You are on page 1of 26

BAB I PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang Flu burung atau Avian Influenza (AI) merupakan penyakit hewan menular yang terjadi pada unggas dan sifatnya sangat mematikan dan zoonosis (dapat menular pada manusia). Flu burung ini bukan hanya berbahaya bagi hewan (unggas dan babi) tetapi juga bagi manusia. Manusia yang terinfeksi oleh flu burung dapat berakhir dengan kematian. Namun, demikian sebenarnya virus flu burung dapat dicegah penularannya pada manusia jika kita mengetahui karakteristik virus penyebab dan cara pengendaliannya. Kasus flu burung pertama kali ditemukan di Scotlandia pada tahun 1959, sejak saat itu wabah flu burung berjangkit di beberapa Negara Eropa dan Afrika. Belanda, Jerman, Belgia, dan Irlandia serta Afrika Selatan dan sebagian negaranegara Eropa dan Afrika yang terkena wabah ini. Wabah flu burung juga terjadi di belahan benua lainnya seperti di Amerika Serikat, Kanada, dan Australia. Wabah flu burung telah menjadi pandemik. Di Asia, kasus flu burung merupakan salah satu kasus penyakit hewan yang paling menarik perhatian akhr-akhir ini. Ini karena sifat virus penyebabnya yang sangat ganas dan berbahaya jika sampai menular ke manusia. Di Hongkong, kasus flu burung merebak pertama kali pada tahun 1997. Pada saat itu dilaporkan sekitar 18 orang terinfeksi virus avian flu burung, 6 orang di antaranya meninggal dunia. Pada tahun 2001 pemerintah Hongkong telah memusnahkan ribuan ekor unggas yang diindikasikan terserang flu burung. Flu burung juga menyerang Thailand yang menyebabkan kerugian besar pada perunggasan Thailand. Pada akhir 2003 Thailand mendepopulasi (memusnahkan) sekitar satu juta ekor ternak unggasnya. Bukan hanya itu flu burung juga telah menular ke manusia. Hingga Januari 2004, dilaporkan 6 orang warga Thailand positif terinfeksi virus H5N1 penyebab flu burung. Vietnam, Malaysia, Kamboja, Taiwan, Laos, Korea, Cina, Jepang, Pakistan, dan Indonesia adalah negara-negara Asia lainnya yang terkena serangan flu burung.

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi Flu burung atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan avian flu atau avian influenza (AI) adalah penyakit menular yang disebabkan virus influenza A sub tipe H5N1 yang biasanya menyerang unggas tetapi juga dapat menyerang manusia. Virus ini termasuk famili Orthomyxoviridae dan memiliki diameter 90-120 nanometer. Virus avian influenza ini menyerang alat pernapasan, pencernaan dan sistem saraf unggas Secara normal, virus tersebut hanya menginfeksi ternak unggas seperti ayam, kalkun, dan itik. Tetapi walaupun jarang dapat menyerang spesies hewan tertentu selain unggas misalnya babi, kuda, harimau, macan tutul, dan kucing. Walaupun hampir semua jenis unggas dapat terinfeksi virus yang terkenal sangat ganas ini, tetapi diketahui yang jauh lebih rentan adalah jenis unggas yang diternakkan secara massal seperti ayam, puyuh, dan itik. 2.2 Pravelensi Sampai bulan Juni 2007 sebanyak 313 orang di seluruh dunia terjangkit virus AI dengan 191 di antaranya meninggal dunia (CFR=61%). Kasus penyakit ini meningkat cepat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2003 tercatat terdapat 4 kasus, kemudian berkembang menjadi 46 kasus (2004), 97 kasus (2005), 116 kasus (2006), dan pada tahun 2007 per tanggal 15 Juni sudah dilaporkan terjadi 50 kasus dengan angka kematian 66%. Negara yang terjangkit sebagian besar adalah negara-negara di Asia (Thailand, Vietnam, Kamboja, China, dan Indonesia), tetapi saat ini sudah menyebar ke Irak dan Turki. Kasus AI di Indonesia bermula dari ditemukannya kasus pada unggas di pekalongan, Jawa Tengah pada bulan agustus 2003. Sampai tahun 2006, penyakit ini sudah menyerang unggas di 29 provinsi yang mencakup 291 kabupaten/kota. Daerah yang memiliki populasi unggas yang padat dan diikuti populasi penduduk yang padatlah yang akan mengalami banyak kasus pada manusia. Di Indonesia, sejak juli 2005 sampai pertengahan Juni 2007 tercatat terdapat 100 kasus dengan 80 kematian (CFR=80%). Sebagian besar kasus berasal dari Jawa dan

Sumatera. Propinsi terbanyak yang terjangkit penyakit ini adalah Jawa Barat,DKI Jakarta, dan Banten. Penyakit ini sudah terjangkit di 11 provinsi dan 37 kabupaten/kota. 2.3 Etiologi Virus influenza adalah virus RNA berselubung (envelope), memiliki genom yang bersegmen (terdiri dari 8 gena) dan menunjukan keanekaragaman antigenik yang sangat luas. Penyebab flu burung adalah virus dari family Orthomyxoviridae yang terdiri dari 3 tipe, yaitu A,B,dan C. Virus Influenza B dan C dapat menyebabkan penyakit pada manusia dengan gejala ringan dan tidak fatal. Virus Influenza A dibedakan menjadi banyak suubtipe berdasarkan petanda berupa tonjolan protein pada permukaan sel virus yaitu Hemaglutinin (H) merupakan glikoprotein permukaan yang berikatan dengan residu asam sialat pada glikoprotein sel epitel saluran nafas. Ikatan ini sangat penting untuk mengawali suatu infeksi tanpa ikatan tersebut tidak akan terjadi infeksi.Setelah replikasi virus, virion keturunanya juga masih terikat pada sel inang (host). Selanjutnya Neuromidase (N) akan memutuskan ikatan itu dan membebaskan virion-virion pada sekret saluran nafas yang dimediasi oleh H(7,8). Baik H maupun N mampu merangsang terbentuknya antibodi pada manusia dan inang. Diantara virus Influenza, sampai saat ini diketahui ada 15 subtipe H dan 9 subtipe N. Subtipe yang lazim dijumpai manusia adalah dari kelompok H1,H2,H3 serta N1,N2 dan disebut human Influenza. Dua di antara subtype tersebut dikenal sangat ganas, yakni H5 dan H7 Strain virus yang menyebabkan mewabahnya flu burung di Asia termasuk di Indonesia adalah strain H5N1. Cepatnya penyebaran virus flu burung ini karena ia memiliki daya replikasi (berbiak) tinggi sehingga dapat berkembang sangat cepat dalam tubuh. Virus ini menyerang alat pernapasan, alat pencernaan, dan sistem saraf unggas. Virus H5N1 bersifat ganas dan mematikan, tidak hanya menyerang unggas tetapi juga ternak lainnya babi. Bahkan kucing pun dapat diserangnya. Virus AI pun bersifat zoonosis (dapat menular ke manusia) dengan akibat virus H5N1 tahan pada suhu rendah tetapi tidak tahan pada suhu tinggi. Virus ini dapat bertahan hidup di air hingga empat hari pada sushu 22C dan lebih dari 30 hari pada suhu 0C. di dalam kotoran dan tubuh unggas yang sakit virus dapat bertahan lebih lama, tapi mati pada pemanasan 600C selama 30 menit. Semakin tinggi suhu, virus semakin mudah mati. Masa inkubasi virus ini adalah 1-3 hari.

