You are on page 1of 29

PENGARUH KONSELING OBAT TERHADAP KEPATUHAN PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2 DI POLIKLINIK KHUSUS RUMAH SAKIT UMUM PUSAT

DR. M. DJAMIL PADANG

ARTIKEL

Oleh :

ADE RAMADONA 08 212 13 056

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 2011

PENGARUH KONSELING OBAT TERHADAP KEPATUHAN PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2 DI POLIKLINIK KHUSUS RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. M. DJAMIL PADANG Oleh : Ade Ramadona (Dibawah bimbingan Prof. Dr. H. Almahdy, A., MS, Apt; Prof. DR. dr. H. Nasrul Zubir, Sp.PD-KGEH; Khairil Armal, S.Si, Sp.FRS, Apt) ABSTRAK Keberhasilan suatu pengobatan tidak hanya dipengaruhi oleh kualitas pelayanan kesehatan, sikap dan keterampilan petugasnya, sikap dan pola hidup pasien beserta keluarganya, tetapi dipengaruhi juga oleh kepatuhan pasien terhadap pengobatannya. Salah satu upaya untuk meningkatkan kepatuhan pasien terhadap pengobatannya adalah dengan konseling. Penelitian ini dilakukan dengan analisis statistik yang dikerjakan secara prospektif tehadap suatu populasi terbatas yaitu sebanyak 50 orang pasien Diabetes Mellitus tipe 2 di Poliklinik Khusus RSUP DR. M. Djamil Padang selama bulan Februari sampai April 2011. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh konseling terhadap kepatuhan pasien Diabetes Mellitus tipe 2, dimana aspek yang dinilai yaitu pengetahuan, sikap, kadar glukosa darah puasa dan Pill Count (menghitung sisa obat yang didapat pasien selama periode waktu tertentu). Rancangan penelitian yang dipakai adalah The One Group PretestPosttest Design yang merupakan penelitian experimental, yaitu Pre-Experimental Design. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 50 pasien terdapat perbedaan pengetahuan, sikap dan kadar glukosa darah puasa sebelum dan setelah konseling dengan menggunakan analisis uji t berpasangan. Nilai t hitung diperoleh berturutturut -16.157, -15.968 dan 4.578, dengan tingkat signifikansi 0.000, 0.000, dan 0.000 (p<0.05). Sedangkan hasil analisis dengan menggunakan uji Regresi Linear Sederhana untuk menilai pengaruh konseling obat terhadap pengetahuan, sikap dan kadar glukosa darah puasa pasien diperoleh nilai F hitung berturut-turut 109.363, 175.888 dan 53.241, dengan tingkat signifikansi 0.000, 0.000 dan 0.000 (p<0.05) yang berarti terdapat pengaruh konseling obat terhadap pengetahuan, sikap dan kadar glukosa darah puasa pasien. Untuk melihat hubungan karakteristik demografi (usia, jenis kelamin, pendidikan dan lama menderita) terhadap pengetahuan dan sikap digunakan analisis uji Chi-Square dan diperoleh nilai berturut-turut 8.374, 0.046, 9.796, dan 4.325 pada aspek pengetahuan dengan tingkat signifikansi 0.212, 0.977, 0.133 dan 0.827 (p>0.05), serta 8.595, 0.989, 4.766, dan 4.323 pada aspek sikap dengan tingkat signifikansi 0.198, 0.610, 0.574 dan 0.827 (p>0.05). Sedangakan hasil Pill Count didapatkan data sebesar 36% (18 dari 50 orang) pasien yang mempunyai kepatuhan 100% terhadap terapi pengobatannya. Dari hasil penelitian didapatkan kesimpulan bahwa konseling dapat meningkatkan pengetahuan dan sikap pasien yang akan berpengaruh terhadap kepatuhan pasien terhadap pengobatannya.

I. PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Keberhasilan suatu pengobatan tidak hanya dipengaruhi oleh kualitas pelayanan kesehatan, sikap dan keterampilan petugasnya, sikap dan pola hidup pasien beserta keluarganya, tetapi dipengaruhi juga oleh kepatuhan pasien terhadap pengobatannya. Hasil terapi tidak akan mencapai tingkat optimal tanpa adanya kesadaran dari pasien itu sendiri, bahkan dapat menyebabkan kegagalan terapi, serta dapat pula menimbulkan komplikasi yang sangat merugikan dan pada akhirnya dapat berakibat fatal (Hussar, 1995). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kepatuhan pasien pada pengobatan penyakit yang bersifat kronis pada umumnya rendah. Penelitian yang melibatkan pasien berobat jalan menunjukkan bahwa lebih dari 70% pasien tidak minum obat sesuai dengan dosis yang seharusnya (Basuki, 2009). Menurut laporan WHO pada tahun 2003, kepatuhan rata-rata pasien pada terapi jangka panjang terhadap penyakit kronis di negara maju hanya sebesar 50%, sedangkan di negara berkembang, jumlah tersebut bahkan lebih rendah (Asti, 2006). Ketidakpahaman pasien terhadap terapi yang sedang dijalaninya akan meningkatkan ketidakpatuhan pasien dalam mengkonsumsi obatnya (Sitorus, 2010). Faktor tersebut akibat dari kurangnya informasi dan komunikasi antara tenaga kesehatan dengan pasien. Biasanya karena kurangnya informasi mengenai hal-hal di atas, maka pasien melakukan self-regulation terhadap terapi obat yang diterimanya (Anonim, 2007). Salah satu upaya untuk meningkatkan kepatuhan pasien terhadap pengobatannya saat ini adalah dengan melakukan konseling pasien. Dengan

