You are on page 1of 10

BIOGRAPI SECARA UMUM

Amartya Sen, dilahirkan pada 3 November 1933 di Bengali, India. Ia merupakan ekonom India yang meraih penghargaan Hadiah Nobel bidang Ilmu Ekonomi pada tahun 1998 untuk sumbangsih pemikirannya mengenai ekonomi kesejahteraan (welfare economics) dan teori pilihan sosial (social choice theory), dan juga untuk perhatiannya pada persoalan-persoalan yang dihadapi kelompok-kelompok masyarakat paling miskin. Amartya Sen menyelesaikan pendidikannya di Presidency College di India dan University of Cambridge, Inggris. Amartya Sen sangat dikenal luas melalui karyakaryanya yang membahas sebab-musabab kelaparan, yang mendorongnya mengembangkan solusi praktis untuk melindungi atau membatasi akibat-akibat yang nyata, atau setidaknya kemampuan untuk berhadapan dengan persoalan kekurangan pangan. Pada saat ini Amartya Sen merupakan Thomas W. Lamont University Professor dan juga Professor of Economics and Philosophy di Harvard University. Ia juga merupakan senior fellow di Harvard Society Fellows, distinguish fellow di All Souls College, University of Oxford, dan juga fellow di Trinity College, University of Cambridge, di mana ia pernah menjabat sebagai Master dari tahun 1998 sampai 2004. Amartya Sen merupakan orang Asia pertama dan juga akademisi India pertama yang pernah memimpin di Universitas Oxford maupun Cambridge.

tentang teori amartya sen


1. Amartya Sen dengan Konsep pengembangan ekonomi Adalah pentingnya pengembangan potensi manusia . bagi Sen ekonomi seharusnya lebih mengembangkan kemampuan yang melekat dalam diri manusia dan memperbanyak opsi yang terbuka untuk mereka ketimbang berusaha memproduksi lebih banyak barang atau bagaimana memahami cara untuk memaksimalkan kepuasan. Konsekuensinya dia sangat kritis terhadap Ekonomi kesejahteraan tradisional yang menganggap bahwa perdagangan bebas dapat memaksimalkan ksejahteraan individu yang rasional

Inti asumsi rasionalitas adalah keyakinan bahwa individu adalah orang yang memaksimalkan kepuasan secara rasional. Kebanyakan ahli ekonomi yakin bahwa individu bertindak menurut dara yang sangat rasional dan logis, mereka melihat orangorang mencoba mengetahui konsekuensi dari tindakan yang berbeda-beda dan mmperkirakan kepuasan yang mereka terima dari hasil setiap tindakan. Mereka percaya bahwa orang-orang bertidak untuk mendapatkan kepuasan maksimal dan dengan membiarkan orang bertindak dengan cara seperti ini akan membawa pada situasi Pareto Optimal. Sen (1976-1977) mengkritik pandangan ini dengan sejumlah alasan Sen menerapkan pendekatan kemampuannya pada bidang pengembangan ekonomi. Usaha ini di mulai dengan membedakan antara pertumbuhan ekonomi dengan perkembangan ekonomi. Pertumbuhan berarti memproduksi lebih banyak barang terlepas dari apa yang terjadi pada orang-orang yang memproduksi dan mngkonsumsi barang-barang ini, sedangkan perkembangan meliputi pengembangan kemampuan manusia. Sen (1984, hal 497). Pertumbuhan ekonomi menaikan pendapatan per kapita, perkembangan ekonomi meningkatkan harapan hidup, bebas buta huruf., kesehatan, dan pendidikan masyarakat. Ini berarti membuat orang menjadi bagian dari komunitasnya dan memungkinkan mereka muncul di publik tanpa merasa malu karena mereka akan di anggap sebagai individu yang berguna. Pertunbuhan dan perkembangan seiring berjalan bersama, tetapi seperti yang di ilustrasikan oleh pengalaman negara-negara seperti China, Sri lanka dan Costa Rica, kebijakan publik yang tepat dapat meningkatkan kemampuan dan peluang meskipun angka pertumbuhan ekonominya rendah. Ketika negara sedang berkembang harus memutuskan apakah harus memfokuskan pada tujuan yang nyata, yaitu pengembangan potensi manusia. Lagi pula kesuksesan perkembangan ekonomi harus seharusnya di nilai berdasarkan meningkatnya tingkat warga yang bebas buta huruf dan harapan hidup ketimbang berdasarkan pertumbuhan dalam produksi atau tingkat pendapatan. Sen juga melihat masalah gender adalah bagian integral dari proses perkembangan. Dia mempertanyakan asumsi bahwa rendah tingkat perkembangan ekonomi mempengaruhi persamaan laki-laki dan perempuan dan kebijakan pengembangan seharusya terfokus pada pria dan wanita secara seimbang.

