa jalur yang berbeda untuk melaporkan adanya
pelanggaran, yaitu melalui telepon, surel, online, atau surat. Hal ini memastikan
bahwa semua pegawai dari jajaran terendah, manajer on-site, manajer off-site dapat
secara anonim membuat laporan menggunakan jenis saluran sesuai kehendak mereka.
4. Tindak lanjut
5. Insiden yang dilaporkan melalui wistleblowing harus ditindaklanjuti dan tindakan
korektif harus diambil ketika dibutuhkan. Hal ini akan menggambarkan manfaat
sistem dan mendorong pelaporan pelanggaran lebih lanjut.
Tidak hanya perusahaan di Amerika Serikat, tetapi lembaga pemerintah dan perusahaan
asing di negara besar termasuk Korea juga memiliki sistem wistleblowing.
Kebijakan penuntutan yang tegas dan sesuai untuk dipublikasikan membuat pegawai tahu
bahwa hukuman yang tegas akan dikenakan terhadap pelaku tindakan tidak jujur, bahwa
tidak semua orang tidak jujur, dan bahwa peminjam yang tidak ter otorisasi dari perusahaan
tidak dapat ditoleransi. Walaupun tindakan hukum akan menimbulkan kekhawatiran
mengenai pemberitaan pers yang tidak menyenangkan, tidak melakukan penuntutan
merupakan strategi yang efektif, tetapi hanya dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang,
kegagalan dalam mengambil tindakan hukum akan menunjukkan kepada pegawai lain bahwa
kecurangan dapat ditoleransi dan sanksi terburuk yang dikenakan kepada pelaku adalah
pemecatan. Karena hukum privat saat ini dan tingginya tingkat perputaran pekerjaan,
pemecatan saja bukanlah pencegah kecurangan yang kuat. Seperti kode etik yang baik
menyampaikan ekspektasi, kebijakan yang kuat mengenai hukuman membantu
mengeliminasi rasionalisasi. Beberapa orang percaya bahwa alasan terdapat banyak
kecurangan dan kejahatan kerah putih adalah pelaku biasanya tidak diberi hukuman, atau
diberi hukuman yang ringan.
Sangat sedikit organisasi yang secara aktif melakukan audit kecurangan. Sering kali,
auditor mereka hanya melakukan audit keuangan, operasional, dan kepatuhan serta
menginvestigasi kecurangan hanya jika indikatornya jelas, sehingga dicurigai telah terjadi
tindakan kecurangan. Organisasi yang melakukan audit kecurangan secara proaktif
meningkatkan kesadaran di antara pegawai bahwa tindakan mereka selalu ditinjau. Dengan
meningkatnya ketakutan akan tertangkap, auditing secara proaktif mengurangi perilaku
kecurangan.
KAP menjadi sangat serius dalam auditing kecurangan secara proaktif. Motivasinya
sebagian berasal dari Statement On Auditing Standards (SAS) No. 99, Consideration of
Fraud in a Financial Statement Audit. SAS No. 99 mencakup bagian-bagian yang
berhubungan dengan tukar pikiran risiko kecurangan, sementara menekankan peningkatan
skeptis sebagai seorang profesional; pembahasan dengan manajemen dan pihak lain
mengenai apakah mereka menyadari adanya kecurangan atau indikator tidak; penggunaan
pengujian audit yang tidak dapat diprediksi; dan respons terhadap pengabaian pengendalian
oleh manajemen dengan mensyaratkan prosedur tertentu yang responsif dalam setiap audit
untuk mendeteksi adanya pengabaian oleh manajemen.
SAS No. 99 dikeluarkan karena Auditing Standard Board (yang telah digantikan oleh
Public Company Accounting Oversight Board (PCAOB) yakin bahwa dengan memaksa
auditor untuk secara eksplisit mempertimbangkan dan bertukar pikiran mengenai kecurangan,
dimungkinkan bahwa auditor akan dapat mendeteksi salah saji secara material terkait
kecurangan dalam audit laporan keuangan yang semakin meningkat.
Selain lebih skeptis dalam auditing laporan keuangan. KAP berskala besar dan
perusahaan lainnya telah mengembangkan unit khusus untuk mendeteksi kecurangan secara
proaktif. Dengan kecanggihan teknologi, pendekatan kecurangan secara proaktif saat ini lebih
dimungkinkan dibandingkan dengan sebelumnya.
