You are on page 1of 11

ACFTA: Dua Persoalan, Empat Solusi

Sedari awal, kesepakatan/perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) yang mulai diberlakukan pada 1 Januari 2010 telah menyimpan dua persoalan penting yang harus diperhatikan oleh pemerintah Indonesia. Pertama, apakah pemerintah Indonesia telah melakukan sosialisasi terhadap publik mengenai kesepakatan ACFTA. Kedua, apakah pemerintah Indonesia telah memiliki strategi besar untuk menghadapi ACFTA. Dua persoalan ini penting untuk dikaji agar dapat dicari solusi yang tepat bagi Indonesia. Dua Persoalan Persoalan pertama terkait dengan persepsi publik terhadap kesepakatan ACFTA. Ini menjadi persoalan karena persepsi publik penting untuk di jadikan pertimbangan pemerintah Indonesia sebelum ACFTA diberlakukan. Untuk menjawab persoalan pertama, temuan survei LSI (Lingkaran Survei Indonesia) terkait Persepsi Publik Terhadap Perdagangan Bebas ASEAN-China yang dilakukan pada awal bulan Mei 2010 dapat dijadikan rujukan. Survei LSI dilakukan dengan populasi nasional dan sampel diambil secara standar dengan multistage random sampling (MRS). Wawancara dilakukan secara tatap muka (face to face interview). Sampel yang dianalisis sebanyak 1.000 responden dengan tingkat kesalahan sampel (sampling error) sebesar plus minus lima persen. Dalam surveinya, LSI mengajukan beberapa pertanyaan terhadap publik menyangkut ACFTA. Dari hasil survei tersebut diketahui bahwa hanya sebagian kecil saja publik Indonesia yang mengetahui atau pernah mendengar kesepakatan/perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China yang mulai berlaku pada 1 Januari 2010. Hanya 26,7 persen saja publik yang pernah mendengar mengenai kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China. Dari mereka yang pernah mendengar mengenai kesepakatan perdagangan bebas ASEANChina, mayoritas publik (51,9 persen) mengatakan tidak setuju dengan kesepakatan perdagangan bebas. Mengapa lebih banyak publik yang tidak setuju dengan kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China? Hal ini karena publik melihat kesepakatan perdagangan bebas ini lebih banyak merugikan ketimbang menguntungkan. Mayoritas publik (55,1 persen) mengatakan kesepakatan perdagangan bebas akan merugikan Indonesia karena pasar Indonesia banyak dibanjiri oleh produk-produk dari China. Hanya 21 persen saja yang menilai perdagangan bebas itu menguntungkan Indonesia karena produk Indonesia bisa dipasarkan di

China. Survei LSI juga menanyakan kepada publik mengenai kekhawatiran terhadap perjanjian perdagangan ASEAN-China. Jawabannya mayoritas publik justru mengkhawatirkan akibat dampak dari perdagangan bebas tersebut. Sebanyak 75,7 persen publik khawatir perdagangan bebas itu membuat pasar Indonesia dipenuhi oleh produk-produk dari China. Mayoritas publik (78,2 persen) juga khawatir perdagangan bebas itu membuat banyak perusahaan Indonesia akan tutup akibat tidak mampu bersaing dengan produk-produk dari China (kajian Bulanan LSI, Edisi No.22, Juli 2010). Ternyata temuan survei LSI tersebut menunjukkan bahwa publik cenderung mempersepsikan berlakunya ACFTA secara negatif. Publik menilai adanya perdagangan bebas ASEAN-China justru dapat membahayakan pasar dalam negeri dan ini jelas dapat merugikan neraca perdagangan Indonesia. Artinya China yang justru diuntungkan dengan adanya perdagangan bebas dan bukannya Indonesia. Persoalan kedua terkait dengan kesiapan atau strategi besar pemerintah Indonesia menghadapi ACFTA. Dalam poin ini tampak bahwa pemerintah Indonesia sama sekali tidak mempersiapkan dirinya secara matang. Sebagaimana diakui oleh Menteri Perindustrian MS Hidayat yang mengatakan bahwa pemerintah tidak mempunyai strategi besar dalam menghadapi Kesepakatan Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA). Meskipun pemerintah Indonesia telah mengusulkan untuk melakukan renegosiasi untuk 228 pos tarif produk yang berpotensi injuries agar pengenaan bebas bea masuk dapat ditunda pelaksanaanya, namun sayangnya hal itu tidak berjalan dan Indonesia terpaksa harus terus berjalan dengan mekanisme ACFTA. Akibatnya adalah enam produk injuries karena ACFTA, yaitu industri tekstil dan produk tekstil/TPT, makanan dan minuman, elektronik, alas kaki, kosmetik, serta industri jamu. Empat Solusi Sebelum ACFTA diberlakukan, pemerintah Indonesia seharusnya melakukan survei opini publik untuk mengetahui persepsi masyarakat mengenai ACFTA. Karena dengan survei seperti yang dilakukan LSI, pemerintah dapat mengetahui kekhawatiran mayoritas publik dan ini dapat dijadikan ukuran untuk menilai dampak ACFTA terhadap perdagangan Indonesia dan dari situ pemerintah Indonesia dapat menyiapkan strategi besar apa yang mesti dilakukan untuk menghadapi ACFTA. Nyatanya kekhawatiran mayoritas publik Indonesia benar dalam menilai dampak ACFTA. Sejak 1 Januari 2010, ketika ACFTA diberlakukan hingga saat ini, produksi industri nasional menurun sampai 50 persen karena kalahnya persaingan, khususnya pada produk usaha kecil dan menengah, di pasar dalam negeri.

