You are on page 1of 67

AVIAN INFLUENZA Dr. HUSNUL ASARIATI, Sp.

A,
M.Biomed
PENDAHULUAN
Avian influenza adalah penyakit menular pada spesies unggas yang disebabkan
virus influenza tipe A dengan berbagai subtipe.
Burung liar/migratory waterfowl merupakan reservoir alamiah virus avian influenza
berada di dalam saluran cernanya dan tidak menimbulkan gejala penyakit. Lain
halnya dengan burung peliharaan, ternak domestik termasuk ayam dan kalkun
sangat rentan terhadap virus ini sampai menimbulkan kematian.
Gejala penyakit bervariasi dari ringan sampai berat. Bila virus avian influenza yang
patogenitasnya rendah berulang kali menginfeksi ternak, maka ia akan bermutasi
menjadi sangat patogen dan dapat menular ke manusia yang kemudian
menyebabkan epidemi avian influenza/flu burung
DEFINISI AVIAN INFLUENZA (AI)
Penyakit Flu Burung atau Avian Influenza adalah penyakit menular yang disebabkan
virus influenza yang ditularkan oleh unggas.
Influenza A (H5N1) adalah penyebab wabah flu burung pada hewan di Hong Kong,
Cina, Vietnam, Thailand, Indonesia, Korea, Jepang, Laos, Kamboja kecuali Pakistan
(H7N7).
Secara umum, influenza merupakan suatu penyakit infeksi akut saluran pernapasan
terutama ditandai oleh demam, menggigil, sakit otot, sakit kepala, dan sering
disertai pilek, sakit tenggorok dan batuk non produktif.
ETOLOGI
Penyebab AI adalah virus influenza tipe A subtipe H5, H7, dan H9, virus H9N2 tidak
menyebabkan penyakit berbahaya bagi burung, tidak seperti H5 dan H7. Awalnya
virus influenza A (H5N1) hanya ditemukan di hewan seperti: burung, bebek, dan
ayam, tetapi sejak 1997 virus ini mulai menjangkiti manusia (penyakit zoonosis).
Umumnya virus influenza, baik di manusia atau unggas adalah kelompok famili
Orthomyxoviridae. Berinteraksi dengan mucin, berdiameter 80–110 nm, mempunyai 8
segmen genom RNA (rybonucleic acid) rantai tunggal, mempunyai envelope atau
pembungkus, merupakan partikel pleiomorphic berukuran sedang yang terdiri atas 2
lapis lemak dan terletak di atas matriks M1 (M1) yang mengelilingi genom. Di
permukaan envelope terdapat dua tonjolan glikoprotein yaitu hemaglutinin (H) dan
neuraminidase (N). Protein lain selain H dan N, virus influenza A juga mempunyai
protein matriks M1, M2, nukleoprotein (NP), polimerase (PB1, PB2, PA), NS1, dan
NEP. Masing-masing protein mempunyai fungsi yang berbeda
.........PROTEIN INFLUENZA A
Beberapa tipe virus influenza terdapat di manusia dan hewan, yaitu virus influenza
A, B, dan C.
Pembagian tersebut didasarkan pada perbedaan antigenik NP dan M1 masing-
masing virus. Tidak seperti virus influenza B dan C, virus influenza A mempunyai dua
sifat yang mudah berubah.
Pertama antigenic shift (pergeseran genetik) yang disebabkan oleh transmisi virus
influenza, yang inang alaminya bukan manusia ke manusia atau infeksi bersamaan
antara dua virus pada satu sel yang akan menimbulkan strain virus baru dan
spesifisitas reseptor terhadap sel pejamu yang berubah
STRUKTUR VIRUS INFLUENZA A
Kedua antigenic drift (mutasi titik) akibat subsitusi asam amino glikoprotein
hemaglutinin virus sebagai respon terhadap imunitas tubuh penderita.
Antigenic shift pada umumnya terjadi di pejamu intermediate misalnya babi karena
hewan tersebut memiliki 2 reseptor sekaligus yaitu α 2,6 sialic acid dan α 2,3 sialic
acid pada permukaan sel epitelnya.
Kedua sifat tersebut dapat menyebabkan kejadian pandemik.
Di manusia, virus influenza A dan B dapat menyebabkan wabah flu yang luas,
sementara virus influenza C menyebar secara periodik, ringan dan tidak
menyebabkan wabah.
ANTIGENIC SHIFT
Untuk mengklasifikasikan secara rinci, masing-masing tipe tersebut dibagi menjadi
subtipe berdasar kelompok glikoprotein H dan N.