Sejauh ini dalam bab ini telah menyatakan bahwa kecurangan dapat dikurangi dan
dicegah dengan (1) menciptakan budaya jujur, terbuka, dan memberi dukungan, serta (2)
mengeliminasi kesempatan kecurangan.
Organisasi yang menggunakan langkah-langkah dan teknik ini telah secara signifikan
mengurangi permasalahan kecurangan dibandingkan dengan yang tidak. Satu perusahaan
yang bekerja keras dalam mengimplementasikan langkah-langkah ini telah mengurangi
kecurangan yang diketahui terjadi dari rata-rata senilai lebih dari $20 juta per tahun menjadi
$1 juta per tahun.
Model yang biasa digunakan oleh banyak organisasi dalam melawan kecurangan terdiri
dari empat tahap, yaitu:
Namun, dengan model yang biasa digunakan tersebut, kecurangan tidak akan pernah
dapat berkurang dan menjadi permasalahan yang berulang. Pendekatan yang jauh lebih baik
untuk memerangi kecurangan adalah
Terdapat enam elemen dalam gambar ini, yaitu
1. Membuat manajemen, dewan direksi, dan pihak lain yang berada pada puncak
organisasi menciptakan “pengaruh manajemen puncak” yang positif.
2. Terdapat dua langkah untuk menciptakan pengaruh positif:
a. Peduli terhadap organisasi yang positif, yang mengadakan program pengajaran
dan pelatihan yang efektif terkait kecurangan di seluruh organisasi dan
mempromosikan standar perilaku perusahaan yang terdefinisi dengan baik,
b. Memberikan contoh yang baik atau menjadi contoh keteladanan dari perilaku
manajemen yang sesuai.
3. Mengedukasi pegawai dan pihak lain mengenai keseriusan kecurangan dan
menginformasikan kepada mereka apa yang harus dilakukan jika terdapat kecurangan.
4. Pelatihan kesadaran kecurangan membantu mencegah kecurangan dan memastikan
bahwa kecurangan yang terjadi terdeteksi pada tahap awal, sehingga akan membatasi
eksposur finansial perusahaan dan meminimalkan dampak negatif pada lingkungan
kerja.
5. Penilaian risiko integritas dan penerapan sistem pengendalian internal yang baik.
6. Penerapan sistem pengendalian yang baik berarti akan ada riset eksplisit mengenai
semua kecurangan dan mengapa kecurangan terjadi, serta implementasi aktivitas
pengendalian yang diperlukan untuk mencegah terjadinya kecurangan yang sama
dimasa yang akan datang.
7. Penerapan sistem pelaporan dan pengawasan
a. Pelaporan kecurangan harus difasilitasi
b. Pelaporan mencakup publikasi fakta mengenai kecurangan terhadap mereka yang
mendapat keuntungan dari informasi tersebut.
c. Pengawasan meliputi pelaksanaan audit dan tinjauan oleh auditor internal, auditor
eksternal dan bahkan manajemen.
8. Penerapan metode pendeteksian kecurangan secara proaktif
9. Metode pendeteksian bukan hanya efektif dalam mendeteksi kecurangan, tetapi
pengetahuan mengenai penggunaannya merupakan alat pencegahan kecurangan yang
baik.
10. Pelaksanaan investigasi dan upaya tindak lanjut yang efektif ketika kecurangan terjadi
11. Prosedur investigasi harus dibuat dengan baik, yang meliputi:
a. Siapa yang akan melakukan investigasi
b. Bagaimana suatu persoalan dikomunikasikan kepada manajemen
c. Akankah dan kapan aparat penegak hukum dihubungi
d. Siapa yang akan menentukan cakupan investigasi
e. Siapa yang akan menentukan metode investigasi
f. Siapa yang akan menindaklanjuti informasi mengenai kecurigaan adanya
kecurangan
g. Siapa yang akan melakukan wawancara, melakukan peninjauan terhadap
dokumen, dan melaksanakan tahap investigasi lainnya
h. Siapa yang akan menentukan respons perusahaan terkait kecurangan,
pendisiplinan, pengendalian dan sebagainya.