TEORI 2 Amartya Sen dengan Konsep Pembangunannya Lebih dari sepuluh tahun yang lalu, dunia sangat memuji pertumbuhan ekonomi Asia Timur Bank Dunia bahkan menerbitkan buku khusus, The East Asian Miracle: Economic, Growth and Public Policy (1993), guna melukiskan sukses ekonomi yang terjadi di Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, dan Singapura tersebut. "Mukjizat Asia Timur" itu kemudian memunculkan teori baru mengenai keunggulan " Nilai-nilai Asia", khususnya nilai-nilai Konfusianisme, yang menekankan disiplin, ketertiban, dan pentingnya pendidikan. Penonjolan unsur budaya sebagai kunci keberhasilan kesejahteraan sebuah bangsa itu sempat membuat Samuel P Huntington untuk menulis The Clash of Civilization and the Remaking of the World Order (1996). Di sisi lain, studi mengenai Jepang, yang dinilai sebagai pelopor "mukjizat Asia Timur" itu menjadi sangat laku. Tulisan-tulisan Robert Bellah, Maruyama Massao sampai Nakane Chie, kembali disimak secara lebih mendetil

Namun, sudah lebih dari sepuluh tahun itu pula, sesungguhnya telah banyak keraguan mengenai keunggulan nilai-nilai Asia itu. Pada akhir dasawarsa 1980-an misalnya, sudah ada beberapa studi ilmiah yang mencoba menganalisa secara kritis kinerja "mukjizat Asia Timur". Salah satu studi yang populer adalah tulisan Karel van Wolferen, The Enigma of Japanese Power: People and Politics in a Stateless Nation (1989). wartawan Belanda, yang sudah sepuluh tahun tinggal di Jepang itu, mampu menunjukkan bahwa sukses perekonomian Jepang terwujud karena aada represi terhadap rakyat, meski itu dilakukan dengan sangat halus penuh aturan. Sayang, pada masa itu, krisis terhadap Asia Timur, khususnya Jepang, masih terbatas pada bidang sosial dan politik belaka. Dari sisi ekonomi, Asia Timur masih tetap dinilai sebagai model ekonomi yang harus ditiru oleh negara-negara berkembang lainnya. "Mukjizat" itu bahkan telah melahirkan "macan-macan kecil baru" dalam bidang ekonomi, yaitu Thailand, Malaysia, Cina, dan Indonesia. Keunggulan "nilai-nilai Asia",

yang juga disebut-sebagai "Hipotesa Lee" (diambil dari nama mantan PM Singapura, Lee Kuan Yew), seakan sudah menjadi sebuah tesis yang pasti. "Untuk membangun ekonomi diperlukan sebuah pemerintahan yang otoriter, "begitu kampanye Lee selalu. Sementara itu, berbagai kritik terhadap keunggulan budaya Asia sering dinilai lebih sebagai ungkapan sikap iri dari negara-negara Barat. "Negara-negara Barat selalu menonjolkan pemberlakuan hak-hak asasi manusia secara universal. Hal ini bisa merugikan apabila keuniversalan tersebut dipakai untuk mengingkari atau menyelubungi realitas perbedaan budaya, "demikian misalnya kata Menteri Luar Negeri Singapura Abdullah Badawi pada konperensi dunia mengenai "Hak-hak Asasi Manusia" di Wina, Austria, tahun 1993Tidak semua ekonom Asia begitu saja meyakini keunggulan nilai-nilai budaya Asia sebagai dasar kemajuan ekonomi. Amartya Sen, ekonom asl India pemenang Hadiah Nobel Ekonomi tahun 1998, adalah satu dari sedikit ekonom Asia yang berani melontarkan kritik tajam terhadap "hipotesa Lee" tersebut.

