You are on page 1of 16

ACARA I TEKNOLOGI OLAH MINIMAL BUAH

A. TUJUAN PRAKTIKUM 1. Mengetahui peristiwa pencoklatan pada buah 2. Mengetahui pengaruh berbagai penambahan bahan untuk mengurangi reaksi browning pada buah B. TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Bahan Buah Apel (Malus sylvetris) mempunyai bentuk bulat sampai lonjong bagian pucuk buah berlekuk dangkal, kulit agak kasar dan tebal, pori-pori buah kasar dan renggang, tetapi setelah tua menjadi halus dan mengkilat. Warna buah hijau kemerah-merahan, hijau kekuning-kuningan, hijau berbintik-bintik, merah tua dan sebagainya sesuai dengan varietas. Karakteristik buah apel dapat dinilai menurut : 1. Nilai fisik : Kekerasan, berat jenis, dan mudahnya lepas dari tangkainya. 2. Nilai visual : Warna kulit dan ukuran 3. Analisis Kimia : Kadar vitamin, Kadar pati dan asam 4. Metode fisiologi : Respirasi. Kandungan dari buah apel antara lain : vitamin A 2%, vitamin C 11,42 mg/100 gram, besi 2%, air 83,39%, Karbohidrat : 7%, mempunyai rasa manis dan sedikit asam untuk buah segarnya (Soelarso, 1998). Asam sitrat merupakan senyawa intermedier dari asam organik yang berbentuk kristal atau serbuk putih. Asam sitrat ini maudah larut dalam air, spriritus, dan ethanol, tidak berbau, rasanya sangat asam, serta jika dipanaskan akan meleleh kemudian terurai yang selanjutnya terbakar sampai menjadi arang. Asam sitrat juga terdapat dalam sari buah-buahan seperti nenas, jeruk, lemon, markisa. Asam ini dipakai untuk meningkatkan rasa asam (mengatur tingkat keasaman) pada berbagai

pengolahan minum, produk air susu, selai, jeli, dan lain-lain. Asam sitrat berfungsi sebagai pengawet pada keju dan sirup, digunakan untuk mencegah proses kristalisasi dalam madu, gula-gula (termasuk fondant), dan juga untuk mencegah pemucatan berbagai makanan, misalnya buahbuahan kaleng dan ikan. Larutan asam sitrat yang encer dapat digunakan untuk mencegah pembentukan bintik-bintik hitam pada udang.

Penggunaan maksimum dalam minuman adalah sebesar 3 gram/liter sari buah (Margono, 1993). Asam sitrat adalah asam trikarboksilat yang tiap molekulnya mengandung tiga gugus karboksilat. Selain itu ada satu gugus hidroksil yang terikat pada atom karbon di tengah. Asam sitrat termasuk asidulan, yaitu senyawa kimia yang bersifat asam dan ditambahkan pada proses pengolahan makanan dengan berbagai tujuan. Asam sitrat (yang banyak terdapat dalam lemon) sangat mudah teroksidasi dan dapat digunakan sebagai pengikat oksigen untuk mencegah buah berubah menjadi berwarna coklat. Ini sebabnya mengapa bila potongan apel direndam sebentar dalam jus lemon, warna putih khas apel akan lebih tahan lama. Asam ini ditambahkan pada manisan buah dengan tujuan menurunkan pH manisan yang cenderung sedang sampai di bawah 4,5. Dengan turunnya pH maka kemungkinan mikroba berbahaya yang tumbuh semakin kecil. Selain itu pH yang rendah akan mendisosiasi sulfit dan benzoat menjadi molekulmolekul yang aktif dan efektif menghambat mikroorganisme