12. Kebijakan penuntutan yang tegas harus didukung oleh manajemen puncak dan mereka
harus diberitahu jika seseorang melakukan kecurangan dan tidak dituntut. Faktor yang
paling penting dalam mencegah tindakan tidak jujur adalah ketakutan akan hukum.
Ada ungkapan yang secara mudah ingin menjelaskan penyebab atau akar permasalahan
dari fraud. Ungkapan itu adalah: fraud by need,by greed, and by opportunity. Kata fraud
dalam ungkapan itu bisa diganti dengan corruption, financial crime, dan lain-lain.
Menghilangkan atau menekan need dan greed yang mengawali terjadinya fraud dilakukan
sejak menerima seseorang, meskipun kita tahu bahwa proses itu bukan jaminan penuh. Ini
terus ditanamkan melalui fraud awareness dan contoh-contoh yang diberikan pimpinan
perusahaan atau lembaga. Karena itu upaya mencegah fraud, dimulai dari pengendalian
intern. Untuk audit investigatif, kita memerlukan pengendalian intern yang khusus ditujukan
untuk mencegah fraud.
Gejala Gunung Es
Meskipun belum ada penelitian mengenai besarnya fraud (termasuk korupsi) di Indonesia
sukar untuk menyebutkan suatu angka yang andal. Tetapi penelitian yang dilakukan diluar
negeri mengindikasikan bahwa fraud yang terungkap, sekalipun secara absolut besar, namun
dibandingkan dengan seluruh fraud yang sebenarnya terjadi, relative kecil. Inilah gejala
gunung es. Davia et al. mengelompokkan fraud dalam tiga kelompok sebagai berikut:
1. fraud yang sudah ada tuntutan hukum, tanpa memperhatikan bagaimana keputusan
pengadilan.
2. fraud yang ditemukan, tetapi belum ada tuntutan hukum.
3. fraud yang belum ditemukan.
Yang bisa diketahui khalayak ramai adalah fraud dalam kelompok I. Dengan dibukanya
kepada umum laporan-laporan hasil pemeriksaan BPK, kelompok II juga bisa diketahui.
Namun khusus untuk fraud yang berupa tindak pidana (korupsi misalnya), hasil pemeriksaan
tersebut masih berupa indikasi. Fraud dalam kelompok II lebih sulit lagi diketahui karena
adanya lembaga perlindungan hukum yang sering dimanfaatkan tertuduh, yakni pencemaran
nama baik . Apalagi fraud dalam kelompok III, tertutup rapat, hanya diketahui Tuhan dan
pelakunya. Davia et al.. memperkirakan bahwa dari Kelompok I hanyalah 20%, sedangkan
kelompok II dan III masing-masing 40%. Kesimpulannya lebih banyak yang tidak kita
ketahui daripada yang kita ketahui tentang fraud. Yang lebih gawat lagi, fraud ditemukan
secara kebetulan. Tidak jarang, indikasi – indikasi fraud yang dikaji lebih dalam pada
investigasi akhirnya diputuskan tidak terjadi fraud, padahal sesungguhnya fraud sudah
terjadi. Kasus – kasus semacam ini sering dialami pada waktu indikasi fraud ditemukan oleh
suatu tim, diinvestigasi oleh tim lain. Tabel berikut menunjukkan penerapan perangkat
kendali untuk mencegah fraud dan besarnya kerugian yang dapat dicegah. Berikut ini
penjelasan singkat dari anti fraud controls dan pengurangan kerugian (dalam %) :
Pengendalian Intern adalah pengendalian intern yang dilakukan secara aktif. Aktif
biasanya merupakan bentuk pengendalian intern yang paling banyak di terapkan
Sarana–sarana Pengendalian Intern Aktif yang sering di pakai pada umumnya sudah dikenal
dalam sistem akuntansi, meliputi:
Dalam Pengendalian Intern Pasif dari permukaan kelihatan tidak ada pengamanan namun
ada peredam yang membuat pelanggar atau pelaku fraud jera. Peredam ini diumumkan secara
luas, dan sistemnya memastikan hal ini. Perbedaan antara Pengendalian Intern Aktif dan
Pengendalian Intern Pasif adalah:
a. Dalam hal biaya, Pengendalian Intern Aktif jauh lebih mahal dari Pengendalian Intern
Pasif.
b. Pengendalian Intern Aktif kasat mata atau dapat diduga dan dapat ditembus.
