You are on page 1of 34

TIPOLOGI PERMUKIMAN

TRADISIONAL
MK Permukiman Prodi Arsitektur FAD Unika
Seogijapranata
SUBSTANSI RUANG
 Ruang dicipta atau tercipta dari pemikiran manusia.
Penciptaan maksud ruang berdasarkan norma-norma
dan nilai-nilai kebudayaan. Ruang merupakan aspek
dari lingkungan yang sangat penting.
 Ruang bukan sebuah konsep yang umum atau simpel.
Ruang lebih dari sekedar ruang fisik 3 dimensional.
 Pada waktu dan konteks yang berbeda akan
menghasilkan jenis ruang yang berbeda, dan hal ini
merupakan isu desain yang penting (Rapoport, 1967).
DEFINISI
 Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000, permukiman adalah
lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik kawasan perkotaan
maupun perkotaan sebagai lingkungan hunian dan tempat kegiatan
yang mendukung perikehidupan dan penghidupan;
 Menurut Sinulingga (1999: 187), permukiman adalah gabungan 4
elemen pembentuknya (lahan, prasarana, rumah dan fasilitas umum)
dimana lahan adalah lokasi untuk permukiman. Kondisi tanah
mempengaruhi harga rumah, didukung prasarana permukiman
berupa jalan lokal, drainase, air kotor, air bersih, listrik dan telepon,
serta fasilitas umum yang mendukung rumah;
 Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992, perumahan adalah
kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal
atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan
sarana lingkungan, sedangkan rumah adalah bangunan yang
berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana
pembinaan keluarga.
DEFINISI
 Permukiman merupakan wujud dari ide pikiran
manusia dan dirancang semata- mata untuk
memudahkan dan mendukung setiap kegiatan atau
aktifitas yang akan dilakukannya.
 Permukiman merupakan gambaran dari hidup
secara keseluruhan, sedangkan rumah adalah
bagian dalam kehidupan pribadi. Pada bagian
lain dinyatakan bahwa rumah adalah gambaran
untuk hidup secara keseluruhan, sedangkan
permukiman sebagai jaringan pengikat dari rumah
tersebut.
DEFINISI
 permukiman merupakan serangkaian hubungan antara
benda dengan benda, benda dengan manusia, dan
manusia dengan manusia. Hubungan ini memiliki suatu
pola dan struktur yang terpadu (Rapoport dalam
Sudirman Is, 1994).
 Dalam permukiman tradisional, dapat dijumpai pola
atau tatanan yang berbeda- beda sesuai dengan
tingkat kesakralannya atau nilai-nilai adat dari suatu
tempat tertentu tersebut diatas memiliki pengaruh
cukup besar dalam pembentukan suatu lingkungan
hunian atau permukiman tradisional (Rapoport, 1985).
DEFINISI
 Permukiman tradisional sering direpresentasikan sebagai
tempat yang masih memegang nilai-nilai adat dan budaya
yang berhubungan dengan nilai kepercayaan atau agama
yang bersifat khusus atau unik pada suatu masyarakat tertentu
yang berakar dari tempat tertentu pula di luar determinasi
sejarah (Crysler dalam Sasongko 2005:1).
 Menurut Norberg-Schulz dalam Sasongko (2005), bahwa
struktur ruang permukiman digambarkan melalui
pengidentifikasian tempat, lintasan, batas sebagai komponen
utama, selanjutnya diorientasikan melalui hirarki dan jaringan
atau lintasan, yang muncul dalam suatu lingkungan binaan
mungkin secara fisik ataupun non fisik yang tidak hanya
mementingkan orientasi saja tetapi juga objek nyata dari
identifikasi.
DEFINISI
 Wikantiyoso dalam Krisna et al. (2005:17) menambahkan,
bahwa permukiman tradisional adalah aset kawasan yang
dapat memberikan ciri ataupun identitas lingkungan. Identitas
kawasan tersebut terbentuk dari pola lingkungan, tatanan
lingkungan binaan, ciri aktifitas sosial budaya dan aktifitas
ekonomi yang khas.
 Pola tata ruang permukiman mengandug tiga elemen, yaitu
ruang dengan elemen penyusunnya (bangunan dan ruang
disekitarnya), tatanan (formation) yang mempunyai makna
komposisi serta pattern atau model dari suatu komposisi.
 Dwi Ari & Antariksa (2005:79) menyatakan bahwa
permukiman tradisional memiliki pola-pola yang
membicarakan sifat dari persebaran permukiman sebagai
suatu susunan dari sifat yang berbeda dalam hubungan
antara faktor-faktor yang menentukan persebaran
permukiman.
DEFINISI
 Elemen utama pada permukiman tradisional adalah
tempat yang sakral. Agama dan kepercayaan
merupakan suatu hal yang sentral dalam sebuah
permukiman tradisional.
Pola Permukiman Tradisional
 Berdasar bentuknya yang terbagi :
 Pola permukiman bentuk memanjang terdiri dari
memanjang sungai, jalan, dan garis pantai;
 Pola permukiman bentuk melingkar;