2.4

Patogenesis

2.5

Cara penularan Penularan Flu burung (H5N1) pada unggas terjadi secara cepat dengan kematian

tinggi. Penyebaran penyakit ini terjadi diantara populasi unggas satu pertenakan, bahkan dapat menyebar dari satu pertenakan ke peternakan daerah lain. Sedangkan penularan penyakit ini kepada manusia dapat melalui udara yang tercemar virus tersebut, baik yang berasal dari tinja, air mata atau sekreta unggas yang terserang Flu Burung. Adapun orang yang mempunyai resiko besar untuk terserang virus flu burung (H5N1) ini adalah pekerja peternakan unggas, penjual dan penjamah unggas. Penularan penyakit ini dapat terjadi melalui udara (air borne) dan melalui kontak langsung dengan unggas sakit atau kontak dengan bahan bahan infeksius seperti tinja, urin, dan sekret saluran napas unggas sakit. A. Penularan antar ternak unggas Seekor unggas yang terinfeksi virus H5N1 akan menularkannya dalam waktu singkat. Jika semua unggas peliharaan memiliki daya tahan yang bagus berada dalam kondisi buruk maka flu burung dapat mematikan. Secara singkat, penyakit flu burung dapat ditularkan dari unggas ke unggas lain atau dari peternakan ke peternakan lainnya dengan cara sebagai berikut: a. Kontak langsung dari unggas terinfeksi dengan hewan yang peka. b. Melalui lendir yang berasal dari hidung dan mata. c. Melalui kotoran (feses) unggas yang terserang flu burung. Kotoran unggas yang terserang flu burung mengandung virus penyebab flu burung. Bahan organik yang terdapat dalam kotoran merupakan sumber nutrisi bagi virus sehingga virus dapat bertahan hidup lebih lama di luar tubuh unggas. Kotoran dapat menempel pada maka infeksi tidak akan menyebabkan kematian, dengan kata lain virus tidak aktif. Sebaliknya, jika kondisi unggas

peralatan ernak seperti tempat pakan, minum, rak telur dan juga pada dinding kandang. Kotoran kering dapat bercampur dengan udara dan terhirup oleh unggas lain. Kesemuanya ini menyebabkan virus mudah menyebar dengan sangat cepat. d. Lewat manusia melalui sepatu dan pakaian yang terkontaminasi dengan virus. e. Melalui pakan, air, dan peralatan kandang yang terkontaminasi. f. Melalui udara karena memiliki peran penting dalam penularan dalam satu kandang, tetapi memiliki peran terbatas dalam penularan antar kandang. g. Melalui unggas air yang dapat berperan sebagai sumber (reservoir) virus dari dalam saluran intestinal dan dilepaskan lewat kotoran. B. Penularan dari ternak ke manusia Faktor yang memengaruhi penularan flu burung dari ternak ke manusia adalah jarak dan intensitas dalam aktivitas yang berinteraksi dengan kegiatan peternakan. Semakin dekat jarak peternakan yang terkena wabah virus dengan lingkungan manusia maka peluang untuk menularnya virus bisa semakin besar. Penularan virus ke manusia lebih mudah terjadi bila orang tersebut melakukan kontak langsung dengan aktivitas peternakan. Orang yang mempunyai risiko tinggi terserang flu burung adalah pekerja peternakan unggas, penjual, penjamah unggas, sampai ke dokter hewan yang bertugas memeriksa kesehatan ternak di peternakan Karakteristik lain dari virus ini adalah kemampuannya untuk bertukar,bercampur, dan bergabung dengan virus influenza strain lain sehingga menyebabkan munculnya strain baru yang bisa berbahaya bagi manusia. Mekanisme ini juga menyebabkan kesulitan dalam membuat vaksin untuk program penanggulangan. Mekanisme penularan flu burung pada manusia melalui beberapa cara : a) Virus unggas liar unggas domestik manusia. b) Virus unggas liar unggas domestik babi manusia. c) Virus unggas liar unggas domestik (dan babi) manusia manusia. C. Penularan antar manusia Penularan flu burung antar manusia belum dapat dibuktikan, tetapi tetap perlu diwaspadai. Hal ini dikarenakan virus cepat bermutasi dan beradaptasi dengan manusia

sehingga memungkinkan adanya varian baru dari virus flu burung yang dapat menular antar manusia. 2.6 Gejala flu burung Flu burung pada ternak Gejala klinis flu burung pada unggas mirip dengan gejala newcastle disease, atau di indonesia disebut penyakit tetelo atau pileren yang disebabkan oleh paramyxovirus. Gejala Klinis ternak unggas yang terinfeksi flu burung sebagai berikut: Jengger, pial, dan kulit perut yang tidak ditumbuhi bulu bewarna biru keunguan. Pembengkakan di sekitar kepala dan muka. Ada cairan yang keluar dari hidung dan mata. Perdarahan di bawah kulit (subkutan) Perdarahan titik (ptechie) pada daerah dada, kaki, dan telapak kaki. Batuk, bersin, ngorok. Diare. Tingkat kematian tinggi.