Pengendalian Intern Pasif dilain pihak tidak kasat mata dan tidak dapat diduga dan
karenanya tidak terelakkan.
Kasus 1
Salah satu tugas pokok Bank Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004
adalah mengatur dan mengawasi bank. Dalam rangka pelaksanaan tugas tersebut Bank
Indonesia diberikan kewenangan sebagai berikut:
Peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia terkait dengan pengelolaan atau
manajemen risiko penyelenggaraan kegiatan internet banking adalah Peraturan Bank
Indonesia No. 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum dan
Surat Edaran Bank Indonesia No. 6/18/DPNP, tanggal 20 April 2004 tentang Penerapan
Manajemen Risiko Pada Aktivitas Pelayanan Jasa Bank Melalui Internet (Internet Banking)
Pokok-pokok pengaturannya antara lain sebagai berikut:
Upaya lainnya yang dilakukan oleh Bank Indonesia dalam rangka meminimalisir
terjadinya tindak kejahatan internet fraud adalah pengaturan kewajiban bagi bank untuk
menerapkan prinsip mengenal nasabah atau yang lebih dikenal dengan prinsip Know Your
Customer (KYC). Pengaturan tentang penerapan prinsip KYC terdapat dalam Peraturan Bank
Indonesia No. 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your
Customer Principles) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No.
3/23/PBI/2001 dan Surat Edaran Bank Indonesia 6/37/DPNP tanggal 10 September 2004
tentang Penilaian dan Pengenaan Sanksi atas Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah dan
Kewajiban Lain Terkait dengan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Mencegah fraud adalah bagian dari fraud audit yang bersifat proaktif, sedangkan
mendeteksi fraud adalah bagian dari fraud audit yang bersifat investigatif. Orang awam
mengharapkan suatu audit umum yang dapat mendeteksi segala macam fraud. Di sisi lain,
akuntan publik berupaya memasang pagar-pagar yang membatasi tanggung jawabnya,
khususnya mengenai penemuan atau pengungkapan fraud. Di antara keduanya terdapat
kesenjangan. Davia menyarankan fraud-specific examination untuk akuntansi forensik.
Sejak permulaan, profesi audit yang dijalankan oleh akuntan publik menolak mengambil
tanggung jawab dalam menemukan fraud. Dalam bulan November 1974, AICPA menunjuk
suatu komisi independen yang dikenal dengan nama “the Cohen Commission” yang diberi
nama berdasarkan ketua komisinya. Komisi Cohen pada awal tahun 1978 melaporkan tujuan
penunjukan komisi itu sebagai berikut:
Gagasan bahwa audit umum tidak dirancang untuk mengungkapkan kecurangan sampai
pasca Sarbanes Oxley tercermin dari praktik audit yang peduli dengan kecurangan yang
menyebabkan laporan keuangan tidak disajikan dengan wajar. Para auditor ini sangat kawatir
dengan penyajian kembali laporan keuangan, terutama apabila dilakukan oleh KAP
saingannya di tahun berikutnya.
Yang kurang diperhatikan oleh auditor independen adalah kategori fraud berupa
pencurian atau kehilangan aset, contohnya adalah apabila persediaan menggunakan metode
fisik bukan perpetual, selama persediaan awal dan akhir sudah benar maka angka persediaan
dan harga pokok penjualan dapat dianggap wajar meskipun mungkin sebenarnya ada yang
dicuri.
Akhir-akhir ini the Treadway Commission dan SOX berfokus pada fraudulent financial
reporting. Fraudulent financial reporting diartikan sebagai “intentional or reckless conduct,
wheteher act or omission, that result in materially misleading financial statement”.
(“kesengajaan atau kecerobohan dalam melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu
yang seharusnya dilakukan, yang menyebabkan laporan keuangan menjadi menyesatkan
secara material”).
1. Keserakahan
2. Adanya tekanan yang dirasakan oleh manajemen untuk menunjukkan prestasi.
Dalam banyak konstruksi kejahatan korporasi di mana bentuk perseroan terbatas yang
dipilih, direksinya malah menjadi boneka. Tidak jarang direksi terdiri dari mantan pejabat
militer dan sipil yang KTP-nya dipinjam untuk membuat akta, padahal mereka tidak mengerti
bisnis sama sekali. Fraudulent financial reporting ini dimanfaatkan untuk “mengelola”
pinjaman bank.