(Taufiq,2008). Madu merupakan produk yang unik dari hewan, mengandung persentase karbohidrat yang tinggi, tidak ada mengandung protein ataupun lemak. Nilai gizi madu sangat tergantung dari kandungan gula-gula sederhana, fruktosa dan glukosa. Bahan pangan ini bersifat kental dengan warna emas sampai gelap diproduksi di dalam kandungan madu dari berbagai jenis tawon dari berbagai nektar bunga. Rasa dan harumnya madu sangat dipengaruhi oleh jenis bunga asal nektar bunga tersebut. Madu yang diproduksi secara komersial tidak diperoleh dari lebah liar

tetapi dari domestic honey bees. Nektar tersebut diperam sehingga menjadi madu dengan cara inversi sebagian besar dari gula sukrosa menjadi gula levulosa atau fruktosa dan dekstrosa (glukosa), diikuti dengan penguapan air yang berlebihan dengan ventilasi dari sayap yang dihempas-hempaskan. Madu adalah nektar atau eksudat gula dari tanaman yang dikumpulkan oleh lebah madu, diolah dan disimpan didalam sarang madu dari lebah Apid mellifera. Madu mempunyai sifat-sifat yang secara optis dapat memutar kekiri (levo rotary) bidang polarisasi, dan mengandung tidak lebih dai 25% kadar air, 0,25% abu dan 8% sukrosa (Dwiari, 2008). Secara alamiah kadar air dari madu tergantung dari sumber nektar dan kondisi cuaca, biasanya berada sekitar 15 - 25%. Kadar airnya akan mempengaruhi sifat-sifat fisika madu seperti granulasi, fermentasi, viskositas dan berat jenis. Madu bersifat higroskopis karena merupakan larutan gula yang supersaturated (lewat jenuh). Dalam udara yang lembab madu dapat menyerap air sampai 33% beratnya. Bila kadar airnya meningkat, dapat terjadi fermentasi dan berat jenisnya akan menurun. Penyimpanan madu pada suhu rendah ( 5 - 10oC) dapat mencegah proses fermentasi. Namun pada suhu ini madu dapat menjadi berbutir-butir atau menggumpal. Pada kadar air 17% dengan suhu 17oC, maka panas jenis madu adalah 0,54 dan berat jenisnya 1,4237 (Maun, 1999). Standar mutu madu salah satunya didasarkan pada kandungan gula pereduksi (glukosa dan fruktosa) total yaitu minimal 60%. Sedangkan, jenis gula pereduksi yang terdapat pada madu tidak hanya glukosa dan fruktosa, tetapi juga terdapat maltosa dan dekstrin. Sementara itu proses produksi madu oleh lebah itu sendiri merupakan proses yang kompleks, sehingga kemungkinan besar terjadi perbedaan kadar dan komposisi gula pereduksi di antara berbagai jenis madu yang beredar di masyarakat (Ratnayani, 2008).

2. Tinjauan Teori Proses Browning atau pencokelatan adalah proses di mana suatu zat, pada umumnya berupa makanan, berubah warna menjadi kecokelatan. Perubahan warna tersebut umumnya diikuti oleh perubahan rasa pada makanan yang mengurangi cita rasa makanan sehingga proses ini seringkali dianggap merugikan. Proses pencokelatan enzimatik melibatkan enzim-enzim seperti Monophenol Monoxygenase atau tyrosinase,