adanya konseling dapat mengubah pengetahuan dan kepatuhan pasien. Dalam hal ini farmasis harus berinteraksi dengan pasien dan tenaga kesehatan lainnya dengan komunikasi yang efektif untuk memberikan pengertian ataupun pengetahuan tentang obat dan penyakit. Pengetahuan yang dimilikinya diharapkan dapat menjadi titik tolak perubahan sikap dan gaya hidup pasien yang pada akhirnya akan merubah perilakunya serta dapat meningkatkan kepatuhan pasien terhadap pengobatan yang dijalaninya. Komunikasi antara farmasis dengan pasien disebut konseling, dan ini merupakan salah satu bentuk implementasi dari Pharmaceutical Care (Siregar, 2006). Diabetes Mellitus adalah penyakit kronis gangguan metabolisme yang ditandai dengan kadar glukosa darah melebihi nilai normal (hiperglikemia), sebagai akibat dari kelainan pada sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Di Indonesia DM tipe 2 merupakan yang terbanyak ditemukan yaitu sekitar 95% dari keseluruhan kasus diabetes. Walaupun diabetes tidak menyebabkan kematian secara langsung, tetapi berakibat fatal bila pengelolaannya tidak tepat. Dalam pengelolaan pengobatan DM tipe 2, pasien selalu mendapatkan pengobatan dalam waktu lama (long life) dan jumlah obat yang banyak (polifarmasi), sehingga kemungkinan terjadinya masalah yang terkait dengan obat (DRP) sangat besar. Dalam hal ini farmasis sebagai salah satu profesi kesehatan sudah seharusnya berperan dari aspek pelayanan kefarmasiannya dalam rangka menerapkan Pharmaceutical Care sebagaimana mestinya (Depkes RI, 2005; Anonim, 2007). Bertitik tolak dari hal tersebut di atas, maka penelitian ini dilakukan dengan harapan mendapatkan suatu gambaran mengenai pengaruh konseling obat terhadap kepatuhan pasien diabetes mellitus tipe 2 rawat jalan sehingga

didapatkan model yang sesuai untuk konseling obat pada pasien diabetes mellitus tipe 2 rawat jalan di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. M. Djamil Padang, serta masukan bagi manajemen rumah sakit untuk mempertimbangkan perlunya farmasis sebagai konselor di ruangan maupun di poliklinik untuk mendukung tercapainya tujuan terapi yang diharapkan. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui pengaruh konseling obat terhadap kepatuhan pasien diabetes mellitus tipe 2 rawat jalan di Poliklinik Khusus Rumah Sakit Umum Pusat Dr. M. Djamil Padang, dimana khusunya : a. Untuk mengetahui perbedaan pengetahuan, sikap dan kadar glukosa darah puasa pasien diabetes mellitus sebelum dan sesudah konseling obat. b. Untuk mengetahui pengaruh konseling obat terhadap pengetahuan, sikap dan kadar glukosa darah puasa pasien diabetes mellitus.

II. METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan metode penelitian eksperimental, dengan menggunakan pra-eksperimental (Pre-Experimental), dengan rancangan yang

digunakan adalah The One Group Pretest Posttest Design. Dalam rancangan ini digunakan satu kelompok subjek, pertama-tama dilakukan pengukuran (pretest), lalu dikenakan perlakuan untuk jangka waktu tertentu, kemudian dilakukan pengukuran untuk kedua kalinya (posttest) (Sugiyono, 2007). Pengambilan data dilakukan secara prospektif.

Populasi : pasien diabetes mellitus rawat jalan di Poliklinik Khusus Rumah Sakit Umum Pusat Dr. M. Djamil Padang. Sampel : pasien diabetes mellitus tipe 2 di Poliklinik Khusus Rumah Sakit Umum Pusat Dr. M. Djamil Padang dengan kriteria inklusi. Kriteria Inklusi Sampel a. Pasien diabetes mellitus tipe 2 yang hanya mendapat obat oral anti diabetes. b. Pasien yang berusia > 40 tahun. c. Pasien yang belum diberi konseling obat. d. Pasien yang ada data kadar gula darah puasa. e. Bersedia secara suka rela menjadi responden. Kriteria Eklusi Sampel a. Pasien diabetes mellitus dengan komplikasi yang dapat mempengaruhi pemeriksaan kadar gula dalam darah. b. Pasien dengan gangguan kejiwaan. c. Pasien yang sudah pernah mendapat konseling obat. d. Pasien mengundurkan diri menjadi responden selama penelitian. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di poliklinik khusus Rumah Sakit Umum Pusat Dr. M. Djamil Padang selama 3 bulan dari bulan Februari sampai April 2011. Prosedur Pengumpulan Data a. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi (calon responden) dijelaskan mengenai tujuan konseling dan penelitian, lalu diminta kesediaannya menjadi responden.

Bila pasien setuju, maka data dari hasil pemeriksaan untuk kadar gula darah puasa yang dicatat dari rekam medik pasien dimasukkan ke dalam lembar pengumpul data untuk hasil pemeriksaan laboratorium. b. Kemudian pada saat pasien selesai melakukan pemeriksaan dan telah diberikan resep, dilakukan pretest untuk mengetahui pengetahuan pasien dan sikap pasien dengan wawancara dan menggunakan lembar kuesioner, setelah itu dilakukan konseling obat dengan menggunakan modul, brosur obat dan kartu minum obat mandiri. c. Dua minggu kemudian dilakukan pemeriksaan ulang kadar glukosa darah puasa pasien. Hal ini dilakukan selama 3 x 2 minggu. Selanjutnya pada minggu keenam dilakukan penilaian ulang atau posttest untuk menilai pengetahuan dan sikap pasien setelah konseling obat dengan menggunakan lembar kuesioner. Selain itu juga dilakukan penghitungan sisa obat pasien (pill count) untuk menilai % kepatuhan (Jasti et al, 2005) : % Kepatuhan = Jumlah obat yang diperoleh jumlah obat sisa x 100% Jumlah obat yang diperoleh d. Data yang didapat kemudian direkapitulasi dalam tabel induk untuk pengetahuan dan tabel induk untuk sikap dalam bentuk yang sudah dinominalkan. Analisis Data Data yang sudah direkapitulasi untuk hasil wawancara dan hasil laboratorium untuk kadar glukosa darah, kemudian dilakukan analisis data secara statistik sebagai berikut : a. Uji validitas dan reliabilitas Untuk menguji keandalan (validitas) dan keajengan (reliabilitas) kuisioner.

b. Uji t berpasangan Untuk mengetahui perbedaan pengetahuan, sikap, kadar glukosa darah puasa dan kepatuhan pasien sebelum dan sesudah konseling obat. Pada penelitian ini hasil analisis statistik dinyatakan bermakna apabila didapatkan harga P < 0,05 dan sangat bermakna apabila harga P < 0,01. c. Regresi linier sederhana dan berganda Untuk menilai pengaruh konseling obat terhadap pengetahuan, sikap dan kadar gula darah puasa. d. Crosstab dan Chi-Square Crosstab atau tabulasi silang untuk menampilkan kaitan antara dua atau lebih variabel yaitu melihat pengaruh umur, jenis kelamin, pendidikan dan lama menderita DM terhadap pengetahuan dan sikap. Sedangkan Chi-Square untuk menguji ada tidaknya hubungan baris dan kolom dari sebuah Crosstab (Sugiyono, 2007).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN Data Demografi Pasien Dalam penelitian ini, digunakan sampel sebanyak 50 orang pasien yang berobat ke poliklinik khusus RSUP Dr. M. Djamil Padang yang mendapatkan terapi Obat Anti Diabetes (OAD) oral. Data demografi pasien yang diteliti pada penelitian ini adalah usia pasien, jenis kelamin, pendidikan dan lama menderita DM. Hasil selengkapnya mengenai distribusi data demografi pasien dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 1. Distribusi Usia Pasien Penderita DM Kategori Usia 41 - 50 tahun 51 - 60 tahun 61 - 70 tahun > 70 tahun JUMLAH Jumlah (orang) 6 25 17 2 50 Persentase 12% 50% 34% 4% 100%

No. 1. 2. 3. 4.