Dalam kasus-kasus Fraudulent financial reporting yang menjadi korban biasanya adalah
masyarakat luas. Sebaliknya pencurian aset, selama laporan keuangan masih bisa dilaporkan
wajar, dianggap terbatas merupakan kerugian perusahaan. Untuk kerugian atas aset tertentu,
risiko ini malah dapat diasuransikan.
Kalau auditor independen bekerja tanpa standar audit, ia menempatkan dirinya dalam
posisi yang sangat lemah. Terutama ketika ia memberikan audit yang diharapkan menemukan
fraud. David, et al. menganjurkan adanya standar untuk pemeriksaan yang secara spesifik
ditujukan untuk menemukan fraud yaitu fraud-specific examination.
Para praktisi harus tahu apa yang mereka harapkan dari standar untuk pemeriksaan yang
secara spesifik ditujukan untuk menemukan fraud. Sekurang – kurangnya para praktisi harus
menyadari hal – hal berikut:
1. Mereka tidak bisa memberikan jaminan bahwa mereka bisa menemukan fraud. Klien
dapat membatasi upaya menemukan fraud di atas jumlah tertentu dengan pengertian
bahwa potensi menemukan fraud ini tergantung kepada waktu dan keahlian yang
digunakan.
2. Seluruh pekerjaan didasarkan atas standar audit. Di Indonesia standar ini disebut
dengan SPAP.
3. Jumlah fee bergantung pada luasnya upaya pemeriksaan yang ditetapkan klien.
4. Praktisi bersedia untuk memperluas jasanya dari tahap proactive review ke tahap
pendalaman apabila ada indikasi terjadinya fraud. Tentunya dengan tambahan fee.
Perbedaan antara audit secara umum (general audit atau opinion audit) dengan
pemeriksaan atas fraud dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Pada bab 6 telah disajikan ringkasan dari laporan ACFE yang secara singkat dikenal
sebagai Report to the Nation. Laporan ini memberikan banyak petunjuk untuk menegah
maupun mendeteksi fraud. Beberapa pelajaran dari laporan tersebut mengenai deteksi fraud
adalah:
1. Rata – rata (median) berlangsungnya fraud sebelum dideteksi adalah lebih dari satu
tahun, yakni antara 17 sampai 30 bulan
2. Hampir separuh fraud (46,2% tahun 2008) diketahui karena ada yang membocorkan.
20% di 2008 terungkap secara kebetulan.
3. 51,7% fraud yang dilakukan oleh pemilik, terungkap karena bocoran. 57,7% bocoran
datang dari karyawan.
Data di atas adalah untuk Amerika Serikat, untuk Indonesia sendiri belum terdapat
penelitian berskala nasional mengenai pengungkapan fraud akan tetapi kalau temuan di
Report to the Nation adalah petunjuk maka dapat disimpulkan terdapat kabar baik dan buruk.
Kabar baiknya ialah bahwa dengan desain sistem yang tepat maka sistem whistleblower
akan berjalan secara efektif untuk memberitahukan mengenai fraud yang akan, sedang atau
telah terjadi. Berita buruknya adalah dinegara maju seperti Amerika Serikat saja butuh waktu
lebih dari satu tahun sampai tiga tahun dalam mendeteksi fraud dan beberapa terdeteksi
secara kebetulan.
Mengapa internal auditor atau eksternal auditor tidak merupakan penemu utama dalam
mendeteksi fraud? Hallinan mengatakan bahwa “if you don’t find often, you often don’t find
it”. Hallinan memberi contoh bahwa kajian mengenai dokter di rumah sakit terkemuka di
Amerika Serikat, dokter-dokter memeriksa kembali hasil rontgen para penderita yang
menderita kanker paru-paru. Dalam rontgen berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun
sebelumnya, dalam 90% kasus, kanker tersebut sudah nyata jelas namun lolos dari hasil
pengamatan radiologist.
Contoh lain diberikan oleh Hallinan yaitu mengenai gagalnya para pemeriksa di bandara.