Flu burung pada manusia a. Influenza tanpa komplikasi Gejala awal influenza pada umumnya berupa demam, nyeri kepala, nyeri otot dan malaise yang muncul dengan onset mendadak, disertai gejala-gejala penyakit saluran nafas seperti batuk-batuk atau nyeri tenggorokan. Namun influenza juga menunjukan spektrum gejala yang beragam, mulai dari gejala respirasi tanpa demam yang menyerupai selesma, hingga gejala dan tanda sistemik yang hanya sedikit sekali mengindikasikan keterlibatan saluran nafas Pemeriksaan fisik pada umumnya tidak menunjukan kelainan berarti pada influenza tanpa komplikasi. Penderita mengalami demam, hiperemi faring, dan pemmbesaran ringan kelenjar getah bening leher (terutama pada usia muda). Pemeriksaan dada juga tidak menunjukan kelainan, walaupun pada beberapa penderita didapatkan gangguan ventilasi ringan dan peningkatan gradien oksigen alveolar-arterial.

Penderita tanpa komplikasi biasanya berangsur-angsur membaik dalam 2-5 hari, namun kadang-kadang dapat berlanjut hingga lebih dari satu minggu. Beberapa penderita mengalami kelemahan/kelelahan (postinfluenza asthenia) yang menetap hingga beberapa minggu. b. Influenza dengan komplikasi Komplikasi yang paling sering dijumpai pneumonia, namun dapat pula terjadi komplikasi yang mengenai otot dan ssp. Pneumonia Komplikasi ini sering terjadi pada penderita tertentu yang memiliki dasar penyakit kronis dan dikategorikan beresiko tinggi, meliputi: penderita penyakit paru-paru atau kardiovaskular, DM, penyakit ginjal, hemoglo-binopati, mendapatkan obat imunosupresif, penderita berusia >50 tahun. Jenis pneumonia dapat dikelompokan menjadi pneumonia influenza virus (primer), pneumonia bakterial (sekunder), atau campuran ari keduanya. Pneumonia influenza virus primer terjadi bila infeksi virus langsung menyerang paru-paru dan menyebabkan pneumonia yang parah. Pneumonia jenis ini harus dicurigai bila secara klinis gejala influenza tidak kunjung membaik atau menjadi semakin parah. Demam tinggi, sesak nafas, dan bahkan sianosis sering dijumpai. Pneumonia ini adalah komplikasi influenza yang paling parah. Virus influenza menyerang epitel trakeobronkial, menyebabkan berkurangnya jumlah sel dan rusaknya silia. Hal ini menjadi predisposisi terjadinya infeksi bakterial sekunder. Bakteri patogen yang sering dijumpai Streptococus pneumonia, disusul oleh Staphylococua Aureus, dan H.Influenza. Gambaran klinis utama pneumonia bakterial sekunder adalah meningkatnya kembali demam dan gejala-gejala pernafasan setelah pada awalnya perbaikan. Didapatkan demam tinggi, batuk, dahak, purulen, dan gambaran infiltrat paru pada foto thoraks. Miositis dan rabdomiolisis Kedua komplikasi ini terutama sering didapatkan pada anak-anak. Mialgia merupakan gejala yang menonjol, tetapi miositis jarang ditemui. Patogenesis masih belum sepenuhnya dipahami, namun beberapa kemungkinan,antara lain: invasi langsung oleh virus pada sel otot, pelepasan sitokin miotoksik sebagai reaksi terhadap infeksi

virus atau proses imunologis yang terjadi akibat infeksi virus yang menyebabkan kerusakan otot. Gejala utama miositis akut berupa rasa nyeri pada otot yang terkena. Serum creatinin phosphokinase (CK) sedikit meningkat. Sindroma Reye Merupakan komplikasi influenza ekstrapulmonar yang sebernya lebih banyak dijumpai pada infeksi virus influenza B. Lebih sering mengenai anak usia 2-16 tahun. Gejala berupa mual,muntah selama 1-2 hari, diikuti gejala dan tanda gangguan ssp seperti perubahan status mental, kelelahan umum, delirium, koma, kejang. Didapatkan hepatomegali, peningkatan SGOT/SGPT, LDL, dan peningkatan ringan bilirubin serum serta amonia. Tatalaksana terpenting yaitu mengatasi edema otak, dan hipoglikemia. Gejala SSP Kelainan berupa ensefalitis, transverse myelitis, aseptic meningitis, dan sindroma Guillain-Bare, walaupun keterkaitan etiologis antara influenza dengan kelainan ssp belu sepenuhnya mantap. 2.7 Diagnosis Avian Influenza Selama wabah influ a) Kasus tersangka (possible cases) 1) Demam >380C, batuk, nyeri tenggorokan, dan 2) Salah satu kriteria berikut : a.Pernah kontak dengan penderita AI
9

b.Kurang dari satu minggu terakhir pasien pernah mengunjung peternakan di daerah HPAI c.Bekerja di laboratorium dan kontak dengan sampel dari tersangka AI. b) Kasus mungkin (probable cases) 1) Possible cases, atau 2) Hasil laboratorium tertentu positif untuk virus AI dengan antibody monoclonal H5, atau 3) Tidak terbukti adanya penyebab lain. c) Kasus pasti (confirmed cases) 1) Hasil kultur virus H5N1, atau 2) Pemeriksaan PCR influenza H5 positif, atau 3) Peningkatan titer antibodi spesifik H5 sebesar empat kali. Pemeriksaan laboratorium : 1) Mengisolasi virus (usap tenggorok, tonsil, faring) 2) Tes serologi

3) Merujuk ke laboratorium litbangkes. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pengujian agar gell precipitation (AGP). Penentuan subtype virus dilakukan dengan pengujian haemaglutination inhibition (HI).

Penanggulangan flu burung Penanggulangan flu burung pada ternak Virus flu burung yang dapat menyerang pada hewan saat ini belum diketahui obat maupun vaksin yang tepat untuk mengobatinya. Pemberian obat maupun vaksin dilakukan lebih ke arah pencegahan supaya tidak menular kepada hewan lain maupun manusia di sekitarnya. Beberapa langkah yang dapat ditempuh dalam penanggulangan flu burung antara lain sebagai berikut: 1. Biosekuriti Disebut juga keamanan hayati, yaitu perlakuan yang ditujukan untuk menjaga keamanan hayati demi pemeliharaan kesehatan dan memperkecil ancaman terhadap individu yang dilindungi. Usaha ini antara lain: a. Membatasi secara ketat lalu lintas unggas atau ternak, produk unggas, pakan, kotoran, bulu, dan alas kandang. b. Membatasi lalu lintas pekerja atau orang dan kendaraan keluar masuk peternakan. c. Peternak dan orang yang hendak masuk peternakan harus memakai pakaian pelindung seperti masker, kaca mata plastik, kaos tangan, dan sepatu. d. Mencegah kontak antara unggas dengan burung liar.

