Professional Documents
Culture Documents
A. Tujuan praktikum
Tujuan dari percobaan “diversivikasi pengolahan ikan menjadi
furikake“ adalah untuk memformulasikan furikake berbasis abon ikan
yang disukai anak-anak.
B. Tinjauan pustaka
Dasar pengawetan atau pengolahan ikan adalah mempertahankan
kesegaran dan mutu ikan selama atau sebaik mungkin. Hampir semua cara
pengawetan atau pengolahan ikan meninggalkan sifat-sifat khusus pada
tiap hasil awetan atau olahan, karena berubahnya sifat-sifat bau (odour),
citarasa (flavor), wujud atau rupa (appearance) dan tekstur (texture) daging
ikan. Pengawetan atau pengolahan ikan juga bertujuan untuk menghambat
atau menghentikan kegiatan zat-zat dan mikroorganisme yang dapat
menimbulkan pembusukan (kemunduran mutu) dan kerusakan. Jadi, pada
dasarnya pengawetan atau pengolahan ikan bertujuan melindungi ikan dari
pembusukan atau kerusakan, karena perubahan yang disebabkan oleh
kegiatan mikroorganisme (jasad renik) perubahan-perubahan lain yang
merugikan. Perubahan ini disebabkan oleh kegiatan enzim (antolisa) dan
bakteri-bakteri pembusuk yang terdapat dalam badan ikan. Perubahan
serupa inilah yang harus dihentikan atau setidak-tidaknya dihambat, agar
ikan dan hasil perikanan lainnya tidak rusak atau busuk sebelum mencapai
konsumen ( R. Moeljanto, 1982).
Furikake adalah bumbu makanan asal Jepang yang berbentuk
butiran, tepung, atau berserat seperti abon. Furikake tidak dibuat sewaktu
ingin dimakan, melainkan dibuat sekaligus dalam jumlah besar dan
dimakan sedikit-sedikit di kemudian hari. Produsen makanan sekarang ini
membuat furikake dalam berbagai macam rasa dan kemasan menarik.
Semua bahan yang ingin dibuat furikake dihancurkan hingga agak halus
dan diberi bumbu. Setelah dikeringkan, isi lain (seperti nori, biji wijen,
atau sayur yang dikeringkan) ditambahkan ke dalam furikake sebagai
penyedap. Furikake segar (nama furikake) adalah variasi dari furikake
yang tidak dikeringkan. Semua bahan-bahan hanya dicampur dan diaduk
menjadi satu. Bahan-bahan untuk furikake segar adalah ikan teri, serutan
katsuobushi, potongan kecil rumput laut, kombu, abon ikan atau makanan
laut lain (Anonim, 2010)
Untuk menggambarkan produk furikake secara mudah adalah
dengan membandingkannya dengan produk serupa di Indonesia yaitu
abon. Produk ini bias ditaburkan diatas nasi, bubur, atau dicampurkan
untuk mempercantik dan memperlezat onigiri. Berbeda dengan abon yang
didominasi oleh daging (hewan darat ataupun ikan), dengan "satu macam"
rasa, maka furikake merupakan campuran yang komposisinya bisa sangat
beragam. Yang hampir selalu ada adalah daging ikan kering, wijen, dan
nori. Jenis ikan yang digunakan dan bahan campurannya bisa apa saja.
Karena dalam formulasinya "tidak ada" yang dominan maka dalam hal
penampilan, furikake sungguh dapat berperan dalam mempercantik
makanan. Disamping itu, kemasan produk ini mayoritas dibuat dengan
sangat "mengundang". Tambahan keunggulan produk ini adalah
penyajiannya sangat mudah, maka tak pelak lagi tingkat konsumsi
furikake sangat tinggi. Dari aspek kesehatan, furikake boleh diandalkan
sebagai "makanan yang kaya". Bagaimana tidak, disamping ikan dan nori
yang keunggulannya sudah diketahui, biji wijen yang hampir selalu
bergabung, bisa dikategorikan sebagai pangan fungsional (Y. Sakagami,
1983).