Akibatnya adalah sektor industri terpaksa memangkas jumlah tenaga kerja hingga 20 persen. Padahal pertambahan angkatan kerja baru mencapai dua juta per tahun. Itu berarti jumlah pengangguran terus meningkat dari 8.9 juta pada 2009 menjadi 9.2 juta orang pada tahun ini (2011). Begitupula dalam hal neraca perdagangan Indonesia terus menurun. Sebagai contoh, jika pada 2006 Indonesia masih menikmati surplus USD39,7 miliar dari perdagangan, tahun ini Indonesia hanya mendapatkan keuntungan sebesar USD22,1 miliar. Tergerusnya surplus perdagangan itu, disebabkan oleh kian timpangnya neraca ekspor-impor Indonesia dan China. Pada 2000-2007 neraca perdagangan Indonesia-China masih seimbang, tapi lambat-laun Indonesia malah mengalami defisit. Pada 2010 saja, defisit perdagangan Indonesia dengan China sudah mencapai USD7 miliar. Data itu menunjukkan begitu derasnya arus barang dan jasa dari China yang masuk ke Indonesia, mulai dari remeh-temeh seperti peniti hingga barang yang sesungguhnya sudah banyak di negeri ini (Editorial MI, Jumat 29 April 2011). Dengan dampak kerugian nyata bagi Indonesia karena ACFTA, solusi cepat perlu segera dilakukan oleh pemerintah. Setidaknya terdapat empat solusi yang dapat dilakukan pemerintah: Pertama adalah dengan meningkatkan daya saing agar dapat berkompetisi dengan China. Caranya adalah dengan memperbaiki masalah infrastruktur. Karena mustahil bagi Indonesia untuk bersaing dengan China bila tidak ditopang dengan infrastruktur yang memadai Kedua, kalau memang pemerintah tidak mampu berkompetisi dengan China untuk beberapa sektor perdagangan, maka strategi yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah dengan mengeluarkan kebijakan safeguard, yakni pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP). Syukurnya, lima produk impor yang membanjiri pasar dalam negeri akhirnya dikenakan Bea Masuk Tindakan Pengamanan atau safeguards (BMTP) selama tiga tahun ke depan, sehingga diharapkan mampu meredam impor produk itu setelah sebelumnya mengakibatkan kerugian serius bagi produsen dalam negeri yang memproduksi barang sejenis, atau secara langsung bersaing dengan barang impor itu. Kelima produk impor yang dikenakan BMTP itu adalah produk tali kawat baja (steel wire ropes) bernomor pos tarif 7312.10.90.00, tali kawat baja (steel wire ropes) bernomor pos tarif 7312.10.10.00, kawat seng (7217.20.10.00), kawat bindrat (7217.10.10.00), dan kain tenun dari kapas (woven fabrics of cotton, bleached and un bleached) bernomor pos tarif 5208.11.00.00; 5208.12.00.00; 5208.13.00.00; 5208.19.00.00; 5208.19.00.00; 5208.23.00.00; 5208.29.00.00; 5209.29.00.00; 5210.11.00.00; 5211.11.00.00; dan 5212.11.00.00 (Bisnis Indonesia, 31 Maret 2011). Ketiga adalah solusi complementary. Seperti apa yang dikatakan oleh A Prasetyantoko (analis kebijakan dari Center for Financial Policy Studies), Indonesia perlu memperhatikan struktur produksi dan ekspor mana yang berbeda dari China. Jadi apa yang tidak di produksi di China, maka produk itu dapat dijadikan produk ekspor andalan Indonesia ke China.