2. Depopulasi Depopulasi adalah tindakan pemusnahan unggas secara selektif di peternakan yang tertular virus flu burung. Tindakan ini dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit lebih luas. Cara pemusnahan unggas yang terinfeksi virus flu burung adalah menyembelih semua unggas yang sakit dan yang sehat dalam satu kandang (peternakan). Selain itu, dapat juga dilakukan dengan cara disposal, yaitu membakar dan mengubur unggas mati, sekam dan pakan yang tercemar, serta bahan dan peralatan yang terkontaminasi.

3. Vaksinasi Dilakukan pada semua jenis unggas yang sehat di daerah yang telah diketahui ada virus flu burung. Vaksin yang digunakan adalah vaksin inaktif (killed vaccine) yang resmi dari pemerintah.

Penanggulangan flu burung pada manusia Flu burung pada manusia belum ada obatnya. Meskipun tidak semua penderita mengalami kematian, flu burung tetap harus diwaspadai karena dikhawatirkan virus ini akan mengalami mutasi menjadi lebih ganas. Berikut ini beberapa tindakan untuk mewaspadai flu burung: Berolahraga secara teratur, sehingga fisik sehat. Makan makanan yang bergizi, agar dapat menyuplai energi untuk pembentukan kekebalan tubuh yang optimal. Mengkonsumsi produk unggas yang benar-benar sudah matang. hindari berkunjung ke peternakan. Seringlah mencuci tangan dan hindari meletakkan tangan di hidung dan mulut. Membiasakan hidup bersih dan menjaga kebersihan lingkungan.

Cukup istirahat.

Jika ada yang terkena flu burung di sekitar kita maka langkah yang dapat diambil adalah: Tidak panik, tapi tetap waspada. Membawa penderita ke dokter atau rumah sakit terdekat. Melaporkan pada pihak terkait, seperti Dinas Peternakan atau Dinas Kesehatan setempat supaya ditindaklanjuti. Tidak mengucilkan keluarga penderita karena keluarga penderita belum tentu tertular. Selain itu belum ada bukti bahwa flu burung menular antar manusia.

Penanggulangan di rumah sakit

Penderita dirawat di ruang isolasi selama 7 hari (masa penularan). Oksigenasi, dengan mempertahankan saturasi O2 > 90 % Hidrasi Antibiotika, anti inflamasi , obat obatan imunomodulator Terapi simptomatis untuk gejala flu, seperti analgetika / antipiretika, mukolitik, dekongestan.

Pencegahan flu burung Flu burung belum ada obatnya. Upaya yang dilakukan hanya bersifat pencegahan dan pertolongan pertama. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan pencegahan luar dan dalam tubuh. 1). Pencegahan Luar Pencegahan luar bertujuan untuk mencegah penularan dari lingkungan agar tidak masuk ke dalam tubuh. Tindakannya adalah: Setiap orang yang berhubungan dengan bahan yang berasal dari unggas harus menggunakan pelindung.

Memusnahkan unggas yang terkena flu burung. Peternakan harus dijauhkan dari perumahan untuk mengurangi resiko penularan. Tidak mengkonsumsi produk unggas dari peternakan yang terkena wabah flu burung. Tetap terapkan pola hidup sehat

2). Pencegahan Dalam Pencegahan dalam dilakukan dengan mengonsumsi obat dan makanan untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Obat Obat yang direkomendasikan untuk mencegah terinfeksi flu burung adalah obat antiviral misalnya amantadine dan rimantadine dan penghambat neurominidase misalnya oseltamivir dan zanimivir. Obat ini digunakan dalam pencegahan dan pengobatan influenza di beberapa Negara dan diperkirakan dapat juga mengatasi penyakit flu burung. Makanan Mengkonsumsi makanan yang banayak mengandung serat dan kandungan antioksidan tinggi seperti buah dan sayuran.

Dengan melaksanakan upaya pencegahan diatas diharapkan kita semua dapat terhindar dari penyakit flu burung ini.

Pemeriksaan Penunjang Diagnostik a. Pemeriksaan Laboratorium Setiap pasien yang datang dengan gejala klinis seperti di atas dianjurkan untuk sesegera mungkin dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan darah rutin (Hb, Leukosit, Trombosit, Hitung Jenis Leukosit), spesimen serum, aspirasi nasofaringeal, apus hidung dan tenggorok untuk konfirmasi diagnostik. Diagnosis flu burung dibuktikan dengan : 1. Uji RT-PCR (Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction) untuk H5. 2. Biakan dan identifikasi virus Influenza A subtipe H5N1. 3. Uji Serologi : 3.1. Peningkatan >4 kali lipat titer antibodi netralisasi untuk H5N1 dari spesimen konvalesen dibandingkan dengan spesimen akut ( diambil <7 hari setelah awitan gejala penyakit), dan titer antibodi netralisasi konvalesen harus pula >1/80. 3.2.Titer antibodi mikronetralisasi H5N1 >1/80 pada spesimen serum yang diambil pada hari ke >14 setelah awitan (onset penyakit) disertai hasil positif uji serologi lain, misalnya titer HI sel darah merah kuda >1/160 atau western blot spesifik H5 positif. Pemeriksaan lain dilakukan untuk tujuan mengarahkan diagnostik ke arah kemungkinan flu burung dan menentukan berat ringannya derajat penyakit . Pemeriksaan yang dilakukan adalah : - Pemeriksaan Hematologi : Hemoglobin, leukosit, trombosit, hitung jenis leukosit, limfosit total. Umumnya ditemukan leukopeni, limfositopeni dan trombositopeni. - Pemeriksaan Kimia darah : Albumin, Globulin, SGOT, SGPT, Ureum, Kreatinin, Kreatin Kinase, Analisis Gas Darah. Umumnya dijumpai penurunan albumin, peningkatan SGOT dan SGPT, peningkatan ureum dan kreatinin, peningkatan Kreatin Kinase, Analisis Gas Darah dapat normal atau abnormal. Kelainan laboratorium sesuai dengan perjalanan penyakit dan komplikasi yang ditemukan. b. Pemeriksaan Radiologik