Tabel 2. Distribusi Jenis Kelamin Pasien Penderita DM No. 1. 2. Kategori Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan JUMLAH Jumlah (orang) 13 37 50 Persentase 26% 74% 100%

Tabel 3. Distribusi Pendidikan Pasien Penderita DM No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Kategori Pendidikan SD SLTP SLTA S1 S2 S3 JUMLAH Jumlah (orang) 0 6 38 5 0 1 50 Persentase 0% 12% 76% 10% 0% 2% 100%

Tabel 4. Distribusi Lama Menderita DM No. 1. 2. 3. 4. 5. Lama Menderita < 1 tahun 1 - 5 tahun 6 - 10 tahun 11 - 15 tahun > 15 tahun JUMLAH Jumlah (orang) 7 17 13 10 3 50 Persentase 14% 34% 26% 20% 6% 100%

Hubungan Karakteristik Demografi Pasien Terhadap Pengetahuan dan Sikap Untuk melihat adanya hubungan antara karakteristik demografi pasien dengan pengetahuan dan sikap, dapat dilihat dengan menggunakan uji statistik Crosstabs (tabulasi silang). Hasil selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 5. Hubungan Karakteristik Demografi Pasien Terhadap Pengetahuan dan Sikap (Uji Crosstabs) Karakteristik Demografi Usia (tahun) 41 - 50 tahun 51 - 60 tahun 61 - 70 tahun > 70 tahun Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan SD SLTP SLTA S1 S2 S3 Lama Menderita DM < 1 tahun 1 - 5 tahun 6 - 10 tahun 11 - 15 tahun > 15 tahun Pengetahuan Sikap Kategori Baik (%) 33,3 32 41,2 50 0 24 41,2 50

38,5 35,1 0 0 39,5 40 0 100 28,6 41,2 38,5 30 33,3

38,5 24,3 0 16,7 26,3 40 0 100 42,9 29,4 15,4 30 33,3

Dari penelitian yang dilakukan di Poliklinik Khusus Rumah Sakit Umum Pusat Dr. M. Djamil Padang ditemukan hubungan usia terhadap pengetahuan menunjukkan bahwa pasien yang berusia >70 tahun memiliki pengetahuan dan

10

sikap yang baik yaitu sebesar 50%. Hal ini terjadi karena berdasarkan pengamatan, pasien yang berusia ini lebih aktif dan terbuka menerima konseling dari konselor mengenai informasi penyakit dan terapi yang diberikan. Pada penelitian ini, pasien yang berusia di bawah 60 tahun menunjukkan pengetahuan yang lebih rendah dibandingkan dengan pasien yang berusia di atas 60 tahun. Hal ini disebabkan karena berdasarkan pengamatan, pasien tersebut memiliki semangat dan motivasi hidup yang tinggi terhadap penyakitnya, sehingga pasien menerima dengan baik segala informasi yang diberikan oleh konselor. Selain itu juga peran keluarga sangat membantu dalam mengingatkan dan memberikan informasi mengenai cara minum obat, waktu minum obat, aturan diet dan olahraga serta adanya finansial yang cukup. Hubungan jenis kelamin terhadap pengetahuan, menunjukkan bahwa pasien laki-laki yang masuk kategori pengetahuan yang baik adalah sebesar 38,5%, sedangkan pasien perempuan yang masuk kategori baik sebesar 35,1%. Dalam penelitian dapat dilihat bahwa pasien laki-laki lebih tinggi pengetahuannya dibandingkan dengan pasien perempuan. Hal ini disebabkan karena pasien lakilaki dalam hal ini lebih terbuka menerima konseling obat yang diberikan dibandingkan dengan pasien perempuan. Dari data terlihat juga bahwa pasien perempuan lebih banyak daripada pasien laki-laki. Hal ini dikarenakan sebagian faktor yang dapat mempertinggi resiko DM tipe 2 yang dialami oleh perempuan, seperti riwayat kehamilan dengan berat badan lahir bayi > 4 kg, riwayat DM selama kehamilan (diabetes gestasional), obesitas, penggunaan kontrasepsi oral, dan tingkat stress yang cukup tinggi (Mansjoer, 2000; Therney, 2002). Pasien dengan diabetes gestasional

11

memiliki resiko sekitar 30-50% untuk berkembang menjadi DM tipe 2 (Oki, 2002). Dari hasil penelitian hubungan pendidikan terhadap pengetahuan terlihat bahwa pasien dengan pendidikan di perguruan tinggi menunjukkan pengetahuan yang baik yaitu pendidikan S3 sebesar 100%, dan pendidikan S1 sebesar 40%. Sedangkan pasien dengan pendidikan SLTA yang masuk kategori pengetahuan baik sebesar 39,5%, dan pendidikan SLTP yang masuk kategori pengetahuan baik sebesar 0%. Dalam hal ini pasien yang berpendidikan S3 hanya 1 orang, sehingga tidak dapat dibuat perbandingannya. Dari data ini terlihat semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin tinggi peningkatan pengetahuannnya. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin baik atau cepat menerima dan menyerap informasi yang diberikan oleh konselor, serta mempunyai pola pikir yang lebih baik terhadap penyakit dan terapi yang dijalaninya. Untuk hubungan lama menderita DM terhadap pengetahuan, menunjukkan adanya pengaruh pasien dengan lama menderita diabetes 1-5 tahun yang termasuk kategori pengetahuan yang baik sebesar 41,2%, dan yang < 1 tahun sebesar 28,6%. Hal ini disebabkan karena mereka baru mengetahui tentang penyakit dan obatnya sehingga mereka mempunyai rasa ingin tahu yang besar dan ingin sembuh. Lama menderita DM akan mempengaruhi sikap pasien terhadap pengobatan penyakitnya. Dimana pasien yang masih tergolong baru didiagnosa DM pada umumnya mereka sangat terbuka dan senang untuk diberikan konseling obat, karena mereka masih belum paham mengenai penyakit dan pengobatan yang dideritanya, sehingga mereka mempunyai rasa ingin tahu yang besar terhadap itu.