Itulah yang disebut dengan solusi complementary atau kebijakan perdagangan yang saling melengkapi antara Indonesia dengan China. Keempat adalah solusi voluntary export restraint (VER). Solusi ini pernah dilakukan oleh Amerika Serikat (AS) ketika negaranya diserbu oleh produk-produk dari China. Dengan VER, AS dapat meminta China untuk secara sukarela membatasi ekspornya ke AS. Indonesia dengan China dapat melakukan hal serupa dengan VER yang memungkinkan China agar mau membatasi ekspornya ke Indonesia. Caranya adalah dengan meminta China mencabut subsidi ekspor dan membeli lebih banyak lagi dari Indonesia. Jika empat solusi ini dapat diterapkan Indonesia dalam waktu dekat, bukan tidak mungkin ketimpangan perdagangan Indonesia terhadap China yang diakibatkan oleh ACFTA dapat kembali ke titik keseimbangan perdagangan (balance of trade) yang menguntungkan bagi kedua pihak. Semoga!

Sejak disepakatinya perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) dimulai tanggal 1 Januari 2010, produk jadi dari China membanjiri pasar domestik. Kawasan perdagangan baru mulai bermunculan dan kawasan perdagangan lama juga ikut ramai. Organisasi Perdagangan Dunia mengatakan, setidaknya sekitar 400 kawasan perdagangan beroperasi pada tahun 2010. Hal ini menjadikan langkah awal menuju perdagangan global liberalisasi yang luas. Selain itu, China yang memiliki penduduk sekitar 1,4 miliar jiwa dan daerah yang sangat luas menjadi daya tarik tersendiri bagi kalangan industri dan perdagangan. China seolah menjadi harapan besar untuk mendongkrak omzet perdagangan industri. Setelah satu tahun disepakatinya perdagangan bebas ACFTA ini, neraca perdagangan IndonesiaChina menunjukkan nilai surplus bagi China. Namun begitu, Indonesia masih mempunyai peluang untuk surplus asalkan ada upaya-upaya nyata dari pemerintah untuk mendongkrak ekspor barang jadi ke China. Duta Besar Republik Indonesia untuk China Imron Cotan mengatakan, walaupun Indonesia mengalami defisit, tapi peluang untuk surplus masih ada, mengingat pasar di China sangat besar. Selama ini ekspor yang kita lakukan ke China masih berupa energi dan minyak serta bahan baku. Belum banyak produk yang kita bisa ekspor ke China, terutama hasil perkebunan dan buah-buahan, karena mereka miskin akan sumber daya alam, kata Imron di Beijing, Kamis (13/1/2011). Hingga akhir 2010, tercatat neraca perdagangan Indonesia-China berada dalam posisi 49,2 miliar dollar AS dan 52 miliar dollar AS. Artinya, barang Indonesia yang diekspor ke China nilainya 49,2 miliar dollar AS, sedangkan barang China yang diekspor ke Indonesia nilainya 52 miliar dollar AS. Neraca perdagangan Indonesia defisit sekitar 2,8 miliar dollar AS. Namun, Imron menambahkan, neraca ini berdasarkan catatan China. Sedangkan menurut catatan Indonesia, defisit yang dialami Indonesia sebenarnya sekitar 5 miliar-7 miliar dollar AS. Perhitungan di Indonesia hanya mencatat FOB, harga barang saja. Sedangkan China juga menghitung ongkos kirim dan asuransi. Tidak ada yang salah dengan perhitungan ini karena kita hanya menjual barang tanpa mau mengurus ongkos kirim hingga barang selamat sampai di tempat. China mendapatkan keuntungan lebih dari ongkos kirim ini, papar Imron. Imron menjelaskan, ketika ACFTA ini belum dijalankan, posisi neraca perdagangan IndonesiaChina adalah surplus untuk Indonesia. Namun, nilai transaksinya masih sangat kecil. Pada 2009, impor China dari Indonesia sebesar 17,1 miliar dollar AS, sedangkan impor Indonesia dari China sebesar 13 miliar dollar AS. Jika dilihat dari nilai, setelah ACFTA nilai transaksi justru melambung secara signifikan. Walaupun secara keseluruhan neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit, tetapi di empat provinsi yang menjadi pusat perdagangan, neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus. Keempat provinsi itu adalah Guangdong, Fujian, Guangxi, dan Hainan. Konsul Jenderal Republik Indonesia untuk China Edi Yusuf mengatakan, nilai neraca perdagangan Indonesia dengan keempat provinsi China itu pada 2010 mengalami peningkatan yang cukup tajam.