polifenol oksidase atau fenolase, dan laccase. Proses pencokelatan yang dialami oleh apel merupakan proses pencokelatan enzimatik yang dipengaruhi oleh kerja enzim fenolase. Ketika apel dikupas atau dipotong, enzim yang tersimpan di dalam jaringan apel akan terbebas. Apabila enzim tersebut mengalami kontak dengan oksigen di udara, fenolase akan mengkatalisis konversi biokimia dari komponen fenolik yang ada pada apel sehingga komponen tersebut berubah menjadi pigmen coklat atau melanin. Proses ini pada umumnya terjadi pada pH antara 5,0-7,0 dan pada temperatur yang cenderung hangat. Sebagai tambahan, kontak dengan besi atau tembaga akan mempercepat reaksi pencokelatan enzimatik. Hal ini dapat diamati ketika apel dipotong menggunakan pisau yang telah berkarat atau ditaruh di dalam mangkok tembaga lalu diaduk-aduk, proses pencokelatan yang terjadi dapat terlihat dalam waktu yang lebih singkat. Terdapat dua reaksi dalam proses pencokelatan enzimatik yaitu reaksi Cresolase dan Catecholase. Dalam reaksi Cresolase, komponen monofenol yang ada pada apel mengalami hidroksilasi menjadi o-difenol. Dalam reaksi Catecholase, difenol diubah menjadi o-quinone. Reaksi ini sering juga disebut reaksi difenolase. Reaksi Catecholase terjadi segera setelah terbentuknya senyawa o-difenol, tanpa memerlukan keberadaan oksigen ataupun enzim fenolase. Setelah senyawa o-quinone terbentuk, senyawa o-difenol akan mengalami hidroksilasi menjadi senyawa trifenolik yang akan bereaksi lebih jauh dengan o-quinone dalam proses pembentukan melanin coklat pada apel. Komponen fenolik pada apel berupa flavonoid dan asam fenolik. Flavonoid yang ada di dalam apel

adalah flavonol, catechin, dan epicatechin. Contoh asam fenolik yang ada di dalam apel adalah asam cafeic dan asam p-coumaric yang membentuk ester dengan asam quinic di dalam apel. Senyawa fenolik lainnya adalah floretin glikosida. Konsentrasi masing-masing senyawa fenolik pada apel bervariasi, bergantung pada bagian-bagian di mana senyawa tersebut ada. Pada kulit apel, senyawa fenolik yang mendominasi adalah quercetin glikosida dan flavonol. Bagian inti dan biji buah apel banyak mengandung floretin glikosida. Bagian korteks buah apel banyak mengandung asam fenolik. Sebagian besar komponen fenolik yang dimiliki oleh apel berbentuk senyawa o-difenol. Senyawa o-difenol adalah senyawa organik berupa antioksidan yang berfungsi mengurangi resiko kanker. Dalam proses pencokelatan, enzim fenolase mengubah o-difenol pada apel menjadi o-quinone yang lebih reaktif. Senyawa o-quinone akan bereaksi lebih jauh dengan komponen fenolik lainnya dan protein pada jaringan apel dan membentuk melanin yang memberikan warna cokelat pada apel. Enzim fenolase memerlukan oksigen agar dapat bekerja. Oksigen berperan sebagai akseptor hidrogen dalam proses pencokelatan sedangkan Komponen fenolik pada apel merupakan substrat dari enzim fenolase (Handayani, 2011). Bahan pangan sayur dan buah dapat mudah mengalami pencoklatan jika bahan pangan tersebut terkelupas atau dipotong. Pencoklatan (browning) merupakan proses pembentukan pigmen berwarna kuning yang akan segera berubah menjadi coklat gelap. Pembentukan warna coklat ini dipicu oleh reaksi oksidasi yang dikatalisis oleh enzim fenol oksidase atau polifenol oksidase. Kedua enzim ini dapat mengkatalis oksidasi senyawa fenol menjadi quinon dan kemudian dipolimerasi menjadi pigmen melaniadin yang berwarna coklat (Mardiah 1996). Bahan pangan tertentu, seperti pada sayur dan buah, senyawa fenol dan kelompok enzim oksidase tersebut tersedia secara alami. Oleh karena itu pencoklatan yang terjadi disebut juga reaksi pencoklatan enzimatis. Enzim polifenol oksidase memiliki kode Enzym Commision (EC) 1.14.18.1, nama trivial