Dalam artikelnya di majalah The New Republic (Juli 1997), ia misalnya mempertanyakan hubungan kausal antara corak pemerintahan otoriter dengan dampak positif kemajuan ekonomi. "Pertumbuhan ekonomi di Botswana adalah paling tinggi di dunia. Negara itu bukan negara otoriter. Ia bahkan menjadi oase demokrasi di benua Afrika, "tulisnya." Dari data statistik 100 negara terbukti bahwa dampak positip sebuah pemerintahan yang otoriter terhadap pertumbuhan ekonomi sangat kecil," tambahnya. Dasar argumen Sen antara lain diambil dari penelitian Robert J Barro (Getting it Right: Markets and Choices in a Free Society, 1996). Di situ dikatakan, datangnya kebebasan di negara-negaraotoritas memang menghidupkan ekonomi. Namun begitu, sebuah tingkat demokrasi tercapai, pertumbuhan ekonomi di negara-negara otoriter itu mundur. Hal ini disebabkan karena masyarakat mulai minta tambahan pembelanjaan kesejahteraan sosial. Sementara negara otoriter itu sendiri biasanya tidak memiliki sebuah mekanisme yang demokratis untuk mengatur aspirasi masyarakat tersebut. Represi terhadap aspirasi itulah yang menghambat pertumbuhan ekonomi.

Amartya Sen kemudian menilai, kita tidak cukup hanya melihat hubungan-hubungan statistik belaka. Semua proses penyebab yang terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi harus diamati secara detil. Kesejahteraann sebuah bangsa tergantung dari satu faktor saja. Adalah pentingnya pengembangan potensi manusia . bagi Sen ekonomi seharusnya lebih mengembangkan kemampuan yang melekat dalam diri manusia dan memperbanyak opsi yang terbuka untuk mereka ketimbang berusaha memproduksi lebih banyak barang atau bagaimana memahami cara untukmemaksimalkan kepuasan. Konsekuensinya dia sangat kritis terhadap Ekonomi kesejahteraan tradisional yang menganggap bahwa pedagangan bebas dapat memaksimalkan ksejahteraan individu yang rasional. Inti asumsi rasionalitas adalah keyakinan bahwa individu adalah oarang yang memaksimalkan kepuasan secara rasional. Kebanyakan hli ekonomi yakin bahwa individu bertindak menurut dara yang sangat rasional dan logis, mereka melihat orangorang mencoba mengetahui konsekuensi dari tindakan yang berbeda-beda dan mmperkirakan kepuasan yang mereka terima dari hasil setiap tindakan.merekaprcaya bahwa orang-orang brtidak untuk mendapatkan kpuasan maksmal an dengan membiarkan orang bertindak dengan cara seperti ini akan memabawa pada situasi Pareto Optimal. Sen (1976-1977) mengkitik pandangan ini dengan sejumlah alasan.

TEORI 3 Sebuah Pemikiran dari Amartya Sen Tentang Kemiskinan dan Kelaparan Karya Sen tentang kekurang gizi dan kelaparan membantu ahli ekonomi memahami penyebab penting dari permasalahan di dunia nyata. Karya Sen juga mengubah pendekatan pencegahan dan bantuan kelaparan dari agen-agen internasional. Dalam sebuah bukunya yang berjudul Poverty and Famines (Kemiskinan dan Kelaparan) yang diterbitkan pertama kali tahun 1981, Amartya Sen secara meyakinkan menjelaskan hubungan yang kausalitas antara bencana kelaparan terkait dengan kediktatoran dalam

suatu negara yang tidak demokratis. Hubungan yang kausalitas tersebut sangat berhubungan pula dengan adanya kemiskinan. Kemiskinan selalunya identik dengan rendahnya kualitas sumber daya manusia dan tingkat pendapatan penduduk. Human Development (Pembangunan Manusia) yang rendah akan berdampak terhadap kualitas daya pikir manusia (kemampuan otak) (IQ). Faktor kemiskinan akan menyebabkan berkurang atau rendahnya kualitas pembangunan manusia tersebut. Dalam buku Poverty and Famines dijelaskan bahwa, bencana kelaparan biasanya juga dikaitkan dengan bencana alam seperti banjir, kekeringan atau bencana alam lainnya. Namun pendapat Amartya Sen, selain dari faktor alam yang tidak bersahabat tersebut, bencana kelaparan berkait erat dengan kediktatoran dalam sistem politik suatu negara. Kedua faktor tersebut memiliki hubungan yang kausalitas antara ?kediktatoran dan kelaparan?. Argumen tersebut telah dibuktikan di negara-negara Asia Selatan dan negara-negara di Afrika Sub-Sahara sejak tahun 1940-an. Amartya Sen yang dikenal pula sebagai seorang Filosof-Ekonom asal India, telah memberi sejumlah kontribusi yang sangat penting bagi pengembangan masalah fundamental ekonomi kesejahteraan. Kontribusinya mencakup skala luas, mulai dari teori aksiomatik tentang pilihan sosial, definisi indeks-indeks kesejahteraan dan kemiskinan, sampai studi empiris tentang kemiskinan. Teori yang mengatakan bahwa, ada kaitan antara kediktatoran dengan kemiskinan dikembangkan oleh Sen semenjak pertengahan 1970-an. Amartya Sen berpendapat bahwa kediktatoran tidak tergerak untuk mencegah kelaparan. Bencana tersebut telah menewaskan jutaan orang, namun penguasa di negara-negara yang menganut sistem satu partai, tidak tergerak untuk menangani masalah kekurangan pangan. Di sisi lain, pemerintahan demokratis yang diseleksi melalui kotak suara, benar-benar memperhatikan langkah-langkah pengadaan pangan. Sen dan Dreze (1996) menunjukan bahwa india tidak pernah mengalami kelaparan sejak 1943, tapi China mengalami kelaparan besar dengan 15-30 juta orang yang sekarat karena kelaparan dari tahun 1958-1961 meskipun China lebih baik dalam mengatasi kelaparan dibanding india. Kelaparan massal tidak banyak behubungan