Pemeriksaan foto toraks PA dan Lateral harus dilakukan pada setiap tersangka flu burung. Gambaran infiltrat di paru menunjukkan bahwa kasus ini adalah pneumonia. Pemeriksaan lain yang dianjurkan adalah pemeriksaan CT Scan untuk kasus dengan gejala klinik flu burung tetapi hasil foto toraks normal sebagai langkah diagnostik dini. c. Pemeriksaan Post Mortem Pada pasien yang meninggal sebelum diagnosis flu burung tertegakkan, dianjurkan untuk mengambil sediaan postmortem dengan jalan biopsi pada mayat (necropsi), spesimen dikirim untuk pemeriksaan patologi anatomi dan PCR. Pada dasarnya penatalaksanaan flu burung (AI) sama dengan influenza yang disebabkan oleh virus yang patogen pada manusia. A. Penatalaksanaan Umum 1. Pelayanan di Fasilitas Kesehatan non Rujukan Flu Burung Pasien suspek flu burung langsung diberikan Oseltamivir 2 x 75 mg (jika anak, sesuai dengan berat badan) lalu dirujuk ke RS rujukan flu burung. Untuk puskesmas yang terpencil pasien diberi pengobatan oseltamivir sesuai skoring di bawah ini, sementara pada puskesmas yang tidak terpencil pasien langsung dirujuk ke RS rujukan. Kriteria pemberian oseltamivir dengan sistem skoring, dimodifikasi dari hasil pertemuan workshop Case Management & pengembangan laboratorium regional Avian Influenza, Bandung 20 23 April 2006 Skor Gejala Demam RR Ronkhi Leukopeni Kontak Jumlah <380C N Tidak ada Tidak ada Tidak ada >380C >N ada ada ada 1 2

Skor : 6 7 = evaluasi ketat, apabila meningkat (>7) diberikan oseltamivir

> 7 = diberi oseltamivir Batasan Frekuensi Napas : < 2bl = > 60x/menit 2bl - <12 bl = > 50x/menit >1 th - <5 th = > 40x/menit 5 th - 12 th = > 30x/menit >13 = > 20x/menit Pada fasilitas yang tidak ada pemeriksaan leukosit maka pasien dianggap sebagai leukopeni (skor = 2) Pasien ditangani sesuai dengan kewaspadaan standar 2. Pelayanan di Rumah Sakit Rujukan Pasien Suspek H5N1, Probabel, dan Konfirmasi dirawat di Ruang Isolasi. Petugas triase memakai APD, kemudian segera mengirim pasien ke ruang pemeriksaan. Petugas yang masuk ke ruang pemeriksaan tetap mengunakan APD dan melakukan kewaspadaan standar. Melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik. Pemeriksaan laboratorium sesuai dengan bab III.B.2.a, dan foto toraks. Setelah pemeriksaan awal, pemeriksaan rutin (hematologi dan kimia) diulang setiap hari sedangkan HI diulang pada hari kelima dan pada waktu pasien pulang. Pemeriksaan PCR dilakukan pada hari pertama, kedua, dan ketiga perawatan. Pemeriksaan serologi dilakukan pada hari pertama dan diulang setiap lima hari. Penatalaksanaan di ruang rawat inap Klinis 1. Perhatikan : - Keadaan umum - Kesadaran - Tanda vital (tekanan darah, nadi, frekuensi napas, suhu). - Bila fasilitas tersedia, pantau saturasi oksigen dengan alat pulse oxymetry. 2. Terapi suportif : terapi oksigen, terapi cairan, dll. B. Profilaksis Menggunakan Oseltamivir Perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya penularan dari manusia ke manusia, namun penggunaan profilaksis oseltamivir sebelum terpajan tidak dianjurkan. Rekomendasi saat ini oseltamivir diberikan pada petugas yang terpajan pada pasien yang terkonfirmasi dengan

jarak < 1 m tanpa menggunakan APD. Bagi mereka yang terpajan lebih 7 hari yang lalu, profilaksis tidak dianjurkan. Kelompok risiko tinggi untuk mendapat profilaksis adalah : Petugas kesehatan yang kontak erat dengan pasien suspek atau konfirmasi H5N1 misalnya pada saat intubasi atau melakukan suction trakea, memberikan obat dengan menggunakan nebulisasi, atau menangani cairan tubuh tanpa APD yang memadai. Termasuk juga petugas lab yang tidak menggunakan APD dalam menangani sampel yang mengandung virus H5N1. Anggota keluarga yang kontak erat dengan pasien konfirmasi terinfeksi H5N1. Dasar pemikirannya adalah kemungkinan mereka juga terpajan terhadap lingkungan atau unggas yang menularkan penyakit. C. Antiviral 1. Pengobatan Antiviral diberikan secepat mungkin (48 jam pertama) : Dewasa atau anak 13 tahun Oseltamivir 2x75 mg per hari selama 5 hari. Anak > 1 tahun dosis oseltamivir 2 mg/kgBB, 2 kali sehari selama 5 hari. Dosis oseltamivir dapat diberikan sesuai dengan berat badan sbb : > 40 kg : 75 mg 2x/hari > 23 40 kg : 60 mg 2x/hari > 15 23 kg : 45 mg 2x/hari 15 kg : 30 mg 2x/hari Pada percobaan binatang tidak ditemukan efek teratogenik dan gangguan fertilitas pada penggunaan oseltamivir. Saat ini belum tersedia data lengkap mengenai kemungkinan terjadi malformasi atau kematian janin pada ibu yang mengkonsumsi oseltamivir. Karena itu penggunaan oseltamivir pada wanita hamil hanya dapat diberikan bila potensi manfaat lebih besar dari potensi risiko pada janin. 2. Profilaksis Profilaksis 1x75 mg diberikan pada kelompok risiko tinggi terpajan sampai 7-10 hari dari pajanan terakhir. Penggunaan profilaksis jangka panjang dapat diberikan maksimal hingga 68 minggu sesuai dengan profilaksis pada influenza musiman. D. Pengobatan lain Antibiotik spektrum luas yang mencakup kuman tipikal dan atipikal (lihat lampiran 2 petunjuk penggunaan antibiotik).