monophenol monooxygenase dan nama IUPAC monophenol, Ldopa:oxygen oxidoreductase. Selain itu, enzim ini juga memiliki nama lain, yaitu tyrosinase, phenolase, monophenol oxidase, cresolase, catechol oxidase, polyphenolase, pyrocatechol oxidase, dopa oxidase, chlorogenic oxidase, catecholase, monophenolase, o-diphenol oxidase, chlorogenic acid oxidase, diphenol oxidase, o-diphenolase, tyrosine-dopa oxidase, odiphenol:oxygen oxidoreductase, polyaromatic oxidase, monophenol monooxidase, o-diphenol oxidoreductase, oxidoreductase, monophenol N-acetyl-6-

dihydroxyphenylalanine:oxygen

hydroxytryptophan oxidase, monophenol, dihydroxy-L-phenylalanine oxygen oxidoreductase, o-diphenol:O2 oxidoreductase, dan phenol oxidase. Enzim polifenol oksidase dihasilkan dari reaksi antara L-tyrosine, L-dopa, dan O2 menjadi L-dopa, dopaquinone, dan H2O

(Rahmawati,2011). Perubahan kualitas yang tidak diinginkan pada buah dan sayur selama penanganan, pemrosesan dan penyimpanan merupakan resiko yang disebabkan oleh PPO. PPO mengkatalisis oksidasi berbagai senyawa fenolik dan menghasilkan quinon reaktif yang menyebabkan terjadinya reaksi lebih lanjut dan menghasilkan pembentukan pigmen coklat, yang menjadi penyebab munculnya sifat sensory yang tidak diinginkan pada buah dan sayuran mentah. Apel dan jus apel sangat rentan terhadap pencoklatan oksidatif yang disebabkan oleh tingginya konsentrasi polyphenols dan PPO. Dikarenakan penggunaan sulfit sebagai agen antibrowning sangat potential terhadap gangguan kesehatan, beberapa jenis bahan kimia biocompatible dan yang bersifat non-toxic digunakan sebagai alternative pengganti sulfit. Beberapa bahan kimia bereaksi secara langsung sebagai inhibitor PPO, yang lainnya bereaksi dengan cara rendering media yang tidak memadai untuk perkembangan reaksi pencoklatan, sedang yang lainnya bereaksi dengan bereaksi dengan produk dari reaksi PPO sebelum susunannya berubah menjadi pigmen coklat. Selain biasanya menggunakan asam askorbat dan turunannya dan asam

sitrat sebagai acidulant dan logam pengkelat, berbagai bahan kimia lainnya direkomendasikan untuk pencegahan pencoklatan enzymatik. Halida inorganik dan zinc clorida telah diteliti sebagai agen antibrowning, terutama ketika dikombinasikan dengan CaCl, vitamin C dan asam sitrat. Variasi sulfat polisakarida termasuk karagenan, sulfat amilosa, xylan sulfat telah dilaporkan mempunyai aktivitas antibrowning untuk jus apel dan apel potong (Gacche et al, 2006). Menurut Padmadisastra (2003), pencoklatan enzimatis dalam pangan biasanya dianggap merugikan karena menurunkan penerimaan sensori pangan oleh masyarakat walaupun pencoklatan enzimatis tidak terlalu mempengaruhi rasa dari bahan pangan tersebut. Reaksi pencoklatan enzimatis membutuhkan tiga komponen, yaitu polifenolase aktif, oksigen dan subtrat yang cocok. Penghilangan salah satu di antara komponen tersebut akan melindungi terjadinya reaksi pencoklatan enzimatis. Selain itu, senyawa pereduksi mampu mengubah o-quinon kembali kepada komponen fenolik sehingga mengurangi pencoklatan. Berdasarkan hal tersebut di atas, terdapat beberapa metode untuk mengontrol pencoklatan enzimatis dalam pangan yaitu: 1. Pengurangan oksigen (O2) atau penggunaan antioksidan, misalnya vitamin C ataupun senyawa sulfit. Antioksidan dapat mencegah oksidasi komponen-komponen fenolat menjadi quinon berwarna gelap. Sulfit dapat menghambat enzim fenolase pada konsentrasi satu ppm secara langsung atau mereduksi hasil oksidasi quinon menjadi bentuk fenolat sebelumnya, sedangkan penggunaan vitamin C dapat mereduksi kembali quinon berwarna hasil oksidasi (o-quinon) menjadi senyawa fenolat (o-difenol) tak berwarna. Asam askorbat selanjutnya dioksidasi menjadi asam dehidroaskorbat. Ketika vitamin C habis, komponen berwarna akan terbentuk sebagai hasil reaksi polimerisasi dan menjadi produk antara yang irreversibel. Jadi produk berwama hanya akan terjadi jika vitamin C yang ada habis dioksidasi dan quinon terpolimerisasi.