Sampai saat ini subtipe yang dapat diidentifikasi ialah H1 sampai H15 dan N1
sampai N9.
Glikoprotein H merupakan dasar perbedaan subtipe dan menentukan virulensi
subtipe virus influenza A.
Awalnya virus influenza di manusia hanya H1N1, H2N2, H3N2. Sejauh ini juga
disebabkan oleh virus H5N1, H9N2 dan H7N7.
Subtipe yang sangat virulen ialah H5N1, virus tersebut dapat hidup di air sampai 4
hari pada suhu 22° C dan lebih dari 30 hari pada 0° C di dalam kotoran dan tubuh
unggas yang sakit virus dapat bertahan lebih lama, virus akan mati dengan
pemanasan 60° C selama 30 menit atau 56° C selama 3 jam, detergen, desinfektan
misalnya formalin atau iodine.
EPIDEMIOLOGI
Pertama kali virus avian influenza ditemukan pada tahun 1878 di Itali, menyebabkan
epidemi penyakit Fowl Plague pada ternak ayam dengan angka kematian 100%.
Wabah berikutnya, di Amerika Serikat pada tahun 1983-1984 yang menimbulkan
kematian sekitar 17 juta ternak ayam dengan kerugian mencapai sekitar 70 juta
dolar Amerika.
Sebelumnya virus avian influenza hanya menyerang kelompok unggas. Baru pertama
kali pada tahun 1997 di Hong Kong terjadi wabah flu burung yang disebabkan virus
avian influenza H5N1 yang patogen. Ketika itu telah terjadi penularan virus H5N1
dari spesies unggas ke manusia. Wabah flu burung tersebut menyebabkan enam
penderita meninggal dari 18 kasus flu burung
Pada Februari 2003 virus avian influenza A subtipe H7N7 mulai menyerang daratan
Eropa terutama Belanda. Wabah flu burung ini mengakibatkan seorang meninggal
dunia dari 89 penderita.
Pada akhir tahun 2003 sampai awal tahun 2004 , wabah flu burung yang
disebabkan virus H5N1 kembali merebak di berbagai negara Asia meliputi Korea
Selatan, Jepang, China, Vietnam, Thailand, Kamboja dan Laos.
Sedikitnya 100 juta ternak ayam telah dimusnahkan untuk menghentikan penularan.
Wabah ini telah menginfeksi 35 orang dan mengakibatkan 24 penderita meninggal
dunia. Kemudian wabah flu burung dengan cepat menjalar ke beberapa negara
Asia Tenggara lainnya termasuk Indonesia.
SUBTIPE VIRUS INFLUENZA YANG MENYEBABKAN
PANDEMI
Penularan AI (H5N1) terjadi karena droplet infection (infeksi akibat percikan cairan
hidung/ mulut) baik akibat kontak langsung maupun tidak langsung.
Transmisi langsung dapat melalui sentuhan unggas/manusia yang terinfeksi, melalui
udara jarak pendek seperti bersin, melalui kontak sosial yang intensif.
Transmisi tidak langsung dapat melalui perantaraan benda lain yang telah tercemar,
melalui serangga (lalat Musca domestica) tetapi masih dugaan, dan melalui udara
jarak jauh.
Tempat masuk virus (port de entry) ialah mulut, hidung, dan selaput lendir mata.
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi avian influenza berbeda dengan influenza biasanya.
Avian influenza secara primer merupakan infeksi respiratorius tetapi melibatkan
saluran nafas bagian bawah dimana influenza paa umumnya tidak menyebabkan
hal tersebut.
Hal ini tampaknya berhubungan dengan adanya perbedaan hemagglutinin protein
dan jenis residu sialic acid yang mengikat protein.
Virus Avian influenza cenderung memilih sialic acid alpha(2-3) galactose, yang pada
manusia ditemukan di alveolus dan bronkus terminal.
Sedangkan virus influenza pada umumnya memilih sialic acid alpha(2-6) galactose,
yang terdapat pada sel epitel di saluran nafas bagian atas.
Hal ini menyebabkan infeksi pernafasan yang lebih berat, dan mungkin dapat
menjelaskan apabila ada transmisi avian influenza dari manusia ke manusia secara
definitif.
Banyak yang memperhatikan bahwa mutasi subtle dari protein hemagglutinin melalui
antigenic drift akan menyebabkan virus mampu mengikat epitel traktus respiratorius
bagian atas dan bawah.