Jika pada tahun 2009 nilai ekspor China (empat provinsi) ke Indonesia mencapai 3,36 miliar dollar AS, pada tahun 2010 meningkat menjadi 6,13 miliar dollar AS. Sementara untuk nilai impor China dari Indonesia pada tahun 2009 mencapai 4,3 miliar dollar AS, dan pada tahun 2010 mencapai 6,86 miliar dollar AS. Barang-barang yang diimpor dari China sebagian besar berupa perkakas listrik, mesin, produk besi baja, tekstil, keramik, plastik, makanan olahan, garmen, kerajinan tangan, pupuk, aluminium, produk makanan dan minuman, serta produk laut. Sedangkan produk yang ekspor dari Indonesia ke China adalah minyak bumi, mesin listrik, minyak makan, kertas, kayu, karet, bijih besi, dan tin. Potensi investasi yang bisa dikembangkan oleh Indonesia adalah pembangunan infrastruktur, manufaktur bahan baku industri unggulan, pengolahan sumber daya alam, dan sebagainya, kata Edi. Sedangkan Duta Besar Imron mengatakan, potensi Indonesia masih besar karena banyak produk Indonesia yang masuk ke China lewat negara lain, misalnya manggis. Produk terbesar manggis ada di Indonesia. Tetapi, mengapa China mengimpor manggis dari negara lain. Itu manggis Indonesia, kata Imron. Potensi lain yang menjanjikan adalah kopi. Saat ini kopi baru dikenal di China. Sebelumnya mereka tidak mengenal kopi. Tetapi karena di China banyak orang asing, dan banyak orang China yang pernah tinggal dan sekolah di luar negeri, maka budaya minum kopi makin lama makin dikenal di China. Kebutuhan akan kopi pun mulai meningkat. Apalagi kini mulai banyak ditemui kedai-kedai kopi dengan sasaran remaja dan profesional muda

ACFTA (Asean China Free Trade Area) beberapa waktu terakhir ini tiba-tiba menjadi bahan pembicaraan yang populer dikalangan masyarakat. Berbagai media berlomba-lomba memberikan liputan mengenai ACFTA ini, dan harus diakui sebagian besar diantara liputan itu memberikan rasa khawatir bagi masyarakat, dimana ACFTA ini digambarkan akan menjadi momok bagi perekonomian nasional, meningkatkan pengangguran, membuat barang-barang dalam negeri kalah bersaing dsb. Sebelum terlalu jauh berbicara, apalagi berkomentar mengenai ACFTA, sebenarnya bagaimana proses terbentuknya ACFTA itu? Kesepakatan pembentukan perdagangan bebas ACFTA diawali oleh kesepakatan para peserta ASEAN-China Summit di Brunei Darussalam pada November 2001 . Hal tersebut diikuti dengan penandatanganan Naskah Kerangka Kerjasama Ekonomi (The Framework Agreement on A Comprehensive Economic Cooperation) oleh para peserta ASEAN-China Summit di Pnom Penh pada November 2002, dimana naskah ini menjadi landasan bagi pembentukan ACFTA dalam 10 tahun dengan suatu fleksibilitas diberikan kepada negara tertentu seperi Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam. Pada bulan November 2004, peserta ASEAN-China Summit menandatangani Naskah Perjanjian Perdagangan Barang (The Framework Agreement on Trade in Goods) yang berlaku pada 1 Juli 2005. Berdasarkan perjanjian ini negara ASEAN5 (Indonesia, Thailand, Singapura, Philipina, Malaysia) dan China sepakat untuk menghilangkan 90% komoditas pada tahun 2010. Untuk negara ASEAN lainnya pemberlakuan kesepakatan dapat ditunda hingga 2015. Walaupun ACFTA sudah tercetus sejak 2001 namun mengapa perhatian ke ACFTA baru terasa di semester II 2009?Setelah hiruk pikuk kekhawatiran seputar ketidaksiapan Indonesia dalam menghadapi ACFTA, tiba-tiba berita dan perhatian mengenai ACFTA ini malah kalah populer dibandingkan dengan Pansus Century padahal dampak sistemik dari ACFTA ini jauuhhhhhhhhhhhhhh lebih besar dari Rp 6,7 T kasus Century. Apa yang dilakukan pemerintah selama 10 tahun ini? Segala potensi risiko seharusnya seharusnya sudah diketahui dan dapat mulai diantisipasi ketika ACFTA mulai tercetus pada 2001, namun seperti yang sama-sama kita ketahui, negara kita seolah baru tahu kemarin mengenai ACFTA. Disaat negara lain berlomba membangun infrastruktur, listrik, memberikan