2. Mengkontrol reaksi browning enzimatis dengan menambahkan enzim mometiltransferase sebagai penginduksi. 3. Mengurangi komponen-komponen yang bereaksi browning melalui deaktivasi enzim fenolase yang mengandung komponen Cu (suatu kofaktor esensial yang terikat pada enzim PPO). Chelating agent EDTA atau garamnya dapat digunakan untuk melepaskan komponen Cu dari enzim sehingga enzim menjadi inaktif. 4. Pemanasan untuk menginaktivasi enzim-enzim. Enzim umumnya bereaksi optimum pada suhu 30-40 C. Pada suhu 45 C enzim mulai terdenaturasi dan pada suhu 60 C mengalami dekomposisi. 5. Pengkondisian keasaman, misalnya dengan penambahan asam sitrat. Pada pH 1 dibawah 5, enzim-enzim fenolase dihambat aktivitasnya Penambahan asam-asam organik dapat menghambat browning enzimatik terutama disebabkan efek turunnya pH akibat penambahan senyawa tersebut. Enzim fenolase dan polifenolase mempunyai pH optimum pada pH 5 - 7, dibawah kisaran pH tersebut aktifitas enzim terhambat. Asam-asam organik yang dapat ditambahkan adalah asam askorbat, asam malat, asam sitrat dan asam erithorbat. Disamping menurunkan pH penambahan asam sitrat yang bersifat pereduksi kuat sehingga berfungsi sebagai antioksidan. Dengan penambahan asam sitrat, maka oksigen yang merupakan pemacu reaksi browning enzimatis dapat dieliminasi. Penambahan asam sitrat disamping dapat menurunkan pH juga dapat mengikat tembaga yang merupakan sisi aktif enzim sehingga aktifitas enzim dapat dihambat (Santoso, 2006). Hasil penetitian Ates (2011) tentang Karakterisasi Parsial Peptida dari Madu yang dapat Menghambat Polyphenol Oksidase Jamur menyatakan bahwa madu mengandung peptide inhibitor pada PPO jamur yang sangat menjanjikan untuk aplikasi praktis dalam industry makanan. Penelitian yang lainnya dapat mengungkapkan potensi kegunaannya yang lain.

Madu, procyanidins dan produk reaksi Maillard merupakan agen alami yang memiliki efek penghambatan pada PPO. Madu mengandung sejumlah komponen yang dapat bertindak sebagai pengawet ; termasuk tokoferol, asam askorbat, flavonoid dan komponen fenolik lainnya. Madu dari sumber bunga yang berbeda mengurangi aktivitas PPO selama rentang 2-45% pada homogenate buah dan sayuran yang dikombinasi dengan asam askorbat dapat meningkatkan efek penghambatan. Le Bourvellec et al menunjukkan bahwa procyanidins asli, polimer flavanol yang terjadi secara alami pada tanaman dapat menghambat aktivitas PPO pada jus sari apel dan intensitas inhibisi meningkat dengan derajat polimerisasi procyanidin. Mekanisme ini mungkin disebabkan oleh pengikatan polifenol ke protein yang mempengaruhi aktivitas katalitik enzim atau dengan membentuk sebuah aktif enzympolyphenol-substrat kompleks (Queiroz, et al. 2008). Perlakuan pada anggur putih dan buah potong dengan madu menunjukkan adanya penghambatan browning enzymatik yang disebabkan oleh madu yang mengandung peptide kecil dengan berat molekul 600 Da daripada pengurangan oksigen terlarut karena penambahan gula (Oszmianski dalam Danismanlik, 1997).