PATOGENESIS
Infeksi dan replikasi primer virus terjadi di sel epitel kolumnar saluran pernapasan
menyebabkan kerusakan silia, inflamasi, nekrosis dan deskuamasi epitel saluran
pernapasan.
Infeksi yang terjadi akan menginduksi sel B (antibodi terhadap NP, M1, H dan N).
Molekul antibodi dapat menghancurkan virus bebas dengan berbagai cara, yaitu
aktivasi jalur komplemen klasik atau menyebabkan agregasi, meningkatkan
fagositosis dan kematian intrasel. Sel T (CD 4 dan CD 8) yang menghasilkan sitokin
proinflamasi (interleukin 6, 10, interferon α 1, tumor nekrosis factor α yang
mengaktifkan sel makrofag dan NK cell (natural killer) untuk membunuh virus yang
tumbuh dalam sitosolnya.
Sel T spesifik membunuh sasaran segera setelah proses mengenali peptida virus yang
berhubungan dengan MHC I (major histocompatibility complex).
Sitokin proinflamasi menyebabkan demam dan gejala sistemik, semakin tinggi
kadarnya, semakin berat derajat keparahan penyakit penderita.
Sekali immunological memory terbentuk karena infeksi primer atau vaksinasi, maka
kadar antibodi di sekret saluran pernapasan meningkat lebih cepat bila terdapat
pajanan virus yang sama.
Menurut WHO, infeksi AI (H5N1) lebih mudah menular dari unggas ke manusia
dibandingkan dengan dari manusia ke manusia.
Sampai saat ini belum terbukti penularan dari manusia ke manusia atau penularan
manusia lewat daging yang dikonsumsi.
Satu-satunya cara virus influenza A (H5N1) dapat menyebar dengan mudah dari
manusia ke manusia ialah jika virus influenza A (H5N1) tersebut bermutasi dan
bercampur dengan virus influenza manusia.
Secara umum ada tiga kemungkinan mekanisme penularan dari unggas ke manusia
KEMUNGKINAN MEKANISME PENULARAN DARI
UNGGAS KE MANUSIA
GAMBARAN KLINIS
Masa inkubasi AI (H5N1) lebih lama daripada influenza manusia umumnya.
Pada tahun 1997, sebagian kasus terjadi dalam 2–4 hari setelah terpajan.
Laporan yang terbaru menunjukkan interval yang sama tetapi sampai dengan 8 hari.
Inkubasi pada anak dapat sampai 21 hari setelah terpajan.
Hal ini kemungkinan karena tidak tahu bilamana waktu terjadinya pajanan terhadap
hewan yang terinfeksi atau sumber lain di lingkungan.
Masa inkubasi di unggas ialah 1 minggu.
TANDA DAN GEJALA PADA UNGGAS
Gejala unggas yang sakit beragam, mulai dari gejala ringan sampai sangat berat.
Hal ini bergantung keganasan virus, lingkungan, dan keadaan unggas sendiri.
Gejala awal berupa penurunan produksi telur.
Gejala yang timbul seperti jengger berwarna biru, kepala bengkak, sekitar mata
bengkak, demam, diare, gangguan pernapasan berupa batuk, bersin, depresi dan
tidak mau makan.
Di beberapa kasus, unggas mati tanpa gejala. Kematian terjadi setelah 24 jam
timbul gejala. Di kalkun, kematian dapat terjadi dalam 2–3 hari.
TANDA DAN GEJALA PADA MANUSIA
Sebagian besar penderita gejala AI (H5N1) pada dasarnya sama dengan influenza lainnya
awal demam lebih 38° C dan gejala saluran napas bawah.
Gejala yang berhubungan dengan gangguan pernafasan merupakan manifestasi yang paling
sering didapatkan. Distres nafas yang berat terjadi kurang lebih 5 hari dari munculnya gejala
awal.
Gejala lain dapat berupa:
Demam (temperatur >38°C)
Diare (watery, tidak berdarah)
Muntah
Nyeri dada dan/atau nyeri perut
Ensefalitis (dua kasus di Vietnam muncul hanya sebagai ensefalitis)
TANDA DAN GEJALA PADA MANUSIA
Diare, muntah-muntah, nyeri perut, nyeri dada (pleuritik) dan perdarahan dari hidung dan
gusi pada beberapa penderita.
Sputum yang dihasilkan bervariasi kadang-kadang dengan darah, respiratory distress,
tachipnea dan inspirasi dedas (crackle).