 Pola permukiman bentuk persegi panjang; dan

 Pola permukiman bentuk kubus.

 Berdasar pada pola persebarannya dapat dibagi


menjadi dua, yaitu pola menyebar dan pola
mengelompok.
Pola Permukiman Tradisional
Menurut Wiriatmadja (1981:23-25) pola spasial permukiman
sebagai berikut:
 Pola permukiman dengan cara tersebar berjauhan satu sama lain,
terutama terjadi dalam daerah yang baru dibuka. Hal tersebut
disebabkan karena belum adanya jalan besar, sedangkan orang-
orang mempunyai sebidang tanah yang selama suatu masa tertentu
harus diusahakan secara terus menerus;
 Pola permukiman dengan cara berkumpul dalam sebuah
kampung/desa, memanjang mengikuti jalan lalu lintas (jalan
darat/sungai), sedangkan tanah garapan berada di belakangnya;
 Pola permukiman dengan cara terkumpul dalam sebuah
kampung/desa, sedangkan tanah garapan berada di luar kampung;
dan
 Berkumpul dan tersusun melingkar mengikuti jalan. Pola permukiman
dengan cara berkumpul dalam sebuah kampung/desa, mengikuti jalan
yang melingkar, sedangkan tanah garapan berada di belakangnya.
Elemen Pembentuk Karakter
Permukiman Tradisional
Menurut Aliyah (2004:35) elemen-elemen pembentuk karakter
kampung/permukiman tradisional di Jawa, yaitu sebagai
berikut:
 Riwayat terbentuknya (legenda/sejarah kampung) yang
secara fisik dapat dikenali dengan keberadaan situs;
 Tokoh yang membentuk tatanan dari suatu kekacauan.
Seseorang yang dianggap memiliki kesaktian dan mampu
menaklukkan lahan yang akan dijadikan permukiman dari
kekuasaan makhluk halus penguasa hutan;
 Kelompok masyarakat dalam kesatuan tatanan bermukim;

 Susunan tata masa atau komposisi bangunan hunian, karena


tata masa bangunan Jawa memiliki aturan atau patokan
tersendiri, sehingga berpengaruh pada komposisi bangunan
dalam kampung;
Elemen Pembentuk Karakter
Permukiman Tradisional
 Batas teritori wilayah kekuasaan pribadi (lahan).
Perbedaan ruang publik dan ruang privat sangat kuat,
sehingga ada tuntunan pembatas teritori, dan memiliki
aturan dalam penempatan pintu sebagai penghubung;
 Besaran lahan atau ukuran luas tapak. Ukuran ditentukan
oleh tingkat status sosial dan derajat sang penghuni;
 Bentuk dan ukuran pagar yang ditentukan oleh status sosial
masyarakat yang menghuni; dan
 Bentuk dan ukuran bangunan rumah tinggal. Hal ini
ditentukan oleh status sosial sang penghuni. .
TIPOLOGI PERMUKIMAN
TRADISIONAL
BALI