Metilprednisolon 1-2 mg/kgBB IV diberikan pada pneumonia berat, ARDS atau pada syok sepsis yang tidak respons terhadap obat-obat vasopresor. Terapi lain seperti terapi simptomatik, vitamin, dan makanan bergizi. Rawat di ICU sesuai indikasi. E. Perawatan Intensif Kriteria pneumonia berat; jika dijumpai salah satu di bawah ini : 1. Frekuensi napas > 30 menit. 2. PaO2/FiO2 < 300. 3. Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral 4. Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus 5. Tekanan sistolik < 90 mmHg 6. Tekanan diastolik < 60 mmHg 7. Membutuhkan ventilasi mekanik 8. Infiltrat bertambah > 50% 9. Membutuhkan vasopresor > 4 jam (septik syok) 10. Serum kreatinin 2 mg/dl. Kriteria perawatan di ruang rawat intensif. ( ICU ) a. Gagal Napas Kalau terjadi gangguan ventilasi dan perfusi, jika pada pemeriksaan AGD ( Analisis Gas Darah ) ditemukan : - PaCO2 > 60 torr - Ratio Pa O2/Fi O2 : < 200 untuk ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome) < 300 untuk ALI (Acute Lung Injury) - Frekuensi napas > 30 X menit b. Syok (dapat hipovolemik, distributif, kardiogenik ataupun obstruktif ) Tekanan darah sistolik < 90 mmHg (dewasa) atau untuk anak Tekanan Arteri Rata-rata (TAR) < 50 mmHg, yang telah dilakukan resusitasi cairan dan membutuhkan inotropik / vasopresor > 4 jam. Sebaiknya dengan menggunakan kateter vena sentral. c. a + b memerlukan bantuan ventilator mekanik. d. Jika memakai ventilator mekanik, maka dianjurkan dengan menggunakan respirator dengan pressure cycle, dengan pengaturan awal : Mode : Pressure Control Ventilation Volume Tidal : 6 8 cc / kg Berat Badan

PEEP > 5 Cm H20 Frekuensi Napas : 12 X /menit Fi O2 : 1.0 (100 %) P insp (Tekanan Inspirasi) : Mulai dari 10 Cm H20 Mutlak dilakukan pemeriksaan AGD 30 menit setelah setting awal. Sasaran yang ingin dicapai adalah mempertahankan PaO2 di atas 100 torr dan Sat O2 diatas 95% dengan FiO2 dibawah 60%. e. Dapat juga digunakan NIPPV (Non Invasive Positive Pressure Ventilation), pada pasien dengan kesadaran compos mentis. f. Dapat disapih dari respirator kalau: 1. Keadaan Umum pasien sudah membaik, kesadaran membaik tanpa sedasi. 2. Nutrisi adekuat dengan status cairan adekuat. 3. Bebas infeksi. 4. Hemodinamik stabil tanpa inotropik atau vasopressor. 5. Status asam basa dan elektrolit stabil. 6. Tidak ada bronkospasme. 7. Oksigenasi baik dengan FiO2< 0.5 dengan PEEP < 5 CmH2O 8. Weaning Parameter : - Frekuensi Pernapasan/Vt < 100. - Frekuensi Pernapasan : 30 X/menit. - Vt : 6 8 CC/kgbb. Indikasi keluar dari ICU. Setelah 24 jam setelah pasien disapih dan diekstubasi tanpa adanya kelainan baru maka pasien dapat dipindahkan ke ruangan. F. Kriteria pindah rawat dari ruang isolasi ke ruang perawatan biasa : - Terbukti bukan kasus flu burung. - Untuk kasus PCR positif dipindahkan setelah PCR negatif. - Setelah tidak demam 7 hari. - Pertimbangan lain dari dokter. G. Kriteria kasus yang dipulangkan dari perawatan biasa : - Tidak panas 7 hari dan hasil laboratorium dan radiologi menunjukkan perbaikan. - Pada anak 12 tahun dengan PCR positif, 21 hari setelah awitan (onset) penyakit. - Jika kedua syarat tak dapat dipenuhi maka dilakukan pertimbangan klinik oleh tim dokter yang merawat.

H. Perawatan Tindak Lanjut - Pasien yang sudah pulang ke rumah diwajibkan kontrol di poliklinik Paru / Penyakit Dalam / Anak RS terdekat. - Kontrol dilakukan satu minggu setelah pulang yaitu foto toraks dan laboratorium dan uji lain yang ketika pulang masih abnormal.

PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI Flu burung berpotensi untuk berkembang menjadi pandemi, oleh karena itu pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan hal yang sangat penting dalam penanggulangan flu burung. Dalam referat ini akan diuraikan tentang universal precautions secara umum, kemudian penerapannya pada transportasi pasien, perawatan di ruang isolasi dan ICU. A. Pengertian Sesuai dengan rekomendasi WHO dan CDC tentang kewaspadaan isolasi untuk pasien flu burung, kewaspadaan yang perlu dilakukan meliputi: 1. Kewaspadaan standar Perhatikan kebersihan tangan dengan mencuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien maupun alat-alat yang terkontaminasi sekret pernapasan. 2. Kewaspadaan kontak Gunakan sarung tangan dan gaun pelindung selama kontak dengan pasien. Gunakan peralatan terpisah untuk setiap pasien, seperti stetoskop, termometer, tensimeter, dan lain-lain 3. Perlindungan mata Gunakan kacamata pelindung atau pelindung muka, apabila berada pada jarak 1 (satu) meter dari pasien. 4. Kewaspadaan airborne Tempatkan pasien di ruang isolasi airborne, Gunakan masker N95 bila memasuki ruang isolasi. B. Ruang perawatan isolasi Untuk mencegah penyebaran virus flu burung di rumah sakit, semua pasien flu burung mulai dari kasus suspek hingga kasus terkonfirmasi harus dirawat di ruang isolasi dengan menerapkan isolasi ketat (strict barrier). Ruang Perawatan isolasi terdiri dari : Ruang ganti umum