Kegagalan pernapasan yang progresif difus, bilateral, infiltrasi dan tampilan gejala napas
akut (ARDS=acute respiratoric distress syndrome).
Kegagalan banyak organ disfungsi ginjal, jantung termasuk dilatasi dan supraventrikular
aritmia.
Komplikasi yang lain VAP, perdarahan paru, pneumothoraks, pancytopenia, gejala dari Reye
dan sepsis tanpa bakteremia.
Awal penyakit yang tiba-tiba dan cepat memburuk, demam tinggi, nyeri otot, dan batuk
kering sering dijumpai di infeksi AI (H5N1).
TANDA DAN GEJALA AVIAN INFLUENZA DI
MANUSIA
PEMERIKSAAN FISIK
Takipnea dan ronkhi.
Whezing kadang-kadang muncul.
Conjunctival suffusion/conjunctivitis jarang ditemukan.
Tanda lain contohnya perdarahan gusi
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Temuan laboratorium termasuk dibawah ini:
Spesimen cairan hidung untuk mendeteksi virus dan suubtipenya.
Leukopenia.
Limfopenia relatif.
Trombositopenia sering terjadi.
Peningkatan SGOT/SGPT sering terjadi.
Disseminated intravascular coagulation (DIC) jarang terjadi.
Tes lainnya, termasuk kultur darah, pungsi lumbal untuk analisis cairan serebrospinal (termasuk
polymerase chain reaction [PCR]), dan kultur sputum, harus dilakukan berdasarkan kecurigaan
klinis untuk diagnosis alternatif atau melengkapi diagnosis.
PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Foto thorak harus dilakukan.
Temuan yang paling sering adalah konsolidasi multifokal; efusi dan limfadenopati
juga adanya perubahan kistik.
Tingkat keparahan gambaran radiologi adalah prediktor yang tepat terhadap
mortalitas, termasuk temuan adanya gambaran acute respiratory distress syndrome
(ARDS), seperti gambaran ground-glass bilateral yang difus.
DIAGNOSIS BANDING
Community-Acquired Pneumonia (CAP)
H1N1 Influenza (Swine Flu)
Hantavirus Pulmonary Syndrome
Influenza
Middle East Respiratory Syndrome (MERS)
Pediatric Pneumococcal Infections
Pneumococcal Infections
Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS)
PERBEDAAN ANTARA INFEKSI AI DAN INFLUENZA
LAINNYA
KOMPLIKASI AI
KLASIFIKASI DIAGNOSIS
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (DEPKES RI) membagi diagnosis AI
(H5N1) di manusia menjadi kasus dugaan, kemungkinan (probable), dan kasus
terkukuhkan (konfirmasi).
Kasus dugaan AI (H5N1) ialah bila seseorang mengalami infeksi saluran pernapasan
akut (ISPA) disertai demam (≥ 38° C), batuk dan atau sakit tenggorokan dengan
salah satu kegiatan sebelumnya. Misalnya: seminggu terakhir mengunjungi
peternakan yang terjangkit KLB (kejadian luar biasa) AI (H5N1), bersentuhan
dengan kasus terkukuhkan (konfirmasi) AI (H5N1) dalam masa penularan, bekerja di
laboratorium yang memproses spesimen manusia atau hewan yang dicurigai
menderita AI (H5N1).
Dalam hal itu pemeriksaan darah menunjukkan lekopeni (lekosit ≤ 3000/uL) dan
atau trombositopeni (trombosit ≤ 150.000/uL), ditemukan titer antibodi <1:20
terhadap H5 dengan pemeriksaan uji HAI, foto dada menggambarkan pneumonia
atipikal atau infiltrat di kedua sisi paru yang meluas (foto serial).
Kriteria kasus dugaan yang lain, jika terjadi ARDS dengan satu atau lebih gejala:
lekopeni atau limfopenia dengan atau tanpa trombositopenia, foto dada
menunjukkan pneumonia atipikal atau infiltrat kedua sisi paru yang makin luas.
Kasus kemungkinan (probable) yaitu kasus suspek dengan salah satu keadaan: bukti
laboratorium terbatas mengarah ke virus influenza A H5N1. Misalnya kenaikan 4 kali
titer antibodi dengan uji HAI terhadap sepasang serum yang diambil setelah 10–14
hari saat pengambilan yang pertama, terkenalinya antigen atau bahan genetika
virus atau adanya titer antibodi spesifik yang sangat tinggi dalam serum tunggal
dengan uji penetralan di laboratorium rujukan.