insentif buat investor dll, negara kita seolah selalu belum dapat mengimbangi kecepatan pembangunan negara lain, dan akibatnya bisa ditebak, negara kita yang kaya raya ini harus meminta penundaan ACFTA di bulan terakhir mendekati diberlakukannya kesepakatan. Memalukan?yah sptnya bukan hal baru lagi bagi kita melihat banyaknya permasalahan di dalam negeri. Namun apapun itu, suka atau tidak suka, ACFTA sudah ada didepan mata. Seperti kata Krisis dalam bahasa China, Weiji, yang terdiri dari unsur-unsur yang menyatakan wei/bahaya dan ji/kesempatan. Semoga ACFTA ini bukan hanya menawarkan bahaya bagi Indonesia, namun juga kesempatan untuk belajar dan membuat ekonomi bangsa menjadi lebih kuat lagi. Ditengah krisis dunia pada 2008-2009, Indonesia termasuk satu diantara sedikit negara yang mencatatkan pertumbuhan positif, semoga momentum ini dapat tetap terjaga dan pemerintah bersama para pelaku ekonomi dapat total /all out menghadapi dan mengambil manfaat positif/produktif dari ACFTA ini.

KESEPAKATAN perdagangan ASEAN Cina (ASEAN China Free Trade Agreement atau ACFTA) akan berlaku 1 Januari 2010. Menghadapi tanggal itu kalangan dunia usaha termasuk asosiasi dagang dan industri, seperti Kamar Dagang dan Industri (Kadin) atau Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), meminta pemerintah menunda ACFTA Mereka belum siap bersaing. Kalau kesepakatan itu dibuka, mereka khawatir akan tergilas masuknya produk Cina. Kekhawatiran dunia usaha kita terhadap kesepakatan ACFTA memang beralasan. Kesepakatan mencakup tiga bidang yang luas dan strategis; perdagangan barang, jasa, dan investasi. Dari segi volume dan potensi ekonomi, di ketiga bidang itu, Cina terlalu kuat untuk disaingi. Dasar hukum ACFTA adalah perjanjian payung di bidang kerja sama ekonomi komprehensif antara ASEAN dan Cina yaitu Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperanon between ASEAN and the Peoples Republic of China (Framework Agreement). Perjanjian ini ditandatangani pada 5 November 2002 dan melahirkan tiga kesepakatan, yaitu Agreement on Trade in Goods atau kesepakatan perdagangan di bidang barang (29 November 2004), Agreement on Trade in Service atau kesepakatan perdagangan di bidang jasa (14 Januari 2007), dan Agreement on Investment atau kesepakatan di bidang investasi (15 Agustus 2007). Kekhawatiran dunia usaha terhadap ACFTA yang diungkapkan dewasa ini patut kita dengarkan. Akan tetapi, dari kekhawatiran ini, masalahnya adalah, kenapa baru-baru ini saja suara mereka diungkapkan? Bukankah sebagai pengusaha, mereka adalah pelaku dan aktor utama dalam perdagangan? Kurang dilibatkan Masalah utama penyebab kekhawatiran dunia usaha adalah kurang dilibatkannya mereka dalam proses perundingan. Pengusaha bahkan tidak diikutkan dalam proses perundingan yang forumnya bersifat antarpemerintah seperti ASEAN. ASEAN adalah organisasi regional yang keanggotaannya terbatas pada negara. Dalam berbagai perundingan resmi mengenai isu-isu yang menjadi agenda perhatian ASEAN, pihak yang ikut adalah perwakilan negara anggota. Selain negara, pihak swasta atau pengusaha tidak menjadi peserta. Penyebab kedua, kurang dilibatkannya dunia usaha kita sebagai anggota (delegasi) dalam proses perundingan terutama di perundingan kerja sama ekonomi atau perdagangan. Proses perundingan, termasuk persiapan perundingan, pihak yang langsung menanganinya adalah instansi pemerintah. Dasar hukum untuk perundingan perjanjian internasional adalah UU Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. UU ini menjadi landasan hukum utama bagi pemerintah dalam mempersiapkan, merundingkan, menandatangani bahkan mengesahkan perjanjian internasional. Pasal penting UU ini adalah Pasal 5.