dengan tingginya output yang di hasilkan aripemeritah demokratis, namun lebih berkaitan dengan fakta bahwa pemerintah demokratis harus merespon tekanan politik dari orang-orang yang berhak memilih. Sebelum Sen ahli ekonomi pengembangan menganggap kelaparan terjadi karena kurang produksi makanan. Sen menunjukan bahwa masalah distribusi terpisah dan lebih penting dari pada masalah persedian makanan kelaparan bisa berasal dari buruknya atau tidak adilnya mekanisme distibusi kelapran juga bisa berasal dari banyaknya permintaan makanan di satu sektor atau daerah dari satu negara dan kurangnya persediaan makan di daerah lainnya. Karya-karya Sen telah mencoba memperluas cakrawala analisis ekonomi, dia mendesak para ahli ekonomi untuk mengambil sudut pandangan yang berbeda tentang agen ekonomi manusia. Dia menegaskan bahwa orang mempunyai nilai intrinsik dan bukan hanya seorang yang memaksimalkan kepuasan secara rasional. Dia juga menunjukan bahwa tujuan dari sistem perekonomian yang kinerjanya bagus tidak hanya untuk menghasilkan lebih banyak barang dan jasa, tapi juga peningkatan taraf hidup orang banyak. Tema yang menyatu dalam karya Sen menitikberatkan pada penciptaan potensi atau kemampuan manusia, dan bagaimana kemampuan ini meningkatkan kesejahteraan di dalam masyarakat dan keluarga. Dai telah melihat perkembangan kemampuan manusia sebagai tujuan riil dari pertumbuhan ekonomi dan alasan utama untuk menjadi seorang ahli ekonomi.

Kasus yang diteliti oleh Amartya Sen di negara-negara Asia Selatan seperti India dan Pakistan serta negara-negara di SubSahara, Afrika (Amartya Sen, 1981: 34). Menurut Amartya Sen lagi, ?Sepanjang sejarah dunia, belum pernah ada kelaparan di negeri yang menyelenggarakan pemilihan umum yang demokratis dan pers yang bebas? (Nono Anwar, Makarim, Tempo, 6 Januari 2002). Dalam pandangan Prof. Dr. Tabrani Rab yang menyebutkan dalam sebuah buku