Ruang bersih dalam Stasi perawat Ruang rawat pasien Ruang dekontaminasi Kamar mandi petugas Prinsip kewaspadaan airborne harus diterapkan di setiap ruang perawatan isolasi yaitu: Ruang rawat harus dipantau agar tetap dalam tekanan negatif dibanding tekanan di koridor. Pergantian sirkulasi udara 6-12 kali perjam Udara harus dibuang keluar, atau diresirkulasi dengan menggunakan filter HEPA (HighEfficiency Particulate Air) Setiap pasien harus dirawat di ruang rawat tersendiri. Pada saat petugas atau orang lain berada di ruang rawat, pasien harus memakai masker bedah (surgical mask) atau masker N95 (bila mungkin). Ganti masker setiap 4-6 jam dan buang di tempat sampah infeksius. Pasien tidak boleh membuang ludah atau dahak di lantai - gunakan penampung dahak/ludah tertutup sekali pakai (disposable). C. Standar Penggunaan Alat Perlindungan Diri (APD) Mengenakan pakaian pelindung a. Persiapan sarana - Baju operasi yang bersih, rapi (tidak robek) dan sesuai ukuran badan. - Sepatu bot karet yang bersih, rapih (tidak robek) dan sesuai ukuran kaki. - Sepasang sarung tangan DTT (Desinfeksi Tingkat Tinggi) atau steril ukuran pergelangan dan sepasang sarung bersih ukuran lengan yang sesuai dengan ukuran tangan. - Sebuah gaun luar dan apron DTT dan penutup kepala yang bersih. - Masker N95 dan kaca mata pelindung - Lemari berkunci tempat menyimpan pakaian dan barang barang pribadi. b. Langkah awal saat masuk ke ruang perawatan isolasi, masuk kedalam ruang bersih luar. Lakukan hal sebagai berikut: - Lepaskan cincin, jam atau gelang - Lepaskan pakaian luar - Kenakan baju operasi sebagai lapisan pertama pakaian pelindung. - Lipat pakaian luar dan simpan dengan perhiasan dan barangbarang pribadi lainnya di dalam lemari berkunci yang telah disediakan. c. Mencuci tangan - Lakukan cuci tangan pada tempat yang telah disediakan.

- Buka kran dan pertahankan aliran air lurus dari mulut kran - Bungkukkan badan sedikit untuk menjauhi tubuh dari percikan air. - Basahi kedua belah tangan seluruhnya sehingga batas siku. - Ambil sabun dan balik-balikan secukupnya dalam genggaman kedua belah tangan (hindari aliran air). - Kembalikan sabun ketempatnya dengan berhati-hati - Buat busa secukupnya dari sabun yang melekat ditanganyang basah. - Gosok dengan keras seluruh permukaan tangan dan jari-jari kedua tangan sekurangkurangnya 10-15 detik, ratakan ke seluruh tangan dengan memperhatikan bagian di bawah kuku dan di antara jari-jari. - Membilas kedua belah tangan di bawah air mengalir. - Mengeringkan tangan dengan kertas lap atau kain yang telah disediakan dan gunakan lap untuk mematikan kran (Awas, bagian tersentuh kran pada kain / kertas lap tidak boleh tersentuh tangan yang sudah bersih) atau keringkan tangan di bawah pengering udara (gunakan siku untuk menyalakan atau mematikan tombol). - Buang kertas lap atau kain terpakai ke tempat yang telah disediakan. d. Sebelum petugas masuk kedalam ruang perawatan pasien, petugas harus memakai APD lengkap di ruang bersih dalam (ante room). Langkah-langkah penggunaan APD : - Kenakan sepasang sarung tangan sebatas pergelangan tangan. - Kenakan gaun luar / Jas operasi - Kenakan apron plastik (bila memakai jas operasi) - Kenakan sepasang sarung tangan sebatas lengan. - Kenakan Masker N 95. - Kenakan penutup kepala. - Kenakan kaca mata pelindung. - Kenakan kedua belah sepatu bot karet. Peralatan tetap dipakai selama di ruang perawatan. Siapkan peralatan cadangan di ruang bersih dalam seperti: Sarung tangan Apron plastik Masker Fasilitas cuci tangan Fasilitas menggantung jas operasi e. Masuk langsung ke Ruang rawat kasus suspek / probabel / konfirmasi.

D. Prosedur keluar Ruang Perawatan isolasi Perlu disediakan ruang ganti khusus untuk melepaskan Alat Perlindungan Diri (APD). Pakaian bedah / masker masih tetap dipakai. Lepaskan pakaian bedah dan masker di ruang ganti pakaian umum, masukkan dalam kantung binatu berlabel infeksius. Mandi dan cuci rambut (keramas) Sesudah mandi, kenakan pakaian biasa. Pintu keluar dari Ruang Perawatan isolasi harus terpisah dari pintu masuk. E. Penerapan dalam transportasi kasus Dalam memindahkan (merujuk) pasien flu burung dari satu tempat ke tempat lain harus mengikuti langkah-langkah berikut: -

Mencuci tangan dengan baik dan benar. Petugas kesehatan menggunakan alat perlindungan diri (APD) lengkap. Pasien menggunakan masker. Menjaga kontak seminimal mungkin dengan pasien. Desinfeksi alat transport dan peralatan lain setelah selesai

Pengobatan Antiviral Ada dua kelompok obat antiviral untuk influenza yaitu M2 inhibitor dan Neuraminidase Inhibitor. Obat kelompok M2 Inhibitor yaitu Amantadin dan Rimantadin; dan kelompok Neuraminidase Inhibitor antara lain Oseltamivir (kapsul dan suspensi) dan Zanamivir (inhalasi). Mekanisme Kerja dan Terjadinya Resistensi terhadap M2 Inhibitor M2-proton channel meluangkan influks ion H+ masuk kedalam virion pada awal siklus replikasinya, dengan denikian memudahkan disosiasi ribonukleoprotein dari virion kedalam sitoplasma nukleus sel. Pada highly pathogenic avian viruses (H5 and H7), M2-proton channel melindungi hemaglutinin dari inaktivasi oleh asam dari jejaring trans-Golgi selama transpor ke permukaan sel. Adanya amantadin, mengakibatkan channel dihalangi sehingga replikasi terhambat. Serine pada posisi 31 terletak sebagian di proteinprotein interface dan sebagian di channel. Pada mutasi penggantian asam amino serine dengan asparagin yang molekulnya lebih besar, karena tidak dapat berikatan dengan amantadin terjadilah keadaan yang disebut resistensi. Tergantung pada jenis asam amino tertentu, mutasi lainnya pada