12

Sedangkan pasien dengan lama menderita diabetes 6-10 tahun yang masuk kategori pengetahuan yang baik sebesar 38,5%, dan pasien yang lama menderita diabetes 11-15 tahun dan >15 tahun yang masuk kategori pengetahuan yang baik sebesar 30% dan 33,3%. Hal ini disebabkan karena mereka menganggap penyakitnya tidak membahayakan, atau menurut pengalaman mereka hasilnya tidak begitu memuaskan selama mereka dalam pengobatan, karena menurut pengalaman mereka walaupun sudah rajin minum obat tetap saja hasilnya tidak memuaskan, sehingga mereka pasrah dan kurang peduli terhadap penyakitnya, akibatnya mereka tidak begitu tertarik untuk diberikan informasi mengenai obat dan penyakit yang dideritanya. Dari penelitian yang dilakukan di Poliklinik Khusus Rumah Sakit Umum Pusat Dr. M. Djamil Padang didapatkan hasil pengaruh usia terhadap sikap, dimana pasien dengan usia 41-50 tahun yang termasuk kategori sikap yang baik sebesar 0%, pasien dengan usia 51-60 tahun yang masuk kategori sikap yang baik sebesar 24%, sedangkan pasien dengan usia 61-70 tahun dan >70 tahun yang masuk kategori sikap yang baik sebesar 41,2% dan 50%. Dari hasil data ini terlihat bahwa pasien dengan usia yang lebih tua memperlihatkan perubahan sikap yang lebih baik dibandingkan dengan pasien yang berusia lebih muda. Hal ini disebabkan karena pasien yang berusia lebih muda kurang mempunyai motivasi yang kuat untuk sembuh, karena mereka masih belum menyadari betul dampak atau bahaya komplikasi yang dapat ditimbulkan dari penyakit DM ini, meskipun kadangkala sudah didukung oleh faktor keluarga dan lingkungan serta ditunjang oleh finansial yang memadai. Sedangkan pasien yang berusia lebih tua menunjukkan perubahan sikap yang lebih baik terhadap

13

pengobatannya karena mereka biasanya menyadari betul bahaya penyakit ini dan juga sudah ada yang mendapatkan komplikasi ataupun mempunyai pengalaman yang tidak menyenangkan terhadap penyakit ini dari lingkungan atau orang terdekat mereka, sehingga mereka merasa perlu lebih waspada terhadap penyakitnya. Selain itu juga didukung oleh keluarga dan lingkungan untuk mendapatkan diet yang teratur dan olahraga rutin sesuai yang dianjurkan. Pada dasarnya, usia dewasa terutama usia 45 tahun ke atas memiliki resiko tinggi terhadap DM tipe 2. Hal ini terutama disebabkan karena dengan bertambahnya usia, maka fungsi sel pankreas dan sekresi insulin akan berkurang, dan juga berkaitan dengan resistensi insulin akibat berkurangnya massa otot dan perubahan vaskular, berkurangnya aktivitas fisik, sehingga rentan terhadap berat badan berlebih bahkan obesitas (Misnadiarly, 2006). Untuk melihat hubungan pengaruh jenis kelamin terhadap sikap menunjukkan pasien laki-laki dengan kategori sikap yang baik adalah sebesar 38,5%, lebih tinggi dibandingkan pasien perempuan yang masuk kategori sikap yang baik yaitu sebesar 24,3%. Dalam penelitian ini, pasien laki-laki memiliki sikap yang lebih baik daripada pasien perempuan, karena berdasarkan pengamatan pada peneletian ini, pada umumnya pasien laki-laki lebih care terhadap penyakitnya daripada pasien perempuan, misalnya seperti rajin berolahraga secara rutin, mengatur pola diet, dan teratur minum obat. Dari penelitian sebelumnya, juga disebutkan bahwa pasien laki-laki memiliki sikap atau perilaku yang baik dalam menjalani diet yaitu sebesar 45%, dibandingkan dengan pasien perempuan yaitu sebesar 30% (Darusman, 2009).

14

Untuk melihat hubungan pengaruh tingkat pendidikan pasien terhadap perubahan sikapnya didapatkan hasil dimana pasien dengan pendidikan S3 menunjukkan kategori sikap yang baik adalah 100%, pendidikan S1 yang masuk kategori sikap yang baik 40%, pendidikan SLTA yang masuk kategori sikap yang baik 26,3%, dan pendidikan SLTP yang masuk kategori sikap yang baik 16,7%. Dalam hal ini pasien yang berpendidikan S3 hanya 1 orang, sehingga tidak dapat dibuat perbandingannya. Dari penelitian yang dilakukan ini terlihat bahwa pendidikan seseorang dapat merubah sikap seseorang dengan baik. Hal ini disebabkan karena peningkatan pengetahuan yang mereka miliki selain untuk dipahami tetapi juga mereka aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk merubah sikap seseorang diperlukan motivasi yang kuat dari dalam diri mereka, dimana dalam hal ini mereka perlu meyakinkan diri mereka sendiri bahwa dengan meningkatnya pengetahuan dan perubahan sikap akan meningkatkan kepatuhan, yang mana hasil akhirnya akan mengendalikan penyakit mereka dan mencegah terjadinya komplikasi yang tidak diinginkan. Selain itu faktor lingkungan dan keluarga juga sangat berperan penting sekali dalam menunjang perubahan sikap ini. Dari hasil penelitian yang dilakukan di Poliklinik Khusus Rumah Sakit Umum Pusat Dr. M. Djamil Padang didapatkan hubungan lama menderita DM terhadap sikap didapatkan bahwa hasil yang menunjukkan perubahan sikap yang baik adalah pasien yang menderita DM < 1 tahun. Hal ini disebabkan karena pasien yang baru didiagnosa menderita DM dan mempunyai motivasi yang besar untuk sembuh, sehingga mereka tertarik untuk mendengarkan informasi mengenai obat dan penyakitnya, atau mereka mempunyai pengalaman melihat keluarga atau