MK Permukiman Prodi Arsitektur FAD Unika


Seogijapranatan
Dasar Filosofis
 Pengertian kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan
manusia sebagai mahluk sosial yang digunakan untuk
memahami dan menginterprestasi lingkungan dan
pengalamannya,serta menjadi kerangka landasan bagi
mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan. (Astika,
1986:4).
 Budaya tradisional Bali merupakan perwujudan pengaturan
tingkah laku umat yang dilandasi agama Hindu dengan 3
(tiga) unsur kerangka dasar, yaitu; 1). Tatwa atau filsafat;
2). Susila atau etika; 3). Upacara atau ritual (Parisada Hindu
Dharma, 1978:16).
 Meganada (1990:44), menjelaskan budaya Bali tidak bisa
lepas dengan nilai-nilai agama Hindu yang mempunyai tiga
unsur kerangka dasar (tatwa, susila, upacara) bagi umatnya
untuk mencapai tujuan (Dharma), yang disebutkan dalam
Weda; “Moksartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharma”.
Dasar Filosofis
 Tri Hita Karana (tiga unsur kehidupan) yang mengatur
kesimbangan atau keharmonisan manusia dengan lingkungan,
tersusun dalam susunan jasad/angga, memberikan turunan
konsep ruang yang disebut Tri Angga.
 Secara harfiah Tri berarti tiga dan Angga berarti badan,
yang lebih menekankan tiga nilai fisik yaitu: Utama Angga,
Madya Angga dan Nista Angga.
 Tri Angga yang memberi arahan tata nilai secara vertikal
(secara horisontal ada yang menyebut Tri Mandala), juga
terdapat tata nilai Hulu-Teben, merupakan pedoman tata nilai
di dalam mencapai tujuan penyelarasan antara Bhuana agung
dan Bhuana alit.
Dasar Filosofis
 Hulu-Teben memiliki orientasi antara lain:
 berdasarkan sumbu bumi yaitu: arah kaja-kelod (gunung dan laut),
 arah tinggi-rendah (tegeh dan lebah),
 berdasarkan sumbu Matahari yaitu; Timur- Barat(Matahari terbit dan
terbenam) (Sulistyawati. dkk, 1985:7).
 Tata nilai berdasarkan sumbu bumi (kaja/gunung-kelod/laut),
memberikan nilai utama pada arah kaja (gunung) dan nista pada arah
kelod (laut), sedangkan berdasarkan sumbu matahari; nilai utama
pada arah matahari terbit dan nista pada arah matahari terbenam.
 Jika kedua sistem tata nilai ini digabungkan, secara imajiner akan
terbentuk pola Sanga Mandala, yang membagi ruang menjadi
sembilan segmen. (Adhika; 1994:19).
 Konsep tata ruang Sanga Mandala juga lahir dari sembilan
manifestasi Tuhan dalam menjaga keseimbangan alam menuju
kehidupan harmonis yang disebut Dewata Nawa Sanga (Meganada,
1990:58)
Dasar Filosofis
 Konsepsi tata ruang Sanga Mandala menjadi
pertimbangan dalam penzoningan kegiatan dan tata
letak bangunan dalam pekarangan rumah, dimana
kegiatan yang dianggap utama, memerlukan
ketenangan diletakkan pada daerah utamaning
utama (kaja-kangin), kegiatan yang dianggap
kotor/sibuk diletakkan pada daerah nistaning nista
(klod-kauh), sedangkan kegiatan diantaranya
diletakkan di tengah.
Dasar Permukiman Tradisional Bali
 Pengertian Perumahan Tradisional Bali atau secara
tradisional disebut desa (adat), merupakan suatu tempat
kehidupan yang utuh dan bulat yang terdiri dari 3 unsur,