Abon biasanya terbuat dari daging sapi atau kerbau. Meskipun
demikian, semua jenis daging termasuk daging ikan dapet digunakan
untuk pembuatan abon. Abon tergolong produk olahan daging yang awet.
Untuk mempertahankan mutunya selama penyimpanan, abon dikemas
dalam kantong plastik dan ditutup dengan rapat. Dengan cara demikian
abon dapat disimpan pada suhu kamar selama beberapa bulan ( Herni
Kusantati dkk, 2006).
Abon ikan merupakan salah satu bentuk diversifikasi pengolahan
hasil laut atau perikanan. Pembuatan abon ikan mudah dikerjakan dan
hanya memerlukan peralatan sederhana. Oleh karena itu, dapat dikerjakan
dalam skala industri rumah tangga yang disesuaikan dengan kemampuan
modal, tenaga, dan pemasarannya (Siti Rahayu dan Titiek F. Djaafar,
2010).
Abon ikan yang baik mempunyai rasa yang khas, tidak berbau
amis atau anyir. Dengan rasa yang khas inilah, abon ikan mudah diterima
oleh konsumen. Apalagi dibandingkan dengan ikan segar, abon ikan
mempunyai kandungan protein lebih tinggi dan dapat disimpan lebih lama
tanpa mengalami perubahan kualitas (Ir. Eddy Afrianto dan Ir. Evi
Lifiyawati, 2010).
Komposisi ikan yang sangat bervariasi merupakan refleksi dari
perbedaan kandungan lemaknya. Ikan yang mengandung lemak lebih dari
5% biasanya dagingnya lebih banyak mengandung pigmen (zat warna)
kuning, merah muda atau abu-abu. Ikan dengan kadar lemak rendah
biasanya dagingnya berwarna putih. Tingginya kadar protein sering
mencerminkan tingginya kualitas produk pangan tersebut. Sebaliknya,
semakin tinggi kadar lemaknya menjadikan produk pangan tersebut lebih
cepat mengalami ketengikan dan ditolak oleh konsumen. Perbedaan nilai
organoleptik abon ikan tersebut disebabkan oleh perbedaan komposisi
kimia ikan maupun sifat daging ikan yang digunakan untuk pembuatan
abon. Ikan tongkol lebih banyak menyerap dan mengandung lemak yang
tinggi, sehingga kurang disukai panelis. Sebaliknya, ikan gabus,
sebagaimana halnya dengan ikan nila, yang berkadar lemak rendah,
ratanya 7,1 dan 7,2 (Tjipto Leksono dan Syahrul, 2001).
Ikan Pari yang akan dijadikan abon dipilih yang segar lalu dicuci
dan dibersihkan dari kotoran-kotoran. Setelah bersih, daging disiangi lalu
difilet kemudian direndam dengan garam 5% selama 30 menit. Setelah itu,
Ikan Pari dipotong-potong menjadi bagian yang lebih kecil dan dikukus
bersama daun salam, sereh, dan jahe yang telah dimemarkan selama 30
menit. Sesudah dikukus, Ikan Pari didinginkan lalu dijadikan serat-serat.
Serat daging Ikan Pari dicampur dengan bumbu-bumbu, ketumbar halus,
lengkuas parut, bawang merah, dan bawang putih yang telah dihaluskan.
Selain itu, juga ditambahkan santan kental, garam, dan gula lalu diaduk
rata. Daging selanjutnya digoreng hingga kering dengan api yang kecil.
Daging yang sudah digoreng kemudian dipres dan diurai perlahan-lahan
(Millah Fithrotul dan Sukesi, 2009).