C. METODOLOGI 1. Alat a. Pisau b. Gelas ukur c. Cawan d. Indikator warna coklat e. Gelas ukur

2. Bahan a. Buah apel b. Asam Sitrat 0,1%; 0,2% dan 0,5% c. Madu 5%; 10% dan 20%

3. Cara Kerja Dipotong 2 buah apel dengan pisau plastik menjadi 4 bagian

a. Perendaman : rendam 3 potong apel dalam masing-masing larutan selama 30 detik, dan 1 potong apel untuk control (tanpa perendaman) b. Silika Gel : Letakkan masing-masing 1 potong ke desikator, plate terbuka dengan silica gel, plate tertutup dengan silica gel, plate terbuka dengan kontrol

Apel diangkat dan ditiriskan

Letakkan apel pada tempat yang telah ditentukan

Dilakukan pengamatan tingkat browning yang terjadi setiap 10 menit selama 1 jam

D. HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1. 1 Pengamatan Tingkat Browning Apel dengan Berbagai Perlakuan Menit keKelompok Perlakuan 0 10 20 30 40 Kontrol 0 0 2 2 3 Asam sitrat 0,1% 0 0 0 1 2 1 Asam sitrat 0,2% 0 0 0 1 1 Asam sitrat 0,5% 0 0 0 0 0 Kontrol 0 2 4 4 4 Madu 5% 0 3 3 3 3 2 Madu 10% 0 2 3 3 3 Madu 20% 0 1 2 2 2 Sumber: Laporan Sementara Keterangan: Angka pada tabel menunjukkan tingkat warna coklat akibat peristiwa browning. Semakin tinggi angkanya maka warna coklat semakin pekat.

50 3 2 1 0 4 3 3 2 4 3 2 1 5 3 3 3

60

Pembahasan : Pencoklatan (browning) merupakan proses pembentukan pigmen

berwarna kuning yang akan segera berubah menjadi coklat gelap. Pembentukan warna coklat ini dipicu oleh reaksi oksidasi yang dikatalisis oleh enzim fenol oksidase atau polifenol oksidase. Kedua enzim ini dapat mengkatalis oksidasi senyawa fenol menjadi quinon dan kemudian dipolimerasi menjadi pigmen melaniadin yang berwarna coklat. Berdasarkan hal tersebut, terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengontrol pencoklatan enzimatis. Pada praktikum kali ini digunakan penambahan asam sitrat 0,1%; 0,2% dan 0,5% serta madu dengan konsentrasi 5%, 10% dan 20% untuk mencegah reaksi pencoklatan enzimatis pada buah apel. Pengamatan dilakukan setiap 10 menit sekali. Untuk buah apel yang digunakan sebagai kontrol (tanpa perendaman asam sitrat), warna coklat pada daging buah mulai terlihat pada menit ke-20. Sedangkan untuk buah apel dengan perendaman asam sitrat 0,1% warna coklat mulai terlihat pada menit