Pasal ini menyatakan, lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen, di tingkat pusat dan daerah, yang mempunyai rencana untuk membuat perjanjian internasional, terlebih dahulu melakukan konsultasi dan koordinasi mengenai rencana tersebut dengan Menteri (ayat 1). Ayat 2 Pasal 5 menyatakan, pemerintah RI dalam mempersiapkan pembuatan perjanjian internasional, terlebih dahulu harus menetapkan posisi. Posisi tersebut dituangkan dalam suatu pedoman delegasi RI. Pedoman delegasi RI perlu mendapat persetujuan Menteri. Pedoman harus memuat antara lain, latar belakang permasalahan, analisis permasalahan ditinjau dari aspek politis, yuridis, dan aspek lain yang dapat memengaruhi kepentingan nasional RI. Pasal 5 ayat (4) menyatakan, perundingan rancangan suatu perjanjian internasional dilakukan delegasi RI yang dipimpin menteri atan pejabat lain sesuai dengan materi perjanjian dan lingkup kewenangan masing-masing. Pasal utama tadi tidak menyebut pihak di luar pemerintah seperti dunia usaha. Persiapan perundingan dalam rapat-rapat antardepartemen dihadiri berbagai instansi pemerintah. Swasta jarang diundang. Wajar saja perjanjian kerja sama dengan pihak asing atau organisasi internasional di bidang ekonomi atau perdagangan, suara dunia usaha kita kurang tersalurkan. Antisipasi dampak Kekhawatiran dunia usaha terhadap akan berlakunya ACFTA memang beralasan. Keinginan mereka agar perjanjian tersebut ditunda, perlu pemerintah respons dengan positif. Sebelum mengesahkan perjanjian internasional di bidang ekonomi atau perdagangan, pemerintah perlu mempertimbangkan dampak perjanjian tersebut. Setiap perjanjian kerja sama di bidang ekonomi atau perdagangan membawa dampak baik atau buruh bagi perekonomian. Untuk mengetahui dampak yang akan terjadi dari perjanjian internasional, konsultasi dengan pihak yang akan terkena dampaknya, harus dilakukan. Konsultasi bukan sekadar dengan instansi, departemen, atau nondepartemen. Konsultasi perlu dilakukan dengan pihak-pihak ketiga, seperti dunia usaha atau akademisi. Pemerintah perlu menjelaskan peluang atau kesempatan dari suatu perjanjian atau kesepakatan internasional di bidang ekonomi atau perdagangan kepada dunia usaha. Pemerintah perlu juga meminta masukan, kepentingan, dan kalau perlu kritik mereka terhadap muatan perjanjian internasional yang akan disepakati. Suara dunia usaha terhadap akan berlakunya ACFTA adalah suara yang murni kepentingan dunia usaha. Merekalah garis depan yang akan terkena dampak dari masukm-a produk Cina ke dalam negeri. Sambil berupaya meminta penundaan ACFTA, pemerintah agar lebih terbuka untuk mendengar suara dan kepentingan dunia usaha. Di masa depan, dalam negosiasi kerja sama perdagangan atau ekonomi, pemerintah perlu mendengar suara dunia usaha kita. *-

You might also like