15

kenalan mereka yang mendapatkan komplikasi yang cukup serius akibat penyakit DM ini. Sedangkan pasien yang sudah lama menderita DM agak berkurang perubahan sikapnya, hal ini disebabkan karena mereka belum mendapatkan atau merasakan komplikasi yang cukup serius yang merugikan mereka, atau mereka tidak mau mengontrol diet karena sudah terbiasa makan sesuai keinginan mereka serta malas untuk berolahraga, atau karena mereka juga sudah pasrah dengan penyakitnya karena pengobatan yang sangat lama, sekaligus kurang didukung oleh faktor lingkungan dan keluarga. Konseling bertujuan agar pasien lebih memahami tentang penyakitnya dan menekankan bahwa akan lebih baik mencegah terjadinya komplikasi daripada mengobatinya. Untuk melihat ada atau tidaknya hubungan antar variabel tersebut, digunakan uji Chi-Square. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 6. Hubungan Karakteristik Demografi Pasien Terhadap Pengetahuan dan Sikap (Uji Chi-Square) No. 1. 2. 3. 4. Karakteristik Demografi Usia Jenis Kelamin Pendidikan Lama Menderita DM Pengetahuan Nilai Signifikansi 8,374 0,212 ns 0,046 0,977 ns 9,796 0,133 ns 4,325 0,827 ns Sikap Signifikansi 0,198ns 0,610ns 0,574ns 0,827ns

Nilai 8,595 0,989 4,766 4,323

Dari hasil terlihat bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara variabel demografi (usia, jenis kelamin, pendidikan dan lama menderita) terhadap pengetahuan dan sikap pasien tentang obat dan penyakitnya (P > 0,05). Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh konseling terhadap kepatuhan pasien diabetes mellitus, dimana sampel yang diteliti untuk usia, jenis kelamin, pendididikan dan lama menderita jumlahnya tidak sama sehingga setelah

16

dibagi dalam kategori masing-masing dalam jumlah yang sangat kecil sehingga didapatkan hasil tidak signifikan. Untuk mengetahui hubungan faktor demografi tersebut terhadap sikap perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel dan dengan pendekatan yang sesuai. Perbedaan dan Pengaruh Konseling Terhadap Pengetahuan Pasien

S k o r

Pasien Gambar 1. Diagram perbedaan skor pengetahuan pasien DM dari hasil pengisian kuisioner sebelum dan setelah konseling obat di Poliklinik Khusus RSUP Dr. M. Djamil Padang Data rerata skor pengetahuan pasien DM dari hasil pengisian kuisioner sebelum maupun setelah konseling obat di Poliklinik Khusus RSUP Dr. M. Djamil Padang diperoleh : Skor Sebelum Konseling Obat 37.18 5.025 Skor Setelah Konseling Obat 44.50 2.589

Dari rerata skor pengetahuan sebelum dan setelah konseling terdapat perbedaan pengetahuan yang bermakna pada pasien diabetes mellitus, berdasarkan hasil pengujian statistik dengan menggunakan uji t berpasangan diperoleh nilai t hitung -16,157 dengan tingkat signifikansinya 0,000 (p < 0,000).

17

Peningkatan

skor

pengetahuan

yang

terjadi

setelah

konseling

menunjukkan bahwa tujuan konseling tercapai. Sesuai dengan teori edukasi yang menyatakan bahwa konseling harus bertujuan untuk mendidik pasien sehinggga pengetahuan pasien terhadap obat akan meningkat dan hal ini akan mendorong pada perubahan perilaku. Melalui konseling (disertai dengan penjelasan yang memadai) maka asumsi dan perilaku pasien yang salah akan dapat diperbaiki/dikoreksi (Rantucci, 2007). Peningkatan skor pengetahuan setelah diberikan konseling menunjukkan bahwa konseling merupakan metode yang sesuai untuk meningkatkan pengetahuan, sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa untuk meningkatkan pengetahuan seseorang dapat digunakan dengan cara ceramah, membaca, dan konseling (Rantucci, 2007). Konseling dapat meningkatkan pengetahuan pasien karena pasien diberikan informasi tentang obat mencakup nama obat, indikasi, dosis, waktu dan jadwal minum obat serta informasi mengenai penyakitnya. Sedangkan untuk melihat pengaruh konseling terhadap pengetahuan dilakukan dengan uji regresi linier sederhana. Dari data yang diperoleh terdapat pengaruh konseling terhadap pengetahuan nilai F hitung 109,363 dengan tingkat signifikansi 0,000 (p < 0,05) dan nilai R (koefisien determinasi) sebesar 0,695. Sedangkan nilai R (koefisien korelasi) diperoleh sebesar 0,834 (83,4%). Ini berarti konseling berpengaruh terhadap pengetahuan sebesar 83,4%, dan sisanya dipengaruhi oleh variabel lain selain variabel bebas yang diteliti, seperti jumlah dan karakteristik sampel. Hal ini karena disebabkan waktu konseling yang dirasa masih kurang atau situasi dan kondisi konseling yang kurang memadai, selain itu juga pada penelitian ini sampel yang diteliti tidak seragam tingkat pendidikan,

18

status sosial, umur dan lama menderita DM, sehingga didapatkan hasil yang kurang optimal, karena untuk meningkatkan pengetahuan merupakan proses yang memerlukan waktu yang berbeda untuk setiap pasien (Niven, 2002). Perbedaan dan Pengaruh Konseling Terhadap Sikap Pasien

S k o r

Pasien

Gambar 2. Diagram perbedaan skor sikap pasien DM dari hasil pengisian kuisioner sebelum dan setelah konseling obat di Poliklinik Khusus RSUP Dr. M. Djamil Padang

Data rerata skor sikap pasien DM dari hasil pengisian kuisioner sebelum maupun setelah konseling obat di Poliklinik Khusus RSUP Dr. M. Djamil Padang diperoleh : Skor Sebelum Konseling Obat 46.62 4.323 Skor Setelah Konseling Obat 51.34 3.230

Dari rerata skor sikap sebelum dan setelah konseling terdapat perbedaan sikap yang bermakna pada pasien diabetes mellitus, berdasarkan hasil pengujian statistik dengan menggunakan uji t berpasangan diperoleh nilai t hitung -15,968 dengan tingkat signifikansinya 0,000 (p < 0,05).