Di Indonesia, terdapat berbagai jenis kacang-kacangan dengan
berbagai warna, bentuk, ukuran dan varietas, yang sebenarnya potensial
untuk menambah zat gizi dalam diet atau menu sehari-hari. Jenis yang
mendominasi pasar adalah kacang kedelai, yang sebagian besar masih
diimpor. Sebenarnya telah banyak usaha yang dilakukan untuk
mengangkat kacang-kacangan lokal Indonesia, seperti kacang kecipir,
kacang tunggak (kacang tolo) kacang jogo dan koro-koroan. Tetapi
hasilnya ternyata masih belum memuaskan. Artinya masih belum
merakyat, apalagi untuk dapat disejajarkan dengan kedelai. Kacang-
kacangan dikonsumsi dalam jumlah besar di seluruh dunia. Masyarakat
Afrika, India, Amerika Tengah dan Selatan mengkonsumsi 50 sampai 150
gram kacang-kacangan per hari. Meskipun belum ada angka pasti,
konsumsi kacangan di Indonesia, kecuali kacang kedelai, masih kecil.
Kacang-kacangan memberikan sekitar 135 kkal per 100 gram bagian yang
dapat dimakan. Jika kita mengkonsumsi kacang-kacangan sebanyak 100
gram (1 ons), maka jumlah itu akan mencukupi sekitar 20 % kebutuhan
protein dan 20 persen kebutuhan serat per hari. Menurut ketentuan
pelabelan internasional, jika suatu bahan/produk pangan dapat
menyumbangkan lebih dari 20 % dari kebutuhan suatu zat gizi per hari,
maka dapat dinyatakan sebagai bahan atau produk pangan yang tinggi
(high) akan zat gizi tersebut. Disamping menghasilkan tepung sebagai
bahan makanan, industri pengolah kacang-kacangan ternyata dapat pula
menghasilkan dan menjual serat makanan, vitamin B, mineral dan
mungkin bahan-bahan yang lebih eksotis, misalnya enzim (Sutrisno
Kusworo, 2010).
C. Metodologi
1. Bahan
a. Daging ikan tuna
b. Serai
c. Daun salam
d. Bawang merah
e. Bawang putih
f. Gula merah
g. Ketumbar
h. Lengkuas
i. Garam
j. Santan
k. Minyak goreng
l. Formulasi Furikake
teri
bubuk kacang koro
kedelai bubuk
kacang polong utuh
bubuk kacang polong
2. Alat
Wajan
Kompor gas
Solet
Piring plastik kecil
Timbangan
Pisau
Sendok
Baskom plastik
3. Cara Kerja
Ikan direbus bersama serai dan daun salam selama 30
menit sampai empuk
Ikan disuir-suir
DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, Eddy Ir dan Ir. Evi Lifiyawati. 2010. Pengawetan dan Pengolahan Ikan.
Kanisius. Jakarta.
Anonim. 2010. Furikake. http://id.wikipedia.org/wiki/Furikake. Diakses pada
tanggal 14 Desember 2010. Pada pukul 13.00 WIB.
Leksono, Tjipto dan Syahrul. 2001. Studi Mutu dan Penerimaan Konsumen
Terhadap Abon Ikan. Jurnal Natur Indonesia III (2): 178– 184, 181.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau.
Millah, Fithrotul dan Sukesii. 2009. Produksi Abon Ikan Pari (Rayfish):
Penentuan Kualitas Gizi Abon. Prosiding Skripsi Semester Gasal
2009/2010, hal 2. Jurusan Kimia Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Kusworo, Sutrisno. 2010. Kacang-Kacangan Sumber Serat Yang Kaya Gizi. E-
book pangan. Indonesia.
Kusantati, Herni. 2006. Pendidikan Keterampilan. PT Gravindo media
Pratama.Jakarta.
Moeljanto, R, DRS. 1982. Penanganan Ikan Segar. Penebar swadaya. Jakarta.
Rahayu, Siti dan Titiek F.Djaafar. 2010. Teknologi Pengolahan Daging Ikan
Cucut. Kanisius. Jakarta.
Sakagami, Y., 1983, Biochemistry Of Marine Algae And Their Application.
Kosheisha-Koseikaku, Tokyo: 90-100. Jepang.
Lampiran