ke-30, dan terus mengalami peningkatan pada 10 menit selanjutnya. Begitu juga dengan buah apel dengan perendaman asam sitrat 0,2% warna coklat (browning) pada daging buah mulai tampak pada menit ke-30, dan mengalami peningkatan setelah menit ke-60. Pada buah apel dengan perendaman asam sitrat 0,5% browning atau warna coklat pada daging buah mulai terlihat pada menit ke-60. Menurut Santoso (2006) asam sitrat sebagai salah satu asam organik yang dapat menghambat browning enzimatik. Enzim fenolase dan polifenolase mempunyai pH optimum pada pH 5-7, dibawah kisaran pH tersebut aktifitas enzim terhambat. Selain dapat menurunkan pH asam sitrat mempunyai sifat pereduksi kuat sehingga dapat berfungsi sebagai antioksidan. Dengan penambahan asam sitrat maka oksigen sebagai pemacu reaksi browning enzimatis dapat dieliminasi. Penambahan asam sitrat disamping dapat menurunkan pH juga dapat mengikat tembaga yang merupakan sisi aktif enzim sehingga aktifitas enzim dapat dihambat Pengamatan yang sama dilakukan untuk buah apel yang direndam dalam madu. Pengamatan dilakukan setiap 10 menit sekali. Untuk buah apel yang digunakan sebagai kontrol (tanpa perendaman madu), warna coklat pada daging buah mulai terlihat pada menit ke-10 dan terjadi pengingkatan warna coklat yang signifikan pada pengamatan 10 menit berikutnya. Sedangkan untuk buah apel dengan perendaman madu 5% warna coklat juga mulai terlihat pada menit ke-10, tetapi tidak mengalami peningkatan warna coklat pada pengamatan sepuluh menit berikutnya. Untuk buah apel yang direndam pada madu 10% warna coklat mulai terlihat pada menit ke-10, meningkat pada menit ke-20 , dan selanjutnya tidak terjadi peningkatan. Sedangkan untuk buah apel yang direndam madu 20% warna coklat mulai terlihat pada menit ke-10, meningkat pada menit ke-20 , dan peningkatan selanjutnya terlihat pada 10 menit terakhir pengamatan yaitu pada menit ke-60. Madu mengandung sejumlah komponen yang dapat bertindak sebagai pengawet ; termasuk tokoferol, asam askorbat, flavonoid dan komponen fenolik lainnya. Madu dari sumber bunga yang berbeda mengurangi aktivitas PPO selama rentang 2-45% pada homogenate buah dan sayuran yang dikombinasi dengan asam askorbat

dapat meningkatkan efek penghambatan. Menurut Queiroz et al (2008) mekanisme penghambatan madu terhadap aktivitas PPO penyebab

pencoklatan enzymatik mungkin disebabkan oleh pengikatan polifenol ke protein yang mempengaruhi aktivitas katalitik enzim atau dengan membentuk sebuah aktif enzympolyphenol-substrat kompleks. Selain itu, madu juga mengandung sedikit asam askorbat yang termasuk dalam asam organik yang dapat menghambat pencoklatan enzymatik. Semakin tinggi konsentrasi asam sitrat dan madu yang digunakan, maka semakin lama pencoklatan yang terjadi pada daging buah apel. Percobaan yang dilakukan sudah sesuai dengan teori yang ada. Perlakuan yang paling baik digunakan untuk mencegah reaksi browning enzimatik adalah pencelupan dengan menggunakan asam sitrat, karena asam sitrat merupakan asam organik, dan asam sitrat mempunyai pH yang rendah yang dapat menghambat aktifitas enzim serta mempunyai resiko yang rendah terhadap kesehatan, sehingga penggunaan asam sitrat merupakan perlakuan yang paling efektif. E. KESIMPULAN Pada praktikum Teknologi Olah Minimal Buah dapat diambil kesimpulan : 1. Pencoklatan (browning) merupakan proses pembentukan pigmen

berwarna kuning yang akan segera berubah menjadi coklat gelap yang dipicu oleh reaksi oksidasi yang dikatalisis oleh enzim fenol oksidase atau polifenol oksidase. Kedua enzim tersebut dapat mengkatalis oksidasi senyawa fenol menjadi quinon dan kemudian dipolimerasi menjadi pigmen melaniadin yang berwarna coklat. 2. Semakin tinggi konsentrasi asam sitrat dan madu yang digunakan, maka akan semakin lama reaksi pencoklatan enzimatik yang terjadi pada daging buah apel. 3. Asam sitrat dapat menghambat reaksi pencoklatan enzimatik dengan cara menurunkan pH dan mengikat tembaga yang merupakan sisi aktif enzim. Selain itu dengan penambahan asam sitrat, oksigen sebagai pemacu reaksi browning enzimatis dapat dieliminasi.