19

Peningkatan skor sikap yang terjadi setelah konseling menunjukkan bahwa informasi yang didapatkan setelah konseling dapat meningkatkan pengetahuan pasien yang akan berdampak terhadap perubahan sikap pasien terhadap penyakit dan pengobatannya. Untuk melihat pengaruh konseling terhadap sikap dilakukan dengan uji regresi linier sederhana. Dari data yang diperoleh terdapat pengaruh konseling terhadap sikap nilai F hitung 175,888 dengan tingkat signifikansi 0,000 (p < 0,05) dan nilai R (koefisien determinasi) sebesar 0,786. Sedangkan nilai R (koefisien korelasi) diperoleh nilai sebesar 0,886 (88,6%). Ini berarti konseling berpengaruh terhadap sikap sebesar 88,6%, dan sisanya dipengaruhi oleh variabel lain selain variabel bebas yang diteliti. Hal ini karena disebabkan waktu konseling yang dirasa masih kurang atau situasi dan kondisi konseling yang kurang memadai, selain itu juga pada penelitian ini sampel yang diteliti tidak seragam tingkat pendidikan, status sosial, umur dan lama menderita DM, sehingga didapatkan hasil yang kurang optimal, karena sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus atau objek, atau sikap adalah kecenderungan yang tertata untuk berpikir, merasa, menyerap dan berperilaku terhadap suatu referen atau objek kognitif (Soegondo, 2002). Berbagai sikap yang diperkirakan ada pada pasien diabetes antara lain adalah sikap terhadap diet makanan, jenis pengobatan, olahraga, bahkan sampai pada sikap mereka terhadap dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Untuk mengubah sikap diperlukan motivasi pasien sehingga diperlukan keterampilan konselor untuk memotivasi pasien.

20

Perbedaan dan Pengaruh Konseling Terhadap Kadar Gukosa Darah Puasa Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2

Kadar GDP (mg/dl)

Pasien

Gambar 3. Diagram perbedaan kadar gula darah puasa pasien DM baik sebelum dan setelah konseling obat di Poliklinik Khusus RSUP Dr. M. Djamil Padang. Data rerata kadar gula darah puasa pasien DM sebelum dan setelah konseling obat di Poliklinik Khusus RSUP Dr. M. Djamil Padang diperoleh : Kadar GDP Sebelum Konseling Obat 142.66 50.329 Kadar GDP Setelah Konseling Obat 119.26 26.244

Dari rerata kadar glukosa darah puasa pasien sebelum dan setelah konseling terdapat perbedaan yang bermakna, berdasarkan hasil pengujian statistik dengan menggunakan uji t berpasangan diperoleh nilai t hitung 4,578 dengan tingkat signifikansinya 0,000 (p < 0,05). Penurunan kadar glukosa darah puasa setelah konseling obat menunjukkan bahwa konseling yang diberikan berpengaruh terhadap pengetahuan dan sikap pasien sehingga akan menimbulkan tindakan untuk patuh terhadap pengobatan.

21

Untuk melihat pengaruh konseling terhadap kadar glukosa darah puasa pasien dilakukan dengan uji regresi linier sederhana. Dari data yang diperoleh terdapat pengaruh konseling terhadap kadar glukosa darah puasa pasien nilai F hitung 53,241 dengan tingkat signifikansi 0,000 (p < 0,05) dan nilai R (koefisien determinasi) diperoleh nilai sebesar 0,526. Sedangkan nilai R (koefisien korelasi) diperoleh sebesar 0,725 (72,5%). Ini berarti konseling berpengaruh terhadap kadar glukosa darah puasa pasien sebesar 72,5%, dan sisanya dipengaruhi oleh variabel lain selain variabel bebas yang diteliti, diantaranya kepatuhan terhadap diet dan olahraga. Selain itu pada penelitian ini sampel yang diteliti tidak seragam tingkat pendidikan, status sosial, umur dan lama menderita DM, sehingga didapatkan hasil yang kurang optimal. Faktor lainnya juga disebabkan karena pasien masih ada yang tidak patuh untuk minum obat dan tidak melakukan diet seperti yang dianjurkan, dengan alasan lupa, sibuk, faktor finansial, pasrah dengan penyakitnya, tidak peduli dengan penyakit, lingkungan yang tidak mendukung atau memang pasien sudah tersugesti di pikirannya bahwa obat itu adalah racun. Hal ini didukung oleh teori yang menyatakan bahwa untuk terwujudnya sikap agar menjadi suatu perbuatan nyata, diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Sebagai contoh seorang pasien yang telah mempunyai pengetahuan dan sikap yang baik terhadap keteraturan berolahraga, mungkin tidak dapat menjalankan perilaku tersebut karena keterbatasan waktu. Seorang pasien yang telah berniat untuk makan sesuai dengan pola diet makanan yang telah dianjurkan ahli gizi, kadang-kadang keluar dari jalur tersebut karena situasi di

22

rumah atau di kantor yang tidak mendukung, seperti sedang ada pesta atau perayaan (Basuki, 2009). Perhitungan Pill Count Hasil perhitungan Pill Count digunakan untuk menilai kepatuhan pasien berdasarkan masing-masing obat yang didapatkan. Metode ini dilakukan dengan menghitung sisa obat yang didapatkan pasien selama terapi pada periode waktu tertentu. Dalam hal ini, perhitungan Pill Count dilakukan di rumah pasien hanya pada minggu kedua setelah pasien berobat ke Poliklinik Khusus RSUP Dr. M. Djamil Padang. Dari hasil penelitian, hanya sebesar 36% (18 dari 50 orang) pasien yang mempunyai kepatuhan 100% terhadap terapi pengobatan yang

didapatkannya. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada tabel : Tabel 7. Hasil Perhitungan Pill Count Jumlah Obat yang Diberikan 45 45 30 7.5 45 45 15 45 45 15 45 15 45 15 45 15 45 Jumlah Obat Sisa 4 0 0 1 3 17 2 5 15 0 0 0 15 11 4 0 0 % Kepatuhan 91,11% 100% 100% 86,67% 93,33% 62,22% 86,67% 88.89% 66,67% 100% 100% 100% 66,67% 26,67% 91,11% 100% 100% Rata-rata % Kepatuhan 91,11% 100% 86,67% 93,33% 74,45% 88.89% 83.34% 100% 46,67% 95,55% 100%

No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.

Nama A B C D E F G H I J K

Terapi OAD Metformin 3 x 500 mg Metformin 3 x 500 mg Glucobay 2 x 50 mg Glibenklamid 1 x 2,5 mg Metformin 3 x 500 mg Metformin 3 x 500 mg Glibenklamid 1 x 5 mg Metformin 3 x 500 mg Metformin 3 x 500 mg Gliklazid 1 x 80 mg Metformin 3 x 500 mg Gliklazid 1 x 80 mg Metformin 3 x 500 mg Gliklazid 1 x 80 mg Metformin 3 x 500 mg Solosa 1 x 2 mg Metformin 3 x 500 mg

23

12. 13. 14. 15.

L M N O

16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.

P Q R S T U V W

24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33.