posisi 26, 27, 30, atau 34 dapat menghambat ikatan amantadin atau tetap dapat menyebabkan ikatan tanpa kehilangan fungsi ion-channel. Mekanisme resistensi pada Oseltamivir Lokasi aktif neuraminidase berubah bentuk menjadi suatu kantung untuk menangkap oseltamivir, sedangkan untuk zanamivir perubahan tersebut tidak diperlukan. Setiap mutasi dapat mencegah terjadinya ikatan dengan oseltamivir dengan cara menghalangi pembentukan kantung tersebut, walaupun demikian virus yang resisten pada oseltamivir tetap dapat berikatan dengan zanamivir. Kantung untuk oseltamivir terbentuk oleh rotasi E276 dan ikatannya dengan R224, dan proses ini dapat dicegah apabila terjadi mutasi pada R292K, N294S, dan H274Y yang mengakibatkan resistensi terhadap oseltamivir. Beberapa mutasi ini tidak mempengaruhi ikatan dengan zanamivir. Di Indonesia Oseltamivir merupakan obat pilihan satu-satunya untuk penyakit AI (H5N1), pemberiannya secara oral. Sediaan dalam bentuk kapsul berisi 75mg atau suspensi berisi 12mg/ml harus segera diberikan sedini mungkin pada saat penderita masuk rumah sakit. Dosis Oseltamivir adalah sebagai berikut: Berdasarkan mg/kgBerat Badan: 2 mg/kgBB (maksimal 75 mg) 2 x sehari selama 5 hari Dewasa Anak 13 tahun: 75 mg, 2 x sehari selama 5 hari Anak ( 1 tahun): 2 mg/kgBB 2 x sehari selama 5 hari

Berdasarkan Berat Badan (kg): 1 . 2 . 3 . 4 . > 40 kg : 75 mg 2x/hari > 2340 kg : 60 mg 2x/hari > 1523 kg : 45 mg 2x/hari 15 kg : 30 mg 2x/hari

Dosis oseltamivir yang lebih tinggi dapat dipertimbangkan berdasarkan case-by-case penderita AI (H5N1), terutama bila terdapat pneumonia atau bukti kemunduran klinis. Keamanan dosis yang lebih tinggi belum diujikan pada anak. Perlu dipertimbangkan risiko

yang mungkin terjadi dan keuntungan menggunakan dosis lebih tinggi pada penderita AI (H5N1) anak, karena sampai saat ini belum jelas apakah oseltamivir dapat menyebabkan efek samping neuropsikiatri pada remaja. Pada AI (H5N1) yang demamnya berlanjut dan klinis memburuk mungkin disebabkan replikasi virus yang persisten, walaupun dapat juga disebabkan oleh timbulnya superinfeksi dengan kuman dan komplikasi nosokomial lainnya yang harus dievaluasi. Apabila tidak ada perbaikan klinis dengan pengobatan 5 hari, pemberian oseltamivir dapat dilanjutkan 5 hari lagi. Antiviral Profilaksis Terdapat tiga kelompok risiko terpajan virus AI H5N1 yang terkait dengan pemberian profilaksis antiviral, dengan dosis Oseltamivir 1 x 75mg : Kelompok Risiko Tinggi: (termasuk wanita hamil diberikan sebagai profilaksis selama 7-10 hari setelah pajanan terakhir) Kontak erat serumah atau anggota keluarga dengan penderita suspek atau konfirm AI (H5N1), karena pajanan potensial pada lingkungan yang sama, sumber unggas atau penderita Kelompok Risiko Moderat: (termasuk wanita hamil diberikan sebagai profilaksis selama 710 hari setelah pajanan terakhir)

Orang yang terpajan langsung pada hewan mati atau sakit karena infeksi virus A H5N1 Orang yang menangani hewan sakit atau melakukan dekontaminasi lingkungan tanpa menggunakan APP atau penggunaannya tidak benar Petugas kesehatan yang kontak langsung dengan penderita suspek atau konfirm AI (H5N1) tanpa atau penggunaan yang kurang benar APP yaitu pada saat intubasi atau penghisapan sekret, menangani spesimen cairan tubuh

Kelompok Risiko Ringan: (Kelompok ini tidak memerlukan profilaksis)

Petugas kesehatan yang menggunakan APP Petugas kesehatan yang tidak kontak erat (>1 meter) dengan spesimen atau penderita suspek / konfirm AI (H5N1) Penyembelih hewan yang tidak terinfeksi AI (H5N1) Orang yang menangani hewan sakit atau mati dengan menggunakan APP secara benar

Efek samping oseltamivir berupa pusing, muntah, mual, diare, konfusi, sakit perut, batuk, vertigo, insomnia dan rasa lelah. Oseltamivir tidak dianjurkan untuk anak kurang dari 1 tahun. Antibiotik Umumnya penderita AI (H5N1) masuk rumah sakit dengan pneumonia yang etiologinya belum jelas. Antibiotik diberikan secara empiris mengacu padaguideline pneumonia komuniti nasional atau internasional. Diagnostik kerja pneumonia komuniti biasanya meliputi dahak untuk pewarnaan Gram dan kultur serta kultur darah. Jika uji diagnostik sudah konfirm AI (H5N1) dan pemeriksaan laboratorium untuk pneumonia komuniti tidak dapat menemukan kuman penyebab apapun, terapi antibiotik empirik harus dihentikan. Penggunaan antibiotik profilaksis untuk penderita AI (H5N1) tidak dibenarkan, karena tidak terbukti manfaatnya dan dapat terpilih antibiotik untuk kuman yang resisten serta menyebabkan efek samping. Antipiretika Anti-piretika atau anti-nyeri sering digunakan untuk menurunkan demam, mialgia dan arthralgia pada AI (H5N1). Aspirin (asam salisilat) atau produknya jangan diberikan pada penderita Influensa atau AI (H5N1) di bawah usia 18 tahun oleh karena risiko terjadinya sindroma Reye. Terapi Suportif pada penderita sakit berat Penyakit AI (H5N1) sering menyebabkan gagal nafas berat dan cepat progresif, dan penting untuk menyediakan terapi suportif untuk AI (H5N1) dengan ALI/ARDS. Banyak penderita juga berkembang penyakitnya menjadi gagal multi-organ yang membutuhkan dukungan ventilator. Terapi suportif meliputi oksigenasi yang efektif dan tepat dan suport ventilator, dengan memperkecil risiko barotrauma dengan membatasi volume tidal dari 12 menjadi 6 mL/kg, nutrisi enteral yang cukup, pencegahan dan terapi infeksi nosokomial, pencegahan deep thrombosis dan pendarahan gastrointestinal, dan kepedulian perawatan.

Penanganan terhadap gagal multi organ berupa suport vasopresor pada syok septik dan gagal ginjal akut seperti pada gagal ginjal akibat penyebab lainnya.

You might also like