Dalam tahun 2002 sebuah tes menunjukkan bahwa mereka tidak menemukan satu di antara
empat senjata yang ditaruh di dalam koper atau tas. Tes serupa dua tahun kemudian di
bandara Newark menunjukkan hasil yang sama di mana 25% senjata tidak terdeteksi. Ditahun
2006, 60% bahan peledak yang disembunyikan oleh agen yang sedang menyamar tidak
terdeteksi di bandara O’Hare di Chicago dan di bandara Los Angles mencapai 75% tidak
terdeteksi.
1. Penggunaan teknik-teknik audit yang dilakukan oleh intenal maupun external auditor
dalam mengaudit laporan keuangan, namun secara lebih mendalam dan luas.
2. Pemanfaatan teknik audit investigatif dalam kejahatan terorganisir dan penyelundupan
pajak penghasilan, yang juga dapat diterapkan terhadap data kekayaan pejabat negara.
3. Penelusuran jejak-jejak arus uang.
4. Penerapan teknik analisis dalam bidang hukum.
5. Penggunaan teknik audit investigatif untuk mengungkap fraud dalam pengadaan
barang.
6. Penggunaan computer forensic.
7. Penggunaan teknik interogasi.
8. Penggunaan operasi penyamaran.
9. Pemanfaatan whistleblower.
Kasus II : Kimia Farma.
Pada tahun 2002 ditemukan penggelembungan laba bersih pada laporan keuangan PT.
Kimia Farma tahun buku 2001, hal tersebut berawal dari temuan akuntan publik Hans
Tuanakotta dan Mustofa (HTM) soal ketidakwajaran dalam laporan keuangan kurun semester
I tahun 2001. Mark-up itu senilai Rp 32,7 Milyar, karena dalam laporan keuangan yang
seharusnya laba Rp 99,6 Milyar ditulisnya Rp 132,3 milyar, dengan nilai penjualan bersih Rp
1,42 triliun. Untuk diketahui bahwa yang mengaudit tahun buku 2001 adalah kantor akuntan
HTM itu sendiri, hanya berbeda partner. Pada tahun buku 2001 yang menjadi partner dari
KAP HTM adalah Syamsul Arif, sedangkan yang menjadi partner KAP HTM dalam
pengauditan semester I tahun buku 2002 adalah Ludovicus Sensi W. Menurut pihak PT.
Kimia Farma menduga bahwa ketidakwajaran tersebut mungkin berbeda di pos inventory
stock.
Pihak Bapepam selaku pengawas pasar modal mengungkapkan tentang kasus PT. Kimia
Farma sebagai berikut: Dalam rangka restrukturisasi PT. Kimia Farma Tbk, Ludovicus Sensi
W selaku partner dari KAP HTM yang diberikan tugas untuk mengaudit laporan keuangan
PT. Kimia Farma untuk masa lima bulan yang berakhir 31 Mei 2002, menemukan dan
melaporkan adanya kesalahan dalam penilaian persediaan barang dan jasa dan kesalahan
pencatatan penjualan untuk tahun yang berakhir per-31 Desember 2001. Selanjutnya diikuti
dengan pemberitaan dalam harian Kontan yang menyatakan bahwa kementerian BUMN
memutuskan penghentian proses divestasi saham milik pemerintah di PT. Kimia Farma
setelah melihat adanya indikasi penggelembungan keuntungan dalam laporan keuangan pada
semester I tahun 2002. Berdasarkan hasil pemeriksaan Bapepam diperoleh bukti sebagai
berikut:
1. Terdapat kesalahan penyajian dalam laporan keuangan PT. Kimia Farma, adapun
dampak kesalahan tersebut mengakibatkan overstated laba pada laba bersih untuk
tahun yang berakhir 31 Desember 2001 sebesar Rp 32,7 milyar, yang merupakan
2,3% dari penjualan, dan 24,7% dari laba bersih PT. Kimia Farma Tbk.
2. Selain itu kesalahan juga terdapat pada Unit industri bahan baku, kesalahan berupa
overstated pada:
Unit industri bahan baku, kesalahan berupa overstated pada penjualan sebesar Rp
2,7 miliar.
Unit logistik sentral, kesalahan berupa overstated pada persediaan barang sebesar
Rp 23,9 miliar.