4. Mekanisme penghambatan madu terhadap aktivitas PPO penyebab pencoklatan enzymatik mungkin disebabkan oleh pengikatan polifenol ke protein yang mempengaruhi aktivitas katalitik enzim atau dengan membentuk sebuah aktif enzympolyphenol-substrat kompleks. Selain itu, madu juga mengandung sedikit asam askorbat yang termasuk dalam asam organik yang dapat menghambat pencoklatan enzymatik.

DAFTAR PUSTAKA

Ates, Selma. 2011. Partial Characterization Of A Peptide From Honey That Inhibits Mushroom Polyphenol Oxidase. Journal of Food Biochemistry 25 (2001) 127-137. Dwiari, Sri Rini. 2008. Teknologi Pangan Jilid I. Jakarta : Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional. Gacche, R.N, Shete, AM, Dhole, NA and Ghole, VS. 2006. Reversible Inhibition of Polyphenol Oxidase From Apple Using L-cysteine. Indian Journal of Chemical Technology Vol. 13 : 459-463. Handayani, Gabriella Carmelita Prawitasari Tri. 2011. Proses Pencoklatan pada Buah Apel. http://teknologi.kompasiana.com/terapan/2011/05/13/prosespencokelatan-pada-buah-apel/. Diakses pada tanggal 3 Desember 2011 pukul 21.24 WIB. Margono, Tri. 1993. Buku Panduan Teknologi Pangan, Pusat Informasi Wanita dalam Pembangunan PDII-LIPI bekerjasama dengan Swiss Development Cooperation. Maun, Sukmariah. 1999. Pemalsuan Madu dengan Sakarosa. Jurnal Kedokteran Trisakti, Vol.18, No.1 Oszmianski dalam Danismanlik, Okyanus. 1997. Food Browning and Its Control. Food Engineering Padmadisastra Y, Sidik, Ajizah S. 2003. Formulasi sediaan cair gel Lidah Buaya (Aloe vera Linn.) sebagai minuman kesehatan. Bandung: Fakultas Farmasi, Universitas Padjadjaran Queiroz, Christiane; Lopes Maria L.M; Fialho, Eliane; Maesquita, Vera Lucia Valente. 2008. Polyphenol Oxidase: Characteristics and Mechanism of Browning Control. Food Reviews International, 24 : 361-375. Rahmawati, Maulida Mulya. 2011. Enzim yang Dihilangkan dalam Industri Pangan:Enzim Polifenol Oksidase Penyebab Browning pada Buah dan Sayur. http://maulidamulyarahmawati.wordpress.com/2011/01/11/enzimyang-dihilangkan-dalam-industri-pangan-enzim-polifenol-oksidasepenyebab-browning-pada-buah-dan-sayur/. Diakses pada tanggal 3 Desember 2011 pukul 22.16 WIB.

Ratnayani, K, S, N.M.A Dwi Adhi dan Gitadewi, I.G.A.M.A.S. 2008. Penentuan Kadar Glukosa dan Fruktosa pada Madu Randu dan Madu Kelengkeng dengan Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. Jurnal Kimia 2(2), Juli 2008 : 77-86. Santoso. 2006. Teknologi Pengawetan Bahan Segar. Laboratorium Kimia Pangan Fakultas Pertanian Uwiga Malang. Soelarso, Bambang, 1998. Budidaya Apel. Penerbit Kanicius. Yogyakarta. Taufiq, Rachmat. 2008. Browning Pada Makanan. http://taufiq80.multiply.com/journal?&page_start=60&show_interstitial=1 &u=%2Fjournal . Diakses pada tanggal 3 Desember 2011 pukul 22.47 WIB.

You might also like