yaitu: unsur kahyangan tiga (pura desa), unsur krama desa
(warga),dan karang desa (wilayah) (Sulistyawati, 1985:3).
 Menurut Gelebet (1986: 48), perumahan atau pemukiman
tradisional merupakan tempat tinggal yang berpola
tradisional dengan perangkat lingkungan dengan latar
belakang norma-norma dan nilai- nilai tradisional.
 Perumahan Tradisional Bali yang dilandasi konsepsi seperti;
hubungan yang harmonis antara Bhuana Agung dengan
Bhuana Alit, Manik Ring Cucupu, Tri Hita Karana, Tri Angga,
Hulu-Teben sampai melahirkan tata nilai Sanga Mandala yang
memberi arahan tata ruang, baik dalam skala rumah (umah)
maupun perumahan (desa).
Dasar Permukiman Tradisional Bali
Menurut Ardi P. Parimin (1986) menyimpulkan adanya 4 atribut dalam
perumahan tradisional Bali:
 Atribut Sosiologi menyangkut sistem kekerabatan masyarakat
Bali yang dicirikan dengan adanya sistem desa adat, sistem
banjar , sistem subak, sekeha, dadia, dan perbekalan.
 Atribut Simbolik berkiatan dengan orientasi perumahan,
orientasi sumbu utama desa, orientasi rumah dan halamannya.
 Atribut Morpologi menyangkut komponen yang ada dalam
suatu perumahan inti (core) dan daerah periphery di luar
perumahan, yang masing-masing mempunyai fungsi dan arti
pada perumahan tradisional Bali.
 Atribut Fungsional menyangkut fungsi perumahan tradisional
Bali pada dasarnya berfungsi keagamaan dan fungsi sosial
yang dicirikan dengan adanya 3 pura desa.
Aspek Sosial
 Konsep teritorial memiliki dua pengertian, yaitu:
 Teritorial sebagai satu kesatuan wilayah tempat para warganya
secara bersama-sama melaksanakan upacara-upacara dan
berbagai kegiatan sosial yang ditata oleh suatu sistem budaya
dengan nama desa adat; dan
 Desa sebagai kesatuan wilayah administrasi dengan nama desa
dinas atau perbekalan. (Depdikbud, 1985).
 Beberapa syarat pokok terbentuknya desa adat, yaitu:
 Adanya wilayah dengan batas-batas tertentu yang disebut
dengan palemahan desa atau tanah desa,
 Adanya warga desa yang disebut pawongan desa. Sistem
kemasyarakatan di Bali mewajibkan kepada orang yang telah
makurenan (berumah tangga) dan bertempat tinggal di wilayah
suatu desa adat untuk menjadi krama banjar (Anonim, 1983),
Aspek Sosial
 Adanya pura sebagai pusat pemujaan warga desa yang
disebut kahyangan tiga,
 Adanya suatu pemerintahan adat yang berlandasan pada
aturan-aturan adat tertentu/awig-awig desa. (Bappeda,
1982:31).
 Fasilitas dan pelayanan desa yang menjadi simbol suatu
komunitas, yaitu: 1). Balai Pertemuan (Banjar) tempat
terselenggaranya rapat-rapat desa, 2). Kuburan desa yang
biasanya terletak berdekatan dengan pura dalem, 3).
Perempatan Desa merupakan tempat yang dianggap
keramat dan juga sebagai tempat upacara.
Aspek Simbolik
 Aspek simbolik pada perumahan adalah berkenaan dengan
orientasi kosmologis. Kegiatan masyarakat Bali pada umumnya
dapat dibagi atas dua kegiatan, yaitu: kegiatan yang bersifat
sakral (berkaitan dengan kegiatan keagamaan), dan kegiatan yang
bersifat profan (berkaitan dengan kegiatan sosial masyarakat).
Penempatan kegiatan tersebut dibedakan berdasarkan orientasi