Unit pedagang besar farmasi (PBF), kesalahan berupa overstated pada persediaan
barang sebesar Rp 8,1 miliar.
Kesalahan berupa overstated pada penjualan sebesar Rp 10,7 miliar.
3. Kesalahan-kesalahan penyajian tersebut dilakukan oleh direksi periode 1998 – Juni
2002 dengan cara:
Membuat dua daftar harga persediaan yang berbeda masing-masing diterbitkan
pada tanggal 1 Februari 2002 dan 3 Februari 2002, di mana keduanya merupakan
master price yang telah diotorisasi oleh pihak yang berwenang yaitu Direktur
Produksi PT Kimia Farma. Master price per-3 Februari 2002 merupakan master
price yang telah disesuaikan nilainya (mark up) dan dijadikan dasar sebagai
penentuan nilai persediaan pada unit distribusi PT Kimia Farma per 31 Desember
2001.
Melakukan pencatatan ganda atas penjualan pada unit PBF dan unit bahan baku.
Pencatatan ganda dilakukan pada unit-unit yang tidak di sampling oleh akuntan.
Berdasarkan uraian tersebut tindakan yang dilakukan oleh PT Kimia Farma terbukti
melanggar peraturan Bapepam no. VIII.G.7 tentang pedoman penyajian laporan keuangan.
Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan, terbukti bahwa akuntan yang melakukan
audit laporan keuangan per 31 Desember 2001 PT Kimia Farma telah melakukan prosedur
audit termasuk prosedur audit sampling yang telah diatur dalam SPAP dan tidak ditemukan
adanya unsur kesengajaan membantu manajemen PT. Kimia Farma dalam penggelembungan
keuntungan tersebut. Namun demikian proses audit tersebut tidak berhasil mendeteksi adanya
mark up laba yang dilakukan PT. Kimia Farma.
Sehubungan dengan temuan tersebut, maka sesuai dengan pasal 102 UU nomor 8 tahun
1995 tentang Pasar Modal. Pasal 61 PP no.45 tahun 1995 tentang penyelenggaraan kegiatan
bidang pasar modal maka PT. Kimia Farma Tbk, dikenakan sanksi administratif berupa
denda yaitu sebesar Rp 500 juta. Sesuai pasal 5 huruf N UU no.8 tahun 1995 tentang pasar
modal maka:
Direksi lama PT. Kimia Farma periode 1998 – Juni 2002 diwajibkan membayar
sejumlah Rp 1 milyar untuk disetor ke kas Negara, karena melakukan kegiatan praktik
penggelembungan atas laporan keuangan per-31 Desember 2001.
Ludovicus Sensi W rekan KAP HTM selaku auditor PT. Kimia Farma diwajibkan
membayar sejumlah Rp 100 juta untuk disetor ke kas Negara, karena atas risiko audit
yang tidak berhasil mendeteksi adanya penggelembungan laba yang dilakukan oleh
PT. Kimia Farma tersebut, meskipun telah melakukan prosedur audit sesuai SPAP
dan tidak diketemukan adanya unsur kesengajaan.
Pembahasan
Terjadinya salah saji laporan keuangan yang merupakan indikasi dari tindakan tidak sehat
yang dilakukan oleh manajemen PT. Kimia Farma, yang ternyata tidak dapat terdeteksi oleh
akuntan publik yang mengaudit laporan keuangan pada periode tersebut. Apakah hal ini
merupakan kesalahan dari akuntan publik tersebut ? Padahal akuntan publik tersebut setelah
diperiksa ternyata telah melaksanakan prosedur audit yang sesuai dengan SPAP. Jika melihat
dari SA Seksi 230 paragraf 12 yang menyebutkan:
“Oleh karena pendapat auditor atas laporan keuangan didasarkan pada konsep
pemerolehan keyakinan memadai, auditor bukanlah penjamin dan laporannya tidak
merupakan suatu jaminan. Oleh karena itu, penemuan kemudian salah saji material,
yang disebabkan oleh kekeliruan atau kecurangan, yang ada dalam laporan keuangan,
tidak berarti bahwa dengan sendirinya merupakan bukti (a) kegagalan untuk
memperoleh keyakinan memadai, (b) tidak memadainya perencanaan, pelaksanaan,
atau pertimbangan, (c) tidak menggunakan kemahiran profesional dengan cermat dan
seksama, atau (d) kegagalan untuk mematuhi standar auditing yang ditetapkan Ikatan
Akuntan Indonesia”.