Dalam waktu singkat keadaan tersebut berlanjut menjadi pneumonia atau gagal
pernapasan, bahkan meninggal dengan pembuktian tidak ada penyebab lain.
Kasus terkukuhkan (konfirmasi) yaitu kasus kemungkinan (probable) yang
menghasilkan kultur virus influenza A H5N1 positif, hasil PCR (polymerase chain
reaction) influenza H5 positif pada laboratorium yang diakui oleh WHO, terjadi
peningkatan titer antibodi H5 lebih dari 4 kali dengan uji netralisasi, dengan uji
immunofluorescence assay (IFA) ditemukan antigen positif dengan menggunakan
antibodi monoklonal A/H5N1.
TES LABORATORIK
Pemeriksaan laboratorik umum menunjukkan leukopenia, sebagian limfopenia,
trombositopenia ringan sampai sedang, dan sedikit peningkatan aminotransferase.
Kadang dijumpai hyperglikemia dan kreatinin meningkat.
Kriteria pengambilan spesimen ialah diagnosis suspek AI (H5N1) dapat ditegakkan,
spesimen yang diperlukan untuk mengenali virus influenza A H5N1 diambil pada hari
ke 2–14 setelah timbul gejala.
Spesimen dapat berupa: usap orofaring dan nasal, bilasan nasofaring (untuk anak
usia 2 tahun atau kurang), aspirat spesimen sputum, cairan pleura, bilasan trakeal,
dan bilasan bronkoalveolus.
TES LABORATORIK
 Menemukan antigen virus influenza
Tes ini bertujuan untuk menemukan virus influenza intraselular di spesimen penderita. Hasil
dapat diketahui dalam waktu 15–30 menit, metode yang digunakan antara lain :
1. Menemukan antigen virus metode IFA (indirect fluorescent)
2. Menemukan antigen metode EIA
 Kultur/isolasi virus : isolasi virus ialah teknik sensitiv memisahkan virus AI sebagai uji baku
emas untuk mendiagnosis infeksi virus influenza. Keuntungan lain dapat digunakan identifikasi
dan penentuan antigen dan karakteristik gen
Menemukan antibodi spesifik : Tes cepat virus (rapid viral test) ini digunakan untuk
menemukan antibodi spesifik influenza, diantaranya: HAI, complement fixation (CF), enzyme
immunoassay (ELISA guna mendeteksi Ig M anti A/H5N1), deteksi fluorescent antibody dan tes
netralisasi.
PENATALAKSANAAN
Terapi utama adalah pemberian antivirus.
Isolasi
Perawatan suportif seperti terapi oksigen, pemberian cairan intravena dan nutrisi
parenteral mungkin diperlukan.
Beberapa kasus membutuhkan pemakaian ventilator.
Terapi antivirus harus disesuaikan dengan terhadap usia pasien dan profil resistensi
antivirus dari daerah paparan. Terapi harus dimulai meskipun terlambat datang.
Antibiotik mungkin diperlukan untuk mengobati pneumonia bakterial.
Steroid tidak bermanfaat, kecuali terdapat sepsis dengan insufisiensi adrenal.
Guideline WHO dan CDC saat ini (2015) merekomendasikan neuraminidase inhibitor
sebagai regimen terapi, sebagai pilihan oseltamivir (tamiflu).
Penelitian sedang berjalan tentang efektifitas oseltamivir yang diberikan dosis tinggi
dan atau lamanya terapi.
Regimen dosis tinggi tampaknya lebih efektif
Meskipun kebanyakan kasus influenza H5N1 resisten terhadap amantadine atau
rimantadine (menggambarkan mutasi gen di segmen M2), terapi kombinasi
direkomendasikan kecuali pasien yang terpapar pada area tersebut terdapat virus
yang sudah resisten
OSELTAMIVIR
Menghambat neuraminidase, yang merupakan glikoprotein pada permukaan virus
influenza yang dapat menghancurkan reseptor sel yang terinfeksi untuk
hemagglutinin virus. Dengan menghambat neuraminidase virus, menurunkan
pengeluaran virus dari sel yang terinfeksi sehingga menghambat penyebaran virus.
Mulai diberikan 24-48 jam setelah gejala muncul
<2 minggu: effikasi dan keamanan masih belum ada
Usia 2 minggu sampai <1 tahun
3 mg/kg PO diberikan 2 kali sehari selama 5 hari
≥1 tahun
<15 kg: 30 mg PO tiap 12 jam selama 5 hari
15-23 kg: 45 mg PO tiap 12 jam selama 5 hari
23-40 kg: 60 mg PO tiap 12 jam selama 5 hari
>40 kg: 75 mg PO tiap 12 jam selama 5 hari
PEDOMAN KEMENKES RI
Pada kasus suspek flu burung diberikan Oseltamivir 2 x 75 mg selama 5 hari,
simptomatik dan antibiotik jika ada indikasi.