kesakralannya.
 Elemen-elemen ruang yang dijadikan indikator kesakralan
perumahan adalah:
 Sumbu perumahan berupa jalan utama (arah kaja- kelod) atau ruang
utama pada perumahan,
 Lokasi pura puseh (pura leluhur),
 Lokasi pura dalem (pura kematian), dan
 Bale Banjar.
Aspek Simbolik
 Orientasi arah sakral pada tingkat perumahan dapat
mengarah:
 Ke arah gunung atau tempat yang tinggi dimana arwah
leluhur bersemayam.
 Sumbu jalan (kaja-kelod) yang menuju ke dunia leluhur yang
bersemayam di gunung(kaja).
 Mengarah ke elemen-elemen alam lainnya.
 Arah kaja kangin yaitu arah ke gunung Agung.
Aspek Morfologis
 Kegiatan dalam perumahan tradisional dapat dikelompokkan
dalam 3 (tiga) peruntukan, yaitu: peruntukan inti, peruntukan
terbangun, dan peruntukan pinggiran.
 Peruntukan inti pada perumahan yang berpola linear terletak pada
sumbu jalan menyatu dengan peruntukan terbangun, atau pada
jalan utama yang menuju ke pura desa. Pada perumahan yang
berpola perempatan (Catur patha) peruntukan inti berada pada
persimpangan jalan tersebut. Peruntukan inti umumnya bangunan yang
memiliki fungsi sosial, seperti; Jineng (lumbung desa), Bale banjar dan
Wantilan (Parimin, 1968:91).
 Peruntukan terbangun adalah merupakan wilayah lama, berupa
bangunan perumahan yang dibangun pada awal terbentuknya
rumah tersebut, biasanya berada disekitar peruntukan inti.
 Peruntukan pinggiran adalah wilayah yang terletak di luar wilayah
terbangun, tetapi masih dibawah kontrol desa adat. Beberapa desa
adat peruntukan pinggiran terletak pura desa /dalem.
Aspek Fungsional
 Dalam skala permukiman, penerapan konsep Sanga
Mandala, ada 3 macam pola tata ruang, yaitu:
 Pola Perempatan (Catus Patha)
Pola Perempatan, jalan terbentuk dari perpotongan sumbu kaja -
kelod (utara-selatan) dengan sumbu kangin-kauh (timur-barat).
Berdasarkan konsep Sanga Mandala, pada daerah kaja-kangin
diperuntukan untuk bangunan suci yaitu pura desa. Letak Pura
Dalem (kematian) dan kuburan desa pada daerah kelod-kauh
(barat daya) yang mengarah ke laut. Peruntukan perumahan dan
Banjar berada pada peruntukan madya (barat-laut).
 Pola Linear
Pada bagian ujung Utara perumahan (kaja) diperuntukan untuk
Pura (pura bale agung dan pura puseh). Sedang di ujung selatan
(kelod) diperuntukan untuk Pura Dalem (kematian) dan kuburan
desa.Diantara kedua daerah tersebut terletak perumahan penduduk
dan fasilitas umum (bale banjar dan pasar) yang terletak di plaza
umum.
Aspek Fungsional
 PolaKombinasi
Pola kombinasi merupakan paduan antara pola
perempatan (Catus patha) dengan pola linear. Pola
sumbu perumahan memakai pola perempatan, namun
demikian sistem peletakan elemen bangunan mengikuti
pola linear. Peruntukan pada fasilitas umum terletak
pada ruang terbuka (plaza) yang ada di tengah-
tengah perumahan. Lokasi bagian sakral dan profan
masing-masing terletak pada ujung utara dan selatan
perumahan.
Dasar Filosofis
Dasar Filosofis
Dasar Filosofis
Dasar Filosofis
Dasar Filosofis
Dasar Filosofis
Dasar Filosofis
Dasar Filosofis

You might also like