Seorang akuntan publik dalam melaksanakan auditnya pada umumnya berdasarkan
kepada sampling, makanya ketika ditemukan di kemudian hari terdapat kesalahan yang tidak
terdeteksi merupakan hal yang wajar, karena menurut SA Seksi 110 paragraf 1 menyebutkan:
“Tujuan audit atas laporan keuangan oleh auditor independen pada umumnya adalah
untuk menyatakan pendapat tentang kewajaran, dalam semua hal yang material, posisi
keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas, dan arus kas sesuai dengan prinsip
akuntansi yang berlaku umum di Indonesia”.
Dengan melakukan sampling, otomatis terdapat suatu risiko untuk tidak terdeteksinya
suatu kesalahan dalam laporan keuangan yang diaudit. Kalau begitu mengapa akuntan publik
tersebut dikenakan sanksi untuk membayar sebesar 100 juta karena atas risiko audit yang
tidak berhasil mendeteksi adanya penggelembungan laba yang dilakukan oleh PT. Kimia
Farma tersebut ? Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
Menurut UU Pasar Modal tahun 1995, begitu menemukan adanya kesalahan, selambat-
lambatnya dalam tiga hari kerja, akuntan publik harus sudah melaporkannya ke Bapepam.
Maka jika akuntan publik yang tidak dapat mendeteksi adanya kesalahan penyajian tersebut
ternyata baru menyadari adanya kesalahan yang tak terdeteksi tersebut setelah mengeluarkan
opininya tetapi tidak segera melaporkannya dalam periode tiga hari, maka pantaslah akuntan
publik tersebut dikenakan sanksi.
Berkaitan dengan sikap Skeptisme Profesional seorang auditor, sehingga jika akuntan
publik tersebut tidak menerapkan sikap skeptisme profesional dengan seharusnya hingga
berakibat memungkinkannya tidak terdeteksinya salah saji dalam laporan keuangan yang
material yang pada akhirnya merugikan para investor.
Menurut pemaparan kasus di atas, akuntan publik tersebut setelah melalui proses
penyelidikan ternyata tidak ditemukan adanya unsur kesengajaan untuk membantu
manajemen PT. Kimia Farma dalam penggelembungan keuntungan tersebut. Maka hal ini
berarti tidak adanya masalah yang berkaitan dengan independensi seorang auditor, atau
berarti auditor tersebut telah independen dalam melakukan jasa profesionalnya.
Kesimpulan
Pada akhirnya semua hal ini kembali kepada masing-masing individu auditornya dalam
melaksanakan jasa profesionalnya yang menuntut sikap independensi, obyektifitas, integritas
yang tinggi, serta kemampuan profesional dalam bidangnya.
REFERENSI
Duvall, Mell. 2003. Dirty Dids. Pitney Bowes Magazine. (Januari/Februari 2003)
Theodorus M., Tuanakotta. Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif. 2006. Jakarta :
Lembaga Penerbit FE Universitas Indonesia.
Ridwan, Ramadin. Kejahatan Dunia Perbankan. 20 Mei 2010. Diakses 25 Oktober 2017.
http://wartawarga.gunadarma.ac.id /2010/05/kejahatan-dunia-perbankan/
Wulansari, dkk. Salah Saji Laporan Keuangan Pada Kasus Kimia Farma. 2011. Diakses 25
Oktober 2017.
https://www.academia.edu/8857660/CASE_CORPORATE_GOVERNANCE_SALA
H_SAJI_LAPORAN_KEUANGAN_PADA_KASUS_PT_KIMIA_FARMA
Zimbelman, Mark F., et al. Akuntansi Forensik Edisi 4. 2014. Jakarta: Salemba Empat
Howard R. Davia, et al., Accountant’s Guide to: Fraud Detection and Control. hlm. 13.
Samuel A. DiPizza Jr dan Robert G. Eccless, Building Public Trust: The Future of Corporate
Reporting, hlm. IX.
Diagram Wall Street scandals from the year 2000. Diakses 25 Oktober 2017.
http://www.threetwoone.org/diagrams/wallstreetscandals.gif