X Y Z AA BB CC DD EE FF GG

Glucodex 1 x 80 mg Metformin 3 x 500 mg Glucobay 2 x 50 mg Metformin 3 x 500 mg Glimepirid 1 x 1 mg Metformin 3 x 500 mg Glimepirid 1 x 2 mg Glucobay 2 x 50 mg Metformin 3 x 500 mg Glucobay 2 x 50 mg Metformin 3 x 500 mg Metformin 3 x 500 mg Glucodex 1 x 80 mg Glikuidon 2 x 30 mg Metformin 3 x 500 mg Gliklazid 1 x 80 mg Gliklazid 1 x 80 mg Glucobay 3 x 50 mg Metformin 3 x 500 mg Solosa 1 x 2 mg Metformin 3 x 500 mg Solosa 1 x 1 mg Glucobay 3 x 50 mg Metformin 3 x 500 mg Glibenklamid 1 x 5 mg Metformin 3 x 500 mg Metformin 3 x 500 mg Glucobay 2 x 50 mg Metformin 3 x 500 mg Glucodex 1 x 80 mg Metformin 3 x 500 mg Glucodex 1 x 80 mg Metformin 3 x 500 mg Glimepirid 1 x 1 mg Metformin 3 x 500 mg Glucodex 1 x 80 mg Metformin 3 x 500 mg Solosa 1 x 1 mg Metformin 3 x 500 mg Glimepirid 1 x 1 mg

15 45 30 45 15 45 15 30 45 30 45 45 15 30 45 15 15 30 45 15 45 15 45 45 15 45 45 30 45 15 45 15 45 15 45 15 45 15 45 15

0 32 15 0 0 3 0 0 4 6 17 5 0 0 11 4 0 0 8 2 3 0 6 4 0 12 2 0 7 1 0 0 9 4 0 0 6 0 0 0

100% 28,89% 50% 100% 100% 93,33% 100% 100% 91,11% 80% 62,22% 88,89% 100% 100% 75,56% 73,33% 100% 100% 82,22% 86,67% 93,33% 100% 86,67% 91,11% 100% 73,33% 95,56% 100% 84,44% 93,33% 100% 100% 80% 73,33% 100% 100% 86,67% 100% 100% 100%

100% 39,45% 100% 97,78%

85,55% 62,22% 94,45% 100% 74,45% 100% 84,45% 93,23%

95,55% 73,33% 97,78% 88,86% 100% 100% 77% 100% 93,34% 100%

24

34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50.

HH II JJ KK LL MM NN OO PP QQ RR SS TT UU VV WW XX

Metformin 3 x 500 mg Glucodex 1 x 80 mg Metformin 3 x 500 mg Glimepirid 1 x 2 mg Metformin 3 x 500 mg Glucodex 1 x 80 mg Metformin 3 x 500 mg Solosa 1 x 1 mg Metformin 3 x 500 mg Solosa 1 x 1 mg Gliklazid 1 x 80 mg Metformin 3 x 500 mg Akarbose 3 x 50 mg Metformin 3 x 500 mg Metformin 3 x 500 mg Glucodex 1 x 80 mg Metformin 3 x 500 mg Glimepirid 1 x 1 mg Metformin 3 x 500 mg Glucophage 3 x 500 mg Glucodex 1 x 80 mg Metformin 3 x 500 mg Solosa 1 x 1 mg Metformin 3 x 500 mg Solosa 1 x 2 mg Metformin 3 x 500 mg Solosa 1 x 1 mg Metformin 3 x 500 mg Glikuidon 1 x 30 mg Metformin 3 x 500 mg Gliklazid 1 x 80 mg

45 15 45 15 45 15 45 15 45 15 15 45 45 45 45 15 45 15 45 45 15 45 15 45 15 45 15 45 15 45 15

2 0 3 0 7 0 0 0 4 0 0 0 0 0 0 0 16 0 9 3 0 6 2 0 0 0 0 7 1 8 2

95,56% 100% 93,33% 100% 84,44% 100% 100% 100% 91,11% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 64,44% 100% 80% 93,33% 100% 86,67% 86,67% 100% 100% 100% 100% 84,44% 93,33% 82,22% 86,67%

97,78% 96,67% 92,22% 100% 95,55% 100% 100% 100% 100% 82,22% 80% 96,67% 86,67% 100% 100% 88,86% 84,45%

Pada penelitian ini tingkat kepatuhan yang kurang adalah dalam pemakaian obat yang frekuensinya banyak (3 x sehari) seperti Metformin. Alasan pasien ini bermacam-macam tidak meminum obat sesuai anjuran dokter, ada yang karena tidak sempat minum obat dengan alasan sibuk bekerja pada siang hari dan obat ditinggal di rumah, ada yang karena alasan efek samping obat dimana pasien

25

merasa mual atau mengalami gangguan pencernaan setelah minum obat tersebut, dan juga ada pasien beranggapan bahwa obat itu racun (zat kimia), jadi tidak baik diminum seringkali. Untuk mengatasi hal ini, pasien menyeimbangkannya dengan minum obat tradisonal, seperti air rebusan daun sirih merah. Jadi pada umumnya pasien lebih menyukai minum obat yang frekuensi minumnya 1 kali dalam sehari. Untuk Glucobay, ada pasien yang tidak meminumnya karena alasan efek samping obat yang menyebabkan pasien sering buang angin, sehingga kadangkala mengganggu dalam aktivitasnya sehari-hari. Begitu juga dengan Glibenklamid, dimana ada pasien yang langsung merasa lemas, pusing dan berkeringat dingin setelah meminumnya (gejala hipoglikemi). Banyak cara yang dapat dilakukan untuk dapat meningkatkan kepatuhan pasien seperti memberikan obat dengan jadwal minum obat satu kali sehari, memberikan obat sesuai dengan kemampuan pasien untuk membelinya, tidak mengubah jenis obat dari yang biasanya dikonsumsi oleh pasien apabila tidak dibutuhkan. Selain itu juga bisa dengan memberikan alat bantu seperti kartu pengingat obat yang bisa ditandai apabila pasien sudah minum obat, memberikan dukungan kepada anggota keluarga untuk mengingatkan pasien minum obat, dan lain sebagainya (Rantucci, 2007).