Pada kasus probabel flu burung diberikan Oseltamivir 2 x 75 mg selama 5 hari,
antibiotik spektrum luas yang mencakup kuman tipikal dan atipikal, dan steroid jika
perlu seperti pada kasus pneumonia berat dan ARDS (acute respiratory distress
sindrom) sesuai indikasi
Sebagai profilaksis, bagi mereka yang beresiko tinggi digunakan Oseltamivir
dengan dosis 75 mg sekali sehari selama lebih dari 7 hari (hingga 6 minggu).
PENCEGAHAN
Tidak ada vaksin yang tersedia untuk masyarakat luas, meskipun banyak produk
dalam fase clinical trials dan tampaknya immunogenic.
H5N1 monovalent killed-virus vaccine yang diproduksi Sanofi-Pasteur yang telah
disetujui oleh US Food and Drug Administration (FDA) tetapi hanya tersedia untuk
pemerintah.
Antivirus profilaksis tidak diindikasikan untuk pasien yang berencana ke daerah yang
terjangkit avian influenza. Apabila bepergian ke daerah yang terjangkit avian
influenza dianjurkan untuk menghindari kontak erat dengan unggas, terutama burung
yang sakit atau mati, dan mengkonsumsi daging yang matang.
Pemusnahan unggas yang terkena
CONTOH LAPORAN KASUS DI THAILAND
A previously healthy, nine-year-old girl was admitted to Petchabun Hospital on
September 30, 2004. She was referred from the district hospital with severe
dyspnea, on an endotracheal tube with mechanical ventilation and was suspected of
avian influenza A (H5N1) infection. Three weeks before admission she had some
episodes of high fever with mild respiratory symptoms. Treatment was symptomatic.
She could go to school and help her parents with their work. During this time, many
poultry in her village were dead. One fighting cock from a near-by province was
believed to be the carrier of avian influenza A (H5N1) virus.
A week before admission she had high fever, sore throat and cough. Eight out of ten
of her poultry were dead. She helped her parents in culling the other two for food.
Four days before admission she was admitted to the district hospital because of
worsening symptoms. Diagnosis was pneumonia. Broad-spectrum antibiotics and
supportive treatment were introduced without improvement. She was then referred to
Petchabun Hospital and was placed in an isolation zone for air-borne transmission
disease. She was febrile, in somnolence, slightly irritable, and neither pale or icteric.
She had been inserted with an endotracheal tube with mechanical ventilation, a
nasogastric tube, and Foley’s catheter with a bag.
Vital signs: temperature 40.2ºC, blood pressure 110/60 mmHg, pulse rate 120
beats/minute and respiratory rate 40 breaths/minute. There was no murmur in the
heart sound, although tachycardia was detected. The chest auscultation revealed fine
crepitations on the right side more than the left side. Abdomen and extremities were
normal. The chest radiographs from the district hospital (two days before admittance)
and on the day of admittance at Petchabun Hospital showed patchy infiltration of the
right lower lobe and patchy infiltration of the right lung with minimal pleural effusion
and infiltration of the left-upper lung field. Pneumonia with acute respiratory distress
syndrome (ARDS) was documented and avian influenza A (H5N1) infection was
suspected. Rapid test (throat swab) for influenza A was positive.
Treatment consisted of intravenous fluid therapy, broad-spectrum antibiotics,
neuraminidase inhibitor (oseltamivir), mechanical ventilation (volume-controlled,
Bennett-7200) and other supportive treatments. Steroids were not used. High fever
(38.5 ºC - 40.2ºC) persisted for three days and defervesced on the fourth day.
Multiple episodes of watery diarrhea developed on Day 2 and 3. Worsening
respiration was confirmed by serial chest radiographs. Gross hematuria was noted on
the fourth day. All vital signs were under controlled for only three days before
becoming unstable and expiring on the fourth day. Premortal laboratory investigation
on the fourth day were also presented in Table. Throat swab specimens were sent to
the Department of Medical Science, Ministry of Public Health on the second day.
Genetic materials of avian influenza A ( H5N1) were detected by reverse
transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR) and reported two days after
death. Viral culture for avian influenza A (H5N1) was also present

You might also like