yang ditulis oleh Myrdal di Pradenia University Colombo dalam Drama Asia (Asian Drama) terdapat korelasi antara politik dan ekonomi di negara-negara Asia. Makin tinggi kadar demokrasi suatu negara seperti India semakin terjerambab negara tersebut dalam kemiskinan dan makin tinggi kadar orientasi ekonomi suatu negara, makin mudah tercapai kesejahteraan negara. Namun dalil Myrdal tersebut dipatahkan oleh Myanmar yang sarat dengan otoriter tentara, yang membuat negara tersebut semakin bangkrut dan penampilan yang berbeda ditampilkan oleh Cina (Prof. Dr. Tabrani Rab: 2003: Kata Pengantar, Krisis Kebangsaan: Dari Konflik Politik Hingga Kemacetan Ekonomi, Hasrul Sani Siregar, MA). Oleh yang demikian, apa yang diuraikan oleh Amartya Sen, sesungguhnya sangat relevan dengan kondisi suatu negara tertentu, namun tidak selalunya relevan pula terhadap negara yang kasusnya berbeda pula. Kondisi suatu negara, ketika Sen mengkaji hubungan kausalitas antara ?kediktatoran? dan ?kelaparan? bisa diterima secara hubungan sebab akibat, namun kondisi yang ditampilkan oleh Cina tentu perspektifnya berbeda pula. Menurut Amartya Sen lagi, absennya demokrasi merupakan masalah yang multi-dimensional. Keadaaan ini bukan hanya melanggar hak-hak asasi manusia dan kemerdekaan politik, tapi juga pelanggaran nilai keamanan manusia paling mendasar yaitu berupa keamanan untuk bertahan hidup. Ketika sebagian besar, ekonom mendefinisikan kemiskinan hanya sebagai kehilangan pendapatan atau pengecualian dari aktivitas perekonomian, Amartya Sen menangani proyek yang mencakup pengecualian karena faktor-faktor ekonomi, sosial dan politik. Dari argumentasinyalah terbuka peluang lahirnya indeks tentang kehilangan manusia (bencana kelaparan, hilangnya generasi dan kebodohan). Dikaitkan pula dengan teori pembangunan yang salah satunya adalah memberantas kemiskinan, maka teorinya Sen tidak hanya sekedar memberantas kemiskinan, namun juga melihat aspek kemiskinan tersebut dari aspek yang holistik (menyeluruh) seperti aspek ekonomi, sosial-budaya dan politik.

Dalam pandangan perspektif Marxis pula, kemiskinan dilihat bukan semata-mata sebagai masalah yang sederhana, namun menurut perspektif Marxis, ia merupakan ?kejahatan sosial? yang perlu diberantas Jadi menurut perspektif Marxis, kemiskinan adalah ?kejahatan sosial?. Kemiskinan telah mengakibatkan kerusakan dari aspek sosial-budaya seperti munculnya pengangguran, baik itu pengangguran absolut maupun pengangguran terselubung. DR. Mohamad Ikhsan dari Fakultas Ekonomi UI Jakarta, telah mencoba memaparkan strategi baru dalam penanggulangan kemiskinan yang bertitik tolak pada 5 pilar yaitu; pertama; reformasi kebijakan untuk menciptakan peluang bagi penduduk miskin untuk berpartisipasi dalam pertumbuhan ekonomi. Kedua; reformasi kebijakan untuk pemberdayaan penduduk miskin. Ketiga; perlindungan sosial untuk melindungi penduduk miskin dari guncangan dan bencana alam. Keempat; reformasi kebijakan untuk membangun partisipasi yang lebih luas dari semua pihak yang terkait dalam pengurangan kemiskinan. Kelima; suatu kebijakan yang memfokuskan hak sebagian besar penduduk yang rentan-anak-anak dan kaum wanita dalam memutuskan transmisi kemiskinan antar generasi (Tempo, Desember 2001).

KESIMPULAN Jika kita mau merumuskan secara sederhana, gagasan Sen sesungguhnya ingin menyelesaikan tiga hal atau berporos pada tiga problem awal dunia: kekerasan (sebagai akibat dari kemiskinan), kemiskinan (sebagai buah pembangunan ekonomi yang salah), dan ekonomi berkeadilan (sebagai solusi dalam menyelesaikan kemiskinan dan kekerasan).

Sen memahami kekerasan adalah dengan menjadikannya sebagai buah dan bukan pohon. Kekerasan bukan inti (hidup) dan bukan pula pekerjaan. Kekerasan adalah produk dari beberapa tindakan yang disengaja. Karena itu, ia dapat dipetik oleh siapa saja dan dapat diproduk dengan sengaja. Sebaliknya, ia juga dapat dilenyapkan dan dihadang laju keberadaannya. Tentu sepanjang kita mau, mampu dan sengaja menihilkan kekerasan di dunia.

Karya-Karya Amartya Sen diantaranya adalah : Choice of Techniques : an Aspect of The Theory of Planned Ecinomic Development, Ox ford, Basil Blackwell, 1960. On Economic Inequality, Oxford, Clarendom Press, 1973. The Economics of Line and Death, Scientific American, 268, 5 (Mei 1993), hlm. 40-47. Hunger and Public Action, Oxford, Clarendon Press, 1989, degan Jean Dreze Resources Values and Development, Oxford, Basil Blackwell, 1984. The Political Economi of hunger Famine Prevention Oxford, Clarendon Press, 1991. Inequality Reexamined, Cambridge, Harvard University Press, 1992. On Ethics and Economic, Oxford, Basil Blackwell, 1987. The Impossibility of Parentian Liberal, Journal of Political Economy, 78, 1 (Januari-Ferbruari 1970), hlm 152-157.

You might also like