IV. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Setelah melakukan penelitian mengenai pengaruh konseling obat terhadap kepatuhan pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 di Poliklinik Khusus RSUP Dr. M. Djamil Padang, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

26

- Terdapat perbedaan pengetahuan dan sikap yang bermakna pada pasien DM setelah dilakukan konseling pasien dalam interval waktu 3 x 2 minggu. Berdasarkan hasil pengujian statistik menggunakan uji t berpasangan diperoleh nilai t hitung untuk pengetahuan -16,157 dengan tingkat signifikansi 0,000 (p < 0,05), dan untuk sikap -15,968 dengan tingkat signifikansi 0,000 (p < 0,05). - Ada pengaruh positif konseling obat terhadap pengetahuan dan sikap pasien DM berdasarkan hasil pengujian statistik dengan nilai F hitung berturut-turut 109,363, dan 175,888 , probabilitas 0,000 dan 0,000 (p < 0,05). Sedangkan nilai R (koefisien korelasi) diperoleh nilai 0,834 untuk pengetahun, dan 0,886 untuk sikap. Ini berarti konseling obat berpengaruh terhadap pengetahuan pasien DM sebesar 83,4%, dan untuk sikap sebesar 88,6% sedangkan sisanya dipengaruhi oleh variabel lain selain variabel bebas yang diteliti. - Terdapat perbedaan kadar glukosa darah puasa yang bermakna pada pasien DM setelah dilakukan konseling obat dalam interval waktu 3 x 2 minggu. Berdasarkan hasil pengujian statistik menggunakan uji t berpasangan diperoleh nilai t hitung 4,578 dengan tingkat signifikansi 0,000 (p < 0,05). - Ada pengaruh positif konseling obat terhadap kadar glukosa darah puasa pasien DM berdasarkan hasil pengujian statistik dengan nilai F hitung 53,241 dengan tingkat signifikansi atau probabilitas 0,000 (p < 0,05). Sedangkan nilai R (koefisien korelasi) diperoleh nilai 0,725. Ini berarti konseling obat berpengaruh terhadap penurunan kadar glukosa darah puasa pasien DM sebesar 72,5%, dan sisanya dipengaruhi oleh variabel lain selain variabel bebas yang diteliti.

27

- Dalam penelitian ini tidak terdapat hubungan yang bermakna antara faktor demografi pasien (usia, jenis kelamin, pendidikan dan lama menderita DM) terhadap pengetahuan, sikap dan kadar glukosa darah puasa pasien diabetes mellitus setelah konseling obat. Saran - Meningkatkan waktu dan frekuensi konseling obat untuk mendapatkan hasil yang optimal. Melakukan konseling obat dengan bantuan peralatan audio visual agar pasien yang dikonseling lebih tertarik dan mendapatkan hasil yang optimal. - Meningkatkan jumlah sampel sekaligus menyeragamkan jumlah sampel berdasarkan kategori demografi pasien agar mendapatkan hasil yang optimal. - Perlu dilakukannya kembali penyediaan fasilitas untuk dilakukannya konseling pada pasien diabetes mellitus di Poliklinik Khusus RSUP DR. M. Djamil Padang.

DAFTAR PUSTAKA

Aslam M., C.K. Tan, A. Prayitno. 2007. Farmasi Klinis : Menuju Pengobatan Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien. Jakarta : PT Elex Media Komputindo Gramedia. Anonim. 2007. Pelayanan Konseling Akan Meningkatkan Kepatuhan Pasien Pada Terapi Obat, diakses Januari 2011 dari http://indonesiasehat. blogspot.com/2007/06/pelayanan-konseling-akanmeningkatkan9866.html Asti, Tri. 2006. Kepatuhan Pasien : Faktor Penting dalam Keberhasilan Terapi. Info POM, Vol. 7, No. 5, diakses Januari 2011 dari http:// perpustakaan.pom.go.id/KoleksiLainnya/Buletin%20Info%20POM/0506. pdf Basuki, Endang. 2009. Konseling Medik : Kunci Menuju Kepatuhan Pasien. Majalah Kedokteran Indonesia, Vol 59 Nomor 2 Februari 2009. Darusman. 2009. Perbedaan Perilaku Pasien Diabetes Mellitus Pria dan Wanita dalam Mematuhi Pelaksanaan Diet. Berita Kedokteran Masyarakat, Vol. 25, No. 1 Maret 2009, hal 31-33.

28

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Phamaceutical Care untuk Penyakit Diabetes Melitus, Jakarta : Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. Hussar, D.A. 1995. Patient Compliance, in Remington : The Science and Practice of Pharmacy, Volume II, USA : The Philadelpia College of Pharmacy and Science. Jasti, Sunita. 2005. Pill Count Adherence to Prenatal Multivitamin/Mineral Supplement Use Among Low-Income Women. The American Society Journal of Nutritions, 135, 1093-1101. Mansjoer, A.K., Triyanti R., Savitri W.I., (Editor). 2000. Kapita Selekta Kedokteran (Edisi 3), Jilid I. Jakarta : Media Aesculapius FKUI. Metry, Jean-Michel. 2002. Patient Compliance, in Principles and Practice of Pharmaceutical Medicine. John Wiley and Sons Ltd. Misnadiarly. 2006. Diabetes Mellitus, Gangren, Ulcer, Infeksi. Jakarta : Pustaka Populer Obor. Niven, Neil. 2002. Psikologi Kesehatan : Pengantar untuk Perawat dan Profesional Kesehatan Lain (Edisi 2). Penerjemah : A. Waluyo. Jakarta : EGC. Oki, J.C., dan Isley W.L. 2002. Diabetes Mellitus in Pharmacotherapy a Pathophysiologic Approach (5th Ed). New York : The McGraw Hill Co. Palaian, Subish. 2005. Patient Counseling By Pharmacist - A Focus On Chronic Illness. The Internet Journal of Pharmacology, Vol. 4. Rantucci, M.J. 2007. Komunikasi Apoteker-Pasien : Panduan Konseling Pasien (Edisi 2). Penerjemah : A.N. Sani. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Siregar, Charles J.P. dan Endang Kumolosasi. 2006. Farmasi Klinik Teori dan Penerapan, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Administrasi. Bandung : Alfabeta. Soegondo, Sidartawan dan Pradana Soewondo. 2002. Penatalaksanaan Diebetes Mellitus Terpadu. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Soegondo, S. 2008. Diabetes : The Silent Killer, Bagian Metabolik dan Endokrin FKUI/RSCM Jakarta, diakses Januari 2011 dari http://www.medicastore.com Therney, Lawrence, Stephen J., dan Papedakis. 2002. Diagnosis dan Terapi Kedokteran Ilmu Penyakit Dalam. Penerjemah : Abdul Gafur. Jakarta. Trisna Yulia. 2004. Idealisme Farmasis Klinik di Rumah Sakit. Pengantar Farmasi Klinik. Jakarta.

You might also like